variabel terikat: d u s t a kedua
Kalian tahu siapa yang aku temui di kumpul UKMP kali ini? Sebentar. Beri aku waktu untuk menelan habis rasa maluku. Kuhela napas dalam-dalam. Oke, siap.
Jadi, karena aku telat menghadiri kumpul perdana pekan lalu, ada beberapa orang anggota lama yang belum kukenal. Karena saat datang, mereka sudah meninggalkan pelataran gedung Unit Kegiatan Mahasiswa tempat kami berkumpul. Sehingga hari ini, aku menemukan wajah yang tidak kutemui sebelumnya. Salah satunya adalah wajah Mas Aksa. Wajah berbalut rambut gondrong yang tidak banyak aku lupa. Wajah milik lelaki di pernikahan Mas Faris dan juga lelaki yang sekelas denganku tadi pagi.
Sejak detik di mana mataku bersirobok dengan netranya, sejak itu pula aku terus merapalkan mantra obliviate, dengan harapan Mas Aksa akan kehilangan ingatannya seperti orang tua Hermione dalam serial Harry Potter. Sialnya, jelas tidak akan berhasil.
Aku berjanji akan menghukum Rere dengan tidak menjemputnya ke kampus selama sepekan ke depan, jika Mas Aksa mengingat kejadian kemarin.
"Waktu open house UKMP, udah dijelasin, kan, program kerja departemen Education and Training itu apa aja?" Mas Riza-sang ketua departemen-mengedarkan pandangannya ke arah kami-calon anggota baru-yang duduk melingkar. Saat ini, kami sudah dikelompokkan berdasarkan departemen yang kami pilih saat mengisi formulir pendaftaran. Untuk kemudian mendapat pemaparan seputar departemen. Saat ada kesempatan bertanya, aku langsung mengangkat tangan. Hitung-hitung menambah nilai keaktifan.
Di UKMP, mekanisme perekrutan anggota tidak hanya berupa pengisian formulir dan wawancara seperti organisasi kebanyakan. Namun, para pendaftar dikenalkan lebih lanjut terkait seluk beluk UKMP selama satu bulan, yang berarti empat pertemuan. Seiring waktu itu, proses seleksi berlangsung.
"Za, udah tiga puluh menit. Switch ke pilihan departemen kedua."
Setelah instruksi itu, aku dan semua pendaftar berpindah ke lingkaran lain. Samping kanan-kiriku bukan lagi orang yang sama. Jadi, saat mengisi formulir, kami mengisi dua departemen yang kami inginkan. Departemen kedua yang aku pilih adalah Human Resource Department.
Di antara lingkaran kami, ada Mas Aksa yang turut serta. Ia sibuk menatap layar ponsel di genggaman. Sepertinya dia tidak mengingatku. Kuharap benar begitu, meski aku sendiri ragu.
"Program kerja HR yang terbesar itu training and competition yang collab sama departemen sebelah. Kalau program kerja rutinan, ada sharing lembaga."
Aku menyimak penuturan Mas Pata dengan pembawaan santai hampir slengean-nya.
"Apa, ya, Sa?" Mas Pata melontarkan pertanyaan kepada Mas Aksa yang duduk di seberangnya, di sisi lain lingkaran. Namun, hanya ditanggapi dengan kedikan bahu. "Bingung gue mau ngomong apa. Ya gitu doang HR tuh. Kebanyakan program besarnya collab. Kebanyakan nganggurnya. Kualitas sumber daya juga lebih banyak diurus ETD lewat diskusi rutin, training, gitu-gitu. Kita lebih ke motivasi kali, ya. Santai aja, sih. Kalian nggak perlu takut keganggu kuliahnya."
Aku tidak suka dengan pernyataan Mas Pata di akhir. Kesannya HR tidak terlalu dibutuhkan lagi. Walaupun mungkin dia hanya tidak ingin membuat kami khawatir dengan kesibukan di organisasi.
"Kok pernyataannya gitu, sih. Seolah HR nggak dibutuhin. Padahal kan, semua elemen sama pentingnya dalam organisasi." Tanpa sadar, aku menggerutu kepada Lisa-teman di sebelahku. Dia mengangguk setuju.
Ketika aku kembali memusatkan perhatian ke buku catatan, sebuah suara menginterupsi gerakanku.
"Gimana, Dek?"
Kupikir pertanyaan itu tidak ditujukan kepadaku. Namun, ketika mata Mas Aksa menatapku sepenuhnya, aku tahu ia sedang bertanya kepadaku. Iya. Jadi, suara yang kudengar tadi keluar dari lisan Mas Aksa.
"Eh? Saya?" tanyaku memastikan.
"Iya. Tadi kayaknya mau nyampain sesuatu."
Aku meneguk ludah susah payah. Bagaimana ini? Percayalah. Ketahuan menggunjing senior bukan hal yang baik untuk kelangsungan karierku di sebuah organisasi.
Namun, harus bagaimana lagi? Sepertinya Mas Aksa bukan asal menebak ketika menunjukku. Aku yakin, dia sedikit menangkap perkataanku, menginggat jarak kami yang tidak terlalu jauh. FYI, posisiku dan Mas Aksa seperti angka enam dan sembilan dalam sebuah jam. Ia pasti juga dapat menangkap gerak bibirku.
Ya sudahlah. Mengelak juga percuma.
"Emmm. Maaf, Kak, sebelumnya. Namaku ... maksudnya, nama saya Anggia Ivy Senandika dari Matematika 2019." Aku menjeda.
"Maaf sekali lagi." Aku gugup. "Saya kurang sependapat dengan ... Kak Pata." Saat mengatakannya, aku tidak berani menatap Mas Pata.
"Dari yang saya tangkap, pernyataan terakhir Kak Pata seolah menegaskan bahwa HR tidak sepenting ... emmm ... departemen lain. Sedang sependek saya belajar, sepertinya semua elemen dalam organisasi itu sama pentingnya. Katanya, organisasi itu seperti tubuh manusia. Tidak peduli sesepele bulu mata, tetap punya peranan penting tersendiri." Aku mengambil napas sejenak. "Maaf, Kak, kalau saya lancang."
Degup kencang dalam dadaku belum juga mereda. Malah rasanya semakin kencang saat aku melihat Mas Pata meringis sambil menggaruk belakang kepalanya. Tamat riwayatmu, Vy.
"Bercanda, sih, tadi. Setuju aku, Dek."
Syukurlah, respons Mas Pata sama sekali tidak semenyeramkan pikiranku.
"Kalaupun bercanda, takutnya ada yang mikirnya serius, Kak. Kan repot kalau malah jadi doktrin." Aku melotot tanpa sadar saat kata demi kata meluncur dari mulutku. Sedetik kemudian, refleks membekap mulut.
Aku tahu, teman-teman calon anggota baru susah payah menahan tawa. Sementara Mas Pata meringis, seolah tidak terganggu dengan kalimatku, satu hal yang aku syukuri. Mas Aksa? Aku tidak tahu bagaimana responsnya. Melirik ke arahnya pun tidak berani. Bayangkan saja, bagaimana aku akan bersikap biasa setelah tertangkap basah melakukan dosa olehnya?
"Sa, sini lo. Gue diserang gini, kan, jadinya."
Kali ini, tawa sudah semakin sulit untuk disembunyikan. Ada yang terkikik geli, juga gigi-gigi yang mulai menyembul keluar.
"Ulang Ospek sana, Ta. Cemen banget suruh ngomong di depan doang. Belepotan semua," gerutu Mas Aksa.
Mas Aksa kemudian mengambil alih. Dari sana, aku tahu bahwa Mas Aksa adalah ketua departemen terpilih di periode ini yang sebenarnya. Katanya, Mas Pata menggantikan Mas Aksa untuk memimpin forum karena tantangan ToD. Iseng sekali senior-seniorku ini.
Aku juga merasa bahwa interaksi di HRD terasa santai. Bahkan Mas Aksa yang notabene angkatan 2017-yang kutahu setelah dia memperkenalkan diri, tidak keberatan disapa tanpa embel-embel 'mas' atau 'kak' oleh Mas Pata yang ternyata adalah angkatan 2018.
Setelah rangkaian kegiatan di pertemuan sore ini selesai, aku segera beranjak menuju parkiran. Untungnya, Mas Faris tidak mengikuti pertemuan sore ini, jadi aku tidak perlu mengarang banyak alasan untuk menghindarinya. Namun, tadi dia sempat menyambangi sekretariat UKMP. Karena saat aku bertanya kepada salah seorang senior soal file abstrakku, katanya Mas Faris sudah menyerahkannya sejak siang.
Aku tahu, tidak seharusnya aku membentangkan jarak dengan Mas Faris seperti ini. Tidak ada hal yang mengusik persahabatan kami kecuali perasaanku. Itu bukan salah Mas Faris. Harusnya Mas Faris tidak perlu menerima dampaknya seperti ini. Namun, aku juga tidak bisa bersikap biasa saja, seperti hari-hari lalu. Rasa dan lukaku nyata.
Setelah kupikir lagi, begini memang yang terbaik. Untuk hatiku, untuk harapan yang sempat tumbuh sesubur padang rumput, sebelum dibunuh habis oleh semprotan herbisida.
Aku sudah duduk di atas motor, ketika suara yang paling kuhindari sekaligus paling ingin kudengar itu tertangkap rungu.
"Vy, jadi pergi? Sama siapa?" tembak Mas Faris.
Aduh. Aku tidak menyiapkan jawaban apa pun.
"Emmm sama Rere, Mas. Ini mau ke kosannya." Cerdas, Vy. Padahal kamu tidak tahu Rere ada di mana saat ini.
Perasaanku mendadak tidak enak saat Mas Faris mengernyit tidak percaya. "Rere? Bukannya dia ada rapat BEM dan habis magrib nanti ada upgrading?"
Yah. Mau jawab apa sekarang?
"Emmm ... itu Mas ...." Sudah berapa kali aku menjadi Aziz Gagap seharian ini?
"Kamu nggak lagi bohong, kan?"
Aku ingin menangis mendengar nada menyelidik dari Mas Faris. Nada yang membuatku merasa terintimidasi sekaligus merasa diperhatikan dalam satu waktu yang sama. Mata, jangan bandel, tolong.
"Gigi."
Aku mendengar suara yang mendekat, kemudian si pemilik suara berhenti di sisi kananku, berseberangan dengan posisi berdiri Mas Faris. Dua orang itu kini dihimpit oleh motor lain di kiri-kananku, sementara aku tidak turun dari motor. Tidak sopan sekali, kan?
Setelah mendapati kehadiran Mas Aksa, dengan bingung, aku menunjuk diriku sendiri. Sebagai isyarat apakah yang dia maksud adalah aku.
"Hm." Dia bergumam. "Dipanggil dari tadi nggak noleh," protes Mas Aksa.
"Namaku Ivy, Kak."
"Loh, Anggia Ivy, kan?"
"Iya. Tapi panggilnya Ivy aja."
"Sama aja," jawabnya tak peduli. Ringan sekali dia bilang begitu? "Jadi pergi?"
"Eh?" Aku melongo sebagai respons dari pertanyaannya. Dari mana dia tahu bahwa aku 'berencana' untuk pergi?
Dia berdecak seolah aku makhluk paling susah diajak berkomunikasi. Padahal dia sendiri yang tidak jelas.
"Kamu bikin janjinya sama Aksa, Vy?" Mas Faris terlihat bingung.
Aku melirik Mas Aksa sebelum menjawab. Matanya mengisyaratkan agar aku mengiyakan saja. Entah bagaimana aku mengartikannya demikian. Aku hanya merasa perlu mengartikannya begitu.
Kebohongan kedua sifatnya menutupi kebohongan pertama, menjadi variabel terikat yang bergantung pada variabel bebasnya, yaitu dusta pertama yang memantik dusta kedua. Aku sadar, kini aku sedang membangun dua variabel itu. Mungkin, akan ada variabel-variabel selanjutnya pula dan tak tahu bagaimana akhirnya.
"I ... iya, Mas. Aku duluan, ya, Mas Faris. Salam buat Mbak Nindy sama Ibun."
"Duluan, Bang." Mas Aksa ikut menimpali.
Ia menjauh, menghampiri motor yang terparkir sedikit di ujung. Aku pun segera keluar dari himpitan motor, kemudian menekan klakson ketika Mas Aksa sudah berada di sampingku.
Kami melajukan motor, dengan Mas Aksa memimpin di depan. Setelah sampai di gerbang utama kampus, ia memelankan laju motor untuk kemudian berhenti di dekat pos satpam. Aku? Tentu saja ikut berhenti di belakang Mas Aksa.
"Tunggu bentar, Gi."
Aku menurut. Mas Aksa mengeluarkan ponsel lalu entah menelepon siapa.
"Gue tunggu di gerbang, Ta. Cepetan! Bawa anak orang gue. Kasian suruh nunggu lama. Berisik."
Keheningan mengisi ruang kosong di antara kami setelah pria itu menutup telepon. Bingung, mengapa aku masih menunggunya padahal kami tidak benar-benar memiliki janji untuk pergi bersama. Aku bisa saja langsung pergi dan meninggalkannya sendirian. Namun, mendengar permintaannya tadi, rasanya tidak tepat jika aku tidak menuruti. Apalagi dia sudah berjasa besar dengan menyelamatkanku dari pertanyaan Mas Faris.
Oh iya. Sebenarnya aku ingin bertanya, bagaimana ia bisa tahu soal 'rencana' pergi yang aku karang tadi. Benar-benar ingin bertanya, tapi ....
"Kak Aksa." Oke. Curiousity killed the cat. Jadi kita lihat, apakah napasku masih berembus setelah ini.
"Aksa aja," katanya, belum juga menoleh.
"Eh?"
"Panggil Aksa aja, Gi." Kini, Mas Aksa menolehkan kepalanya. Helmnya sudah dilepas sejak tadi. Entah kenapa, mata teduh itu memintaku untuk menyelaminya. Seolah di dalam sana tersimpan sejuta nyaman.
Aku mengerjap. Tidak sopan memandangi orang yang baru kukenal seintens itu.
"Em ... tapi ...."
"Gue bukan panitia orientasi yang galak. Jadi, jangan panggil kak."
"Yaudah. Mas aja kalau gitu."
"Aksa aja."
"Nggak sopan, Mas."
"Keras kepala." Mas Aksa berdecak kesal. Bola matanya melirik tak suka.
"Oke. Aku nggak manggil 'kak' atau 'mas', asalkan Mas Aksa nggak panggil aku Gigi."
"Nggak penting banget, sih, debatnya? Kayak anak kecil aja." Lah, kan dia yang mulai? "Mau dipanggil apa?"
"Ivy is ok."
"Oke. Anggi."
Untuk apa bertanya, jika akhirnya jawabanku sama sekali tidak berpengaruh pada keputusannya? Terserahlah. Sepertinya memperpanjang urusan tidak akan mengubah apa pun.
"Kenapa manggil?"
Karena perdebatan itu, aku hampir lupa tujuan awalku memanggilnya.
Tanya atau tidak usah saja? Aku memang penasaran, tetapi juga malu untuk mengakui kalau aku sedang kabur-kaburan dari Mas Faris. "Nggak apa-apa. Nggak jadi," ungkapku setelah membuat pertimbangan. Harga diriku yang menang.
"Oke. Sama-sama."
Aku mendelik saat pria itu mengerlingkan mata, lalu berbalik memunggungiku. Sial. Dia pasti bisa membaca maksudku. Ah, tentu saja. Membaca situasi penolakanku atas Mas Faris saja bisa, apalagi yang satu ini. Apa gelagatku selalu seterbaca itu?
Selang beberapa menit dari gerakan kepala Aksa-aku memutuskan untuk menghapus embel-embel Mas di depan namanya-yang kembali menghadap ke depan, sebuah motor sport berhenti di sampingnya. Pasti orang yang ditunggu Aksa.
Kedua lelaki itu turun dari motor lalu menukar kunci di tangan. Aksa mengambil alih motor temannya, begitu pun sebaliknya. Membuatku mengernyit memperhatikan.
Teman Aksa sudah bersiap di atas motor, tetapi menoleh ke arahku sebelum melajukannya. Pria itu membuka kaca helm dan membuatku terperanjat. Itu Mas Pata.
"Oh, Dek Ivy toh yang bikin Aksa rela tukeran motor? Beuh, bisa aja anaknya Tante Ambar." Mas Pata mencerocos, membuatku menatapnya bingung.
Sementara itu, Aksa langsung menyambar cepat. "Sana elah, Ta. Comel banget mulut lo."
Mas Pata tergelak. Ada apa, sih?
Mungkin karena memahami kebingunganku, Mas Pata kembali bersuara, "Ini anak nggak pernah mau motornya dinaikin orang lain, Dek. Eh, tadi malah minta tukeran gara-gara si Item parkirnya nyelip-nyelip. Ternyata mau buru-buru nganter lo. Beuh, nggak nanggung kalo mau ngejar anak orang. Segala motor dikorbankan, tum ...."
"Mati aja lo, Ta!" Aksa memotong perkataan Mas Pata, ketika aku masih melongo mendengarnya. Aku segera menolehkan kepala ke arah Aksa, sedang pria itu memberikan tatapan mengancam ke arah temannya. Sama sekali tidak melirikku.
"Udah, pergi sana!" usir Aksa.
"Iye iye." Mas Pata membangkitkan kembali niatnya untuk mengenakan helm, yang sebelumnya terinterupsi oleh sapaannya kepadaku. "Gue tunggu kabar baiknya," teriak Mas Pata sambil menjalankan motor, membuat Aksa hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan tatapan horor, lalu melirikku singkat.
"Nggak usah dengerin," kata Aksa, membuatku mengangguk karena tak paham betul maksud Mas Pata tadi.
"Kos lo di mana, Gi?"
"Aku nggak kos."
"Oh. Rumah di jalan apa?"
Aku menyebutkan nama jalan tempat rumahku berdiri. Aku pikir, setelah itu dia akan melajukan motor menuju tempat tinggalnya. Namun, dugaanku salah.
"Gue di depan sampai jalan utama. Habis itu lo yang gantian di depan."
"Aku pulang sendiri nggak apa, kok, Sa."
"Bareng aja." Ia sudah menenggerkan helm di kepala. "Yuk."
Baiklah. Lagipula dia sendiri yang menawarkan untuk mengantar. Eh, betulan mengantar, atau dia memang memiliki tujuan yang sama sepertiku, ya?
Menatap punggung Aksa yang tengah mengendarai motor di depanku, membuat napasku kian memberat. Kini yang terbayang di kepala adalah punggung Mas Faris. Bagaimana ia selalu dengan senang hati mengantarku, tidak peduli meski dia masih punya agenda. Bagaimana Mas Faris sebisa mungkin tidak membiarkanku sendirian di jalan, meski hanya dengan menyertakan jaketnya untuk kupakai. Segalanya terekam jelas. Seolah memang sedang terjadi di depan mata.
Lukaku nyata dan tak tahu sampai kapan akan tetap di sana.
Waktu dan kolom komentar dipersilakan. Jangan lupa bintangnya di-klik, ya! Thank you sudah membaca!
[First Publish] May 29th, 2020.
[Revisi] January 2nd, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro