when he asked me, "which type you are?"
Hangat aroma kopi langsung terhidu ketika pintu kaca kafe berhasil kami buka. Kursi-kursi tertata rapi. Arsitektur bergaya modern dengan kesan minimalis yang Instagram-able langsung memanjakan mata.
Di sudut kanan-sudut yang letaknya berlawanan arah dengan meja bar dan dapur-sebuah panggung kecil tertata apik. Beberapa orang mengecek ulang perlengkapan di sana sebelum live music dimulai.
Aku datang bersama lima orang teman sekelasku-Rora, Putri, Risa, Rachel, dan Bianca-untuk menyaksikan live music sebuah band indie di mana Razy tergabung di sana. Kami lalu beranjak ke sebuah meja kotak berkapasitas enam orang, yang letaknya hanya berjarak satu meja dengan panggung.
"Ngapain kamu, Put?" Tepat setelah seorang karyawan kafe mecatat pesanan dan meninggalkan kami, Rora berucap untuk menanggapi senyuman Putri yang tergambar begitu manis. Tatapannya terarah pada karyawan pria yang beranjak menjauh.
"Usaha," jawabnya.
"Usaha apaan?" Rora mengernyit tak mengerti.
"Ish. Lo tuh pas matkulnya Pak Sudarman ngapain, sih? Nyari kutu?"
"Heh! Sembarangan. Kamu kali yang kutuan," sungut Rora tak terima. Membuat kami yang sedang memindai menu menyemburkan tawa.
"Abisnya nggak paham mulu, sih, lo," sahut Putri sambil terkekeh. "Nih, jelasin ... Vy."
Aku melongo menanggapi tudingan Putri, yang kini membuat empat orang lain turut menatapku bingung.
"Kok aku?"
"Peristiwa saling eksklusif, Vy. Terapin di pdkt." Putri menyahuti dengan cengiran yang hadir, membuatku kembali mengernyit.
Namun, karena sedang ingin iseng, aku memutar otak untuk memahami maksudnya. Menghubungkan peristiwa saling eksklusif yang diterangkan Pak Sudarman dengan peristiwa nyata yang dimaksud Putri.
Aku berdeham, membuat mereka mengerjap meski kuyakin belum bisa menebak apa yang akan keluar dari mulutku. Yah, aku saja tidak yakin akan mengatakan apa.
"Misalkan H dan G peristiwa saling eksklusif di mana H adalah usaha pdkt dan G adalah sikap pasif." Aku memulai. Merasa konyol sendiri mengapa mau menanggapi Putri. "Nah, kalau nilai G lebih besar dari H, maka kemungkinan jomlo yang makin besar, karena G mencegah terjadinya H. Di mana peluang H akan bernilai kecil karena nilai n yang merupakan banyaknya peristiwa H juga kecil. Kesimpulannya, keberhasilan pdkt juga bakal semakin kecil."
"That's it! Itu maksud gue," sambut Putri sambil menjentikkan jari antusias. Sementara sisanya hanya melongo, membagi tatapan padaku dan Putri. Aku meringis, merasa konyol sudah mengatakan hal yang aku sendiri pun tak paham betul.
"Yeu nggak usah pake perwakilan, dong, kalo mau bikin alibi. Nggak kreatif lo." Rachel yang sadar lebih dulu langsung menanggapi dan melempar tisu ke arah Putri, diikuti tisu-tisu lain yang melayang begitu saja.
"Yang penting gue udah action sesuai teori, ya. Selangkah lebih maju dari lo semua yang kepikiran aja enggak." Sambil mengatakan hal itu, Putri menyandarkan tubuh dan menyilangkan kakinya. Membuatku terkikik geli ketika yang lainnya memutar bola mata sebal.
Namun, setelahnya aku mengernyit karena teringat sesuatu. Kemudian berkata, "Tapi nggak ada korelasi pasti antara pdkt dan pacaran, Put. Emangnya dari mana pernyataan semakin banyak pdkt semakin terbuka lebar peluang dapet cowok? Kan nggak semua pendekatan hasilnya jadian? Gimana kalau semakin banyak pdkt malah semakin banyak cowok yang ilfeel? Teori kamu nggak valid, ah."
Diam. Hening. Sebelum akhirnya suara tawa menyembur begitu saja. Minus Putri yang justru menggaruk kepalanya.
"Noh, dengerin, Put." Risa menyahut sambil menetralkan tawanya.
Aku menggaruk alis. Apanya yang lucu?
"Gue pikir lo di pihak gue, Vy," gerutu Putri sebal.
"Bener tuh si Ivy. Lagian objeknya kan manusia, makhluk yang sifatnya nggak bisa digeneralisasi. Ada yang dideketin luluh, ada yang malah kabur. Ilfeel." Bianca menanggapi dengan santai sambil mengunyah permen karet.
"That's it!"
Kalimat itu lalu dilontarkan oleh Rora, Rachel, dan Bianca secara bersahutan. Membuat Putri semakin mencebik kesal.
"That's it." Aku berkata lirih sebagai penutup, membuat Putri memelotkan mata memprotes. Kutanggapi aksi itu dengan tertawa kecil.
"Eh, kok belum mulai, ya, live music-nya?" selaku tepat saat seorang karyawan kafe mengantarkan pesanan kami.
"Biasanya baru mulai jam delapan, Vy." Bianca berkata sambil membawa gelas pesanannya mendekat.
Setengah delapan? Aku bahkan harus sampai rumah maksimal jam delapan.
"Kok malem banget?"
"Itu jam normal buat kebanyakan live music di sini, Vy."
"Terus band-nya Razy manggung jam berapa?"
"Nggak tahu juga. Tapi katanya setelah satu penyanyi solo," jawab Rora.
Itu artinya, aku akan meninggalkan kafe lebih larut dari jam delapan.
Sebenarnya, malam ini aku bisa pulang lebih awal karena semua agenda kampus selesai tepat setelah magrib. Namun, siang tadi teman-teman sekelas mengagendakan untuk menonton Razy dan band-nya yang manggung perdana.
Teman-teman sekelas banyak yang menolak dengan alasan yang beragam. Aku sebenarnya juga mau melakukan hal yang sama, karena izin keluar malamku hanya untuk kepentingan kampus dan organisasi. Namun, aku berpikir ulang ketika hanya sedikit yang berkenan datang. Bagaimanapun, dukungan moral pasti membantu seseorang untuk maju.
"Kayaknya aku nggak sampai akhir, ya. Nggak apa, kan?" izinku kepada mereka.
"Emang kenapa, Vy?" Pertanyaan Rora membuat yang lain memfokuskan perhatian kepadaku.
"Papa ngizinin aku di luar maksimal cuma sampai jam delapan. Ya, aku minta toleransi dikit nanti. Paling sampai setengah sembilan," jujurku.
"Yah. Kalau yang perform sebelum Razy lama ... gimana, dong?" Dari ucapannya, Risa terdengar sedikit kecewa.
"Kamu tunggu sebentar aja, Vy. Keluar kafe jam setengah sembilan, deh," pungkas si kalem Bianca.
"Bukannya kalau rapat juga sering sampai malem? Bahkan sampai tengah malem juga, kan, Vy?" Rachel berkata sambil meminum milkshake pesanannya yang baru datang.
"Iya."
Duh, bagaimana, ya? Kalau aku berkata bahwa rapat adalah kepentingan yang harus aku tunaikan, bisa jadi mereka akan menganggap bahwa aku tidak menganggap penting performance Razy.
"Hai."
Sebuah suara menyapa kami saat aku masih memikirkan jawaban dan alasan lain agar bisa pulang lebih dulu. Tadi, aku memutuskan ikut karena kupikir tidak akan semalam itu, karena kami sudah buru-buru menuju kafe tepat setelah salat magrib.
"Hai, Zy."
"Hai, Razy."
"Wah, yang punya panggung malam ini, nih."
"Halo, Zy. Lo dateng sama temen band?"
Razy tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya menanggapi respons heboh dari penghuni meja ini.
"Iya. Gue dateng dari tadi, kok. Ini baru nyamperin anak cowok kelas," kata Razy yang berdiri di sampingku. "Thanks, ya, udah mau dateng," kata Razy sembari menduduki kursi kosong di depanku.
"Santai kali, Zy," ucap Bianca mewakili kami.
"Thanks, Bianca. BTW, lo nggak apa-apa, Vy? Ini bukan akhir pekan, loh." Razy mengalihkan fokus kepadaku.
Razy tahu kalau aku tidak terbiasa nongkrong di weekdays. Apalagi di malam hari seperti ini.
"Nggak bisa. Jadi, boleh dia pulang sekarang?"
Tentu saja, itu bukan suaraku. Melainkan suara berat yang belakangan mulai aku hindari. Suara yang membuatku menoleh, untuk kemudian menemukan Aksa sedang berdiri tepat di samping kananku. Pria itu menatap Razy yang menumpukan tangan di meja, di ujung yang berseberangan dengannya.
"Eh, Bang." Razy memilih menyapa Aksa setelah hening yang menyusup barang beberapa detik.
"Kakak lo, Vy?" Putri yang duduk di sebelahku berbisik lirih tepat di telinga. Aku hanya menggeleng dengan tatapan yang masih tertuju pada Aksa.
"Dia pulang sekarang." Kata-kata Aksa bukan jenis pertanyaan, tetapi sebuah penekanan.
Pelototanku langsung menyembul. Tidak habis pikir dengan perkataan seenaknya itu. "Eh, enggak, kok. Bentar lagi, nggak apa, Zy, sampai kamu perform."
"Bener nggak apa-apa,Vy?" Razy menatapku dengan raut ragu.
"Nggak bisa."
Bukan aku. Sekali lagi, suara tegas Aksa menyambar begitu saja, membuatku ingin membungkamnya saat itu juga.
"Apa, sih, Sa? Sok tahu banget." Aku menatapnya tidak suka.
"Gue yang sok tahu, atau lo yang berusaha nggak mau tahu soal diri lo sendiri?" Aksa mengunci mataku dalam tatapan mengintimidasinya. Dari mata itu, dia seolah sangat yakin kalau perkataannya memiliki jawaban yang sama dengan yang ada di kepalaku.
Huh. Mulai lagi perdebatannya untuk mencampuri urusanku.
"Eh, kok jadi tegang. Hehe." Putri memecah kekesalanku pada Aksa. Membuatku kembali sadar kalau aku dan Aksa tidak sedang berada di panggung debat di mana tidak ada yang bisa menginterupsi.
"Sorry, ganggu kalian. Tapi Anggia pulang sekarang."
Aku memang ingin pulang lebih awal, tetapi bukan seperti ini caranya. Kalau begini, aku jadi tidak enak dengan mereka, terutama dengan Razy.
"Sa!"
"Ayo." Bentakan kecilku tidak ditanggapi. Tatapan Aksa sama sekali tidak menyimpan kesan bisa dibantah. Membuatku berdecak sebal.
"Nggak apa, Vy, lo pulang sekarang aja. Makasih, ya, udah nyempatin dateng dan support gue." Razy tersenyum meyakinkan, sementara aku menatapnya dengan tatapan bersalah.
"Nggak, kok, Zy ...."
"Pulang aja, Vy. Kita-kita nggak apa-apa, kok." Bianca memotong, diikuti anggukan dari yang lain ketika aku memutar pandangan.
Untuk sesaat, kutenggelamkan diri dalam diam. Aku harus pulang dan Aksa juga tidak akan menyerah untuk memaksa. Maka, kuembuskan napas setelah mengambil keputusan. "Sorry, ya, Zy, Temen-temen. Aku pulang sekarang ... nggak apa beneran?" kataku dengan rasa tidak enak.
"Nggak apa-apa, Vy. Bener, deh," ucap Rachel meyakinkan.
"Iya, Vy. Lain kali kalau emang nggak bisa, kamu bilang aja. Nggak apa-apa, kok." Bianca sepertinya membaca wajah tidak enakku. Perkataannya membuatku merasa lebih tenang, meski rasa bersalah itu masih ada.
Sahutan-sahutan kembali terdengar, membuatku sedikit lega untuk pulang sebelum Razy tampil.
"Oke, deh. Maaf, ya, sekali lagi. Dan ... good luck, Zy. Jangan lupa videoin biar aku bisa nonton."
"Siap. Thanks juga sekali lagi, Vy."
Aku mulai bangkit setelah Razy membalas perkataanku. Kemudian melontarkan beberapa kata untuk berpamitan kepada teman-teman yang lain.
Aksa berjalan di sampingku, seolah dia memang di sini untuk membawaku pulang. Aku tidak peduli. Tetap berjalan di sampingnya dengan asumsi bahwa kami hanya kebetulan memiliki tujuan yang sama.
"Nolak orang lain susah, nolak gue kenapa enteng banget?" Aksa membuka suara saat kami sudah berada di luar kafe. Dia bahkan terlihat akan mengikutiku sampai parkiran.
"Mana bisa disamain? Jelas-jelas konteksnya beda."
"Lo suka sama dia, sementara sama gue enggak? Gitu maksudnya?" Dia menoleh ke arahku. Membuatku membalas tatapannya karena kesal.
"Kok ke sana, sih?"
"Terus apa konteksnya?"
"Razy itu mau mulai bentuk band dan ini panggung pertamanya. Sebagai temen, aku udah semestinya dukung dia, dong. Sementara aku nggak punya alasan buat harus bilang iya ke kamu. Jelas?" Aku berkata setengah menggerutu. Tidak sabar juga untuk segera menjalankan mesin motor yang kini tepat berada di depanku.
"Lo mau temen lo itu sukses dengan usahanya, sementara lo nggak ngizinin gue berjuang buat perasaan gue sendiri? Nggak adil banget." Bibirnya mencebik. Membuatku tersenyum geli tanpa sadar. Jarang-jarang wajah ngeyel tak mau kalah itu berubah menjadi wajah yang sebal menerima kekalahan.
Dia juga menatapku, matanya berlarian seperti sedang mengabsen komponen wajahku. Membuatku melenyapkan senyum dan menggantinya dengan kernyitan bingung.
"Oke. Terserah." Aksa berkata sambil memalingkan wajahnya. Membuatku semakin memperjelas kerutan di dahi.
"Apa, sih?"
"Lo emang kejam sama gue."
"Hah?"
"Diem bentar."
Bukannya menjawab kebingunganku, Aksa justru menyembunyikan muka, sehingga ekspresi di wajahnya tak bisa kuraup dengan mata. Dasar aneh.
Mengabaikannya, aku memilih fokus pada motorku yang terparkir, bertepatan dengan Aksa yang kembali menghadap ke arahku.
"Gue nggak mau lo pulang sekarang, tapi kalau lo kelamaan di sini, gue bisa kena takikardia," katanya dengan wajah serius.
"Takikardia? Itu istilah kedokteran? Apa biologi? Kok jadi ke sana, sih? Random banget."
"Udahlah. Pulang sana. Besok lagi kalau nggak bisa ya bilang nggak bisa. Jangan nyiksa diri sendiri dengan alibi nggak enak sama temen."
"Bawel." Padahal dia juga memaksaku setuju saat aku bilang tidak mau. Dasar aneh.
Aku hendak menstarter motor ketika sebuah kain tebal disampirkan di lengan. Kejadian yang tidak asing, karena serupa dengan apa yang terjadi di parkiran PKM waktu itu.
"Nggak usah. Aku bawa." Aku mengulurkan jaket yang sempat berada di lenganku kepada Aksa. Malas juga kalau harus merencanakan temu dengannya untuk mengembalikan jaket ini.
"Lo nggak bawa jaket."
Alih-alih bernada tanya, dia justru terdengar yakin dengan fakta yang diungkapkannya.
"Sok tahu."
"Lo emang nggak bawa jaket."
Hah? Kok dia tahu? Sejujurnya, aku memang lupa tidak memakai jaket saat berangkat tadi dan menyimpan jaket di tas bukan kebiasaanku.
"Yakin banget."
"Lo nggak pakai jaket pas berangkat, dan selama ini lo nggak pernah naruh jaket di tas. Sebelum-sebelumnya, lo pasti nggak pakai jaket pas pulang kalau berangkatnya juga nggak pakai."
Mataku membola, mempertanyakan dari mana dia bisa mengetahui hal itu. Ekspresi yang ditanggapinya dengan senyum tipis.
"Kenapa? Kaget gue bisa tahu?" katanya diiringi kekehan ringan.
"Kamu nguntit aku?"
Dia mengedikkan bahu. "Gue cuma mau lihat lo baik-baik aja saat tiba di sini dan saat mau pulang. Dari sana, gue tahu kebiasaan lo. Lo dengan napas berat waktu harus pulang tanpa jaket, tanpa sarung tangan, atau tanpa masker karena lo lupa bawa, tanpa sengaja bisa gue lihat saat gue mau memastikan bahwa lo baik-baik aja."
Aku menatapnya tidak percaya, tanpa berkata-kata. Jadi, dia memerhatikanku sampai seperti itu? Kenapa? Kenapa harus aku yang diperlakukannya dengan demikian?
"Biasanya gue nggak mau menghadapi pertanyaan lo kalau tiba-tiba muncul ngasih jaket. Tapi kali ini, gue harap lo nggak bakal tanya karena gue udah jelasin semuanya."
"Tapi ... kenapa?"
"Gue bingung mau tanya siapa buat jawab pertanyaan lo, karena gue juga nggak tahu."
Aksa tersenyum heran dan tak habis pikir. Begitulah ekspresi yang dapat aku artikan.
"Sa ...."
"Udah, deh. Nggak usah dipikirin."
Omongan kamu otomatis bikin aku mikir, Sa. Aku memprotes dalam hati.
"Sorry, gue emang gini orangnya. Lo tanya, ya gue jawab. Susah buat nyembunyiin apa-apa. That's why, nyembunyiin perasaan aja gue nggak bisa. Gue nggak lagi berusaha ngikat lo atau bikin lo kepikiran dengan nyeritain ini, asli."
Aku dapat merasakan kesungguhan kata-katanya.
Ah, apa aku sesalah itu kalau memintanya menjauh? Sementara suka adalah perasaan manusiawi setiap orang. Namun ... aku tidak mau segalanya semakin jauh, semakin rumit.
"Aku pulang." Menghindari kebimbangan, aku memilih untuk cepat-cepat pergi.
"Pakai jaketnya." Aksa masih bersikeras tidak mau menerima jaket di tanganku.
"Nggak usah."
"Gue nggak mau geser kalau gitu," ancamnya yang memang berdiri di depan motorku.
"Aku tabrak."
"Silakan."
Argh. Aksa terlihat tidak mau mengalah. Membuatku terpaksa memakai jaketnya. Aku dapat melihat senyum kemenangan di bibir Aksa saat aku memutuskan untuk mengalah.
"Udah. Puas? Sekarang minggir."
Bukannya menuruti perintahku, Aksa justru mengulurkan kedua tangannya, merapatkan ritsleting yang baru kunaikkan setengah. Ia bertindak dengan hati-hati, sepertinya untuk menghindari kontak fisik langsung denganku.
Aku menatap wajahnya yang kini sedang fokus pada ritsleting jaket yang kupakai. Satu dua anak rambut berjatuhan di dahinya. Dia tampak serius, tidak ada niat merapikan rambut yang menutupi kulit wajahnya itu.
"Pakai yang bener."
Aku mengerjap saat Aksa sudah menjauhkan tangannya. Kuhela napas cukup keras, sebelum berdeham dan mengalihkan pandangan darinya.
Sebentar. Apa aku menahan napas tadi? Pasalnya ada sedikit ganjalan di dada yang membuat napasku jadi sedikit sesak. Di dalam sana, seperti ada benda yang mendobrak-dobrak dadaku dengan kencang, sehingga terasa sedikit sakit. Apa ini efek cuaca yang tiba-tiba dingin ... sehingga tubuhku bereaksi demikian? Ah, memangnya kedinginan bisa mendatangkan efek seperti ini?
Setelah mengendalikan diri, aku berdeham sekali lagi. "Makasih jaketnya."
Aksa sudah menyingkir dari depan motorku, membuatku bisa mengeluarkannya dari barisan motor yang terparkir. Saat melirik, kulihat senyumnya terkembang.
"Ngapain senyum-senyum?"
"Gue senyum aja perlu izin?"
"Terserah, ah. Capek ngomong sama kamu," kesalku, bergegas menjalankan motor dan meninggalkannya.
Namun, suara Aksa segera menginterupsi gerakanku.
"Jadi lo tipe yang ilfeel sama orang yang gigih pdkt atau malah yang bakal luluh?"
Apaan, sih?
"Nggak usah jawab. Gue tahu lo tipe yang mana."
Aku tidak menanggapinya. Hanya melirik pada kaca spion yang menampilkan senyum miring tak terbaca Aksa.
Aku tidak tahu apa yang dia simpulkan, tetapi aku menyemogakan sesuatu yang bahkan tidak ingin kubenarkan dengan logika. Aku ingin dia menebak dengan tepat, setelah sebelumnya memintanya menghapus perasaannya untukku.
Aku ini ... kenapa?
Hai! Thanks for reading! Kritik saran langsung drop di kolom komentar, ya. Bintangnya jangan lupa HEHE
[First Publish] July 19th, 2020.
[Revisi] January 5th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro