BAB 27: KAMERA PENGAWAS BERBICARA
K A M E R A
P E N G A W A S
B E R B I C A R A
Tanganku gemetar. Secarik kertas yang kupegang kini berbentuk gumpalan sampah. Suhu tubuhku naik turun tak karuan, padahal pendingin ruangan berfungsi dengan baik. Sementara dari kamar, terlihat Ganesha melangkah santai, laptopnya didekap di dada.
"Opo ta, nduk?" Dengan cuek, cowok itu mengambil majalah Go-Girl, membuka halamannya dan mulai membaca. Aku membanting tubuh di sebelah Ganesha. Tangan kiriku masih memegang kertas laknat dari buket bunga.
"Mati aku, Nes," desisku.
Ganesha mendongak, menoleh sedikit sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada majalah di meja. "Lho? Itu masih idup."
"Ih, serius sedikit kenapa, sih?"
Dasar cowok kurang peka. Padahal calon mata-mata.
"Kenapa? Jangan nangis. Tadi bukannya polisinya nggak ngapa-ngapain?"
Benar saja, aku merasakan mataku mulai panas. Kukedipkan cepat seraya menundukkan kepala. Ganesha, yang untungnya sudah cukup peka, mengambil bola putih yang kuulurkan padanya.
Tidak sampai satu menit, cowok itu sudah mengumpat, "Jancuk!" dengan logat arek Suroboyo yang sempurna.
"Ini dapet dari mana?" Wajahku masih mengarah ke lantai, menghindari tatapan tajam Ganesha.
Aku malu.
Semudah itu bagi seseorang di luar sana untuk mengenali identitas asliku. Agen intelijen macam apa? Identitas merupakan hal paling krusial. Identitas adalah faktor utama mengapa ada agen yang bisa menjadi presiden macam Putin dan ada agen yang hilang tanpa jelas rimbanya.
"Tadi ada yang kirim buket mawar," jawabku lirih.
Sunyi beberapa saat. Keheningannya memekakkan, membuat perasaanku semakin campur aduk. Aku menggigit bibir, gelisah. Keringat dingin mulai menetes di punggungku. Saat melirik Ganesha, kulihat matanya menerawang. Dahinya berkerut-kerut. "Menurutmu mungkin nggak kalau ini dari Nusantara?" tanyanya.
Aku menggeleng lemah, membayangkan Leon di balik meja hitam kelam. "Kemungkinannya kecil. Leon jarang pakai strategi kayak gini."
"Enggak ada yang mencurigakan?"
Aku menggeleng lagi. Tadi, petugas yang mampir adalah pria paruh baya dengan kulit sawo matang yang sering jaga pagi. Namanya Bowo. Aku dan Ganesha sudah memeriksa latar belakangnya jauh-jauh hari. Hasilnya nihil.
"Oke. Tenang dulu, ya. Kita lihat CCTV."
Ganesha lantas mengambil laptop mujarabnya. Dulu, dia pernah bercerita, dari sekian banyak keahlian siber, menyadap kamera pengawas adalah prinsip paling mendasar. Hampir semua tindakan kriminal yang terjadi di dalam gedung modern menggunakan rekaman CCTV sebagai bukti penegak hukum. Pun hampir semua pelaku kriminal yang profesional akan menyadap kamera pengawas untuk mencegah terciptanya bukti. Aku mengamati cowok itu memutar video yang terekam dari jam enam pagi hingga hingga sekarang. Wajahnya serius, sesekali menghentikan atau memperlambat rekaman sebelum kembali melanjutkan dengan kecepatan dua kali lipat dari normal.
"Kamu yakin nggak mau daftar Badan Siber dan Sandi Negara? Kamu jago banget loh, Nes," komentarku saat Ganesha menghentikan video lagi.
"Tertarik, sih. Tapi aku juga suka sensasi nyaris matinya intelijen yang ada di lapangan," balasnya santai seolah tidak sedang membicarakan kematian,.
Melihat layar, aku sontak duduk lebih tegak. Kugeser posisi dudukku demi mendapatkan sudut penglihatan yang lebih baik. "Itu bunganya. Coba gedein orangnya," pintaku.
Ganesha memutar ulang video dengan kecepatan setengah dari seharusnya. "Enggak mirip orang yang ada di sekolah, ya?" ujar Ganesha begitu wajah pria itu tersorot penuh di kamera. Aku mengangguk. Mataku belum berkedip. Di layar, tidak ada ciri yang spesifik, hanya pria muda, wajah asli Indonesia, mungkin berusia 20-an, dengan tahi lalat di dahi. Pria itu sedang menyeragkan bunga ke resepsionis apartemen.
"Pasti kurir. Itu di seragamnya ada tulisan Hanabira, ya. Kita harus hubungi tokonya." Tanganku secara otomatis mengetik Hanabira pada mesin pencari di ponsel. Beberapa detik kemudian, sebuah toko bunga dengan rating tinggi muncul di layar.
"Menurut kamu siapa?"
"Pengirimnya? Harusnya orang yang kita kenal. Paling orang di sekolah. Walaupun bener kata kamu, ada kemungkinan kecil kalau ini dari Leon."
Belasan nama muncul di otakku. Dari yang kukenal baik, hingga yang tak pernah kuajak bersosialisasi. Rasa frustrasi mulai mencekik, membuatku ingin berteriak. Semakin ke sini, semakin terbukti kalau aku tidak kompeten untuk menjalankan misi pertama.
"Terus apa rencana kamu sekarang?"
Aku menghela napas. Tangan kananku memijat pelipis. "Dari awal, rencananya sama, nggak malu-maluin diri sendiri dan orang yang percaya sama aku. Tapi karena itu udah gagal, sekarang rencanaku ya, bisa pulang setelah berhasil menyelesaikan operasi ini. Pertama-tama, aku perlu analisis orang-orang yang mungkin jadi tersangka. Siapa, dari mana, dan sejauh mana dia tahu tentang aku."
Ada banyak sekali kemungkinan: seluruh siswa di Nusantara masih memiliki identitas asli kami di berkas resmi. Baik di akte, kartu keluarga, bahkan kartu tanda penduduk. Pun foto-foto lamaku di sekolah dasar masih dipajang di dekat ruang kepala sekolah. Usia 11 tahun, mengenakan kebaya, judulnya Juara I Lomba Bercerita Tingkat Nasional. Nama Saritem Widyastuti bisa dibaca di paragraf pertama.
"Butuh bantuan?" tawar Ganesha. Aku terkekeh, hambar. Selama ini, Ganesha hanya membantu dan membantu. Belum pernah aku membalas jasanya, memperjelas perbedaan antara siswa cemerlang dan yang tidak becus.
"Enggak, makasih. Aku mau cari wangsit sendiri aja." Baru saja aku hendak semedi di kamar, Ganesha menahan tanganku.
"Sebentar, tadi aku mau kasih tahu kamu ini. Tadi pagi, kepolisian dapat nama lengkap korban. Namanya Agus. Agus Sutrisno, 29 tahun. Lahir di Jombang. Profesi terakhirnya pekerja kebersihan Hydroapothecary, perusahaan farmasi yang kebetulan juga anak perusahaan ayahnya Nicholas."
"Ayahnya Nicholas?" Alisku bertaut.
"Menarik, ya? Sayangnya, selain riwayat dibui tahun 2005 karena ketahuan menanam narkoba di rumah, aku belum punya bukti yang lain. Nah tapi, rumah Pak Agus itu deket sama markas kemarin. Daerah Cilandak. Jadi ..." Kalimat Ganesha menggantung di udara.
Idenya menarik, namun terlalu berisiko. Penyidikan polisi belum selesai, artinya mereka masih akan mendatangi rumah itu. Aku tidak rela meninggalkan sidik jari lagi. Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali, masa aku lebih hina dengan keledai?
"Risikonya nggak sepadan, Nes. Lagian, kamu lupa mempertimbangkan satu hal. Kalau mereka punya stok narkoba sebanyak itu, harusnya mereka masuk kategori dua. Pasti mereka punya orang dalam di kepolisian atau petugas pemerintahan. Makanya mereka belum ketangkep. Kalo kita ke sana, risikonya bukan cuma dipergoki pihak polisi, tapi juga komplotan mereka."
Pada berkas protokoler yang diberikan padaku, sekolah mengkategorikan pengedar menjadi tiga kelompok; kelompok tiga pengedar amatir, terdiri dari pelajar dan mahasiswa serta penjual skala kecil. Cara bekerja mereka sederhana, beli barang dari bos besar, edarkan diam-diam ke orang sekitar. Pun ada juga yang khusus bertugas untuk mendistribusikan barang, menembus pusat keamanan dan imigrasi. Kelompok kedua adalah orang-oang yang berperan sebagai distributor sejati, berhubungan langsung dengan pihak-pihak yag memproduksi barang terlarang itu lalu menyebarkannya secara massal. Istilahnya suplier, cara kerjanya sedikit lebih mirip dengan tengkulak. Biasanya, mereka punya cukup akses terhadap petinggi dan orang penting untuk mempertahankan bisnis mereka tetap aman dan sejahtera.
Terakhir, strata teratas, adalah taipan-taipan sejati. Penjahat berkerah putih. Mereka adalah jajaran profesional yang sesungguhnya, bekerja secara sistematis, punya koneksi internasional, dan selalu bisa bernegosiasi dengan pejabat dan penegak hukum. Ada beberapa nama pebisnis multinasional yang diduga bermain tangan dalam bisnis ini. Merekalah alasan sekolah menurunkanku ke lapangan.
"Bener, sih. Tapi aku merasa aneh aja kalo kita cuma nunggu nasib dari Ken dan almarhum Pak Agus. Menurtmu sekarang solusinya apa?" tanya Ganesha.
Aku ingin tertawa sambil menangis. Mulai dari mayat Agus, interogasi polisi, hingga buket Sari, rasanya aku ingin segera mundur dari Sekolah Khusus Nusantara dan langsung mendaftar audisi sinetron Anakku Menjadi Anak Mantan Istri Suamiku atau sinema taubat Penebar Hoax Yang Suka Operasi Plastik Tersedak Jok Sepeda di mana pemeran utamanya habis operasi plastik lalu mengaku ke seluruh negeri bahwa ia habis dipukuli orang tak dikenal.
"Sekarang aku butuh semedi," pungkasku sebelum beranjak ke kamar dan mengunci pintu. Siapa tahu bisa dapat wangsit ketika sedang menangis.
::: o :::
Nyaringnya suara bel dari pengeras suara menghentikan aktivitas belajar dan mengajar. Suasana kelas mendadak riuh. Kursi-kursi ditarik paksa oleh pengguna, kaki-kaki besinya berderit di atas lantai putih kusam. Aku merapikan tas, lantas menunggu Nina melakukan hal yang sama. Kami pun berjalan berdampingan keluar kelas, menyusuri lorong lantai dua. Di kanan kiri, laki-laki dan perempuan berseragam membawa tas mereka masing-masing, berjalan menuju halaman depan sekolah dan parkiran.
Hari ini Ken tidak bergabung di meja Nicholas di kantin. Cowok itu tidak masuk. Tidak ada yang bertanya kenapa, setidaknya tidak secara terang-terangan. Nina pun menjelaskan padaku, tanpa kuminta, kalau Keranu absen karena ada acara keluarga. Cewek itu mengatakan persis apa yang Keranu sebarkan di grup besar mereka. Aku hanya manggut-manggut. Mungkin acara keluarga Keranu memang sering digelar di kantor polisi, mengingat ayahnya adalah sosok penting di lembaga kepolisian.
Tak berapa lama, aku pun sudah menaiki angkutan umum langganan. Namun, tujuanku bukan apartemen di Lebak Bulus. Menyusuri jalanan protokol Jakarta yang macet, panas, dan menyebalkan, aku akhirnya sampai di sebuah toko kecil yang dihiasi bunga. Lonceng berbunyi saat pintu dibuka. Ada nuansa Eropa ala kota Paris di toko kecil Kebayoran Baru itu. Cantik.
Baru satu langkah, semerbak harum bunga dan wangi manis vanila sudah memenuhi indera penciumanku. Kakiku berderap mantap, mendekati salah satu pegawai yang sedang menyusun bunga anggrek berwarna ungu.
"Permisi Mbak, maaf mau tanya. Kemarin ada pesanan mawar yang dikirim ke apartemen The View di Lebak Bulus?"
Karyawati itu menghentikan kegiatannya "Oh, iya. Atas nama siapa ya, mbak?"
Aku berpikir cepat, mencari alasan. Pertanyaan si karyawatilah yang justru ingin kutanyakan. "Saya kurang tahu teman saya pesan atas nama siapa. Tapi dikirimnya ke Gratcheva."
Wanita itu memandangku sejenak. Jika ia mencurigai adanya keganjilan, ekspresinya tidak bilang apa-apa. "Sebentar saya lihat dulu, ya." Begitu katanya sebelum hilang di balik tumpukan rak bonsai.
Kakiku mengikuti wanita itu, yang kemudian berhenti di belakang meja kasir. Ia berjongkok sebelum mengambil sebuah tablet elektronik. Aku menunggu dengan sabar. Setelah beberapa saat, si Mbak dengan kerudung putih menyembul dari balik meja dan bertanya padaku,
"Kemarin pesanan ke The View cuma atas nama Mbak Alia. Alia Hanifa. Kenapa ya, Mbak?"
Dahiku berkerut. Hanya ada satu Alia yang kukenal di sekolah. Tidak mungkin dia pelakunya.
"Mbak?" tegur wanita itu, menyentakanku keluar dari lamunan.
"E-eh, iya?" ucapku tergagap. "Oh, iya. Jadi, temen saya minta tolong ke saya buat kasih ini. Kata dia kemarin kembaliannya kelebihan Mbak, dua ribunya ketuker sama dua puluh ribu. Temen saya baru sadar pas udah sampe rumah."
Aku menyerahkan uang delapan belas ribu rupiah. Karyawati itu tampak bingung: memangnya bisa uang dua puluhan yang berwarna hijau terang tertukar dengan uang dua ribu berwarna yang hijau-abu dekil? Mungkin itu yang ia pikirkan. Tapi pada akhirnya wanita itu pun mengambil uangku, mengucapkan terima kasih, dan memasukan uang ke dalam laci kasir. Nanti malam, dia harus mengecek kembali buku akuntansi toko. Kalau uangnya ternyata lebih, beruntunglah dia.
Aku sendiri tidak merasa beruntung. Langkahku kini tidak semantap tadi. Benakku tak henti bertanya, "Atas nama Alia tapi yang dateng cewek apa cowok, Mbak?"
Masalahnya, bukannya jawaban, yang ada nanti aku dibalas dengan tatapan menuduh dan berujung diusir petugas keamanan. Aku mendengus. Mana ada orang mengaku kenal tapi malah bertanya jenis kelamin temannya.
Tetapi, Alia yang kukenal hanya satu. Bocah aneh yang dijauhi teman-teman, sulit bergaul dan digosipkan masuk dalam spektrum autism ringan hingga menderita sindrom Asperger. Aku tidak belajar ilmu psikologi yang terlalu mendalam di Nusantara, apalagi belajar psikiatri, namun Alia jelas bukan penderita autism. Kontak mata selalu ada, caranya bersosialisasi didukung oleh bahasa tubuh yang sesuai, tidak ada ritual repetitif yang harus kudu wajib fardu 'ain dilakukan, yang jika terlewat akan menyebabkan ia mengamuk, menangis, atau menyerang orang lain. Aku bisa saja curiga Alia adalah agen lain yang ditempatkan di sekolah. Tapi rasa-rasanya tidak masuk akal. Aku percaya sekolahku, aku percaya penilaian guru-guruku. Apabila ada agen di sekolah, seharusnya aku dan Ganesha diberitahu sejak awal.
Satu-satunya alternatif yang bisa kusimpulkan, siapapun itu yang mengirimkan bunga padaku, yakin aku akan mencoba menelusuri jejaknya. Maka, ia memalsukan nama orang yang tidak akan kucurigai, orang yang tidak membuat pengirim merasa bersalah telah mengkambinghitamkan. Pengirim bunga mengerti, ia harus menghapus satu-satunya jejak yang menghubungkan identitas aslinya dengan buket mawar.
Siapapun pengirim itu, pastilah cukup pintar untuk bermain petak umpet denganku.
Aku mengumpat dalam hati. Waktuku di SMAN 116 Jakarta hanya sebentar, namun aku malah membuat lebih banyak kesalahan daripada kemajuan yang berarti. Dengan gontai, aku berjalan kembali ke jalan raya. Otakku tak henti-hentinya berpikir dan menganalisis, memanfaatkan waktu perjalanan pulang ─ yang seharusnya cukup memakan durai tiga puluh menit, berubah jadi satu setengah jam karena kemacetan Jakarta ─ dengan baik. Naik angkot dari Hanabira, turun di halte Pondok Indah, lalu disambung dengan bis sampai terminal Lebak Bulus. Dari Lebak Bulus, aku naik ojek sebelum turun di rumah persis tiga blok dari apartemenku.
Jelas melelahkan dan tidak efektif. Sayang, opsi itu satu-satunya pilihan, dibandingkan menjadi pelanggan ojek daring, atau menggantungkan nasibku pada motor. Taruhannya terlalu besar. Lebih baik bergelantungan bagai monyet, dipepet sana sini dengan taruhan jadi objek pria hidung belang pengidap kelainan preferensi seksual — yang suka gesek-gesek kelamin di transportasi umum misalnya.
Pepatah bilang, "Data is the new oil, access is the new gold." Tidak berlebihan kutipan itu. Kuliah singkat dari Pak Say tentang bisnis penjualan data pengguna Facebook untuk kepentingan politik merupakan peringatan tersendiri. Tidak pernah ada jaminan bahwa data pribadiku tidak akan dijual ke sembarang tempat. Nomor ponsel, nomor surat penting dan surat kendaraan, rekening di bank, terutama rekening pemain saham, bisa dengan mudahnya dijual dengan harga mahal di internet.
Bahkan, sekarang data mengenai perilaku konsumen — kecenderungan mereka; mulai dari makanan yang dibeli, situs yang dibuka, musik yang didengarkan, serta rekam perjalanan yang dilakukan — ikut laku, dengan harga yang jelas lebih mahal daripada sekilo buah naga di musim panen.
"Gimana, Sar?"
Kedua mataku menyipit. Sapaan basa-basi dari sosok yang duduk santai di atas sofa bukan sesuatu yang baru. Cowok itu selalu seenaknya masuk ke dalam apartemenku, merasa tak perlu izin dari penghuni sesungguhnya. Yang membuatku heran, hari ini cowok itu tidak lagi sibuk dengan laptop, atau nonton televisi, atau mengotak-atik laptop sehingga bisa mengontrol televisi dengan aplikasi buatannya, tapi malah sibuk mencetak sesuatu dengan printer-ku. Alat itu seharusnya ada di kamar, omong-omong. Bukan diletakkan di atas meja kopi.
"Kamu ngapain?" Aku balik bertanya dengan nada menuduh.
"Ngeprint."
Aku berdecak, melemparkan tas, dan merebahkan tubuhku di sofa seberang. "Orang buta bahkan bisa denger kamu lagi ngeprint, Nes."
Cowok itu tersenyum. Tipis, tapi merepresentaskan humor internal yang selalu muncul tiap ia berbicara denganku. Sepertinya Ganesha mendapatkan kepuasan pribadi ketika membuatku sebal.
"Ngeprint model CCTV sama komputer di ruang kepala sekolah. Kemarin aku baru ngerusakin CCTV kepala sekolah. Denger-denger, teknisinya baru bisa dateng besok. Niatnya, aku mau cari bukti-bukti di komputer sekolah. Soal ujian dan kunci jawaban ujian baru dikirim bulan depan, tapi nggak ada salahnya mencuri start."
"Oh. Jangan lupa balikin printernya."
"Siap, Bendoro Putri."
"Kamu mau ke kepala sekolah hari ini?"
"Iya. Kamu mau pake nama samaran apa?"
Hebat juga. Aku belum bilang akan menemaninya menyusup, cowok itu sudah berasumsi aku akan ikut dengannya. Sebenarnya, kalau menuruti kata kakiku — bukan kata hati, karena yang lelah menumpang dari satu angkutan umum ke angkutan lain adalah kakiku — aku amat malas kembali ke sekolah setelah melewati perjalanan berjam-jam demi pergi dari sana. Tapi, tentu saja, rasa tanggungjawab lebih penting daripada perasaan kakiku. Seandainya aku tidak bodoh serta menumpukkan begitu banyak utang budi yang harus dibayar pada cowok itu, mungkin aku akan mencari alasan untuk melewatkan kesempatan membantu Ganesha.
Bukannya tidak setia kawan, tapi malam ini aku ingin menuliskan surat untuk Mama. Sejak kejadian Agus kemarin, sulit sekali menahan arus penyesalan karena tidak menuruti permintaan Papa dan Mama untuk ikut mudik ke Jerman. Aku khawatir tidak bisa kembali lagi ke mereka.
"Mawar. Namaku mawar."
Biarlah nama Mawar menghantuiku sepanjang malam. Aku ingin selalu mengingat pengintai licik yang kini berdiri selangkah di depanku, kembali menungguiku mengulangi kesalahan bodoh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro