Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

untied the (not so tied) ties 2

Sudah sepekan sejak terakhir aku mendatangi tempat ini. Segalanya masih sama. Sore hari, tetapi terik masih terus mengecupi. Padang yang luas tetap sama, tetapi luka yang terasa kian berlipat dan menganga.

Aku sedikit ragu saat hendak turun dari motor. Ada rasa tidak siap untuk menghadapi hari-hari di depan tanpa kehadiran seseorang yang memarkirkan motornya tepat di sebelahku ini. Namun, semakin menunda maka semakin dalam keinginanku untuk bersama. Semakin menunda, semakin rumit keputusanku untuk mengakhirinya. Aku tidak punya waktu bahkan sampai hari esok. Sebab aku tidak tahu, apakah ketika matahari terbenam di esok hari, aku masih mampu mempertahankan kebulatan tekadku.

Aku menghirup napas dalam-dalam. Memenuhi dada dengan oksigen agar tidak ada rongga yang tersisa untuk menyimpan sesak dan luka.

"Mau ke makam siapa?" Aksa sudah menanggalkan helmnya.

Aku melepas helm dan turun dari motor, berdiri di depan Aksa dengan dipisahkan oleh motornya. "Ke makam papaku."

Aku bisa melihat Aksa mengernyit heran. Wajar, tentu saja. Sebab yang Aksa tahu, papaku masih hidup sampai sekarang.

"Nanti aku ceritain." Aku melanjutkan. Lagi-lagi dengan senyum. Sebab aku tidak yakin apakah masih bisa tersenyum di depannya setelah hari ini. Anggap saja ini hari terakhir bagiku untuk tersenyum kepadanya.

Aksa mengangguk pertanda bersedia mengikuti dulu apa yang akan aku lakukan.

Namun, belum selangkah pun kaki beranjak, gerakanku langsung terhenti ketika ada hal tak terprediksi yang tertangkap mata. Di hamparan makam yang luas itu, Mama terduduk di samping makam Papa.

Aku berbalik untuk mendapati Aksa yang sedang menatap lurus, ke titik di mana Mama berada.

"Itu Mama kamu, kan?"

Aku tersenyum. "Kita ... di sini aja, ya? Atau ke warung tenda yang di sana?" Jariku mengarah ke sebuah warung tenda yang berjarak sekitar dua puluh meter dari area pemakaman.

"Bukannya mau ke makam papamu?"

Aku bingung hendak menjawab apa. Meski aku berniat menceritakan semuanya kepada Aksa, tetapi aku tidak mau jika dia melihat Mama sedang tersedu secara langsung. Aku tidak ingin ada yang melihat Mama dalam keadaan rapuh. Sebab sepanjang aku hidup, beliau adalah wanita terkuat yang pernah ada dalam hidupku.

"Em ... kalau di sini aja gimana?" Aku tidak punya alasan. Jadi, yang kulontarkan sekali lagi adalah permintaan yang sama.

Wajah Aksa terlihat gamang, seolah menyadari ada yang tak benar. Namun, aku bersyukur karena Aksa adalah Aksa. Dia yang tahu kapan harus mendebat dan kapan harus diam dan menuruti saja. "Oke."

Aksa memanduku untuk menuju sudut parkiran, sambil membawa dua kursi kayu kecil di tangannya. Kursi yang biasa digunakan peziarah untuk duduk di samping makam yang dituju. Parkiran ini beratap, jadi kami tidak perlu terkena sentuhan matahari secara langsung.

Untuk beberapa saat, kami terdiam. Kupandangi area makam sambil kembali menguatkan diri. Aku harus bersuara. Sekarang atau aku akan segera kehilangan nyali yang kupunya.

"Aku juga suka kamu," kukatakan kalimat itu tanpa menghadap Aksa. Oke. Semuanya sudah dimulai. Mula untuk mengakhiri segalanya.

Aku merasakan lelaki itu menghadapku dengan sangat cepat, seperti reaksi spontan dan tak menyangka. Namun, leherku belum juga berputar. Merasa tidak sanggup harus menatap sosok itu.

Untuk beberapa saat, lengang mengisi. Aku dengan degupan kencang juga sesak yang menahan, serta Aksa yang entah mengapa tidak sedikit pun melepas matanya dariku. Hingga suara lelaki itu terdengar. "Bisa ... diulangi lagi? Aku takut salah denger."

"Aku suka kamu, Aksa," kataku semakin lirih. Masih tanpa meletakkan atensi padanya.

"Aku nggak salah dengar." Nada suaranya terdengar semringah. "Makasih, Anggia."

Andai kamu tahu bahwa ini adalah caraku mengakhiri, mungkin bukan intonasi itu yang keluar dari mulutmu, Sa.

"Oke. Sekarang giliranku buat ...."

Kalimat Aksa belum usai, tetapi aku cepat-cepat memotongnya. "Aku belum selesai," ucapku, lagi-lagi dengan lirih. "Maaf." Kali ini aku menatapnya. Kini terlihat jelas ukiran senang di sana, meski sudah terkontaminasi ekspresi heran.

"Untuk?"

"Itu makam papaku, yang lagi dikunjungi Mama." Dengan pelan, aku melanjutkan, "Papa pergi saat aku masih delapan tahun. Malam itu aku ngotot minta diantar ke pet shop milik tanteku, tempat di mana kucingku dititipkan. Udah malaaam banget. Tapi jalanan masih terang, nggak hujan, dan motor yang kami naiki baik-baik aja. Hal yang membuat aku heran, kenapa saat di jalan yang bener-bener lengang, Papa bisa kehilangan kendali. Padahal Papa adalah pengendara paling hati-hati yang pernah aku kenal." Masih saja sakit saat mengenang hari itu. Hari yang merenggut Papa, keberanianku melihat darah, dan keberanianku untuk meminta apa yang ada di kepalaku. Namun, aku harus melanjutkan. Sebab kali ini, kami harus benar-benar berakhir dan aku tidak mau ada yang masih mengganjal.

"Jangan dilanjutin kalau emang nggak bisa."

Aku menggeleng mendengar perkataannya. Kamu harus tahu semuanya, Sa.

"Hari itu, aku dan Papa sama-sama terlempar ke jalan. Tubuhku rasanya remuk, perih, sakit. Ada darah yang membasahi aspal, yang nggak aku tahu datangnya dari mana. Namun, semua itu langsung lenyap saat mataku mulai tertutup. Sebelum benar-benar hilang kesadaran, aku melihat Papa tergeletak dengan mata terpejam. Hari itu, hari terakhir aku melihat Papa. Bahkan aku harus operasi dan nggak bisa melihatnya dibaringkan di pemakaman." Air mataku mengalir. Hari pertama aku menyambangi makam Papa kembali terbayang di kepala."Papa pergi karena aku."

"Hei. No. Kenapa jadi karena kamu? Itu cuma udah waktunya papa kamu. Allah loves him. Dia mau papamu istirahat and it was." Wajah pria itu terlihat sangat ingin menenangkanku. "Jangan nangis. Aku nggak bisa lihatnya."

Itu artinya kita sama, Sa. Aku juga nggak bisa lihat kamu kalut. It means, aku benar-benar harus melakukannya.

"Iya, yang hari itu mungkin bukan salahku. Kalau sudah saatnya pergi, ya pergi saja, kan?" Aksa mengangguk, lega sekaligus menyetujui pertanyaanku. "Tapi hari-hari sebelumnya adalah kesalahanku."

Dahi pria itu mengernyit.

"Aku baru tahu, Papa meninggal bukan murni karena kecelakaan itu. Papa meninggal karena sakit. Sakit yang aku nggak tahu pasti udah bersarang berapa lama di tubuhnya. Yang mungkin bikin dia jadi hilang kendali waktu mengendarai motor." Aku hampir menyerah saat Aksa menatapku penuh pengertian. Seolah memberiku ruang untuk meminta pertolongan kepadanya kapan saja. Namun, sekali lagi aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh memintanya menjadi sandaranku, saat Aksa juga memiliki banyak hal yang harus ia topang.

"Kamu bener mau cerita? Kamu boleh berhenti, Anggia. Kita punya banyak waktu untuk saling tahu."

Menanggapi raut khawatir Aksa, lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Pria itu salah. Kami tidak punya waktu bahkan untuk hari esok.

"Papa punya sakit jantung. Papa pasti kesakitan tiap hari dan aku justru merepotinya dengan merengek meminta ini-itu."

"Papa kamu pasti senang. Putrinya berani meminta seperti itu. Dia pasti merasa menjadi ayah super yang bisa menuruti semua maumu, kan?"

Senyum tipisku tersungging, sebelum satu kalimat meluncur lagi. "Papa sakit jantung."

"Sekarang nggak lagi." Wajah teduh Aksa membuatku tanpa sadar menitikkan air mata. Ini berat, tetapi harus kuselesaikan.

"Penyakit jantung Papa sifatnya genetik."

"Yang terpenting, sekarang dia nggak sakit lagi."

Kenapa Aksa gemar sekali membuatku ingin bungkam saja? Kenapa dia seolah punya segala jawaban atas rasa sakitku?

"Aksa, kamu nggak ngerti."

Pria itu mengernyit. "Kalau kamu mau aku ngerti, then tell me."

"Udah jelas, kan? Papa sakit jantung dan itu genetik. Aku anak Papa."

Wajahnya menegang. Mungkin, Aksa sudah menangkap apa maksudku. Namun, hanya hitungan detik sampai ekspresi itu rileks kembali. "Dan kamu sekuat papamu."

Aku tidak habis pikir. Kenapa dia seolah menyimpan seribu satu obat penenang untuk segala luka yang berbeda?

"Aku nggak suka lihat kamu sedih. Aku nggak suka lihat kamu ketakutan kayak waktu itu," kataku beralih topik. Sebentar lagi, sebentar lagi dan aku hanya perlu bertahan. Sebentar lagi tugasku berbicara akan usai.

"Aku juga nggak mau lihat kamu sedih. Jelek. Sekarang aja mukanya kayak anak kecil minta permen sambil nyusut ingus." Aksa terkekeh, aku tidak. Kalau dalam situasi normal, aku pasti sudah memelototinya.

"Good. Dan aku akan sedih saat kamu sedih," kataku menimpali.

"Kalau gitu, mari berjanji untuk nggak pernah saling bikin sedih." Oke, Aksa. Aku berjanji.

"Aku janji."

Dia tersenyum dan mengangguk.

"Karena aku udah janji, jadi aku mau menepatinya sekarang juga," lanjutku kemudian. Satu hela napas lolos. Bersama ganjalan batu yang masih menyisakan kawanannya di dalam dada. "Aku janji akan pergi dari kamu dan kamu pun harus begitu."

Aku melihat Aksa melipat keningnya. "Itu justru yang akan bikin aku sedih. Itu bukan cara menepati janji kamu, Anggia."

Aku menggeleng, lalu menatap ke arah makam di mana Mama berada. "Kamu lihat Mama?"

Aksa mengikuti arah jariku, lalu kembali menatapku saat objek yang aku tunjuk sudah tertangkap matanya. "Mama selalu betah berjam-jam di makam Papa. Mengirim doa? Iya. Tapi dia lebih banyak menangis di sana."

"Papa kamu masih memiliki ruang di hati mamamu. It's how a love works between them."

"Mama sedih. Sampai sekarang." Dan aku nggak mau kelak kamu berada di posisi yang sama dengan Mama, Sa.

"Dia rindu."

Sesorang, bisa tolong hentikan dia agar tidak mengucapkan kata-kata penenang seperti itu lagi? Kata-kata yang membungkam ketakutanku dengan kemungkinan lain yang jauh lebih membuat tenang.

"Aku nggak mau kamu sedih kayak Mama."

"Aku nggak akan kehilangan siapa pun."

"Aksa, aku punya gen sakit jantung!" Nada suaraku meninggi. Aksa selalu tenang dan aku bisa-bisa kalah dengan hatiku yang terus ingin mendengarnya berbicara seperti itu.

"Tapi kamu nggak sakit."

"Hari ini enggak, tapi siapa yang menjamin kalau besok tetap sama, padahal aku punya potensi untuk sakit?"

"Then, just let me stay. Biarin aku nemenin kamu kalau hal itu memang terjadi."

Aku menatapnya tidak habis pikir. "Aku nggak mau lihat kamu sedih, kalut. I told you."

"Tapi kamu suka lihat aku senang?"

Aku menatapnya. "Kita nggak lagi ngomongin itu."

"Kita membahas ini, Anggia," katanya dengan lembut.

"Oke. Aku suka lihat kamu senang." Akhirnya, aku mengalah dan memberikan jawaban yang dia mau.

"Good. Dan aku senang saat bisa jadi hal yang kamu butuhkan."

Satu bulir bening lolos dari mataku. Aku beralih darinya. Mengelap kasar air mata yang menganak sungai di pipi. Cukup lama, sebab aku tidak tahu apa yang akan membuatnya setuju untuk pergi.

"Dan kamu juga senang saat aku ngerasa jadi beban kamu? Kamu juga senang kalau setiap hari aku mikir bahwa aku cuma bisa bikin kamu susah? Kamu senang saat aku merasa diriku menjadi benalu?" Maaf, Aksa, aku harus mengatakan ini. "Kamu senang menjadi penopang, tapi aku akan selamanya tersiksa kalau cuma bisa jadi benalu di hidup kamu."

Aku pikir, ini amunisi terakhirku. Kalau Aksa selalu punya seribu satu jawaban saat aku memikirkan sedih dan bahagianya, aku yakin dia tidak memiliki alasan saat aku ingin kita saling pergi karena aku memikirkan diriku sendiri.

"Aku nggak akan merasa dibebani kamu seperti itu."

"Tapi aku akan selalu merasa seperti itu." Suara kami sama-sama lirih.

"Kamu nggak perlu ngerasa begitu." Matanya teduh, sangat teduh. Membuatku tersesat untuk beberapa jenak. Seolah tidak ingin pulang, tapi harus begitu.

"Tapi aku pasti ngerasa kayak gitu, Aksa."

Aksa akhirnya diam. Napasnya terhela dengan sangat keras. Dia mengacak rambut frustrasi, sementara air mataku tidak bisa dihentikan lagi. Seolah dengan suka rela berjatuhan, menggugugurkan sesakku meski hal itu tidak berhasil dilakukannya.

"Makasih, Sa, udah suka sama aku. Aku mau nggak ada yang mengganjal saat kita sama-sama bergerak pergi. Itu sebabnya aku ngomong semua ini. Aku seneng kenal kamu." Kali ini, aku berusaha menyusut air mata yang hendak keluar.

Begitu kalimatku usai, tidak ada lagi pembahasan berat di antara kami. Hanya sebuah kata perpisahan dariku yang tidak terbalas. Karena pria itu tetap bergeming, masih di sana saat aku mengajaknya pulang saja. Pulang ke rumah masing-masing, ke ruang di mana kita pernah sempat saling asing.

Feel free buat corat-coret komentar, ya. Bilang apa pun, gapapa. Aku mau dengar!

[First Publish] October 12th, 2020.
[Revisi] January 7th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro