BAB 16: HARI PERTAMA
H A R I
P E R T A M A
Terakhir kali di Jakarta, aku terdaftar sebagai siswa di SD swasta dengan kelas bilingual. Gedung sekolahku dulu didominasi warna biru dan hampir semua lantai kelas dilapisi karpet tebal. Kini, ruangan berdinding kuning kusam tampak kontras dengan sekolahku dulu. Tidak ada karpet, hanya lantai keramik putih yang memantulkan bayanganku.
"Nama saya Gratcheva Williams, panggil saja Eva," ucapku lantang dengan aksen Amerika yang kental. Di sampingku, berdiri seorang wanita selaku wali kelas XI IIS 2. Dari depan, semua wajah penghuni kelas tampak jelas. Tiga puluh sembilan, duduk berpasang-pasang di meja kayu penuh coretan. Beragam eskpresi ditunjukkan, mulai dari antusias, tak acuh, hingga terang-terangan menilaiku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Pesan Bu Restu satu, ciptakanlah karakter yang berkesan. Sisanya hakku sepenuhnya untuk menentukan; jadi anak baik yang ramah dengan semua orang, penindas yang sombong dan haus perhatian, atau anak yang luar biasa jenius tapi sulit digapai? Setiap karakter memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
"Halo, Eva!" sapa mayoritas penghuni kelas baruku. Aku tersenyum semanis mungkin, membalas tatapan mereka satu per satu.
"Halo, Cantik!" celetuk suara di belakang.
Kelas riuh dalam sekejap, penuh ledekan dan siulan untuk seorang cowok yang duduk di meja kedua dari belakang. Sementara tersangka utama hanya tertawa lepas, terlihat menikmati perhatian yang tiba-tiba terpusat padanya. Mataku memicing, mengamati. Kulit putih kekuningan, dahi tertutup poni, wajah oval dan hidung runcing. Matanya agak sipit, menyiratkan garis keturunannya. Aku mengenali wajah ini, meski versi aslinya lebih enak dilihat dari pada di media sosial. Namanya Abraham Nicholas. Profil Instagramnya penuh dengan foto estetik ─ diksi pilihan Bu Restu ─ yang mendokumentasikan hobi dan kegiatannya bersama teman-teman.
"Eva, kamu bisa duduk di kursi sana." Jari guruku mengacung ke kursi kosong di paling belakang, berjarak dua kursi dari Nicholas. Keramaian yang muncul tadi mendadak sirna, secepat kedatangannya. Keheningan disertai bisik-bisik usil. Aku mempertahankan senyum di bibir, menantang mereka yang berani menatap mataku. Di sebelah kursi kosong, seorang gadis berkerudung putih menyambutku. Senyumnya ramah, malu-malu. Aku membalasnya dengan anggukan. Perempuan itu menyodorkan tangannya.
"I'm Salsha. You can call me Sasa," ujarnya.
"Eva," balasku, terdengar sebule penampilanku. Tanganku mengambil alat tulis dan menyusunnya di atas meja. Bu Dyah mulai menulis di papan, membentuk kata Sosiologi. Di tengah kegiatan menulis, aku merasakan embusan napas di telinga. "Kamu asli orang Amerika? Bisa Bahasa Indonesia?"
"Bisa. Sedikit. Mamaku Indonesia, tinggal di Amerika. Kamu mau ajari Bahasa Indonesia?" sahutku, terbata-bata.
"Boleh. Nanti istirahat bareng?"
Alisku bertaut. Kutengokkan kepalaku ke arah Sasa, menampilkan raut bingung. "Pardon?"
"Lunch. Together. Yes or no?"
"Oh, yeah. Sure," jawabku dengan senyuman. Adalah sebuah kepuasan pribadi bagiku mempertahankan peran ini selama dua jam pelajaran tanpa jeda. Bukan karena harus berbohong, tetapi karena ada humor janggal yang menggelitik, menyadari aku, Saritem Widyastuti, yang setiap minggu main dengan hewan ternak, tidak bisa mengucapkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lucu pisan euy. Kalau sudah sampai di apartemen, aku mau ketawa sekeras-kerasnya.
"Va, aku ke kamar mandi, ya." Sasa sudah melesat keluar sebelum aku sempat menjawab. Aku pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menilai lebih jelas setiap siswa yang ada di kelas ini. Persis seperti arahan Leon, semua yang ada di akun Instagramku merupakan siswa di sekolah ini. Meski ada beberapa yang kurang akurat, seperti Kirana Darmawan yang tampak jauh lebih cantik dan kurus di akunnya misalnya, tetapi akun sisanya relatif representatif.
Akun Sasa tidak banyak bercerita mengenai keluarganya karena didominasi oleh gambar dan lukisan karya pribadi. Akun Tatjana, perempuan yang dari tadi bercanda dengan Nicholas, sama estetiknya dengan milik cowok itu. Di salah satu foto, terlihat mereka memang satu kelompok permainan. Sayang, di kelas ini tidak ada pemilik akun aukeran alias Keranu Novaldi, pengelola profil aukeran yang kontroversial penuh dengan kegiatan merokok, dunia malam, dan foto erotis-romantis dengan satu cewek cantik yang kuduga adalah pacarnya.
Kalau mau diam-diam, lebih ideal menggali informasi dari strata tiga, dimulai dengan teman sebangkuku. Namun, bukannya sombong, tapi aku sadar penampilanku akan selalu menarik perhatian strata satu. Jadi sekalian saja kuwujudkan ekspektasi mereka. Kelompok permainan Nicholas memiliki latar yang menjanjikan dengan uang dan gaya hidup yang mendukung narkotika. Lebih cepat aku masuk ke lingkaran mereka lebih baik.
Begitu guru kami keluar, aku langsung menjalankan strategi. Berdiri, mendorong kursi, lalu melangkah pasti ke satu meja yang terletak tak jauh dari milikku.
"Halo, selamat pagi," sapaku, kaku dan terbata-bata, "I heard that you called me 'Cantik' earlier? Do you mind explaining to me what does that mean?"
Supaya totalitas, aku pun duduk di meja Nicholas. Serempak semua mata tertuju padaku. Jika kriteria berhasil dalam prosedur penyamaran sebagai siswa baru adalah dikerumuni oleh tujuh laki-laki di kelas, aku sudah pasti lulus dengan nilai sempurna. Tanggapan yang kudapat cukup heboh, dan yang paling nyaring tentu muncul dari kaum lelaki.
Nicholas hanya tersenyum arogan, dagunya terangkat ke atas. Ia menatapku dengan pandangan malas, jelas menikmati sesi perekenalan kami. "Cantik? It means pretty. Beautiful. Good looking. You. Kamu cantik."
Siul-siul genit beradu. Salah satu cowok, yang terlihat mirip dengan pemilik akun Ramaditio, menepuk bahu Nicholas keras, menyemangati.
"Anjay, anak baru lu sikat juga."
"Yang kemaren gimana, Nik?"
"Tsadest emang nih orang."
"Bagi-bagi dong, bro!"
Aku tersenyum tipis, berpura-pura tidak mengerti dengan celotehan mereka. Andai saja aku masih berada di Nusantara, aku akan memberikan mereka semua pelajaran olahraga gratis dengan anjing Herder. Enak saja berbicara tentangku seolah-olah aku objek untuk diperdagangkan! Aku ini manusia, bukan lontong.
"I see. I bet a boy like you always say that to all the other girls. Thanks, though. But I'd like to hear a line that is not overused." Dengan itu, aku turun dari meja, menembus kerumunan di sekeliling Nicholas dan berjalan cepat keluar kelas diiringi siulan yang memekakkan.
:::: o ::::
"Gimana Sar, hari pertama?"
Berhubung tak ada lagi guru Nusantara yang memisahkanku dan Ganesha, aku bertekad untuk bersikap seenaknya. Hari ini, aku berbaring di sofa rumahnya tanpa melepas sepatu, yang mana sepatu itu dengan sengaja kuarahkan ke wajah Ganesha. Beruntung, cowok itu terlalu sibuk dengan layar laptop hingga tak sempat melayangkan protes.
"Lumayan. Tadi istirahat pertama aku makan bareng level tiga. Terus istirahat kedua aku diajak ngumpul sama cewek-cewek kelas," jawabku, memainkan telapak kakiku.
Menghabiskan waktu bersama Salsha terbukti berguna. Ia mau menjawab apa saja, seolah sudah lama tidak diberikan kesempatan untuk bercerita. Aku merasa sedikit berdosa memanfaatkan kebaikannya, meski tidak cukup untuk membuatku berhenti, sih. Iba, simpati, perasaan bersalah dan sejenisnya terhadap target adalah penyakit. Satu hal itu selalu diwanti-wanti oleh guru di Nusantara.
"Cowoknya?" tanya Ganesha.
"Baru pasang umpan. Kalo mau ikannya gede nunggunya harus lama, kan?" balasku santai.
Lokasi rumah yang dipinjamkan untuk Ganesha tidak seperti dugaanku. Bukan kontrakan kecil sepi penduduk, melainkan sebuah rumah di sebuah kompleks perumahan yang padat. Meski begitu, lokasinya yang di ibu kota membuat penghuninya kebanyakan menghabiskan waktu di dalam, jarang ada yang bercakap-cakap di jalanan ataupun halaman depan. Meski begitu, aku tetap perlu berhati-hati saat pagi hari, terutama ketika ada gerobak sayur lewat. Aku juga harus berhati-hati agar tidak digrebek warga karena dikira sedang berkembang biak.
Bagian dalam rumah tergolong minimalis, persis gambaran pria jomblo yang sibuk namun peduli kebersihan. Bersama perabotan seadanya, ruang keluarga merangkap ruang tamu tempat kami duduk hanya terdiri dari sebuah sofa, meja, dan satu rak buku. Ruang makannya berisi meja kecil dan satu kursi, dan sisanya penuh dengan peralatan plastik rumah warna-warni.
"Gimana, tuh? Siapa yang jadi ikan?" tanya Ganesha dengan senyum geli, walau matanya masih terpaku pada layar.
"Ya, gitu. Aku berhasil bikin mereka penasaran. Tinggal nunggu siapa yang mau deketin duluan."
"Yakin mau dideketin?" tanyanya.
Alisku bertaut. "Maksudnya?"
"Nggak. Nanti kalo dideketin sama mereka nggak usah pake ngambek, ya," jawabnya dari balik layar.
Aku memberengut tidak setuju. "Sejak kapan aku suka ngambek?"
"Oh, iya. Enggak pernah," balas cowok itu ringan, meski aku merasa ada yang janggal dari nada bicaranya. "Kamu udah tau siapa aja yang HP-nya mau di-hack?"
Pertanyaan itu mengingatkanku. Tadi, aku sempat diajak untuk makan di luar. Awal yang baik untuk mulai meretas ponsel milik anak-anak.
"Kalo dua HP bisa? Punya Abraham Nicholas sama Tatjana Sekar Ayu."
"Bisa. Ini aplikasinya hampir jadi. Harus dicoba dulu, sih. Nanti kita liat. Kenapa kamu pilih mereka?"
"Penasaran. Tadi Nicholas godain aku di kelas. Tatjana sahabatnya. Latar belakang keluarga mereka menarik. Profil Instagramnya lebih positif ke Keranu, sih. Kamu tau akun aukeran yang rame itu, kan? Itu punya Keranu. Tapi aku belom anaknya ketemu tadi. Makanya, dari Nicholas mungkin kita bisa dapet sesuatu." Penjelasanku ditanggapi dengan suara ketikan cepat, sedangkan pelaku yang tengah menghantam papan ketik dengan jari masih belum bersuara.
Beberapa menit kemudian, baru Ganesha mendongak. "Kamu mau coba masukin kapan?"
"Besok sore? Bisa enggak? Aku enggak yakin bisa dapet ponselnya Tatjana sih, tapi Nicholas kayaknya bisa."
"Bisa. Harusnya."
"Kamu mau ikut besok? Nanti aku SMS kalo udah dapet HP-nya."
Ganesha menggeleng, belum juga mengalihkan perhatian dari layar laptop. "Kamu aja. Takutnya nanti mereka ngenalin pas aku jadi Pak Satria. Nanti coba deketin Keranu, aku juga yakin dia positif, sih."
"Dia udah punya cewek, gimana deketinnya?"
Mendengar pertanyaanku, cowok itu tersenyum. Tipis, hanya terlihat sekilas. "Kalo udah ada cewek, belom tentu nggak tertarik sama yang lain. Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri."
Yah, benar, sih. Namun kalimatnya yang kurang tepat. "Aku lebih suka peribahasa tauge tetangga lebih subur dari tauge sendiri."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro