Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

y e l l o w

"Nih," katanya sambil menyerahkan gitar, kemudian beranjak ke sisi kiriku-tempatnya duduk tadi.

Mataku langsung membola ketika mengenali benda apa yang dia sodorkan. Sebuah gitar akustik yang kutahu betul milik Mas Risky. Begitu saja, kugeletakkan novel di tangan dan beralih meraih alat musik itu, dengan senyum yang secara otomatis terbit.

"Baik banget," sambutku dengan antusias sambil beberapa kali mengerjap kea rah Rere. Kalau dalam serial kartun, mataku pasti sudah berbinar dengan efek mengilat. Tidak lagi tersisa kebimbangan yang melintas beberapa saat lalu.

"Gampang banget, sih, Vy, naikin mood kamu."

Aku hanya mencengir, meninggalkan Rere yang melirik sebal dan memilih berinteraksi dengan ponselnya. Lalu mulai kupetik dawai yang selalu membuatku jatuh bangun mencintai.

"Vy." Rere memanggilku lirih.

"Hm?"

"Sorry."

Gerakan tanganku tertunda. Atensi yang semula kupusatkan pada benda di pangkuan, kini tertarik oleh eksistensi Rere. "Buat apa?"

"Karena maksain kamu. I don't know how hurt it does. Nggak seharusnya aku sengotot itu."

Aku menegakkan badan. Menyadari betapa beruntungnya aku memiliki seseorang seperti Rere, yang dengan cara seabsurd apa pun kebaikanku tetap menjadi perhatiannya.

"No need." Senyumku terulas. "Jujur, aku masih bingung," dan takut, "bukannya nggak setuju sama kamu."

"Aku ngerti, Vy. Apa pun itu, kamu punya aku. Bobrok-bobrok gini juga jago kalau suruh bikin suasana ... tambah bobrok."

Tepat setelah kata terakhir meluncur, tawa Rere mengudara, membuat haru yang sempat tersemat hendak menguap meninggalkanku. Aku memperhatikannya, mengingat lagi kalau jenis persahabatan yang romantis bukanlah tipe kami.

"Kenapa, sih, Re, nggak betah banget kalau mode serius?" tanyaku masih sambil menelengkan kepala tak habis pikir. Menatap sahabatku yang tertawa sendirian.

Memegangi pipi untuk meredam tawa, Rere berdeham untuk kemudian membuka suara. "Udah, ah. Main gitar aja kamu. Ntar keburu Mas Risky sadar kalau aku ambil."

Tanpa banyak protes, aku mengiyakan dengan kembali pada posisi tadi-memangku gitar dan bersiap memainkannya. Sayang kalau benda ini kubiarkan menganggur.

Meski suka musik, aku tidak menyimpan satu pun alat musik di rumah. Bukannya tidak punya. Hanya saja, aku tidak membiarkan benda-benda itu bertengger di mana pun, jika itu masih bagian dari rumahku.

Bagiku tidak masalah, meski aku tidak bisa menyentuhnya setiap saat. Yang terpenting, tidak ada gurat rasa bersalah di wajah Papa, raut sedih yang terpulas di wajah Mama, atau pembicaraan yang memanas jika Nenek mengunjungi rumahku.

Aku mulai mengalunkan lirik-lirik Yellow milik Coldplay. Bait-baitnya membawaku semakin dalam menyusuri langit berbintang. Seperti menyaksikan efek time lapse, banyak hal yang berputar hingga aku tidak bisa mengingat pasti kapan sebermula, pun mana yang merupakan kenangan paling akhirnya. Yang pasti, ada satu orang yang menemaniku menekuri kerlip malam, mendongengkanku kisah lemparan bintang kepada iblis yang mencuri dengar pembicaraan surga. Kehadiran pria itu tampak nyata, disertai secangkir teh panas dengan hanya setengah sendok gula.

Seolah di luar kendali, ketika lagu kesukaan Mas Faris-lah yang pertama kali menelusup di kepala. Ikut serta membawa wajah pria itu dalam ingatan. Saat ini, lagu itu kugunakan untuk menggambarkan segala kebaikannya, sebagaimana grup Coldplay menciptakan seriap kata untuk mengagumi seseorang yang diibaratkan bintang, diibaratkan sinar kuning yang selalu indah dan tenang. Namun, posisiku hanya sebagai pengagum.

"Vy, temen-temen kelas kamu, nih."

Rere mengacaukan suaraku. Hingga membuatku menoleh dengan petikan gitar yang belum juga kuhentikan. Tidak tahu mengapa, dadaku terasa penuh. Rasanya ... aku tenggelam. Menikmati kehadiran seseorang yang sebetulnya tidak betulan ada. Aku menemukan tenang. Seolah kesesakan terbang seperti hilangnya pasir di tangan yang tertampar keras angin lautan.

"Apa?" Aku tidak terlalu mengacuhkan Rere. Kembali kujatuhkan tatap pada jari-jari yang bertengger pada badan gitar.

"Aku accept, ya."

"Apa, sih, Re?" tanyaku penasaran. Kini, gadis itu berhasil menyita perhatianku.

Kecurigaan segera menguar kala kusadari Rere mengarahkan bagian belakang ponselnya padaku. Posisi yang biasanya digunakan untuk merekam. Maka, segera kudekatkan kepala untuk melongok layar ponselnya.

Perasaan tidak enak itu terbukti benar, kala layar ponselnya menampilkan kolom live chat Instagram yang terus berjalan. Selain menampilkan latar di mana aku memainkan gitar tadi, wajah Razy juga menyembul di sana. Pria itu tersenyum kikuk. Beberapa teman laki-laki sekelasku juga sesekali menyembul di kamera. Ah, pasti Razy mau bergabung di live karena desakan mereka.

Tidak salah lagi. Rere merekam aksiku di live Instagram. Astaga!

"Rere! Malu." Aku segera menangkis tangannya yang hendak men-switch kamera belakang ke kamera depan, membuat hal itu tidak terjadi.

"Apa, sih? Bagus, kok. Iya nggak, Zy?"

Razy mengacungkan jempol di ujung sana, meski tidak melihat aku maupun Rere karena kamera yang tidak mengarah pada kami. Aku mendengkus.

Seolah belum puas, Rere memfokuskan diri pada ponsel, lalu tangannya bermain di atas layar tersebut untuk kemudian menunjukkannya kepadaku. "Nih."

Aku membaca live chat yang disodorkan Rere. Isinya kebanyakan mengatakan bahwa aku tidak perlu malu. Bagus dan sejenisnya. Hal yang tidak sedikit pun menyurutkan kekesalanku. Namun, dua komentar yang berurutan membuat jantungku memompa lebih cepat.

mafaris_ : Bagus

mafaris_ : It still beautiful since you sang it for the first time

Aku merutuk. Tidak memikirkan bahwa Mas Faris bisa saja menonton live ini. Demi Tuhan, Yellow adalah lagu favoritnya.

Cepat-cepat aku melarikan jari ke layar ponsel untuk mengusaikan apa yang sedang berlangsung. Dadaku seperti diremas dengan kencang, membuat rasa sesak muncul begitu saja.

Percakapanku dengan Aksa di perpustakaan kembali terputar, seperti rekaman yang tersimpan rapi dan tahu kapan waktunya harus menyembul secara otomatis. Pemuda itu menyadari bagaimana sikap Mas Faris kepadaku bahkan dalam waktu yang singkat. Bohong jika aku yang sudah bersama Mas Faris selama delapan tahun tidak menebak hal serupa. Bohong jika aku tidak berpikir bahwa Mas Faris menyimpan sedikit rasa untukku, yang dulu membuatku percaya dan menunggunya mengatakan hal itu dengan kemauan sendiri.

Namun, hari di mana dia berdiri di pelaminan berhasil meruntuhkan asumsiku. Tebakanku salah, begitu pun dengan Aksa. Akan tetapi, jika perlakuan manis dan perhatiannya tak habis-habis seperti ini ... bagaimana aku bisa percaya bahwa tak pernah ada aku di hatinya? Aku harus bagaimana? Dia tak pernah untukku dan kini berharap padanya hanya akan menyiksaku.

"Vy?" Rere menyentakku. Menyadarkan dari lamunan dan membuatku sedikit menjauh darinya. "Ish. Kok dimatiin, sih?"

"Sorry, Re. Itu ...."

Aku tidak melanjutkan kala ponsel yang kuletakkan di atas novel berdering menandakan masuknya sebuah panggilan. Namun, belum sempat mengangkatnya, dering itu sedah berhenti. Tergantikan oleh pop-up WhatsApp yang muncul, membawa sebuah pesan singkat dari kontak yang namanya membuatku semakin berdebar.

Aksa

Anggia.

Hai! Thanks for reading, ya! Feel free untuk Menuhin kolom komentar HEHE. Bintangnya jangan lupa, yaw!

[First Publish] June 26th, 2020.
[Revisi] January 4th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro