BAB 14: IBU GURU KEKINIAN
I B U
G U R U
K E K I N I A N
Hidupku berikutnya dipenuhi dengan latihan yang lebih ketat. Setelah penyerahan berkas Operasi Percobaan, kelasku dan Ganesha berubah menjadi lebih spesifik. Tidak ada lagi meriam berisi garpu. Tidak ada lagi jadwal yang selalu bersamaan. Aku lebih banyak dilatih secara fisik. Untuk teori, awalnya aku diminta membedakan jenis narkoba berdasarkan penampilan dan baunya. Ternyata, pasar di Indonesia seramai itu. Untuk yang klasik seperti ganja dan sabu, biasanya mudah ditemukan di kalangan pelajar. Namun, pasar sesungguhnya adalah milik golongan new psikoactive substance alias zat psikoaktif baru yang belum diatur di peraturan pemerintah. Bubuk narkoba bisa masuk di mana saja tanpa dianggap melanggar undang-undang: rokok, permen, obat herbal, rempah-rempah bumbu dapur, obat kuat, dan sebagainya. Tahun lalu, BNN bahkan mengidentifikasi 74 jenis zat baru yang masuk 'pasar' dan semuanya berpotensi mengelabui aparat.
Selain pelajaran identifikasi, aku masih harus menghadiri kelas studi kasus dan kelas 'budaya'. Contohnya sekarang, kelas seperti biasa diisi oleh Bu Restu. Kebetulan, topik 'budaya' biasanya menjadi bagian dari tugasku dan Ganesha sehingga sesi tidak dipisah.
"Sebutkan hierarki pergaulan di sekolah!"
Guruku masih konsisten dengan penampilan kekinian. Hari ini kaos hitamnya berjudul yxg kuy dengan jins bolong berwarna biru.
"Untuk satu sekolah, ada senior dan junior. Senior berhak berlaku semena-mena. Junior harus selalu patuh dengan senior kalo enggak mau diapa-apain." Ganesha menyelak kesempatanku untuk menjawab.
"Dalam satu angkatan?"
Tak mau kalah, aku mengangkat tangan kananku. "Secara umum ada empat strata. Strata satu, anak-anak populer. Mereka lebih sering dianggep anak-anak yang hits. Nggak cuman di sekolah mereka sendiri, mereka juga punya banyak temen di luar sekolah. Pendapat mereka selalu didengerin dan nggak banyak yang berani macem-macem sama mereka."
Kutangkap gerakan tangan Ganesha dari pelupuk mata, tanda ia ingin menambahkan. Tapi sebelum cowok itu sempat memotong, aku sudah melanjutkan penjelasanku. "Strata dua, anak-anak yang menonjol. Mereka nggak harus punya temen dan pengikut yang banyak di sosial media, tapi pendapat mereka cenderung didengerin. Mereka biasanya aktif di organisasi dan punya kelompok bermain sendiri-sendiri. Secara umum mereka nggak terlalu diperhatiin, lebih sibuk sama gengnya masing-masing."
"Ganesha?" tegur Bu Restu, memotong penjelasanku.
"Strata tiga, anak yang biasa-biasa aja. Mereka nggak pengen diperhatiin dan nggak banyak juga yang merhatiin mereka. Biasanya mereka adalah anak-anak pendiem yang selalu nurut sama omongan guru. Kebanyakkan dari mereka adalah introvert yang biasanya cuma ramai di media sosial. Kehadiran mereka di sekolah antara ada dan tiada. Cuma temen deket mereka yang bakal sadar sama presensi mereka."
"Terakhir?"
"Anak-anak aneh. Mereka yang biasanya jadi korban perundungan dan jadi bahan ledekan temen-temennya. Lebih banyak yang nggak punya temen, tapi ada yang dijadiin temen cuma buat dikerjain sama strata satu. Beberapa dari anak-anak ini kelewat pinter secara IQ, tapi enggak diimbangin sama EQ. Jadi mereka emang susah bergaul," jawabku, menyerobot kesempatan Ganesha.
"Terus gimana strategi kamu nanti, Sari?" Bu Restu duduk dengan kaki kanan menyilang ke atas, membuat sepatu putihnya terlihat mencolok.
"Saya secara pribadi akan mencoba mengorek informasi dari level tiga dulu. Level empat terlalu mencolok. Sambil mencari informasi, saya akan mencoba berbaur dengan level satu," jawabku tanpa berpikir panjang.
"Cukup bagus. Kamu akan mudah berbaur di level satu. Coba pelajari lebih giat tentang mereka, lusa akan saya tanya. Kamu bisa buat kesan kalau kamu ke sekolah hanya untuk senang-senang dan menghamburkan uang, seharusnya akan lebih mudah setelah itu."
"Media sosial gimana, Bu?"
Bu Restu menggeleng. Rambutnya yang disanggul bergerak kesana-kemari. "Enggak usah. Saya setuju sama Leon, jangan berinteraksi dengan media sosial. Bahaya. Bilang aja kamu nggak punya. Akunnya cukup dipakai untuk memantau aktivitas mereka aja."
"Saya nggak perlu akun media sosial, kan?" tanya Ganesha. Cowok itu mengenakan kaos polo berwarna putih dan celana jins biru. Dadanya tidak terlihat sebesar ketika memakai kaos. Aku baru sadar sekekar apa cowok itu saat melihatnya membuka baju di kelas Kak Vano. Aneh, seperti melihat teman yang tiba-tiba keluar dari iklan susu L-men.
"Oh, perlu, dong! Kamu belum punya, kan? Saya bikinkan mau?" Guruku menjawab dengan antusias. Terlalu antusias malah.
"Eh, boleh sih, Bu."
"Kamu nggak mau pilih username sendiri, kan?" tanya Bu Restu. Aku agak curiga, tak biasanya guruku senyum-senyum sendiri. Rautnya senang sekali, seperti baru saja memenangkan undian uang senilai hasil korupsi e-KTP.
"Err nggak?" Ganesha terlihat tidak yakin. Ia mengirimkan tatapan khawatir ke arahku.
Bu Restu menepuk tangannya. Sudut bibirnya tertarik ke dua arah berlawanan. "Username pembesar-payudara nggak apa ya berarti?"
:::: o ::::
Dulu, di kelas spionase, Leon pernah bertanya keuntungan utama menyelundup ke dalam gedung di Indonesia. Saat itu, kami sedang gencar-gencarnya dilatih menembus pertahanan gedung mulai dari anjing galak, alarm, CCTV, hingga retina dan sidik jari. Teman-teman sekelasku menjawab dengan alasan bervariasi. Menurut Leon, yang benar hanya tiga jawaban. Satu, orang Indonesia terlalu pasrah dengan Tuhan. Kecuali golongan yang sangat kaya, pasti jarang ada yang mau memasang protokol keamanan yang berarti. Bersembunyi di garasi maupun kolong kasur tetap bisa lolos tak terdeteksi. Kedua, orang Indonesia terbiasa percaya dengan orang asing. Ada tukang parkir, pedagang kaki lima, tukang ojek daring, pengamen, semua bisa lewat tanpa ada yang memperhatikan. Tak heran teroris seringkali bersembunyi di kawasan padat penduduk. Ketiga, orang Indonesia punya obsesi tidak sehat dengan hal-hal berbau mistis. Bunyi mencurigakan lebih sering dianggap sebagai gangguan makhluk halus dibandingkan kemungkinan adanya penyusup. Baca doa, minta tolong dengan Tuhan, selesai.
Hari ini, Leon mengulangi pertanyaan yang sama. Pria itu masih sekeren biasanya, meski pengakuannya saban hari tentang misiku membuatku gundah lebih dari seminggu. Kemeja biru tua dengan lengan digulung, celana panjang cokelat muda, dan kacamata berbingkai oval membuat guruku lebih mirip artis papan atas daripada bekas agen intelijen aktif.
"Besok saya akan bagi kalian jadi dua sesi lagi. Ada beberapa keterampilan khusus untuk masing-masing target kalian. Di mana target kamu, Ganesha?"
"Staf kementrian? Pegawai struktural di sekolah?"
"Tepat. Kamu, Sari?"
Pria itu mengalihkan padangan ke arahku. Aku, yang langsung salah tingkah, membuang muka dan menggigit bibir. Wajah Leon memaksaku ingataknku kembali ke percakapan mengenai Mata Hari. "J-jejaring narkoba?"
"Iya. Sebetulnya jaringan narkoba sangat luas dan satu bandar bisa membawa ke bandar yang lain, bahkan kalau kamu jago kita bisa ke bandar Asia Tenggara. Tapi sejauh ini tugas kamu hanya sebatas bandar yang di Jakarta aja."
Kalau jago katanya. Padahal, kemarin dia secara tidak langsung bilang kalau pihak luar meremehkan statusku sebagai manusia dengan kelamin perempuan.
"Oh, iya. Oke."
Laki-laki itu berdiri, berbalik dan mulai menulis di papan tulis. Tulisan Operasi Percobaan berwarna putih terbaca di atas papan hijau. "Ayo dong, semangat! Jangan melas! Melas, malas, sama saja. Kalau kalian berhasil, saya jamin kalian nggak akan perlu daftar ke dinas manapun. Semua lembaga akan mengundang kalian. Kamu mau kemana, Nes?"
"TNI kayaknya, Yon." Wah, tebakanku tidak meleset. Pertemuanku dengan Ganesha mendekati angka nol begitu dia lulus.
"Kamu, Sar?"
Aku mengangkat bahu. Seperti anak kebanyakan, aku ingin mengikuti jejak orang tuaku. Meski begitu, aku sebenarnya belum pernah memikirkan topik ini matang-matang. "Enggak tau. Mungkin BIN."
"Bagus, bagus. Saya jamin kalian punya akses penuh ke sana. Syaratnya cuma satu. Jangan gagal. Siap, kalian?"
Kalau guruku bermaksud memotivasi, yang kurasakan justru sebaliknya. Beban yang kupikul semakin hari semakin berat. Takut, khawatir, dan firasat tidak enak bahwa aku pasti gagal terus menghantui. Sampai kelas selesai, pikiran menyesatkan itu juga tak mau minggat dari benakku.
"Kenapa sih sekolah milih kita buat ngejalanin misi ini?" tanyaku saat sudah berada cukup jauh dari kelas spionase.
"Karena mereka yakin kita mampu." Ganesha menjawab dengan cepat.
"Sok tau kamu. Emang kamu yakin kamu mampu?"
"Nggak mungkin sekolah dengan sistem dan guru seganas sekolah kita bisa salah pilih orang, kan? Aku bilang mereka yang yakin, bukan diriku sendiri," belanya.
Aku melepas napas. Pikiranku kacau. Kuacak rambutku yang kini tergerai sebahu. Sedikit lagi kami akan sampai di asrama. Cukup menyusuri aula, lalu berpisah di dekat air mancur.
"Kalo kamu gagal gimana?" tanyaku lagi.
"Ya berarti aku harus terima konsekuensinya. Toh sama aja setelah lulus dari sini kerjaan kita nggak akan jauh dari misi ini. Menurutku, gagal atau nggak itu pilihan. Apapun yang kamu pilih, pasti ada konsekuensinya. Paling eggak, kita udah nyoba yang terbaik. Jadi kalo gagal ya, gagal dengan terhormat."
Aku tertawa hambar. "Aku nggak pernah percaya sama kalimat gagal dengan terhormat. Indonesia enggak mengenal kata gagal dengan terhormat. Orang gagal di sini dibully, dicacimaki, dilupain semua keberhasilannya. Apalagi dunia intelijen, gagal berarti tamat. Ta-da. Enggak ada lagi lanjutannya."
Ganesha berhenti melangkah. Mau tak mau, aku pun mengikuti. Lampu-lampu di sekeliling kami sudah mati, tersisa lampu secukupnya di lorong dan dekat tangga. Cowok itu berbalik, kemudian menarikku untuk duduk di salah satu kursi dekat aula.
"Kamu takut gagal," simpulnya. Kami duduk bersebelahan di atas dua kursi identik, terpisah oleh sebuah meja kecil. Sepanjang mata memandang, ragam etalase berisi kesenian, piagam, dan piala memenuhi penglihatan. Dahulu, menjadi siswa di sekolah dengan penghargaan sebanyak itu membuatku membusungkan dada. Sekarang, kilauan tiap-tiap bingkai dan piala hanya mengingatkanku akan tingginya standar kompetensi yang diterapkan di sini. Aku merasa sekecil dan sehina gumpalan debu.
"Aku awalnya nggak mau ikut seleksi misi pertama. Aku takut ngecewain banyak orang. Coba liat aja kamu, semua bisa kamu kerjain. Lah aku? Nge-hack situs pemerintah aja lama banget. Ada banyak siswa yang lebih pantes dari aku. Harusnya mereka pilih yang lain aja."
"Perfeksionis, ya? Kayaknya aku ngerti kenapa Leon seneng sama kamu. Kamu latihan lebih keras dari semua orang karena kamu selalu merasa yang kamu punya belum cukup. Aku sering denger anak tingkat menengah muji kamu, aku yakin kamu juga sering denger. Tapi pujian itu malah bikin kamu tertekan. Iya?"
"Jangan sok-sok analisis aku. Kamu bukan psikolog." Dadaku memanas, tidak setuju dengan teori asal yang ia jelaskan.
Ganesha tersenyum tipis dan berdiri. Cowok itu menawarkan tangannya. Dengan enggan, kuterima ajakannya untuk bangun. Keningku berkerut-kerut heran.
"Iya, maaf kalau aku salah. Intinya, apapun masalah yang ada di misi nanti, kita bakal hadapin itu sama-sama. Takut itu wajar, Sar. And it's okay. I've got your back, always," ujarnya sebelum merengkuh tubuhku dengan sebelah tangan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro