Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Putri Petir

Untuk Pria yang tidak pernah tahu perasaanku untuknya, dan untuk jiwaku yang telah lama melupakannya.

Ada banyak pilihan di dunia. Beberapa akan membuatmu menjadi orang yang baik, orang yang bijaksana, orang yang istimewa, atau terkadang kamu akan memilih pilihan yang menarik sepertiku. Aku tidak bijaksana, dan jelas bukan orang yang baik, tapi yakin, aku pasti istimewa. Beberapa orang akan memanggilku berengsek dan yang lain tidak cukup berani untuk mengatakan apa pun tentangku. Namun kamu bisa memanggilku Kamala. Sederhananya, aku adalah seorang kriminal atau menurut kebanyakan orang, aku adalah.

Masalahnya, itu tidaklah hitam dan putih. Terkadang ada petak abu-abu di dunia— seperti yang suka aku sebut untuk tindakanku. Itu tidak jahat, hanya sedikit—melanggar. Aku membunuh. Benar. Aku mencuri. Pasti. Dan terkadang, aku melakukan sesuatu yang lebih buruk dari itu. Semua itu karena aku membuat pilihan.

"Aku benci menolak sebuah penawaran, tapi aku benar-benar harus," ucapku. Aku meletakkan foto calon targetku di atas meja kafe dan menggesernya ke arah klien-ku. "Bagaimanapun ini adalah tawaran yang sangat menarik."

"Aku tidak punya ide siapa lagi yang mampu jika bukan kamu." Pria itu mencondongkan tubuh ke depan. Aku menghela napas, menyesap cangkir kopiku sebelum memberinya senyum terbaik. Aku tidak sering menolak pekerjaan, tapi yang satu ini adalah tempat di mana aku menarik garisku.

"Ada banyak penjual jasa sepertiku, dan aku yakin mereka sama kompetennya denganku. Sungguh, aku benar-benar menyesal menolak pekerjaan darimu. Jika kamu mau, aku bisa merekomendasikan beberapa nama untukmu."

"Kamu yang terbaik, Mala. Aku selalu tahu itu dan aku ingin yang terbaik untuk melakukan ini." Dia mengambil foto target yang dia berikan padaku dan memasukkannya ke dalam kantong kemejanya. Mataku mengikuti gerakan tangannya.

Sudah beberapa tahun sejak aku meninggalkan Yogyakarta dan memulai karirku di Bandung. Aku suka kota ini dan aku hampir percaya aku menyukai pekerjaanku. Namun kemudian melihat foto itu memicu sesuatu yang gelap di dalam diriku. Klien-ku masih duduk menungguku untuk membuat keputusan final, aku menghela napas dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku akan melakukannya. Tidak, bukan karena cemburu. Ini sepenuhnya profesional. Aku akan mengambil pekerjaan ini dan menyelesaikannya seperti yang lain. Lalu aku bisa melupakannya, menendangnya ke dalam debu masa laluku.

"Aku akan melakukannya," ucapku. Senyum setan merangkak di bibirku saat klien-ku mengangguk setuju. "Dan aku ingin dibayar di muka. Kamu tentunya mengerti bahwa Sancaka bukanlah pria yang mudah."

"Aku akan mengurus semuanya untukmu ... hanya buat semyanya benar. Hanya itu."

Aku berdiri, merapikan celana khaki yang aku kenakan dan melemparkan senyum manis untuk yang terakhir kalinya. "Kita memiliki kesepakatan, dan aku adalah wanita dengan kata-kataku. Jadi anggap ini selesai."

Dia mengikutiku berdiri dan mengambil tanganku untuk jabat tangan formal, menyegel kesepakatan kami. "Aku menikmati pertemuan kita Mala, dan aku tahu kamu orang yang tepat. Kita hanyalah orang-orang dengan nasib yang sama."

Aku memiringkan kepalaku, senyumku terangkat menjadi seringai saat aku mengirimkan sentakan petir melalui jari-jariku. Dia menarik tangannya dari tanganku, menatapku dengan kerut di dahinya. "Jangan salah sangka Darma, aku tidak sama sepertimu. Aku tidak peduli dengan mereka. Aku tidak seperti kamu yang merangkak di kakinya hanya untuk hal remeh seperti cinta."

"Baik jika itu yang kamu katakan," dia meluruskan kusut di kemejanya dan memberiku pandangan menilai, "tapi aku tahu pasti alasanmu pergi adalah dia. Kamu tidak tahan melihat mereka bersama."

Aku tidak naik ke umpan yang dia lemparkan, seperti biasa wajahku halus dengan ekspresi tak acuh saat aku berbalik. Mereka bisa mengatakan apa pun, tapi aku membuat pilihanku, aku istimewa. Aku tidak seperti mereka. Kulitku merangkak dengan energi listrik saat emosi menyelinap ke dalam kepalaku. Aku mengambil napas, menengadah ke langit, aku memanggil awan berputar di atasku. Darahku bersenandung saat aku bisa merasakan energi petir di udara, aku menarik mereka dan mengirim satu baut putih panas ke kafe tempat aku berada beberapa menit yang lalu. Jeritan pecah dan orang-orang berlari seolah mereka mengharapkan petir lain akan menangkap mereka. Aku hanya berjalan melewati seluruh kekacauan kota untuk memulai misiku saat klien-ku terkubur di balik puing-puing kafe yang hancur.

***

"Mala!" ucap Sedhah terkejut saat dia membuka pintu depannya. Aku tersenyum, terlihat seolah aku masih sama seperti saat terakhir kali kami bertemu.

"Kejutan!" ucapku, aku merentangkan tanganku dan dia meraihku untuk pelukan yang panjang tanpa ragu.

"Aku hampir percaya alien menculikmu, tapi di sini," dia mengamatiku dan berdecak, "kamu benar-benar terlihat luar biasa."

"Tidak bisa menyangkalnya. Aku memang terlihat luar biasa," balasku. Dia tertawa dan memukul bahuku.

"Jadi," dia menepi, memberiku jalan untuk masuk, "ke mana saja kamu?"

Aku menngedikkan bahu dengan ringan, memberinya senyum tulus saat aku menggerakkan jariku di antara potongan rambut pixie-ku. "Beberapa tempat di beberapa waktu. Kamu tahu, kematian orang tuaku benar-benar memukulku. Aku hanya tidak tahan untuk tetap tinggal."

Sedhah meremas jariku dan wajahnya diparut ke dalam ekspresi simpati, aku mengamati matanya yang lembut, helai rambut hitam pendeknya yang jatuh ke sebagian wajahnya. Dia masih cantik dan perutku berputar saat aku menatap bibirnya yang merah muda. Semaunya terasa salah dan benar saat kami bersama.

"Mala, aku benar-benar menyesal, aku seharusnya ada di sini saat kamu kehilangan mereka. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika tahu kamu menghilang. Aku minta maaf. Aku teman yang mengerikan."

Aku balas menggenggam jarinya dan menepuk bahunya dengan ringan. Senyumku nyata saat aku mengatakan kata-kataku berikutnya, "Tidak Sedhah, kamu adalah hal terbaik yang terjadi di seluruh hidupku yang menyedihkan." Di saat yang sama aku mengirimkan arus petir padanya. Itu terjadi terlalu cepat, sesaat dia berdiri di sisiku, terlihat benar-benar senang melihat teman lamanya kembali dan detik berikutnya dia jatuh dan aku menangkapnya.

Aku mencium dahinya dan merasa benar-benar buruk, aku tidak pernah ingin menyakitinya. Tidak dengan cara apa pun, tapi ini harus dilakukan. Karena aku membuat pilihan dan aku melakukannya. "Semua akan seperti dulu lagi Sedhah, aku berjanji itu padamu. Kamu akan melupakan Sancaka karena aku akan di sana, menjadi apa pun yang kamu inginkan. Hanya kamu dan aku. Kita tidak butuh Putra Petir berdiri di antara kita."

Jadi aku membawanya, dia tertidur, lengan terikat di belakang punggung kursi saat aku duduk di kursi tinggi yang lain menghadap ke pintu gudang. Aku bisa merasakan listrik berderak saat Sancaka akhirnya datang. Aku tahu dia berdiri di balik pintu, mungkin menunggu, menghitung tindakannya sebelum menyerbu masuk. Aku telah mengirim pesan singkat untuknya. Hanya mengatakan bahwa aku memiliki Merpati dan mengirim alamat. Saat akhirnya pintu terbuka Sedhah mengerang di kursinya.

"Ketepatan! Aku harus mengakui kamu datang tepat waktu," ucapku. Aku tidak terkejut saat melihat Gundala, aku tidak keberatan membunuhnya sebagai Sancaka atau Gundala, yang mana pun itu sama-sama memenuhi tujuanku.

"Pergi!" pekik Sedhah. Dia menatap ke mata di balik topeng Gundala seolah dia bisa melihat kematian di sana.

Aku bisa merasakannya sebelum itu datang, kilat menyambar dari ujung jarinya dan dengan lambaian dariku, itu berbelok, membentur dinding dan membuat retakan tipis di permukaanya. Aku mengangkat alisku dalam tantangan diam, dan secepat kilat aku bergerak. Berdiri dalam jangkauan untuk menghancurkan tenggorokan Sedhah. "Satu nyawa untuk satu yang lain," kataku.
Petir sudah menari di ujung jari Gundala, "Jadi rumor itu benar, tentang seorang gadis petir."

"Aku lebih suka Putri Petir, jadi kita mungkin juga saudara."

"Kamala kita tidak harus pergi ke sana. Kamu orang yang baik, aku tidak ingin melawanmu. Kita teman ingat? Kita semua—" Dia melihat Sedhah di kursi. Aku ingin tertawa. Dulu kami melakukan banyak hal bersama, tentu, tapi yakin kami pasti tidak berteman. Saat dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan Sedhah, menyusup lebih dalam ke kehidupannya, mencurinya dariku sedikit demi sedikit. Kebencian itu hanya tumbuh. Namun bertahun-tahun yang lalu aku membuat pilihanku untuk kalah, untuk pergi saat orang tuaku mati dalam pusaran angin tornado dan Dewi Torna membawaku, memberkatiku. Aku istimewa. Aku layak dipilah, sama seperti Sancaka. "Hanya biarkan Sedhah pergi."

"Tidak. Dia tidak akan menyakitiku. Itu kamu yang ingin dia bunuh! Sancaka pergi!" desis Sedhah, aku hanya menekan jariku yang melingkar di tenggorokannya lebih erat.

"Pertarungan tidak harus selalu fisik, kamu tahu?" ucapku tenang. Aku sudah memainkan ini ribuan kali. Seperti bermain kartu, aku membuka milikku perlahan. Tunjukkan apa yang aku miliki satu per satu.

"Apa yang kamu mau?"

"Kamu mati. Sederhana. Mudah." Ketika dia tidak menjawab, aku terbawa. "Atau ... yakinkan aku kenapa aku tidak harus melihat satu di antara kalian mati."

"Kenapa?"

"Bukankah aku bertanya pertama?" balasku.

"Aku tidak punya alasan yang bagus untuk mencegahmu membunuhku, tapi kamu tidak bisa menyakiti Sedhah. Kamu mencintainya dengan apa pub itu caramu yang bengkok. Aku tahu itu ada di sana. Tidak ada yang salah dengan mencintainya, aku tahu itu, dan kamu tahu cinta tidak menghancurkan. Jika yang kamu inginkan adalah pertarungan yang adil, aku akan memberikannya padamu. Hanya biarkan Sedhah pergi."

"Terima kasih, tapi aku tidak membutuhkannya." Aku melepaskan genggamanku dari leher Sedhah, tapi tidak ada lagi Sedhah di sana. Itu Darma, duduk dengan tangan yang terikat. Dia memiringkan kepalanya saat menatap Sancaka.

"Aku hanya ingin memastikan kamu memilih dengan benar. Kamu mungkin bisa bertukar pengalaman dengan Merpatimu, dia mengalami hal yang kurang lebih sama. Dia mencintaimu dan hanya itu yang bisa aku harapkan," ucap Darma.

"Pergi dan katakan padanya aku mencintainya. Kami mungkin penjahat, tapi kami mencintai orang-orang yang kami cintai,"

***




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro