will be with y o u
Aku kembali ke rumah sakit yang sama seperti malam itu, saat aku mengantar Aksa. Bedanya, sekarang aku sama sekali tidak melihat Aksa. Padahal Tante Ambar memintaku ke sini untuk menemaninya. Ke mana dia?
Aku belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, melihat Tante Ambar dan Karin yang sama-sama meredakan tangis, aku tahu ini bukanlah hal yang baik.
"Tante." Aku menegur Tante Ambar yang sedang duduk sambil menunduk di kursi tunggu. Mendengar suaraku, Tante Ambar dan Karin mengangkat kepala secara bersamaan.
Sebagai respons, Tante Ambar langsung berdiri dan menyambutku. "Maaf, ya, Anggia, Tante ngerepotin kamu. Maaf, Pak, harus repot-repot anter Anggia malam-malam begini." Wanita itu berusaha menyunggingkan senyum kepadaku dan Papa, meski gurat kesedihan masih terlihat jelas di wajahnya.
"Nggak apa-apa, Bu. Sama sekali nggak repot, kok." Papa mendahuluiku. Beliau berkata sambil melempar senyum.
Aku mengiyakan. "Iya, Tan. Nggak apa-apa." Ingin sekali aku melanjutkan dengan menanyakan keadaan Ivy. Namun, memilih menunggu Tante Ambar mengatakannya sendiri. Aku hanya tidak mau jika pertanyaanku akan membuat wanita itu semakin sedih.
Tante Ambar melempar pandangan ke dalam ruang rawat di sebelah kami. Aku mengikuti pandangannya. Gorden yang tidak tertutup rapat membuatku dapat melihat punggung seorang pria di dalam sana. Ah, ternyata Aksa ada di dalam.
Saat masih meneliti ke dalam ruang rawat, Tante Ambar kembali bersuara, membuatku menoleh secara perlahan. "Anggia keberatan nggak kalau nyamperin Aksa di dalam?"
"Nggak, kok, Tante. Aku masuk sekarang?"
"Iya, Gi. Maaf, ya, Tante ngerepotin kamu gini. Aksa dari sore di dalem terus. Keluar cuma buat salat. Bahkan handphone-nya jatuh sejak dia ke sini aja dia nggak sadar." Tante Ambar berkata sambil mengangkat ponsel di tangannya.
"Tadi yang telepon aku Tante?" Aku bertanya demikian hanya untuk minta maaf, bukan yang lainnya. Sungguh.
"Oh, iya. Pakai ponselnya Aksa tadi. Maaf, ya, pasti kamu keganggu karena Tante nelepon terus."
Astaga. Tante Ambar pasti sangat kalut sampai meneleponku berulang kali. Dan yang kulakukan justru mengabaikannya? "Ah, enggak, Tante. Aku yang minta maaf nggak angkat telepon Tante tadi." Hanya karena aku menghindari Aksa. Maaf, Tan. "Kalau gitu, Anggi masuk, ya, Tante?"
Setelah mendapat anggukan dari Tante Ambar, aku beralih menatap Papa. Beliau tersenyum, lalu menganggukan kepalanya mantap. Seolah menegaskan bahwa apa yang aku lakukan sudah benar.
Langkahku memberat tepat setelah memasuki ruang rawat. Aku bingung akan bersikap seperti apa di depan Aksa nanti. Namun, ketika aku masih mengatur langkah yang kugerakkan kecil-kecil, suara Aksa terdengar. "Kenapa, Bu?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Aku dapat menangkap gerakannya yang menyusut sudut mata. Aksa ... menangis?
"Ini aku, Sa." Entah salah lihat atau apa, tetapi aku merasa kalau Aksa langsung menegakkan badannya setelah mendengar suaraku. Kaget, mungkin?
Namun, dia tetap tidak membalikkan badan atau sekadar menyambut suaraku. Melihat hal itu, aku beranjak mendekat. "Ivy-nya masih tidur, ya?" tanyaku setelah berdiri di sisi yang berseberangan dengan Aksa. Kini, kami dibatasi ranjang tempat Ivy sedang tidur pulas. Mungkin sebenarnya gadis itu terlelap karena pengaruh obat, tetapi aku lebih senang menyebutnya tertidur saja.
"Duduk di sini aja." Alih-alih menjawab pertanyaanku, Aksa justru berdiri dan memintaku mengambil kursinya.
"Nggak apa, Sa, pakai aja."
Lagi-lagi, Aksa tidak membalas perkataanku. Dia justru melontarkan kalimat dengan topik berbeda. "Titip Ivy."
Lalu, setelah berkata sesingkat itu, Aksa meninggalkanku. Dia beranjak tanpa sedikit pun pernah menatapku. Aku bahkan tidak bisa menangkap gurat wajahnya.
Aksa mengindariku atau ... tidak ingin aku melihat kondisi wajahnya saat ini?
***
Sudah jam sebelas malam saat aku keluar dari ruangan Ivy. Satu kali gadis itu membuka matanya dan aku terkejut ketika dia hanya ingin aku, bukan kakak atau mamanya. Dia mencegah saat aku hendak memanggil keluarganya.
"Kak Anggi, weekend kemarin kenapa nggak pulang sama Mas Aksa? Mas Aksa nggak senyum waktu Ivy tanya soal Kak Anggi. Lagi berantem, ya?" Itu adalah perkataan Ivy seusai aku mengulurkan segelas air putih kepadanya.
"Waktu itu Mas Aksa bilang kalau dia habis kondangan. Terus dia minta sama Ivy buat berdoa, supaya Mas Aksa bisa bawain Ivy temen yang cantik dan baik banget. Terus, waktu Kak Anggi ke rumah, Mas Aksa bilang kalau doaku manjur. Perempuan cantik dan baik itu ... Kak Anggi, kan?" Itu perkataan Ivy yang lain, ketika aku belum menanggapi satu pun perkataannya dengan benar.
Kenapa Aksa benar-benar berusaha bahkan sejak pertama kali kami bertemu?
"Habis Kakak main ke rumah, Mas Aksa jadi sering siul-siul di rumah sampe dimarahin Ibu. Kalau dimarahin, dia cuma nyengir."
"Langsung tidur, Vy." Suara Papa membuyarkan pikiranku.
Papa memutuskan agar kami menginap di rumah sakit saja, setelah meminta Mama meninggalkan rumah sakit tempatku dirawat tadi.
Karena kondisi tubuhku yang masih lemas, Papa meminta dokter untuk memeriksaku dan memohon agar aku bisa dirawat. Kondisiku tidak terlalu buruk, jadi dokter menolak keinginan Papa. Namun, Papa tetap kukuh. Beliau bernegosiasi agar aku boleh menempati ruangan yang kosong dan bersedia keluar jika ada pasien yang lebih membutuhkan. Akhirnya, hal itu disetujui.
Kini, aku sedang merapikan selimut. Sepertinya sambil melamun, sebab aku tidak sadar kalau Papa sudah selesai membersihkan diri.
"Iya, Pa."
"Karin biar tidur di sini aja. Kasian, di ruang rawat adiknya cuma ada satu sofa. Biar Papa yang di luar aja."
Setelah aku mengiyakan, Papa keluar untuk meminta Karin ke kamarku. Ruanganku dan Ivy hanya terpisah tiga kamar saja. Aku berada di ujung sedang Ivy di tengah koridor. Hal itu yang menyebabkan Karin masuk ke kamarku tidak lama setelah Papa pergi.
"Karin nggak apa di sofa? Nyaman, nggak? Tukeran aja, biar Kakak yang di sofa," kataku setelah Karin menyapa dan beranjak duduk di sofa.
"Nggak, Kak. Di sini aja udah cukup. Makasih, Kak Anggi."
Aku tahu Karin lelah. Untuk itu, aku tidak memaksanya. Sebab sudah pasti dia akan bersikeras menolak dan aku hanya akan membuat dia menunda istirahat. Sehingga aku membiarkannya tidur di sofa, setelah kuberikan selimut cadangan yang ada di dalam laci nakas.
Aku menatap langit-langit. Memikirkan kembali perkataan Papa tadi sore. Aksa sudah ingin terbuka dan membagi ceritanya kepadaku. Namun, aku justru memilih pergi.
Kupandangi kartu mahasiswa yang baru kukeluarkan dari saku sweterku. Apa ada hal yang sangat penting terkait kepindahannya dari Kedokteran ke Teknik Kimia? Aku memandanginya lamat-lamat. Namun, tidak ada satu pun asumsi yang menghampiri otakku. Sekarang, justru sosok Aksa yang enggan menatapku di ruang rawat Ivy tadi yang tergambar di kepala.
Bayangan itu yang bersarang amat lama, hingga kesadaranku terkikis sedikit demi sedikit.
Aku merasa bahwa gelap baru saja menjemput. Bising di kepala baru sebentar tergantikan oleh hening. Namun, suara di belakang menarikku dari lelap. Aku membuka mata sedikit, lalu membalikkan badan ke arah di mana Karin berada, yang merupakan arah datangnya suara.
Di sana, aku melihat Papa sedang menunduk sambil memanggil nama Karin. Aku beranjak duduk dan menyalakan ponsel, melihat bahwa kini masih jam dua pagi. Untuk apa Papa membangunkan Karin?
"Pa ...," panggilku dengan suara parau, khas orang bangun tidur.
Papa menoleh. Wajahnya terlihat cemas dan kalut. Beliau bahkan tidak menampilkan senyuman. "Vy, bisa bangunin Karin? Adiknya ...."
Aku menunggu Papa menyelesaikan kalimatnya. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Adiknya udah nggak ada, Vy."
Aku tertegun. "Gimana maksudnya, Pa? Livya kenapa?"
Papa menghela napas, lalu beranjak mendekatiku. Beliau meremas pundakku seolah ingin menenangkan. "Adiknya udah nggak ada," ulang Papa sekali lagi.
Mataku memanas. Aku masih tidak percaya dan berharap bahwa pendengaranku salah. Bagaimana mungkin? Semalam bocah cilik itu masih bercerita panjang lebar kepadaku, meski wajahnya memang terlihat pucat. Bagaimana aku bisa percaya, saat beberapa jam lalu masih kusaksikan matanya terbuka?
Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa Papa akan meralat ucapannya. Artinya, yang kudengar barusan benar. Ivy telah tiada. Wajah Tante Ambar, Aksa, dan Karin langsung terputar di kepalaku. Bagaimana perasaan mereka menghadapi kenyataan ini?
"Ivy." Papa menghapus air mataku. "Papa tahu kamu juga sedih. Tapi, tolong kuat, ya? Mereka butuh ditenangkan dan ditemani. Kasihan Aksa. Papa tahu, mau menangis pun dia berpikir ulang."
Aku menatap manik mata Papa. Papa benar. Maka, buru-buru aku menghapus sisa basah di sudut mata. Aku langsung beranjak menuruni ranjang, sementara Papa keluar untuk membantu Aksa dan Tante Ambar mengurus administrasi dan sebagainya.
Dengan berat hati, aku menepuk pundak Karin dan memanggil namanya. Gadis itu membuka mata dan tenggorokanku langsung tercekat. Aku tidak mampu, tetapi bagaimanapun harus memberti tahunya. Maka, kuberanikan diri menatap ke kedalaman mata Karin. Kuremas pundaknya pelan.
Ketika satu kalimat meluncur dari mulutku, gadis itu terkulai lemas. Dengan sigap, aku merengkuhnya dalam pelukan, membiarkan Karin menumpahkan tangisnya di pundakku.
Pasti Tante Ambar juga sedang serapuh ini. Aksa pun sama tersiksanya. Papa benar. Pria itu juga butuh ditopang. Dia mungkin sedang berusaha baik-baik saja agar dapat menjadi pegangan bagi Karin dan Tante Ambar. Namun, dia juga pihak yang berduka. Dia juga butuh tempat untuk menangis dan menuntaskan kesedihannya. Aku ... harus membantu Aksa.
[First Publish] October 31th, 2020.
[Revisi] January 8th, 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro