Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB IV - 2

"Aku tidak bisa melihat apa-apa. Raihan pun sama.

"Bisa kau bacakan kah apa katanya?"

"Halaman itu mengatakan, 'Aku akan membongkar dia! Aku akan membongkar dia!'" baca Komang dengan terbata-bata. Suaranya begitu kecil karena rasa takut dan badannya yang masih lemah dari dua kejadian sebelumnya.

"Maaf kali Komang, aku tahu kau lelah kali karena yang telah terjadi padamu. Tapi, boleh lanjutkan kah bacanya?

"Mungkin halaman itu akan menyebutkan info untuk kita?"

Komang hanya bisa menelan ludah. Dia tidak mengangguk mengiyakan, namun dia melanjutkan membaca halaman itu. "'Pembina Wisma 17. Pembinaku.'"

Mendengar bacaan Komang, aku menghela nafas pasrah. Aku hanya bisa berserah pada pada informasi itu.

Aku mengusap kepalaku, berharap tanganku bisa menghapus rasa pening yang perlahan merangkak. "Jujur..., aku tidak mau percaya info dari sumber..., apalah ini..., sumber mistis, ghoib, pudding. Tapi, cuma itu sumber yang kita punya dan yang bisa baca hanya kau pula Komang.

"Juga, walau aku tidak mau mengakuinya, pengalamanku di Kalimantan berkata lain. Banyak orang sana yang make kuasa-kuasa mistis untuk membantu kebutuhan mereka. Hasilnya ada pula.

"Hhaa...h, malas kali aku bah kalau sudah mistis terlibat," tutupku sedikit kesal.

"Jadi, lanjut?" tanya Raihan kepadaku.

"Kita lanjut. Kita tanya-tanya dulu para pembina dan guru tentang Wisma 17 dan siapa pembinanya. Mungkin kita bisa dapat info lebih supaya Komang ga kena..., kejadian apa lah ini," balasku kepada Raihan. Saat aku menjawab dia, emosiku mulai bergejolak, aku pun mengangkat tanganku secara reflek seakan ingin mengangkat permasalahan ini ke udara.

"Kira-kira," sambung Komang dengan suara lemasnya. "Aku boleh ikut membantu juga?"

"Ga usah!" tegasku. "Kau udah cukup melakukan hal banyak. Kau istirahat saja dulu! Aku yakin kau pun lelah saat membaca halaman itu kan?"

Komang hanya merunduk mengiyakan.

"Udah ku tebak. Tiap kali kau berinteraksi dengan pudding mistik ini, kau keliatan macam habis lari tiga kilo."

Senyuman tidak nyaman keluar dari wajah Komang. Dia tahu jelas yang aku bilang kepadanya adalah benar.

"Biar aku dan Raihan aja yang cari tahu. Kau, kau...," lanjutku menahan rasa tidak nyamanku. "Aku minta maaf kali kawan, tapi kau bisa bantu kami dengan membaca halaman catatanku lagi di lain waktu saja.

"Kami tidak bisa berinteraksi dengan dunia sana. Ok?"

Komang kembali mengangkat kepalanya dengan senyum perih. Senyuman itu disusul oleh jempol yang terangkat lemas, mengindahkan permintaanku.

"Kita bantu," balas Raihan.

"Eiii! Akhirnya kau nyebut subjek kalimat," guyonku menyambut kata-kata Raihan. Aku berupaya untuk meringankan tensi yang masih menyelimuti Wisma Macan III.

Raihan hanya tersenyum.

"Ya sudah. Kau rehat sana. Biar aku dan Raihan berangkat mencari tahu," lanjutku meyakinkan Komang.

***

Langit sore tiba memayungi jalan-jalan yang mengitari kompleks SMA Abdi Negeri. Di bawah payung itu, aku dan Raihan mulai berjalan meninggalkan Ruang Persaudaraan, berjalan menuju ruang kelas. Kami berjalan menopang ransel kanvas yang berisikan peralatan belajar malam masing-masing.

"Sekarang, kita harus mencari tahu apa itu Wisma 17 sama siapa Pembina dan Walinya di saat itu.

"Kau ada ide Rai?"

Raihan menelan kata-kataku dan memprosesnya seiring dia menghadap aspal yang kami injak.

Kemudian, dia mengangkat kepalanya dan menghadapku, "Tanya wali?"

"Wali kita?"

"Ya."

"Bisa sih... Ayo sudah kita berangkat ke sana," balasku mengiyakan.

Aku dan Raihan berbalik kanan dari jalan yang kita lalui. Kami berdua yang telah berjalan melalui G.O.R. kampus, mendekati gedung kelas, berbalik untuk menempuh perjalanan 750m. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai perumahan para guru.

Perumahan para guru SMA Abdi Negeri berada di sisi terpinggir Kompleks SMA Abdi Negeri. Perumahan itu menjadi pengganti dari pagar kampus, mengawasi kami para siswa bagai sistem pengawasan elektronik, namun menggunakan mata guru.

Lalu aku teringat, "Eh, Rai, kau masih ingat kah wali kita siapa? Aku lupa?"

"Belum perkenalan. Insiden kemarin?"

"Lah! Iya iya," ucapku menepis jidatku sendiri. "Jadi gimana kita mau nanya?" lanjutku menghentikan perjalanan kami di atas aspal.

Raihan kemudian menghadapkan ranselnya kepada perut. Ia merogoh ke dalam tasnya dan mengambil sebuah buku kecil yang bertuliskan 'Buku Orientasi 2013.'

Lalu, dia mengepakkan halamannya hingga mencapai persebaran halaman yang berisikan tabel rumah para guru SMA Abdi Negeri.

Dia memindai setiap kolom tabel hingga dia menemukan informasi yang kita butuhkan.

Dia mendekatkan halaman itu kepada wajahku dan meletakkan jari telunjuknya pada satu kolom.

'G. 49. Jupriadi Handoko. Geografi/Geologi. Wali Wisma Macan III.'

"Sip..., lanjut kita jalan."

Raihan mengangguk dan kembali memasukkan buku orientasinya ke dalam tas.

Kami berjalan selama 10 menit hingga tiba di depan rumah wali kami.

Aku menarik nafas lalu menghadap Raihan, "Kau siap?"

Raihan hanya mengangkat bahu.

"Oke, cukuplah itu."

Aku mengambil langkah untuk berjalan kepada pintu Wali Wisma kami. Kemudian, aku mengetuk pintu beliau.

TOK TOK TOK!

"Permisi!" sahutku.

Sekali lagi.

TOK TOK!

"Sabar! Saya pakai kaos dulu!" sahut sang guru pemilik rumah dari dalam.

Beberapa detik setelah aku mendengar sahutan itu, pintu rumahnya terbuka. Dari celah pintu itu, aku melihat pembina wisma kami. Seorang yang tingginya kurang lebih 170cm-an dengan badan yang tirus. Wajahnya sedikit oval bagai buah pir dan berhiaskan janggut tebal di dagunya. Dia terlihat seperti imitasi kelas satu dari James Hetfield(2) yang dibuat di Indonesia.

Dengan suara tenornya dia menyambut aku dan Raihan. "Selamat malam siswa. Mengapa kalian mengunjungi saya malam ini? Ada keperluan apa?"

"Siap, selamat malam Pak Jupriadi," balasku mengangkat hormat kepada beliau sebagai salam. "Saya Otniel dan ini rekan wisma saya, Raihan. Kami berkunjung kar'na ingin mendiskusikan tentang Wisma Macan III pak? Ada waktu kah pak? Kira-kira?"

"Oh..., ya boleh-boleh...," balasnya dengan suara medog Magelang yang halus. "Mari-mari. Mau di dalam atau di teras siswa?"

"Em..., gimana Rai?"

"Ikut...," balas dia sambil menunjuk kepadaku, menggantikan subjek dari kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Ya suddah..., di dalam saja...," putus dari wali wisma kami. "Tidak sehat juga di luar dengan udara malam di sini. Bisa masuk angin."

"Baik pak," ucap aku dan Raihan bersamaan. Kami melepaskan sepatu dan kaos kaki kami dan melangkah kepada teras rumah wali kami.

"Bu!" sahutnya dari ruang tamu seiring beliau mendudukan diri pada sofa kayu di ruang tamunya. "Tolong buatkan teh manis! Ada dua siswa bertamu ke rumah kita."

"Baik pak! Mohon tunggu!" balas isteri beliau dari dapur yang berada di bagian terbelakang rumah.

Aku dan Raihan masih berdiri menatap bingung. Ini pengalaman pertama kami berkunjung ke rumah wali, sehingga kami menunggu perintah wali.

"Duduk, duduk siswa. Silahkan."

"Akhirnya..."

"Jadi, kalian berkunjung dalam rangka apa? Jarang sekali ada siswa yang berinisiatif untuk mengunjungi walinya."

"Iya pak, kami ingin nanya-nanya tentang rutin wisma. Kar'na insiden kemarin, kami belum sempat dapat pengarahan tentang hal itu," balasku berusaha membuka perbincangan ini dengan basa-basi. Topik yang aku gunakan payah, namun merupakan topik yang aman.

"Benar juga ya...," balas beliau. "Tetapi sebenarnya hal itu tidak perlu ditanyakan ke saya. Siswa sudah pada dapat buku panduannya toh? Kan ada semua di sana, dari pembersihan kamar, penentuan piket, mengganti sprei setiap minggu dan sejenisnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro