untied the (not so tied) ties
"Vy?"
Tepukan di pundak menyadarkanku dari lamunan. Sebelum menoleh, kuperhatikan sajian di piring yang kini terlihat berantakan. Tentu saja sebagai akibat dari tanganku yang terus mengaduk-aduknya tanpa minat.
"Gimana, Pa?" kataku setelah memusatkan pandangan kepada Papa. Tentu hanya pandangan, sebab pikiranku berkelana jauh tak tahu rimbanya.
Papa mengernyit, lalu menoleh ke arah Mama. Spontan aku mengikuti gerakan kepala Papa dengan bingung. "Nanti pulang jam berapa, Ivy?" katanya setelah kembali menoleh ke arahku.
"O-oh, sorean kayaknya, Pa." Aku menjawab dengan nada mengambang. Seolah tidak benar-benar masuk dalam pembicaraan.
"Ivy ada masalah?"
Aku meneguk ludah ketika tatapan Papa berubah intens. Bahkan, kini dia sudah meletakkan sendok, beralih menggenggam sebelah tanganku yang ada di atas meja makan.
"Enggak, kok, Pa. Lagi lumayan capek aja." Kugerakkan kepala menghadap Papa, kemudian beralih kepada Mama yang juga mebatapku lekat. Aku mencoba tersenyum senatural mungkin untuk meyakinkan mereka.
"Istirahat yang cukup, Vy. Jangan sampai pingsan kayak kemarin lusa. Jangan terlalu workaholic gitu, ah." Mama membuka suara, wajahnya amat serius dan sangat khawatir. Aku bersyukur karena Mama tampaknya tidak tahu bahwa aku mendengar percakapannya bersama Nenek. Paling tidak, dia tidak perlu tahu bahwa pikiranku sedang terbebani dengan hal itu.
Aku tersenyum, lalu mengangguk dan beberapa menit kemudian memilih beranjak. Sudah setengah tujuh dan aku harus segera sampai di kampus. Tidak peduli meski pikiranku kalut, acara talk show hari ini harus berjalan dengan baik.
Belum sempat menstarter motor, suara notifikasi pesan singkat terdengar telinga. Aku segera membukanya, takut jika pesan itu dari panitia MIPA Festival yang membutuhkan bantuanku.
Namun, kala mataku mengabsen deret huruf yang tertera, mendadak gelenyar aneh menyelusup ke dada. Aku langsung mematikan layar ponsel tanpa membalas pesan yang baru masuk.
Ah, lagi-lagi aku sepengecut ini.
***
Masih satu setengah jam sebelum acara talk show dimulai. Aku memilih mengelilingi gedung kuliah Matematika dan Kimia untuk mengecek stan-stan yang sengaja didirikan di koridor dua gedung itu. Segalanya tertata rapi, seperti yang sudah direncanakan tim denah lapangan.
Aku tersenyum mengamati berbagai media pembelajaran yang berjajar rapi. Beberapa kali mengernyit saat tidak tahu betul apa yang ditampilkan teman-teman Biologi.
Tiba di ujung lorong gedung Matematika, aku berbelok untuk menuju ke kamar mandi. Kuletakkan ponsel di meja wastafel, lalu mulai membasuh muka yang terasa kaku karena sedari tadi tersenyum tanpa betul-betul mau melakukannya.
Saat ini, perutku sama sekali tidak penuh, bahkan bisa dikatakan terasa kosong. Aku mengurangi konsumsi karbohidrat dan makanan berlemak. Tadi pagi saja, aku hanya menyuapkan tiga sendok nasi goreng ke mulut.
Dari sebuah jurnal yang kubaca, 56 persen penderita PJK-penyakit jantung koroner-memiliki pola konsumsi lemak yang tinggi, sementara sisanya ada di tingkat normal dan menengah. Aku juga menghindari makanan berpotein, setelah membaca bahwa 75 persen penderita PJK memiliki pola konsumsi protein yang tinggi. Aku ketakutan, sangat.
Ponselku menjerit singkat saat aku mengelap wajah basahku dengan tisu. Pertanda sebuah pesan baru terkirim ke aplikasi WhatsApp.
Nama seseorang yang sejak dua hari lalu kuabaikan pesannya, terpampang di sana. Menyembulkan sendu yang tak tahu mengapa lekas sekali datang.
Aksa
Ke kampus bareng?
Aku berangkat dari rumah.
Itu pesannya tadi, saat aku hendak berangkat ke kampus. Pesan yang sengaja tidak aku balas.
Berangkat lebih pagi?
Semangat, ya, panitia favorit.
Fighting!
Itu pesannya belasan menit lalu, yang ditutup dengan stiker kartun berjilbab yang mengepalkan kedua tangan bersemangat.
I'll be there!
Kali ini, itu adalah pesan yang baru tertransmisikan beberapa detik lalu.
Sama seperti pesan sebelumnya, yang kali ini pun tidak kubalas. Berharap dia marah dan menilaiku sebagai gadis plinplan yang cepat sekali berubah sikap. Berharap dia akan membenciku, atau minimal hilang rasa padaku. Meski sebenarnya, di hati kecil yang sedang aku bungkam suaranya, aku tidak ingin hal itu terjadi.
Aksa adalah seorang kepala keluarga. Dia bertanggung jawab penuh atas ibu dan kedua adiknya. Dia tidak perlu menerima beban lagi. Dia tidak boleh menanggung hal yang akan semakin memberatkan pundaknya.
Semakin mengenal pria itu, aku sadar bahwa hal-hal yang tidak kusukai darinya kini justru menimbulkan rasa kagum. Segala yang ada pada Aksa selalu beralasan. Sifatnya yang suka memerintah, dia yang selalu meyakinkanku untuk menyuarakan isi kepala, bahkan dia yang selalu menyebalkan. Dan perasaanku tidak boleh berlanjut, sebab itu hanya akan membuat Aksa kesulitan.
Namun, tidak berselang lama, aku harus tersenyum kaku saat tubuh pria itu tertangkap retina, tepat setelah aku keluar dari kamar mandi.
Dia mendekat, dengan senyum cerah. Kalau boleh jujur, aku sangat senang bisa melihatnya. Pria yang tanpa kumau sudah menyusup di mimpiku semalam. Pria yang aku hindari, tetapi sangat ingin kutemui setiap detiknya. Pria yang kuinginkan selalu ada di dekatku, tetapi harus kulepaskan sekarang juga.
"Halo, Panitia," sapanya ramah.
"Hai." Aku menyapa sekenanya. Dengan intonasi yang aku sendiri bingung menandakan apa.
Namun, Aksa tidak menggubris-atau mungkin memang tidak sadar. Dia tersenyum sambil bersedekap. "Selain grup acara, pesanku juga perlu ditanggapi, loh."
"Maaf. Lagi cukup hectic, jadi chat-nya banyak yang tenggelam." Ah, aku sudah membaca semua pesannya. Bagaimana Aksa akan percaya?
"Oke. Alasan diterima." Aku menatapnya. "Lagian nggak apa-apa nggak dibales. Yang penting kamu tahu, aku punya banyak waktu kalau kamu butuh aku." Senyum Aksa kembali terkembang.
Hening. Tentu saja aku tidak bisa menjawab. Dia terlalu tahu tentang kondisiku. Kapan aku senang, kapan aku butuh ruang yang bisa menjadi tempat penitipan segala sesak. Aku merasa, dia mampu membaca gerak-gerikku.
Mataku hampir mengabur jika tidak cepat-cepat kukerjapkan. Aku tidak menjawab, tetapi justru berpamitan dari hadapannya.
"Aku duluan, ya. Harus ngurus sesuatu. Sampai ketemu di briefing satu jam lagi."
Begitu saja, dia melepasku dengan senyuman, tanpa sedikit pun respons keberatan. Seolah mengerti betul bahwa aku tidak dalam kondisi siap untuk mendapatkan respons sejenis itu.
"Semangat, Panitia!"
Semuanya terasa cepat, saat satu bulir bening mengalir bebas bersama gaung suaranya.
Otak dan hatiku sedang melakukan negosiasi. Sang hati bersikeras agar otakku menghentikan niat yang sudah kususun semalam untuk mengusaikan apa pun yang mengikat aku dan Aksa. Hati hampir membawa pulang kemenangan. Sebelum akhirnya aku sadar, Aksa memiliki tanggung jawab besar dan dia pantas hidup dengan mudah. Aku tidak boleh egois.
***
Asar sudah menjelang dan aku baru dari masjid fakultas untuk menunaikan kewajiban. Beberapa panitia sudah beranjak ke tempat tinggalnya masing-masing, mempersiapkan diri untuk esok hari yang masih akan sangat padat.
Aku tahu Aksa belum pulang, meski talk show yang mengikatnya sudah selesai sejak zuhur tadi. Dia tetap di gedung kuliah MIPA. Sekali-dua aku mendapatinya berbincang dengan Mas Andaru dan panitia senior lainnya. Dia turut membantu ini dan itu, baik di stan maupun sekadar memantau jalannya olimpiade tingkat SMP dan SMA yang juga diselenggarakan hari ini.
Setiap mata kami bertemu, dia selalu tersenyum dan melisankan kata semangat tanpa suara. Sesekali dia juga mengepalkan tangannya. Aku hanya menanggapi dengan senyum tipis, tidak berniat mendekat dan menyapanya barang sekali.
Itu yang menjadi sebab mengapa aku tidak kaget saat dia berdiri menyambutku di depan ruang kelas yang menjadi tempat transit panitia. Senyumnya tersungging dengan lebar.
"Pernah dengar istilah action, social, dan thinking yang merupakan pembagian peran dalam sebuah organisasi?" Itu kalimat pertama Aksa saat aku tiba di depannya.
Aku mengernyit.
"Menurutku, kamu punya ketiganya." Melihatku yang masih tidak paham, Aksa melanjutkan, "Dari tadi lihat kamu ke sana-kemari, aku tahu kalau kamu konseptor yang baik, pelaksana yang lincah, dan juga perangkul yang hangat. Kamu hebat."
Ya Tuhan, apa dia sedang mencoba mengusir lelahku dengan mengapresiasi seperti ini? "Apa, sih? Semua orang juga gitu," sangkalku, meski sebenarnya ingin tersenyum. Siapa, sih, yang tidak senang dipuji oleh orang yang disukai?
Kalau kalian ingin tahu, kami sedang berbincang di tembok sebelah pintu. Di mana lalu lalang panitia terus bergulir, sehingga sesekali kami mendapat lirikan yang beragam.
"Itu masalahnya. Kamu memang hebat, Anggia. Tapi coba, deh, ambil satu hal yang paling dominan dalam diri kamu dari tiga hal itu. Mana yang lebih kamu kuasai, action, merangkul dengan jiwa sosial, atau menjadi konseptor dengan pemikiran-pemikiran solutif?" Dia masih tersenyum, meski kini keseriusan mulai membias di sana.
"Pilih salah satu? Buat apa? Bukannya harus bisa semua kalau di organisasi?" Aku ingin dengar dia berbicara. Aku ingin dengar isi kepalanya, lagi. Mengesampingkan sebentar segala sesak yang kudapat saat melihatnya. Aku janji, sebentar saja. Setelah ini, tidak akan ada lagi harapan yang kupukuk.
"Dalam konsepnya, iya. Harus belajar untuk bisa jadi semuanya." Aksa menjeda perkataannya. "Tapi, kalau udah praktik kayak gini, kamu harus memilih. Mau mengambil peran seperti apa, begitu pun dengan anggota organisasi lainnya. Tujuannya, agar kerjanya terfokus dan terstruktur. Juga supaya efisien dan nggak capek-capek banget dalam menjalankan program." Aksa tersenyum di ujung kalimatnya.
Nada suara Aksa lebih terdengar seperti permintaan dibanding perintah. Lebih terkesan berbagi daripada menggurui. Membuatku membuka pikiran dan menyetujui gagasannya tanpa sekali pun merasa dikerdilkan.
Aku tidak bisa membuka kunci untuk lari dari tatapan matanya. Dia yang menjulang di depanku adalah porsi paling pas yang tidak ingin kutambah dengan apa pun, apalagi dikurangi meski sedikit. Segalanya dalam diri pria itu membuatku tak ingin beranjak.
Namun, sikap dan kekayaan dirinya yang seperti ini yang membuat otakku kembali bekerja. Dia punya potensi yang cemerlang dan waktu yang terlampau berharga untuk dibebani oleh orang sepertiku. Karenanya, rasa kagum dan debar menyenangkan dalam diriku berubah menjadi remasan yang cukup keras di dada.
Puncaknya, kubulatkan satu keputusan. Lalu kutatap matanya dalam sambil berkata, "Aksa, boleh aku ajak kamu ke suatu tempat? Sebentar."
Sebuah akhir seolah tergambar di depan mata, apalagi saat dia menganggukan kepala meski terlihat jelas ada banyak tanya di sana.
Thanks for reading and enjoy, Guys!
[First Publish] October 11th, 2020.
[Revisi] January 7th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro