Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 23: PESTA UNTUK TATJANA

P E S T A

U N T U K

T A T J A N A

Pestanya meriah. Tipikal. Ruangan dilengkapi panggung yang telah didekorasi dengan cantik, meja dihias dan disertakan nama masing-masing tamu undangan, makanannya enak dan bisa diambil sepuasnya, acara disusun agar ramai dan diselipkan sesi khusus dari keluarga inti. Keluarga intinya pun tipikal keluarga kaya raya di ibukota. Aku mengenali wajah ayahnya sebagai salah satu pebisnis sukses tanah air yang juga merangkap sebagai politisi aktif. Ibunya cantik, terlihat eksotis, tubuhnya terawat meski sudah berumur. Seingatku, ibunya mantan model dan kini mencoba peruntungan di dunia kosmetik. Kemudian ada satu kakak perempuan yang wajahnya tidak mirip Nina. Putih, bulat, dan terkesan lebih muda dari cewek itu.

Di tengah acara Nina menangis terharu, aku sebagai Eva menyempatkan untuk memeluknya, bergantian dengan teman-teman dekatnya yang lain baik dari SMAN 116 Jakarta maupun dari sekolah lain. Lalu sebagai penutup, semua berfoto-foto cantik dibantu dengan fotografer khusus. Saat sesi foto lewat, barulah aku merasakan antisipasi mengalir di dalam darah. Akhirnya sampai juga ke pokok acara. Hari ini yang penting bukan acara ulang tahun, transaksi narkoba tidak ada di sana. Yang aku dan Ganesha tunggu-tunggu adalah after party-nya.

Berempat, kami berangkat menuju sebuah klub malam yang tak jauh letaknya. Aku senang akhirnya tidak harus berduaan dengan Nicholas. Lebih enak mendengarkan, daripada harus menjadi bule yang tidak fasih dengan bahasa lokal.

"Iya, tuh! Adek gue juga di rumah main Tik Tok mulu. Sebel banget gue," keluh Nicholas disela-sela kesibukannya menyetir.

"Adek lo si Karen itu? Dia bukannya masih SD? Wajar, kali. Kan wabahnya anak SD."

"Iya, wajar sih wajar. Tapi enggak maksa gue nemenin ikut acara meet and greet artis Tik Tok juga."

Kini, pembelaan terhadap sosok Karen berubah menjadi cekikikan geli penumpang di belakang. "Serius lo?"

"Ko Nicho, liat deh keren banget kan kolabnya!" Suara Nicholas naik beberapa oktaf, terdengar lebih cempreng dari rata-rata kaum hawa.

"Emang keren kan, Ko?" ledek Tio.

"Oh jelas! Tapi maaf Koko bukan homo, tuh." Komentar sarkastis cowok itu langsung disambut dengan gelak tawa dari belakang.

"Agak ekstrim ya, lo," timpal Lia.

"Ekstrim apaan? Coba lo jadi gue, dengerin dia mainan Tik Tok tiap hari." Nicholas menarik napas dengan dramatis. "Ih, lucu banget mereka kolab! Ko, liat ini, deh! Ganteng banget, ya!" Nada suaranya kembali meninggi.

Aku ikut tertawa bersama yang lain. Selain Nina, tidak ada dari kami yang berganti baju. Cewek itu tadinya mengenakan gaun putih satu lengan dengan rok lebar, aksen emas memperindah bagian pinggang dan lengannya. Gaun mewahnya tampak kontras dibandingkan kode busana hitam-emas tamu undangan. Terutama saat berjalan, cewek itu seakan seorang reinkarnasi bangsawan Yunani.

"Kamu punya adik?" tanyaku basa-basi. Aku tahu Nicholas punya adik, tapi aku baru tahu ternyata hubungan mereka sedekat itu. Sebelumnya ia tidak pernah membicarakan tentang adiknya. Satu-satunya momen jujur mengenai keluarganya adalah ketika dia mabuk di Fabel kemarin dan menghabiskan lima menit penuh untuk memaki kedua orang tuanya.

"Iya. Namanya Karenina."

"You're close with her?"

"Ya, gitu deh. Kamu harus ketemu kapan-kapan. Udah kelas empat, tapi masih lucu."

"Waduh, udah siap dikenalin ke keluarga, Bos?" sindir Tio. Nicholas mengacungkan jari tengahnya. Aku memandang keluar jendela, berpura-pura tidak paham. Perhatianku teralihkan sepenuhnya oleh getaran ponsel di dalam tas. Hanya satu orang yang punya alasan untuk menghubungi ponsel jadul pinjaman Nusantara. Pesan yang dikirim juga hanya punya satu arti: saatnya jadi mata-mata sesungguhnya.

::: o :::

Sebentar, akan kuputar balik ke belakang, alasan mengapa aku bisa berlari menuruni tangga darurat jam dua pagi tanpa alas kaki. Awalnya biasa saja, Nina memesan tiga meja untuk kami di Jenja. Botol-botol kaca besar berwarna gelap langsung memenuhi meja kami. Para tamu undangan yang cukup beruntung sibuk dengan acara masing-masing, entah bercanda, bermesraan, bergoyang di lantai dansa, atau ketiganya. Seorang Nicholas yang biasanya tenang bahkan sudah hilang kesadarannya, dibawa oleh cairan beralkohol.

Kemudian datanglah pesan singkat dari Ganesha: Transaksi di kamar mandi laki-laki, 15 menit. Waktu itu cukup bagiku untuk melepas gaun dan menggantinya dengan celana, jaket, dan topi kesayangan. Sepersekian menit kemudian, aku sudah menunggu di dalam salah satu bilik kamar mandi, lengkap dengan sarung tangan untuk melindungiku dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kamera perekam sudah kupasang di meja wastafel, diposisikan sedemikian rupa hingga cakupannya meliputi sebagian besar area kamar mandi laki-laki. Pintu tempatku bersembunyi juga sudah diamankan dengan kertas bertuliskan TOILET RUSAK dan dikunci dari dalam.

Di bayanganku, mereka akan bertansaksi seperti biasa, aku mendapatkan wajah tambahan dalam daftar tersangka, kemudian kami akan melanjutkan kehidupan seperti biasa. Yang tidak sesuai bayanganku, kurir dalam transaksi hari ini tak lain dan tak bukan adalah preman di Cilandak kemarin. Satu dari komplotan pria yang dengan bodohnya Keranu ancam di markas mereka sendiri. Kebetulan, preman itu membawa pisau. Aku, yang sedang duduk bersila di atas toilet sambil menonton rekaman kamera yang kupasang, jadi ikut panik. Napasku tercekat. Di layar laptop, preman itu berhasil menyudutkan Ken. Dari gelagatnya, Ken juga tidak membawa alat pertahanan diri.

Aku merasakan dilema yang luar biasa, memaksaku memilih antara nilai profesionalitas atau kemanusiaan. Kalau aku biarkan, cowok itu memiliki kemungkinan hidup yang tinggi. Selama lukanya tidak fatal, ambulans masih bisa datang tepat waktu. Masalahnya, aku yakin preman itu tidak berniat membunuh Ken di tempat seramai ini. Risikonya terlalu tinggi. Mengetahui hubungan Ken dengan pihak kepolisian, dugaanku mereka hendak menculiknya dan meminta tebusan dengan nominal fantastis atau, menculik lalu membungkamnya untuk menghilangkan kemungkinan tertangkap polisi. Meski keduanya terdengar seram, secara logika pilihan terbaik tetaplah untuk berdiam dan mengamati.

Sayangnya bukan itu yang kulakukan. Ketika preman itu menyerang dengan pisaunya, aku refleks mendorong pisau yang kubawa melewati kolong pintu. Ken bukan hanya berhasil menghindar dengan kemampuan karatenya, cowok itu juga menyadari adanya pisau yang muncul secara ajaib. Setelah mengambil pisau, beradu ketangkasan dan kelincahan, cowok itu berhasil kabur dari kamar mandi dan melarikan diri entah ke mana. Awalnya aku berharap cowok itu akan cukup cerdas untuk berlari ke keramaian atau pihak keamanan setempat, tapi menilai dari pistol yang menggantikan pisau di tangan si preman, Ken mungkin sadar bahwa tidak ada jaminan preman itu tidak akan melukai orang-orang di Jenja.

Sekarang aku harus bertanggungjawab atas keblunderan yang aku lakukan. Kalau ada Leon, dia akan memakiku idiot karena membenarkan perasaan di atas sikap profesional dan tanggungjawab terhadap negara. Aku sendiri tidak bisa berhenti menghina diri sendiri selagi berlari menuruni tangga darurat, tanpa alas kaki, dan dengan penyamaran seadanya. Keluar dari tangga darurat, aku melihat Ken berlari ke arah parkiran. Panik, aku pun mengirimkan kode lima lewat ke Ganesha: situasi genting, hasil tidak bisa diprediksi. Keringan bercucuran di punggungku. Semakin lama melihat pisau, semakin aku marah dengan diriku sendiri. Pisau itu kesalahan fatal. Aku memang menggunakan sarung tangan saat memberikannya di kamar mandi, tapi tadi aku sempat meraba-raba tas kecilku di depan Nicholas, memberikan kemungkinan adanya sidik jariku tertempel di pisau.

Darahku panas. Adrenalin memompa seluruh tubuh, membuat jantungku berdegup liar. Tanganku basah, meski udara dini hari begitu dingin, bahkan di bawah gedung seperti ini. Ketika mereka akhirnya berhenti, aku memelankan lariku, lantas mengendap-endap di antara mobil yang terparkir seragam. Aku ingin sekali membaca pikiran Ken, memahami apakah dia sedang berlari tanpa arah, menunggu bantuan dari ayahnya, atau berusaha kabur dengan mobil yang ia miliki.

Tanda tanya yang memenuhi benakku lenyap begitu bunyi tembakan pertama terdengar. Aku mempercepat lariku, merasakan dinginnya lantai parkir di bawah telapak kaki. Di blok berbeda, mataku menangkap pergerakan Ken, namun cowok itu tak lagi berlari. Sebelah tangannya menggenggam sebilah pisau. Napasnya memburu, terdengar pendek-pendek dari tempatku berdiri. Aku memindai sekeliling. Di saat yang dibutuhkan, kemana perginya tukang parkir? Tidak mungkin suara tembakan barusan tidak terdengar orang lain.

"Gue bakal bayar!" Suara Ken, terdengar frustrasi. Aku berjongkok, berjalan di antara dua mobil yang terparkir sejajar, mencari posisi dengan jangkauan pandang terbaik. Kini mereka berdua hanya dipisahkan satu mobil dariku. Dari jendela kaca, terlihat keduanya sedang berdiri berhadapan dengan tinggi Ken mendominasi. Preman berdiri itu dengan pisau mengilat, sedangkan Ken dengan pisau yang lebih kecil. Barang sial yang kemungkinan besar memuat jejak biologisku.

"Lo sebut angkanya. Gue bakal bayar."

Preman itu tertawa lalu berdecak. "Gue enggak butuh uang."

"Terus lo mau apa?"

"Tergantung."

"Lo sebut apapun, gue bisa kasih."

Gelak tawa preman itu terdengar angkuh. Aku menahan napas. Dari jarak sejauh ini, aku tidak akan bisa menolong Ken tepat waktu tanpa memunculkan kecurigaan. Jika Ganesha membaca pesanku tepat waktu, ia juga tidak akan bisa menolong targetku. Kami tidak membawa cukup peralatan untuk menyamar sebagai polisi.

"Uang, koneksi, imunitas, apa aja. Gue bisa kasih. Bokap gue Kapolda Jakarta." Ken mengulangi tawarannya.

Preman itu menyerang. Aku menggigit bibir. Ken merunduk, tangan preman menusuk udara. Bau besi menghujam indera penciumanku disertai rasa pedih di bibir. Baku hantam masih berjalan, pisau terhunus. Tanganku gemetar, menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mengintervensi. Ken terlihat lebih leluasa bergerak, membuktikan latar pelatihan beladiri yang mengantarkannya menuju SMAN 116 Jakarta melalui jalur khusus olahraga. Preman itu kembali menikam, kali ini Ken tidak merunduk dan balas menendang lengan pria itu. Pisaunya terlempar, mendarat di lantai dengan bunyi berdenting. Tidak membuang waktu, Ken lantas merunduk dengan pisau terhunus. Sulit sekali mempercayai mataku saat melihat pisauku tertanam pada leher preman sesaat sebelum pria itu jatuh tersungkur berlumuran darah.

"Errgh!" Erangan barusan bukan berasal dari Ken. Tubuhku lemas. Dokumen yang pernah kubaca kini kembali kepadaku. Keranu Novaldi, juara pencak silat O2SN di usia 12 tahun. Diterima di SMAN 116 Jakarta melalui jalur prestasi. Simpatiku membunuh preman itu.

"Halo, Pak Hakim? Pak, bisa ke sini? Saya di parkiran Cilandak Town Square blok D-8. Saya barusan diserang orang. Tolong cepet ke sini, Pak," pinta cowok itu dengan suara bergetar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro