Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Wanita itu datang selang beberapa saat. Flavie mengembangkan senyumnya ke arah wanita itu. Dia melihat bagaimana Sheva terkejut melihat pria yang sedang bersamanya. Ada kecanggungan di wajah cantik Sheva saat matanya bertemu dengan mata coklat milik pria itu.

"Okay, sepertinya yang kau cari sudah datang. Dan --aku harus pergi sekarang," ucap Flavie berusaha memecah keheningan.

"Vie?" panggil Sheva gugup saat Flavie beranjak dari duduknya.

"Hm? Aku --harus melanjutkan novelku, Sheva. Please, aku gagal terbit musim ini. Dan aku tidak mau melewatkan musim besok. Okay?"

"Tapi?"

Flavie mengembuskan nafasnya. Sejujurnya dia masih ingin di sini, menggali informasi tentang pria itu sebanyak mungkin mumpung dia bertemu dengan pria itu untuk bahan ceritanya. Tapi --dia berpikir, nanti saja. Karena Sheva lebih merindukan pria ini.

"C'mon...," Flavie membungkukkan badannya dan berbisik di telinga wanita itu, "Aku tahu kau merindukan pria ini. Jangan membuang-buang kesempatan yang kuberi. Dia datang ke rumahku tiba-tiba. Dan aku tidak tahu dia akan datang lagi atau tidak. Kau mengerti?"

"Oh? Okay..., aku...."

"Selamat bersenang-senang," ucap Flavie sambil mengedipkan matanya kemudian melangkah pergi. Ia sempat mendengar pria itu memanggilnya tapi ia mencoba untuk mengacuhkannya. Dia milik Sheva dan Flavie sudah punya sendiri.

"Nona Flavie!"

Suara dingin berseru memanggilnya membuat Flavie berhenti mendadak. Terdengar suara langkah mendekat. Hidungnya mulai mencium wangi parfum yang dia kenal. Kenapa ada dia di sini? Ah, dia selalu ada dimana-mana. Sebenarnya apa yang dia kerjakan sehari-hari?

"Ikut aku!"

"Ah? Kemana?" tanya Flavie bingung ketika Levine menarik tangannya. Terasa begitu hangat dan lembut. Kulitnya halus seperti tangan perempuan.

Pria itu tidak menjawabnya. Dia terus menggenggam tangan Flavie menuju ke mobilnya. Di dalam mobil sudah menunggu sopirnya yang seorang Pak Tua. Flavie lupa siapa namanya.

"Jadi kau sudah bertemu dengan pria yang kau cari?" tanya Levine datar.

"Iya. Memangnya kenapa?" Flavie menyipitkan matanya, menoleh menatap pria itu.

"Kenapa? Aku kan sudah berjanji akan membantumu!"

"Masalahnya aku tidak mencarinya. Dia datang sendiri ke flatku. Terus kenapa?"

Dilihatnya Levine memejamkan matanya erat. Ia sedikit menggeram lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Flavie sedikit terkejut dengan reaksi pria itu. Apa yang salah darinya?

"Bagaimana dia bisa tahu alamat flatmu?" Dia mengembuskan nafasnya singkat. Matanya menatap lurus Flavie.

Sebenarnya Flavie agak takut mendapat tatapan seperti itu dari seorang Levine. Dia benar-benar membuat Flavie merasa bersalah dengan sebuah kesalahan yang ia tidak tau dimana letaknya.

"Aku tidak tahu. Terus kenapa kamu di taman? Bukannya kamu seharusnya berada di kantor?" tanya Flavie menatapi Levine penuh tanya.

"Ada urusan. Tadi sekilas aku melihatmu. Dan ternyata benar."

Entah memang benar atau hanya perasaannya saja, Flavie merasa nada bicara Levine datar dan singkat. Flavie terdiam sibuk memikirkan kesalahan apa yang membuat pria ini jadi dingin padanya. Tapi kemudian dia terkejut dengan ucapan Levine.

"Okay, lupakan!"

Flavie menegakkan wajahnya. Dia menoleh menatap Levine. Sedikit berdesir saat melihat pria itu mengembangkan senyum tipisnya.

"Lupakan?" tanya Flavie mengernyit.

"Aku akan membawamu ke rumahku untuk mengambil laptopmu. Tentu kau membutuhkannya kan? Untuk melanjutkan novelmu."

Flavie membulatkan matanya. Dia --benar-benar aneh. Tadi begitu dingin sekarang suaranya sangat lembut seperti biasanya. Ia sedikit gelagapan saat tangan besar Levine mengusap pelan puncak kepalanya. Ada rasa hangat yang menjalar tiba-tiba di dalam tubuhnya. Flavie hanya bisa tertunduk menyembunyikan rona merah pipinya.

"Apa tidak apa-apa?" tanya Flavie pelan, mengangkat wajahnya.

Pria itu mengangkat alisnya sebelah sambil menyunggingkan senyum menawannya.

"Memangnya kenapa?"

"Ummh --tidak."

Flavie mengatupkan rahangnya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba diserang gugup. Padahal Levine tidak melakukan apapun padanya. Hanya berdekatan saja sudah menimbulkan efek yang begitu dasyat.

"Tenang saja. Di rumah tidak ada siapapun," ucap Levine seakan menjawab pertanyaan yang bermain di kepala Flavie.

"Oh?" Flavie menatap pria itu.

"Hm. Mereka sedang sibuk."

"Yakin?"

"Tentu saja. Tidak usah gugup begitu. Kalaupun mereka ada, keluargaku tidak akan memangsamu."

Flavie hanya meringis lebar tidak tahu harus menjawab apa.

"Kau sudah mendapatkan idemu?" tanya Levine tiba-tiba setelah beberapa saat lamanya keduanya terdiam.

Flavie menoleh sedikit terkejut. Perlahan kepalanya menggeleng.

"Belum. Tapi setidaknya aku bisa mendapatkan karakter kuat tentangnya."

Dilihatnya Levine menaikkan alisnya sebelah bermakna mengapa. Flavie menjawabnya dengan mengedikkan bahunya.

"Kau bilang kau akan membantuku," ucap Flavie mengingatkan pada pria itu tentang janjinya.

"Kupikir kau sudah tidak membutuhkan bantuanku."

"Tapi kan kau sudah berjanji!" Flavie melemparkan tatapan sebalnya pada pria itu.

Tangannya bergerak memberikan cubitan ringan pada lengan pria itu. Entah kenapa dia menjadi sedikit berani pada pria itu. Sampai kemudian terjadilah keributan kecil disertai derai tawa dari keduanya.

"Okay! Okay! Aku akan membantumu." Levine sedikit berteriak diantara tawanya saat Flavie bukan hanya mencubiti lengannya tapi juga menggelitiki pinggangnya.

"Janji?" tanya Flavie menahan tangannya di udara.

"Ya. Janji. Dan tolong hentikan serangan sialanmu."

"O-kay. Aku hentikan."

Baru selesai berucap, Flavie kembali menjengit keras ketika pria itu menariknya hingga terjatuh di atas tubuh pria itu. Dia tertawa keras dan menggelinjang kuat karena ternyata pria itu membalasnya, menggelitiki tubuhnya. Dia hanya bisa memberontak tanpa bisa membalas karena satu tangan pria ini mengunci kuat kedua tangannya.

"Astaga! Levine! Hentikan, please!!"

"Memohonlah."

"Noway!!"

"Yakin?"

"Levine!!!" teriak Flavie tak bisa menahan rasa gelinya. Apalagi pria itu semakin intens memberikan serangan-serangannya.

"Okay, please...."

"Apa?"

"Hentikan, please..., Tuan Levine yang terhormat."

"Sekali lagi."

"Tuan Levine yang terhormat. Apa perlu aku menuliskannya dengan huruf kapital?"

"Boleh. Jika kau ingin kugelitiki lebih lama lagi."

"Okay. Tidak, cukup sekian."

Dan tawa itu terhenti ketika Flavie menyadari bahwa pria ini tidak pernah tertawa serenyah ini sebelumnya, sejauh Flavie mengenal pria ini. Dilihatnya pria itu menatapnya dalam-dalam seakan mencari sesuatu dalam diri Flavie. Ini tidak lucu. Setelah tertawa, wajahnya bisa kembali serius seakan tidak pernah tertawa sebelumnya. Dia adalah pria teraneh dari sekian pria yang Flavie kenal.

"Kenapa kau menatapku seperti ini? Ada yang aneh?" tanya Flavie mengernyit.

"Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau menatapku seperti ini?"

"Seperti apa?"

"Ada yang aneh denganku?" tanya Levine menaikkan alisnya.

Flavie tidak menjawab. Hanya matanya tak lepas dari mata Levine. Tapi kemudian dia mengerjabkan matanya sambil berbatuk kecil menutupi kegugupannya saat Levine menjentikkan jarinya di dahi Flavie.

"Lucu dan menggemaskan."

"Apa?" tanya Flavie menoleh seketika.

"Untung saja kau tidak mendengar," sahut Levine memberinya senyuman misteriusnya. Tapi meskipun itu senyuman misterius tetap saja terlihat mempesona di mata Flavie. Dia jadi penasaran setampan apa ayahnya pria ini dan secantik apa wanita yang sudah melahirkan pria tampan ini. Sungguh sebuah perpaduan yang sangat sempurna.

"Aku tahu aku tampan."

Tapi menyebalkan! Dia terlalu percaya diri, decak Flavie dalam hati. Tanpa sadar dia memutar mulutnya.

"Memangnya ada yang lebih tampan dariku?" goda Levine sambil memainkan alisnya.

Astaga! Aku tidak tahu kenapa dengan diriku. Dia sedang menggodaku dan seharusnya aku marah. Tapi aku malah jadi salah tingkah! Rutuk Flavie dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ada!" sahut Flavie cepat. Jawaban di luar kendalinya.

"Oya? Sebutkan siapa namanya."

"Ti-dak tahu." Flavie menggelengkan kepalanya. Dia menjadi menciut ketika melihat Levine memberinya tatapan seriusnya. Begitu mengintimidasi siapapun yang berniat menentangnya.

Dan aku tahu. Adalah Jason Junior, kakakku. Dia adalah pria tertampan kedua setelah Daddy tentu saja. Aku sempat cemburu padanya karena kamu terlihat begitu tertarik padanya. Tapi itu tidak beralasan. Levine terdiam, berkata dalam hati sambil menatap gadis di hadapannya yang terlihat sedikit takut dengan tatapannya. Kemudian Levine tertawa kecil.

"Kenapa harus takut? Apa aku begitu menyeramkan?"

"Tidak. Tentu saja. Tidak."

"Hm? Okay, sudah sampai. Sebaiknya kau tunggu di sini. Aku akan masuk sebentar kemudian kita akan ke perpustakaan kota untuk melanjutkan ceritamu."

"Benarkah? Jadi --kau serius akan membantuku?" tanya Flavie dengan mata berbinar-binar.

"Hm? Bagaimana?"

"Okay. Aku --berterima kasih banyak padamu."

"Apapun itu buatmu. Tunggu sebentar!"

Dia benar-benar akan membantuku! Oh, Tuhan!! Ini --benar-benar hari yang baik, gumam Flavie dalam hati dengan gembira. Matanya tak lepas menatapi punggung Levine yang berjalan memasuki rumah besar bernuansa putih yang terlihat begitu teduh karena dikelilingi pohon-pohon itu.

***

Tbc..

Fiiuuhh akhirnya bisa melanjutkan ini meskipun agak berantakan karena feel yang kurang masuk buat saya..

maaf menunggu lama..

26

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #chicklit