Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 29: KAYA TUJUH TURUNAN

K A Y A

T U J U H

T U R U N A N

"Ken tersangka."

Aku tengah bersiap-siap menghadiri undangan ulang tahun ayah Nicholas ke-60. Seperti biasa, begitu sampai apartemen aku mendapati Ganesha duduk bersantai di sofa, tanpa izin dan tanpa basa-basi. Dalam tiga bulan kami bekerja bersama, cowok itu sudah dua puluh tujuh kali menginvasi tanpa izin, tiga di antaranya menonton televisi, empat membaca koran, sisanya sibuk dengan laptop keramat kepunyaannya.

Hari ini, aktivitas Ganesha tak masuk pengkategorian di atas. Tidak nonton televisi, tidak membaca koran, tidak pula mengotak-atik laptop. Sebaliknya, cowok itu bertindak amat ceroboh, duduk sambil membiarkan jejak kehadiranya, berupa ratusan kertas dengan logo kemenetrian pendidikan dan logo sekolah negeri yang kami infiltrasi, terlihat jelas. Biasanya ia selalu menutupi jejaknya dengan baik, semua barang berada pada tempatnya, meski aku hampir selalu bisa mencium bau rumput diterpa hujan yang menyertai cowok itu. Bahkan, kertas penanda yang aku sengaja pasang di lantai di balik pintu ─ apabila posisinya bergeser, maka dipastikan ada penyusup ─ selalu dikembalikan ke posisi asalnya: di tengah jalan, tiga senti dari pintu, dan miring ke arah barat daya.

Ketika aku selesai memoles diri, mengepang rambutku dengan gaya elegan, dan mengenakan gaun batik berwarna ungu, cowok itu masih sibuk sendiri. Matanya memicing, alisnya bertaut, keningnya membentuk kerutan yang lebih banyak dari janji politisi. Sesekali dia menghela napas kesal, menggodaku untuk mendekat dan menyumpal mulutnya yang tak berhenti menggerutu.

"Oi? Bumi ke Ganesha? Lapor, Ken dinyatakan tersangka. Ganti."

Tidak menjawab.

"Ganesha, kamu kok nggak punya empat lengan?"

Karena cowok itu belum juga menanggapi, aku terpaksa berjongkok dan menggoncangkan bahunya keras. Cowok itu mengela napas, lagi. Aku jadi gemas, ingin rasanya mengusir Ganesha dari kediamanku.

"Iya, Ken pasti jadi tersangka. Tapi dia nggak akan dipenjara," jawabnya lempeng. Itu pun baru menanggapi setelah kutiup telinganya. Jangan tanya kenapa, aku hanya berusaha mengalihkan perhatiannya dengan berbagai cara; mendorong, menggelitik, meniup. Ternyata yang mempan meniup.

Aku merebahkan tubuh di sofa, persis di samping Ganesha yang masih lesehan di atas karpet. Rupanya anak ini begitu sibuk, hingga tak lagi peduli dengan urusan Ken. Mungkin sudah saatnya aku menunjukan peran sebagai rekan kerja yang baik.

"Gimana perkembanganmu misimu?" tanyaku berbasa-basi.

"Udah dapet beberapa nama di kementerian. Masih cari bukti konkrit. Malem ini aku mau ke sekolah lagi, kamu bakal ikut, kan?" Ia bertanya balik, sama sekali tak mengangkat wajah dari tumpukan kertas di tangan.

"Coba liat mukaku, Nes."

"Hah?"

"Liat mukaku."

Keengganannya tampak nyata, namun cowok itu mengalah. Ia mendongak. Barulah ketika melihat wajah dan dandanku, ia menyadari sesuatu.

"Kamu ada acara, ya?"

"Ya. Ulang tahun papinya Nicholas."

"Bareng gengnya?"

"Berdua aja."

"Oh." Ganesha mengangguk perlahan. "Pasti banyak info di sana. Maaf aku enggak bisa ban-"

"Kamu punya misi sendiri, Nes," potongku.

"Iya. Maaf ya, Sar."

Aku memandanginya heran. Sejak kapan cowok nyebelin yang berkali-kali mempermalukan aku di Nusantara jadi begini? Jangan-jangan dia kesurupan hantu minta maaf? Terlanjur mati tanpa bisa meminta maaf ke orang-orang terdekatnya, akhirnya di dunia hantu kerjaannya hanya minta maaf.

"Kenapa minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf."

"Kamu punya misi sendiri, Sar," balasnya, tersenyum kecil.

Cowok itu lantas berjongkok memunguti sampah kertas yang berceceran. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, heran dengan perilakunya malam ini. Setelah selesai, melesat pergilah Ganesha dengan cengiran dan sebuah pesan, "Hati-hati, ya? Sidik jarimu cuma satu di dunia ini. Yang ada dua sidik jari ibumu."

Ganesha pun menghilang dari balik pintu. Awalnya aku tidak curiga, tetapi persis seperti minggu lalu, kepergian seseorang dari apartemenku langsung disambut ketukan pintu yang nyaring.

"Permisi! Layanan kamar untuk Mbak Gratcheva!"

Aku membeku di tempat. Suaranya persis di depanku, hanya dipisahkan dengan sebilah kayu. Dadaku berat. Denyut nadiku kehilangan ritme regulernya. Dari lubang pintu, terlihat pria berseragam memeluk sesuatu yang cantik di dadanya. Telapak tanganku mendadak dingin, pegangan besi di pintu jadi licin.

"Permisi, ada kiriman untuk Mbak Gratcheva."

Satu buket mawar merah lagi.

Aku berterima kasih pada petugas itu dan bergegas menutup pintu. Di antara tangkai mawar segar yang diikat kertas terdapat catatan kecil dengan tulisan dengan gaya yang sama persis seperti minggu lalu. Kali ini, isinya berbeda.

Agus Sutrisno. Is that your doing, Sari?

::: o :::

Waktu Nina bilang keluarga Nicholas kaya tujuh turunan, aku langsung berasumsi rumah Nicholas mirip yang ada di sinetron kesukaan asisten Mama di rumah: luas, bertingkat, bergaya Eropa, dan berisi koleksi lengkap barang antik dari berbagai negara. Bagian luas dan bertingkatnya benar, namun dugaan sok tahu lainnya ternyata meleset jauh. Jelas, rumah klasik ini bukan satu-satunya rumah keluarga mereka, namun aku tak mampu memendam kekagumanku. Terletak jauh dari pusat kota, rumah ini dikelilingi pohon raksasa, halaman yang luas dan satu kolam renang besar. Arsitekturnya modern dengan kombinasi Jawa klasik. Kayu jati di sana-sini, ukiran tradisional, dan pendopo besar beratap joglo di bagian samping. Ternyata, meski keturunan Tiongkok asli, keluarga Nicholas punya selera yang lebih Jawa dari orang Jawa.

Di tempatku berdiri, terlihat perkumpulan pria dan wanita dalam batik warna-warni, bercengkrama, ditemani musik instrumental yang mengalun lembut. Bahkan dari kejauhan, halamannya tampak memesona. Lampu berkelap-kelip, didekorasi sedemikian rupa dengan bunga-bunga dan dedaunan, menciptakan kesan pesta kebun yang mewah.

Kaca-kaca raksasa menggantikan dinding, menyuguhkan relief, pilar kayu, dan lampu kristal di dalam rumah. Aku langsung mencatat dalam hati untuk membangun rumah serupa, apabila kelak aku berhasil pensiun sebelum mati dalam misi. Meski bukan tulen orang Jawa, aku adalah penggemar nomor satu untuk urusan desain rumah seperti ini. Klasik, etnis, dan tidak usang dimakan waktu.

Sungguh, tak kuduga rumah Nicholas akan membuatku merindukan Sekolah Khusus Nusantara. Desain interiornya mirip. Meski sudah sering berekeliling Eropa, seleraku memang masih sendeso namaku. Sebagai pembelaan, menurutku kebudayaan Indonesia lebih cantik; filosofinya kompleks, kebanyakan magis, dan tiap ukiran punya cerita serta pesan moral sendiri-sendiri.

Lima menit kubuang demi mengagumi rumah ini. Setelah puas, akhirnya kusentuh layar ponselku dengan cepat.

"Halo? Kenapa, Va?" jawab suara di seberang.

"Aku sudah di sini."

"Di depan?" Suara di latar telepon begitu ramai, sesekali aku mendengar suara tawa.

"Nope, I'm at school.'

Cowok itu tertawa, merespons gurauanku yang tidak lucu. "Oke, oke. Sebentar, ya," balasnya sebelum menutup telepon.

Seperti biasa, mataku segera memindai jejeran mobil yang terparkir. Tidak ada penampakan mobil dengan plat N 1 CH0, pun tidak ada mobil merah menyala Ken yang pernah kulihat di markas mafia. Kelihatannya benar, acara ini khusus keluarga. Alasan mengapa cowok itu repot-repot mengundangku, aku pun tak habis pikir. Namun tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan emas begitu saja. Rumah ini bukan rumah utama, tapi pasti tetap ada berkas penting yang bisa sedikit memberiku petunjuk.

"Eva!" Sekilas kutangkap sosok dengan celana jins hitam dan batik cokelat, sebelum sosok itu menghambur ke arahku dan memeluk tubuhku erat. Indera penciumanku langsung dibombardir dengan wangi wangi tembakau, kapulaga, jahe, kayu cedar dan sari jeruk. Sudah pasti parfum mahal.

"Hey. Your house is cool, man. I love it," komentarku begitu Nicholas melepas pelukannya.

"Iya, aku juga suka. Makasih udah dateng, ya. Nanti kalau keluargaku nanya aneh-aneh, bilang aja kamu temen sekelasku." Lengan cowok itu dengan bebas merangkulku, menarikku masuk ke dalam rumah.

"Ada siapa aja?"

Tiga bulan di sini, aku sudah khatam dengan latar belakang keluarga Nicholas. Tak jauh beda dengan Nina, keluarganya didominasi oleh taipan bisnis Indonesia. Djokomono Group bergerak di bidang agrikultur, migas, properti, dan farmasi. Ibunya sendiri menjabat di perusahaan farmasi, tempat Agus Sutrisno dulu bekerja, sedangkan ayahnya pemilik saham terbesar Djokomono Group, masih terdaftar sebagai Executive Board pula di sana.

Adhi Jakadewa Djokomono ─ pemilik nama asli Siauw Wen Tjhan ─ adalah anak dan keponakan dari pendiri CV Bumi Adhi Perkasa di tahun 1943. Berawal dari usaha kelapa sawit dan karet kebun keluarga, perusahaan kecil itu kelak akan menjadi raksasa Djokomono Group. Kalau dataku akurat, hari ini kelompok usaha milik keluarga Nicholas menaungi setidaknya lima belas badan usaha di bawah nama Djokomono. Enak ya, bahkan kentut pun mereka menghasilkan duit.

"Ada keluarga sama temen-temen bisnis keluarga. Oh ya, ada Nina juga. Bokapnya sahabatan sama Papi."

Aku berusaha menyembunyikan raut bingung. Kalau sudah ada Nina, mengapa aku perlu diundang juga? Apakah cowok ini seniat itu mendekatiku? Atau justru ada motif tersembunyi lainnya?

"I see."

"Maaf ya ngundang kamu dadakan. Aku cuma mau nepatin janjiku: ngenalin kamu sama Karen."

Oh.

Cowok itu berbelok di ruang makan, keluar dari pintu belakang, dan menyeretku masuk ke taman. Langsung saja mataku disambut dengan kemeriahan dan kemewahan pesta 'kecil-kecilan' ini. Tatjana tidak terlihat, mungkin tersembunyi di antara kerumunan orang penting lainnya.

"Your sister, right?"

Nicholas tak perlu menjawab. Sosok perempuan kecil mengenakan gaun batik merah jambu menghampiri kami, bibirnya maju beberapa mili, tangannya menarik-narik baju Nicholas.

"Ko Nicho, kenapa aku ditinggal sendiri?" tanyanya dengan nada merajuk.

Bocah di hadapan kami cantik luar biasa. Bahkan di usia sekolah dasar, anak ini sudah mengingatkanku akan peragawati berwajah oriental di majalah remaja. Seperti Nicholas, tubuhnya tinggi-ramping, rambutnya hitam legam, dan iris matanya cokelat terang. Bedanya, rambut Karenina teruntai sampai punggung.

"Koko kan udah bilang tadi, Koko mau jemput temen. Lagian kamu tadi asik sendiri sama Denisha."

"Abis Koko enggak mau ngepang rambut aku!" Bibir perempuan kecil itu semakin maju. Agar tampil semakin meyakinkan, bocah itu pun menyilangkan kedua lengan di dada, matanya menatap Nicholas tajam. Interaksi adik-kakak ini membuatku penasaran, seperti apa rupa keluarga mereka sebelum Garin pergi.

"Iya, iya. Nanti Koko kepang. Kamu kenalan dulu sama bidadari di samping Koko.

Anak itu diam, masih mempertahankan posisi berperang. Sayangnya, kini wajah merengutnya diarahkan ke aku, bukan lagi ke kakak biologisnya. Tak gentar, aku pun memberikan senyum terbaikku.

Bocah itu tidak mau luluh.

Setelah tatap-tatapan dengan canggung selama semenit penuh, Nicholas memutuskan untuk mengambil alih. "Ini temen Koko, namanya Eva. Sini kenalan."

Aku mengulurkan tangan, Karenina menyambutnya dengan ogah-ogahan, masih setia melirik kakaknya dengan tatapan marah.

"Halo Karenina, aku Eva."

"Ayo ambil es krim, Ren," kata Nicholas.

"Lho? Kata Mami kan nggak boleh. Nanti aku tambah radang."

"Dari pada kamu ngambek, mending makan es krim. Nanti biar Mami marah sama Koko."

"Asik!" Wajah Karenina sontak sumringah, tanpa menyisakan residu kemarahan sedikit pun. Cewek itu berlari menarik lengan kakaknya. Nicholas menoleh kepadaku, dengan senyum tak enak hati, berkata, "Ayo Va, ambil es krim."

Dan begitulah perkenalanku dengan Karenina. Sedangkan orang tua Nicholas, saat ini aku hanya bisa mengamati dari jauh. Untuk seseorang yang merayakan ulang tahun ke-60, Om Adhi jelas tak memainkan perannya dengan baik. Tak tahu sihir apa yang diterapkan, tapi pria tua itu terlihat masih seusia empat dekade. Rambutnya hitam, tak sehelai pun putih. Kerutan di wajahnya kebanyakan di ujung-ujung mata, menandakan wajah seseorang yang sering tersenyum. Ibunya malah, terlihat lebih muda lagi. Berbeda dengan perut ayahnya yang agak mancung, perut ibunya relatif rata. Rambutnya ditata dengan indah, aksesoris berbentuk bunga terpasang di dekat telinga. Dua orang itu tampak sibuk menjamu tamu: tersenyum di waktu yang tepat, tertawa dengan elegan, lantas melontarkan lelucon basa-basi penuh pujian. Tak heran Nicholas begitu karismatik, tanpa berusaha pun, gen kedua orang tuanya mengalir dengan deras.

Aku saja baru berhasil menaklukan Karenina setelah mengepang rambutnya menjadi dua ikatan. Itu, dan penyelundupan satu es krim tanpa sepengetahuan keluarganya.

Kami berdua duduk di bagian yang lebih lengang, kursi kayu panjang dekat dapur. Tanganku memegang satu gelas es krim cokelat yang sudah meleleh, sementara Karenina dengan bahagia melahap es krim kelimanya malam ini. Tak lama setelah kami duduk, anjing lucu ─ kata Nicholas ras Samoyed ─ menghampiri kami. Anjing keluarga rupanya. Kata Karenina, namanya Mochi, seperti kue mochi putih yang sewarna dengan bulu si anjing.

"Karen! Di pipimu ada es krim, tuh. Sini kurapiin."

Bocah itu mengangguk, menggeser tangannya untuk memberikanku ruang gerak yang leluasa. Jariku mendekat, menyentuh pipinya. Di pipi, kugerakan jariku secara memutar, menyebarkan noda es krim di pipinya yang putih bersih.

"Ups," ujarku dengan senyum meledek. Aku harus berterima kasih pada Ganesha karena memberi inspirasi.

"Ihh kok malah dicoret!"

Aku mengangkat bahu. "Kan aku bilang rapihin, bukan bersihin."

Bukannya mengadakan sesi ngambek edisi dua, perempuan itu justru bereaksi persis dengan harapanku. Ia mencolek es krim vanila di genggaman lantas diarahkan ke wajahku. Dengan sigap, aku berdiri menjauh, lalu menjulurkan lidahku ke arahnya.

"Enggak kena! Sini kalo berani!"

Karenina terpancing. Ia tertawa senang, menggenggam es krim bagaikan senjata. Aku berlari menjauh. Karenina berlari mengikuti. Seporsi es krim di genggaman tangan dan seekor anjing putih setia mengikuti. Rombongan kami berisik; Karenina tertawa-tawa, anjingnya tak henti menggonggong.

"Enggak kena! Enggak kena!"

Aku mempercepat ritme lariku, sesekali menengok ke arah adik Nicholas. Memutari taman, menuju suatu tempat yang kuincar sejak pertama kedatangan. Sisa beberapa puluh meter. Aku pun menolehkan kepala ke belakang, mengecek posisi Karenina yang masih tertawa nyaring.

BRAK!

Air beku menyiram dadaku. Rasa dinginnya nyaris menutupi nyeri akibat menabrak benda padat dengan kecepatan tinggi. Nyaris.

"Oh my God! I'm sorry! I'm sorry!"

"Yey kena! Weee!" teriak Karenina, puas bukan main. Bocah itu berhasil mewarnai wajahku dengan es krim vanila.

"Karen! Mami sudah bilang, jangan lari-larian kalau banyak orang! Kenapa kamu malah ngotorin wajah tamu Mami?!"

Seperti baru sadar dengan keributan yang kami buat, Karenina melangkah mundur, tangannya masih belepotan es krim. Ia memandang sekeliling, lalu menunduk. Sedetik kemudian Nicholas sudah berdiri di sampingnya. Aku merasa sedikit bersalah. Bukan bocah itu yang seharusnya dimarahi.

"Eva? Kamu nggak kenapa-kenapa?" tanya Nicholas.

Mengikuti Karen, aku pun memandang sekeliling. Semua tamu balik menatapku: kaget, heran, bingung, ada pula yang tampak marah. Wajar, aku baru saja menabrak tuan rumah yang berulang tahun. Dan bukan hanya menabrak, aku membuat gelas yang ia pegang pecah, lantas menumpahkan isinya di baju kami berdua.

"Yes. I'm okay. I'm so sorry."

"Papi, Mami, ini Gratcheva. Temen sekelasku." Pemberitahuan Nicholas berhasil membuat kerumunan kembali ramai. Aku yakin mereka sedang bergibah mengenai ketololanku.

"I am so sorry for the mess I made. Maaf," pintaku dengan suara memelas.

Kurasakan tatapan tajam mereka menilaiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Yang mengejutkan, Ibu Anastasia selaku tuan rumah justru tertawa kecil.

"Enggak apa-apa. Bukan salah kamu. Tante ada baju ganti buat bajumu, kamu mau? Kamu ngerti Bahasa Indonesia, kan?" katanya.

"Iya. Tidak perlu Tante, terima kasih. I just need to go to the bathroom."

"Kamar mandinya di dalem. Ayo aku anterin." Nicholas langsung menyahut. Ia menarik lenganku kasar. Aku tersenyum basa-basi ke arah orang tua cowok itu sebelum mengikutinya.

"Untung Papi nggak marah, Va," gumam Nicholas, mengantarku dengan cepat masuk ke dalam rumah. Saat yakin aku aman di dalam kamar mandi, cowok itu izin pamit, bilang khawatir Karenina akan dimarahi kedua orang tuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro