[2]
lenggana
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Pemuda itu ingin melindunginya dari segala nestapa di dunia.
Membantu si gadis bertakdir tragis kembali tersenyum manis. Menjadikannya kuat
di tengah tekanan berat,
memberi pelukan hangat
setiap tubuh diserang penat.
Menyeka keringat,
menjadi asbak mengumpat.
Netra coklat balik menatap lekat,
tajam dalam menusuk tulang belikat.
Dingin adalah kamuflase dusta yang pekat.
Gadis itu membangun benteng
agar tak ada yang melihat
;lemah tersembunyi di dalam tanah
;tangis yang diais miris
;emosi yang terbelah pasrah.
Padahal si pemuda sudah siap
menjadi gubuk yang melindungi
rekata hujan mengguyur bumi.
Punggungnya sedia dinaiki
kemanapun gadis itu melarikan diri.
Pundak tegap sudi diterpa tangis hebat,
telapak hangat sanggup menggenggam erat.
Sayangnya, gadis itu lagi-lagi mengalihkan atensi,
tak mau menyakiti lebih dalam lagi.
Yakin bahwa dirinya belum bisa sembuh,
jauh-jauh kembali utuh.
Karena pada nyatanya,
hilang paling pahit adalah diri sendiri
yang kebanyakan tak ditemukan lagi.
—akhirnya pemuda itu memilih
diam ketimbang ditolak.
Percaya dirinya berakhir
ditampar takdir; sekadar hampir.
Segala yang dimiliki sebatas mampir.
Berpisah sebelum menjalin kasih.
Meninggalkan rasa
yang belum pernah disapa,
patah meskipun bersama saja
belum pernah.
Dua manusia itu menemui lenggana; enggan, segan, tak sudi melihat realita yang berbeda dengan bayangan dalam kepala.
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
–Ralaya Annisa,
2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro