Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

titah untuk m e l u p a

Dilema. Satu kata yang benar-benar menggambarkan perasaanku sekarang. Harusnya aku menolak ajakan Mas Faris kemarin, kalau tahu ujungnya akan begini. Kalau tahu bahwa bimbang kembali menyerangku tanpa ampun.

Aku tetap harus melupakan Mas Faris. Namun, jika boleh mengabaikan realita, aku ingin tetap menyimpan rasa ini. Apalagi setelah kepala kecilku menyimpulkan bahwa Mas Faris mungkin pernah atau bahkan ... masih ... merasakan hal yang sama.

Aku benci harus seperti ini. Saat sebenarnya sudah tertera jelas apa yang harus kulakukan, tetapi logika dan hatiku tidak mau disinkronkan.

Tanganku masih sibuk bergerak menuliskan kalimat yang didiktekan Pak Wira. Namun, kepalaku tidak sepenuhnya ada di kelas. Meski masih fokus saat penjelasan materi tadi, tetapi aku mulai tidak terlalu menaruh perhatian, sejak Pak Wira membacakan hasil pembagian kelompok yang disusunnya dengan acak.

"Kelompok lima ...." Kalimat Pak Wira terdengar menggantung. Mungkin beliau sedang mencermati daftar nama mahasiswa yang ditampilkan oleh laman absen digital.

Aku masih menunduk. Selayang ingatan tentang kebersamaanku dengan Mas Faris terus timbul-tenggelam. Mengenyahkannya? Percuma. Semakin kusangkal, ingatan itu semakin melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Seolah masa bodoh kalau ada satu sisi dari diriku yang ingin mengabaikannya.

"Ardan Ramadhan, Anggia Ivy, Aksa Wardhana, dan Fauzi Banan di kelompok lima."

Telingaku langsung terbuka lebar saat Pak Wira melisankan namaku. Aku buru-buru menuliskannya dengan bolpoin berbeda warna, agar aku bisa dengan mudah mencarinya jika lupa dengan siapa harus kukerjakan tugas kelompokku.

Namun, tanganku otomatis terhenti saat tersadar nama siapa yang harus kuletakkan di bawah namaku, di bawah naungan judul "Kelompok Lima". Aksa Wardhana. Satu nama yang ikut memenuhi pikiranku sejak kemarin.

Aku menoleh ke arah Pak Wira, berharap bahwa beliau salah menyebutkan nama. Namun, yang ditatap justru sibuk memperhatikan layar laptop untuk membentuk kelompok baru.

Aku menghela napas. Jujur, tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan Aksa. Sebagian dari diriku menolak percaya, bahwa tidak mungkin rasa yang dibicarakan Aksa benar-benar nyata. Sebagian lagi ... aku tidak bisa menyangkal bahwa sikapnya selama ini mungkin adalah bentuk pendekatan. Aku bingung.

Sebenarnya akan lebih mudah jika kami tidak terlibat dalam sebuah kepentingan. Aku bisa mengatakan kepadanya kalau mungkin dia salah mengartikan rasa. Aku bisa mengatakan kalau aku tidak merasakan hal yang sama, lalu mengajaknya bersepakat untuk mengurangi intensitas interaksi, untuk memastikan kebenaran rasa yang diakuinya itu. Terdengar jahat? Tidak. Bagiku, beginilah yang benar. Karena Aksa betulan tidak boleh menyimpan jenis rasa yang seperti itu untukku. Tidak boleh.

Sayangnya tidak bisa. Aku akan bertemu dengannya setiap hari Senin, di kelas Pak Wira dan di gedung UKM. Aku juga sewaktu-waktu akan bertemu dengannya untuk keberhasilan talk show yang sudah direncanakan.

Oke. Setidaknya, aku harus mengurangi intensitas interaksiku dengannya sebisaku.

Kelompok yang dibagi Pak Wira adalah kelompok yang tidak akan dirombak sampai tugas akhir di mata kuliah Pendidikan Pancasila ini. Mengingat Pak Wira selalu memberi tugas setiap pekannya, artinya aku akan semakin sering bertemu Aksa jika kami berada dalam satu kelompok.

Untuk itu, aku menunggu Pak Wira selesai membacakan pembagian kelompok untuk melancarkan negosisasi yang sudah terpikir di kepalaku. Aku sudah memiliki celah setelah membaca ulang daftar kelompok dan melihat kenyataan bahwa hanya ada lima perempuan di kelas ini.

"Ingat baik-baik rekan kelompok Anda untuk sisa perkuliahan kita di semester ini. Ada yang mau ditanyakan?"

"Pak." Aku mengangkat tangan setelah Pak Wira menyelesaikan kalimatnya.

"Iya? Silakan mau tanya apa."

"Boleh tukar anggota kelompok tidak?"

"Memang kelompoknya kenapa?"

"Kak Dika laki-laki sendirian di kelompoknya, dan di kelompok saya, saya perempuan sendirian, Pak. Apa nggak sebaiknya ditukar saja? Biar kalau mau mengerjakan di kos juga enak."

"Oh, begitu," sambut Pak Wira. "Ya, nggak apa-apa, Mbak. Mas Dika yang mana?" Pak Wira mengedarkan pandangan ke penjuru kelas.

"Saya, Pak."

Aku ikut menoleh mendengar suara itu. Ternyata, Dika yang kumaksud duduk di sebelah Aksa. Otomatis aku juga bisa melihat wajah Aksa. Dia menatapku dengan tatapan datar. Membuatku memalingkan wajah kikuk, tidak tahu mau menampilkan ekspresi seperti apa.

"Oke, itu, ya, Mbak, Mas Dikanya. Diatur sendiri. Yang penting orangnya mau. Nanti kalau jadi tukar kelompok, kirim daftar kelompok yang baru ke saya."

"Baik, Pak."

Oke. Setidaknya aku akan berhasil di langkah yang ini.

***

"Jadi ... karena cewek sendirian atau karena nggak mau sekelompok sama gue?"

Itu suara Aksa dan kini dia menyejajariku. Membuatku mengurungkan niat untuk beranjak keluar kelas, meski tote bag sudah tersampir di bahu kanan.

"Apa, sih?"

"Lo mau ngehindarin gue, kan?"

"Jangan suka nyimpulin sendiri gitu."

"Emang kesimpulan gue salah?"

"Aksa ... soal yang kemarin-"

"Lupain," katanya dengan wajah santai.

"Apa?"

"Lupain atau lakuin apa pun yang bikin lo nyaman. Asal jangan ngehindar dari gue."

Aku menatapnya dalam diam. Kelas semakin lengang ditinggalkan penghuninya. Tersisa aku dan Aksa yang berdiri di samping barisan kursi paling depan. Dari mata itu, kulihat keseriusan yang semakin menghadirkan rasa tak nyaman.

"Sorry. Nggak seharusnya gue bikin lo terbebani dengan perasaan yang sama sekali bukan tanggung jawab lo. Tapi waktu nggak bisa diputar supaya perkataan kemarin nggak perlu lo dengar. Let me treat you in my way. Cukup jadi Anggia yang kayak biasanya, sebelum kemarin ada." Aksa melanjutkan sambil membungkukkan badan, menyejajari tinggiku yang hanya sebatas pundaknya.

"Nggak bisa gitu."

"Kenapa?"

Karena rasa yang hampir delapan tahun bersemayam tak akan semudah itu mengabur. Rasa ini seperti matriks dimensi banyak yang meski memiliki bentuk invers, tetap butuh proses panjang dan melelahkan untuk sampai pada invers-nya, bentuk terbaliknya. Satu dua error pasti hadir dan tak jarang memaksa seseorang untuk menyerah. Begitu pun dalam hidup, dalam rasa. Semua hal memiliki proses untuk berubah ke bentuk yang baru dan aku tidak ingin seseorang menjadi korban dalam proses tersebut. Sebab aku tidak tahu akan sesulit dan semenyakitkan apa ia bekerja.

Meski kepalaku memutar alasan logis, mulutku tetap bungkam. Tidak bisa menjawabnya.

"Seenggaknya biarin gue yang tanggung jawab sama perasaan gue sendiri. Lo nggak usah merasa punya beban, karena sepenuhnya bukan lo yang menciptakannya. Jadi, lo nggak perlu sampai ngehindarin gue, cuma karena lo nggak bisa balas perasaan gue."

Aku yang sibuk dengan pikiran sendiri, kini mendongak menghadapi wajah pria di depanku ini. Menarik napas, kulayangkan berbagai protes yang seketika menghampiri kepala. "Terus mau kamu gimana? Aku bersikap seolah nggak ada apa-apa sementara aku udah tahu soal perasaan kamu ke aku? Kamu pikir aku bisa? Enggak, Sa. Itu egois." Emosiku tersulut. Mana bisa aku berlagak tidak peduli padahal ada masalah yang melibatkanku di dalamnya?

"Lebih egois kalau lo ngehindarin gue," katanya dengan suara rendah.

"Sa ... kamu mungkin salah. Kamu mungkin nggak beneran suka sama aku. Dan dengan menciptakan jeda, kamu bisa mengidentifikasi lagi apa rasa kamu itu beneran nyata."

"Jadi lo ngakuin bahwa lo mencoba buat ngehindar dari gue?"

Aku menatap tepat ke seringai di wajahnya. Rambut gondrong pria itu tidak diikat. Sama sekali tidak berantakan meski tidak terlihat klimis. Kemeja flanel membungkus tubuhnya dengan seluruh kancing yang tidak dikaitkan. Menampilkan kaus hitam yang berada di dalamya, seperti biasa.

Aku menghela napas. Kenapa cowok dengan penampilan menarik di depanku ini bisa menyukaiku dalam waktu yang amat singkat?

"Aku udah bilang, mungkin kamu salah ngartiin perasaan kamu," kataku keras kepala. Enggan mengiyakan tebakan tepat sasarannya itu dengan gamblang.

"Terus kenapa?"

"Batu banget dibilangin!"

Aksa terkekeh. Rautnya berangsur normal, tidak sedatar tadi. Maksud normal di sini adalah ekspresi jail dan menyebalkan, karena dalam situasi normal, ekspresi seperti itulah yang akan dia tampilkan di depan wajahku.

"Udah tahu gue batu, masih aja ngotot. Udah, lo cukup diem. Biarin gue yang usaha bikin lo juga suka sama gue. Gampang, kok, buat jatuh cinta sama gue. Bisa jadi lo sebenernya udah suka sama gue, cuma sibuk nyangkal aja."

Aku melotot mendengar ucapannya yang kelewat sok tahu. Dia membalas pelototanku dengan tatapan jail, lalu mengerling ringan.

"Ish. Apaan, sih, ngaco."

Lagi. Perkataanku berbalas kekehan darinya. Membuatku merotasikan bola mata kesal.

"Have we agreed, Bocil?"

Hah? Bocil?

"Apa?!"

"Kita udah setuju, kan? Bahasa Inggris lo dapet berapa, sih?"

"Bukannya aku minta translate, Aksa," geramku sebal. "Kamu manggil aku apa?"

"Bocil?"

"Enak aja. Aku udah gede, ya." Aku mendengkus sebal. Enak saja memanggilku begitu.

"Iya. Buktinya udah bisa bikin gue sayang," katanya sambil menyeringai. Membuatku bungkam seketika itu juga.

Aku tidak membalasnya sampai beberapa lama. Pandanganku yang semula menyorot geram ke arahnya, kualihkan ke sepasang sepatu yang membungkus kakiku. Tidak bisa begini.

"Hey. Gi, sorry, sorry, gue nggak maksud begitu. Keceplosan." Aksa mencoba menyejajarkan tingginya denganku. Membuatku kembali mendongak.

"Enggak. Aku yang minta maaf."

"Buat?"

Aku menarik napas sebelum berkata kepadanya. Aksa mungkin tidak akan mengerti, tetapi aku tidak bisa diam saja dan membiarkannya terus memupuk rasa, sementara aku tidak bisa berjanji untuk melakukan hal serupa.

"Aku nggak bisa sepakat soal apa pun. Aku rasa, kamu butuh jarak buat mastiin kalau perasaan kamu itu nggak betulan ada."

"Gi, kan gue udah bilang, lo boleh anggep itu nggak ada. Asal lo nggak berusaha bertanggung jawab atas perasaan gue."

Dia tidak mengerti. Dia tidak mengerti ketakutanku kalau dia tetap keras kepala menikmati perasaannya.

"Kamu yang harus lupain, bukan aku."

"Kenapa?"

"Karena aku nggak bisa balas kamu."

"Nggak masalah," katanya santai. Seperti tidak membaca kebimbangan dan kekalutan yang tidak susah-susah aku sembunyikan.

"Masalah."

"Apa masalahnya?"

Masalah karena aku tahu bagaimana rasanya menaruh hati sendirian. Karena aku saksi hidup bagaimana cinta di antara dua orang yang terikat secara hukum dan agama tidak saling bersambut. Karena aku tahu segalanya tidak akan mudah. Karena aku tahu, luka Papa saat mencintai Mama terlalu dalam.

"Kamu nggak akan ngerti."

Bukan itu yang ingin aku ucapkan, tetapi membongkar alasan sebenarnya bukan hal yang mudah untukku. Mengakui bahwa alasan itu betulan ada pun aku sebenarnya tidak mau. Aku lebih ingin kalau alasan itu hanya karangan kepalaku, dibanding kenyataan yang bisa kurasakan dengan jelas.

"Then, tell me."

"Sa, please, cukup pastiin kalau rasa kamu itu nggak betulan ada. Kalaupun memang ada, tolong jangan dibiarin ada." Dibanding menuruti Aksa untuk memberinya penjelasan, aku justru berkata demikian.

"Lo terlalu mikirin perasaan orang, Anggia." Dia tersenyum lembut. "Percaya sama gue, semuanya akan baik-baik aja walaupun lo tetap nggak bisa bales. Jangan pikirin gimana nantinya, karena hasil kayak gimana pun, bukan lo yang harus bertanggung jawab."

Aku menatapnya. Membalas mata yang ingin menyampaikan padaku kalau semuanya akan baik-baik saja.

Kalau saja dia tahu bahwa aku ingin menghilangkan satu tanggal setiap tahunnya, agar tidak perlu menyaksikan bagaimana seseorang hidup tanpa dicintai, meski segalanya telah dia berikan. Kalau saja dia tahu, semakin tumbuh perasaannya, semakin banyak sesak yang akan dia rasakan. Mungkin dia akan mengerti meski sedikit.

"Bakal semakin rumit kalau aku setuju buat ngejalanin dulu. Jadi tolong, Aksa. Seenggaknya, kasih jeda."

"Gi, gue nggak minta lo janji buat apa pun. Lo cukup jadi Anggia yang kayak biasanya. Biar gue yang mikirin perasaan gue sendiri. Tolong, jangan minta gue buat nggak suka sama lo, karena ...."

"Terserah. Yang pasti aku nggak akan ngubah keputusanku. Kamu nggak boleh suka sama aku," pungkasku sebelum dia menyelesaikan ucapannya.

Aku menatap ke depan, bersiap pergi tanpa memikirkan negosiasi yang dia usahakan. Ini harus dihentikan. Sekarang. Bukan besok atau lusa ketika segalanya sudah semakin sulit untuk dikendalikan.

"Gue pikir, konsekuensi jatuh cinta adalah penolakan. Tapi dari lo gue belajar, kalau gue juga harus melupakan rasa itu."

Kakiku terasa berat ketika rungu menangkap sederet kalimat yang disuarakan Aksa. Kalimat bernada heran yang membuatku harus memejamkan mata kuat-kuat, untuk menghalau rasa bersalah yang hadir secepat aku mengedip.

Aku tahu, di posisi ini, semua yang kulakukan tidak mutlak benar. Namun, di antara ketidakbenaran yang ada, kupikir keputusanku menyimpan sedikit kebaikan.

Aku kembali melangkah, diikuti butir-butir debu yang terbang terseret sepatu yang kupakai. Ia mengelilingiku dengan ingatan akan hari di mana aku duduk di teras dengan segenggam kekecewaan. Lalu berubah menjadi layar mikroskopik yang menampilkan dengan jelas langit senja yang tidak pernah kusuka, ketika aku menyambut seseorang dengan mata sembab dan senyum tipisnya.

Maaf, Aksa, tapi beginilah yang lebih benar.

Feel free buat corat-coret di kolom komentar. Bintangnya jangan lupa, yaw. HEHE

[First Publish] July 10th, 2020.
[Revisi] January 4th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro