Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 11: PENANTIAN TAK DINANTI

P E N A N T I A N

T A K

D I N A N T I

Genap enam hari semenjak gencatan senjata disetujui. Dengan bangga, aku mengumumkan bahwa tubuh ini masih bernapas, meski tiap hari dibentak Leon dan Kak Vano. Ganesha juga untungnya masih hidup, meski tiap hari aku punya dorongan untuk menggantungnya di pohon tauge.

"Apa salah satu dari antara kalian berdua termasuk anak-anak yang pernah meretas situs Kominfo?" tanya Pak Say. Aku menggeleng. Daridulu IT bukan keahlianku, aku bisa sebatas standar kompetensi tetapi tidak pernah tertarik untuk mengembangkan kemampuan tersebut, kebalikan dari Ganesha yang langsung mengangguk dengan semangat. Kesimpulanku hari ini sudah bulat, Ganesha dulu suka menyerobot antrian manusia saat Tuhan membagi jatah. Demi hewan ternak Nusantara, aku belum menemukan aspek yang cowok itu tidak bisa. Dia cuma kalah elastis waktu kami dilatih merangkak melalui pipa ventilasi.

"Wah, kamu belum pernah coba, Sari? Keamanan IT di Indonesia termasuk yang paling mudah dibobol, lho. Situs pemerintahan enggak terkecuali."

Cengengesan, tersisa itu perisai terbaikku. "Hehe. Maaf ya, Pak."

"Saya maafkan. Coba, sekarang saya mau kalian meretas situs SMA XY Madiun. Edit salah satu artikel yang dipost." Mataku melirik Ganes. Cowok itu langsung sibuk dengan layar di depannya. Aku mengikuti, melakukan langkah yang pernah diajari Pak Say saat tingkat awal. Untuk tugas yang mudah seperti itu, ada berbagai opsi yang tersedia. Aku pun memilih untuk menembus keamanan di situs SMA XY dengan mengedit HTML dan JavaScript. Layar putih dengan paduan biru menyambut mataku, disertai foto-foto kegiatan sekolah langsung memenuhi situs. Di bawahnya, ada beberapa artikel dengan tajuk BERITA TERBARU. Aku mencari salah satu artikel yang paling tua dan mengetik beberapa kode di papan ketik. Begitu berhasil masuk, aku memindai artikel yang ada di layar dengan cepat. Bingung harus mengganti apa, aku pun memilih mengganti nama penulis dari dari Airlangga Bagastama menjadi Saiton Paling Ganteng dan menunjukkannya pada Pak Say.

Guru bernama Saiton itu memerhatikan layarku sepersekian detik. Kemudian aku langsung ditinggal, entah karena dia marah karena aku mencantumkan namanya, atau karena dia senang dipuji tampan.

"Oke, sudah, ya. Sekarang coba buka situs nilai sekolah. Pilih pelajaran IT, ubah nilai kalian naik satu angka." Bibirku membentuk cengiran kuda. Ini baru seru. baru seru. Meretas situs kami sendiri belum pernah diajarkan ataupun diperbolehkan sebelumnya. Aku dengan semangat mengetik alamat situs Nusantara di kolom alamat, seraya menunggu Pak Say selesai menjelaskan.

:::: o ::::

"Helloow gaeessssss! Gimana nih, udah siap belom sama kelas hari ini?!"

Aku melongo. Wanita paruh baya di hadapanku selalu mengajarkan kami tata krama, terutama aturan masyarakat yang berlaku tiap daerah. Harus sopan, harus sabar, beberapa daerah juga harus sungkan. Pokoknya dia bilang, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Beliau bisa menirukan budaya di kesultanan dengan sempurna, mengapa hari ini ia malah bertransformasi menjadi remaja kebelet gaul?

"Markindang kita belajar bahasa gawl ciwi-ciwi canci Ibukota. Unch, unch! Siapa yang udah nggak sabar?!"

Mulutku menganga, terbuka semakin lebar. Bukan saja Bu Restu tidak memakai blazer hitam andalannya, guru itu juga mengenakan ripped jeans yang bolong gede di lutut dan kaos hitam dengan tulisan KZL.

"Ibu kenapa?" Suara Ganesha, mewakili pertanyaan yang sama di kepalaku.

"Lol. Kenapa apanya, Beb?" Guru berumur dengan dua helai uban itu bertanya balik.

Ganesha menggaruk rambut hitamnya yang kini mulai panjang. "Enggak kayak Bu Restu biasanya."

"Ciyuuuuuuuuuuss? Miapah? Miayam? Mioleng??"

Aku menepuk wajahku dengan telapak tangan, menyerah melihat kelakuan Bu Restu.

"Ibu, dengan enggak mengurangi segala hormat saya sama Ibu, saya jujur bingung kalo Ibu ngomongnya kayak gitu," tegurku pada akhirnya.

Bu Restu memandangi kami berdua bergantian. Aku mencuri pandang ke arah Ganesha. Cowok itu menangkap mataku sebelum mengangkat kedua bahunya. Kemudian wanita itu tertawa lepas. Persis seperti Ganesha saat aku menceritakan tentang semua kekesalanku padanya.

"Kalian kaget, ya?"

Tak ada satupun dari kami yang menjawab. Aku yakin, wajah memelasku sudah lebih dari cukup. "Jangan kaget, dong. Kan nanti kalian yang bakal berhadapan sama bahasa gaul kayak gitu. Nih, biar nggak makin ilfeel sama Ibu, Ibu udah bikinin soal yang harus kalian isi. Waktunya setengah jam, ya. Abis itu kita coba gunakan kata-kata yang ada di soal di dalam kalimat sehari-hari." Tanganku menerima dua lembar kertas yang diberikan Bu Restu. Aku membaca soal nomor satu, yakin kalau soal-soal ini tidak akan sesusah soal seleksi misi pertama kemarin.

1. Bahasa gaul "santai kali"

a. slow ae
b. woles keles
c. sans bor
d. selo dong

2. Tempat paling hits buat nongki

a. mall
b. jamban
c. warung rokok
d. kamar gebetan

3. Sosmed yang paling gampang dapet followers

a. instagram
b. ask.fm
c. snapchat
d. wattpad

Begitu sampai nomor lima, aku menyerah. Soal ini menyadarkanku kalau susah memiliki dua definisi. Definisi pertama, susah karena memang susah. Definisi kedua, susah karena tidak masuk akal. Sampai detik ini, aku tidak paham apa korelasinya belajar bahasa abstrak dengan misiku nanti. Apa iya aku bakal ditempatkan di suatu komunitas yang orang-orangnya mau ngomong hurufnya harus dibalik-balik dan disingkat-singkat? Ribut jadi tubir? Santai jadi woles? Males gerak jadi mager? Bahasa yang sungguh janggal. Apa jangan-jangan aku emang udah terlalu lama dikurung di Nusantara sampai tidak tahu kalau Bahasa Indonesia sudah seaneh ini? Terus apa gunanya aku belajar Ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar?

"Ssssh Sari!" Lamunanku terpecah. Aku menoleh ke arah Ganes. Kemudian mengangkat kedua alisku sebagai respon.

"Takis Entertainment apaan?" tanya Ganes setengah berbisik. Aku mengangkat bahu dan kembali ke kertasku sendiri dalam diam. Peduli setan dengan Takis apalah itu.

:::: o ::::

"Udah seminggu, Nes. Menurutmu hari ini Leon bakal ngasih tau misi kita?" Aku mencocol cireng goreng ke dalam sambel rujak. Ini sudah porsi cireng rujakku yang ketiga selama seminggu.

Di seberangku, Ganesha menyuapi dirinya dengan nasi yang dicelupkan ke kuah rawon. "Bisa jadi? Enggak tau, ya. Aku enggak pernah mikirin itu. Aku malah lebih penasaran, kenapa kamu makan cireng terus?"

"Jawaban jujur ato jawaban boong?" Aku bertanya balik.

"Jawaban jujur, lah. Masa jawaban boong."

Tanganku bergerak ke tengah meja, mengambil dua lembar tisu untuk mengelap bibirku yang terkena sambal. "Kalo jawaban jujurnya, aku kangen rumah. Mama suka goreng cireng pake sambel rujak kayak gini di rumah. Karena aku enggak bisa pulang, mau enggak mau kangenku cuma bisa dilampiasin sama cireng ini." Salahku memang dari awal terlalu dekat dengan Mama. Padahal nanti akan tiba waktunya aku harus melepas semua anggota keluargaku, lalu menghilang dan menghapus identitasku di negara sendiri.

"Oalah. Mamamu orang Indonesia?"

"Iya, orang Jawa. Dia alumni sini," jawabku singkat.

"Oh. Pantesan namamu gitu."

Dahiku mengernyit. Baru kali ini Ganes menyinggung-nyinggung nama. "Gitu gimana?"

"Saritem Widyastuti? Eggak Jerman sama sekali."

"Oh, itu. Aku kira kamu enggak bakal nanya," balasku sambil mengunyah. "Saritem itu nama nenekku. Mama bilang aku lahir enggak lama setelah nenek meninggal. Jadi dia kasih nama Saritem. Widyastuti itu bahasa Jawa. Artinya dharma bakti, berilmu pengetahuan, dipuji. Kalo nama Jerman, sebenernya ada. Tapi entah kenapa pas namain aku dulu Mamaku enggak mau, padahal semua adekku punya nama Bauersfeld di akhir nama mereka. Mungkin dia udah bisa nebak kalo aku bakal sekolah di sini? Jadi dia ngerasa enggak perlu ngasih label keluarga di namaku?"

"Oh, iya? Jadi sebenernya nama asli kamu Sari Bauersfeld?" Ganes mengulum senyuman di bibirnya.

"Sari. Saritem. Mau Widyastuti mau Bauersfeld sama aja. Toh nanti aku juga enggak akan pake nama itu, kan? Aku bakal idup pake identitas palsu dan namaku sendiri bakal diapus seolah-olah enggak pernah lahir."

Tak ada tanggapan yang keluar dari bibir Ganesha, hanya senyuman tipis ditemani gelengan kepala. Karena sedikit lagi kelas mulai, kami segera menyudahi sesi makan malam. Lima menit kemudian, kakiku pun sudah mejajaki ruangan bercat hijau kamuflase sebesar 10x12m seperti hari-hari biasanya. Seminggu terakhir, tidak ada perubahan dengan jadwalku di kelas spionase. Selalu habis makan malam dan selalu menggunakan tiga kursi kayu kuno untuk tiga orang. Hanya posisinya saja yang sering berpindah. Hari ini, ada perbedaan. Di meja kami berdua sudah ada map cokelat dengan lambang Nusantara. Dan sebelum kami duduk, Leon sudah mulai berbicara, "Satria Adi Wijaya, duapuluh tiga tahun, berasal dari Jakarta. Satria adalah seorang guru Bahasa Inggris yang baru lulus dari Universitas Negeri Jakarta."

Butuh beberapa detik bagiku untuk memahami maksud Leon. "Ia merupakan salah satu lulusan terbaik di jurusannya. Kamu Ganes, atau Satria, diminta untuk menggantikan seorang guru Bahasa Inggris yang izin cuti melahirkan. Kami sengaja menempatkan kamu di kelas 11 dan 12 untuk mempermudah tugas kamu. Silakan dibaca berkasnya."

Tanganku dengan semangat mengambil berkas tebal di meja. Senyumku mengembang. Akhirnya. "Sedangkan Sari adalah Eva, perempuan berumur 17 tahun. Ayahmu berkebangsaan Amerika dan ibumu adalah orang Indonesia yang lahir di Tasik. Sekarang, kamu dan kedua orang tuamu berstatus WNA."

Suara Leon hilang timbul di tengah perhatianku yang terfokus potongan kata di kertas. "Kamu lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat, tepatnya di Arizona. Kamu terpaksa kembali ke Indonesia karena ayahmu ditugaskan mengisi jabatan di Kedutaan Besar Amerika Serikat. Perlu dicatat kalau kamu tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia dan kamu memiliki aksen Amerika. Kamu akan ditempatkan di kelas 11 sebagai anak baru." Ya, Arizona berada di wilayah yang lebih panas, hampir tidak pernah ada salju di sana. Mungkin pilihan itu dipakai untuk mencocokkan latar Eva dengan kulitku yang sedikit menggelap.

"Ada pertanyaan?"

Aku mendongak. "Saya dan Ganes masuk bersamaan? Bukannya akan menimbulkan kecurigaan?"

"Pertanyaan bagus, Sari. Jawabannya tidak. Kamu akan masuk lebih dulu, tepat ketika semester dua dimulai. Ganesha akan masuk dua bulan kemudian." Leon duduk dengan kaki menyilang. Mata biru miliknya hari ini tidak dilapisi bingkai cokelat.

"Terus saya nunggu sebulan di sini?" Giliran Ganesha yang bertanya.

"Ya dan tidak. Kamu akan menunggu satu bulan setengah, tapi di sebuah rumah yang kami pinjamkan beberapa kilometer dari SMA ini. Di sana akan disediakan laptop dan peralatan lain yang bisa memudahkan kalian mengerjakan tugas. Apakah cukup jelas?" Ganesha mengangguk.

Aku kembali membaca berkas di tangan. Di bawah beberapa paragraf berisikan latar belakang dan peraturan tentang misi pertama—atau Operasi Percobaan, jika merujuk judul di kertas—tertera poin-poin penugasan. Alisku bertaut. Tidak ada nama Ganesha dari halaman awal hingga akhir. "Jadi saya dan Ganesha kerja bersama dengan misi yang berbeda?" Hanya itu kesimpulan yang bisa kutarik.

"Benar. Kalian punya tujuan berbeda. Tapi kalian harus tetap saling membantu karena tidak ada bantuan dari pihak sekolah." Pria itu lantas menyodorkan sepasang ponsel canggih dan sepasang ponsel jadul ke mejaku dan Ganesha. "Gunakan alat ini dengan bijak. Minimalisir interaksi dengan ponsel, kalian tahu betapa meretas informasi lewat alat ini," perintah pria itu.

"Berarti kami juga tidak melaporkan ke sekolah dengan alat ini?" Pertanyaan Ganesha menyahuti penjelasan Leon. "Ada agen yang ditempatkan di sana setiap hari. Semua perkembangan kamu laporkan melalui agen itu. Lebih detailnya bisa kamu baca di dalam map," tukas guruku.

Mataku memindai sederet goresan hitam di atas putih. Ada beberapa kalimat yang lebih tebal dari kalimat lain. Sebagian besar berbentuk angka. "Durasinya enam bulan?"

"Durasi untuk Sari enam bulan, dari BNN. Untuk Ganesha, sebelum Ujian Nasional dimulai, dari Kemendikbud. Apakah masih ada pertanyaan?" Aku membalas tatapan guruku, kemudian melirik ke arah Ganesha. Di sana, ada kesamaan di antara mereka yang selalu membuatku iri. Emosi mereka jauh lebih terkontrol, kadang hampir tak tampak sama sekali. Leon apalagi, hanya dua ekspresi yang pernah kulihat di wajahnya. Netral, ini yang paling sering. Lalu marah, yang selalu terlihat di gimnasium.

"Data yang ada di sini? Apa bisa ditelusuri?" Aku kembali bertanya.

Guruku mengangguk kecil. "Bisa untuk Ganesha. Tapi datanya hanya akan bertahan enam bulan di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Untuk Sari, datamu tidak akan bisa ditelusuri di Kedutaan Amerika. Jadi, saya mohon dengan sangat untuk berhati-hati. Sekarang kalian bisa buka handphone kalian."

Aku menuruti perintah Leon. Layar ponsel dengan lambang apel termakan itu bersinar terang. Jemariku memberi sentuhan lembut, sebagai balasan, ponsel pinjaman Nusantara menampilkan beberapa aplikasi media sosial. "Instagram, Snapchat, LINE, Whatsapp?"

"Punyaku enggak ada Snapchat," sahut Ganes.

"Buka Instagramnya, Sari," perintah Leon, mengabaikan protes yang dilayangkan Ganesha. Segera, kusentuh lambang persegi berwarna ungu itu. Mataku menyipit ketika menemukan profil instagram yang tidak pernah kubuat. Berdasarkan informasi di layar, nama penggunaku adalah peninggi.pelangsing.herbal71.

"Peninggi pelangsing herbal 71?" tanyaku bingung.

"Iya. Itu nama akun spam yang banyak beredar di Indonesia. Kode sandinya ada di dalam map. Kamu juga bisa lihat akun yang kamu ikuti, semua adalah calon teman seangkatanmu. Saya sarankan untuk mempelajari profil mereka satu-satu. Tapi jangan sampai salah pencet, nanti mereka balik membuka profil kamu. Oh, kamu juga tidak boleh berinteraksi dengan akun lain."

"Punya saya masih kosong?" Suara Ganes seakan memprotes perhatian yang Leon berikan padaku.

"Hanya Sari yang memiliki akun instagram. Aplikasi yang lain masih kosong. Kalian baru akan pergunakan ketika menjalankan misi nanti. Masih ada pertanyaan?"

Aku dan Ganes terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. "Baik. Silakan baca semua data yang kami berikan dengan teliti. Sudah ada protokol lengkap dan sanksi di sana. Di halaman terakhir, kalian wajib tanda tangan di atas materai. Materainya sudah disediakan di dalam map. Tanda tangan paling lambat dikumpulkan hari Senin. Ada pertanyaan?"

Aku memasukkan semua berkas yang kekeluarkan kembali ke dalam map. Kupeluk map itu dengan kedua tangan. "Kalau kami gagal apa akibatnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro