Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sebuah k o t a k penuh luka

Kalau tidak ada Mbak Nindy yang melambai-lambaikan tangannya di depan gedung olahraga, aku sudah memilih berbalik menuju parkiran dan bergegas menaiki motor. Pasalnya, tempat ini didominasi laki-laki dan aku datang sendiri, tanpa Rere.

Aku memang menyanggupi permintaan Mbak Nindy. Begitu juga dengan Rere. Namun, baru tadi pagi Rere mengabariku kalau dia ada jam pengganti. Begitulah. Akhirnya, aku datang ke GOR indoor yang lumayan dekat dari fakultas teknik ini, sendirian.

"Hai, Mbak. Assalamualaikum." Aku menyapanya yang berdiri bersama seorang perempuan yang tidak kukenal.

"Hai. Waalaikumussalam. Rere betulan nggak datang, nih?" Senyum ramahnya langsung tersungging.

"Enggak, Mbak. Emang bisa banget bikin aku kesel dia tuh."

Mbak Nindy terkekeh. "Bentar, ya, Vy, kita masuknya." Tanganku ditarik Mbak Nindy untuk merapat ke dinding, saat kurasakan seseorang lewat di balik punggungku. "Eh, iya. Ini Alma. Untung ada dia yang lagi nunggu temennya juga, jadi Faris nggak ngotot nemenin sampai kamu dateng. Kita nunggu temennya dulu, ya?"

Aku menganggku mengiyakan permintaan Mbak Nindy, lalu tersenyum ke perempuan yang bernama Alma ini. Namun, ada sedikit patahan yang terdengar ketika tahu bahwa Mas Faris begitu ingin selalu menemani dan melindungi Mbak Nindy.

Pemikiranku buyar ketika seseorang muncul menghampiri kami. Temannya Alma sudah datang, sehingga kami langsung bergerak ke dalam gedung olahraga. Kami berbincang sambil menuju tribune futsal.

Belum sampai di tempat tujuan, satu tangan menghalangiku. Aku berhenti sebelum menabraknya. Refleks, mataku langsung mengarah ke seseorang yang berada di samping kananku, tempat asal tangan itu menjulur.

Mataku langsung membola saat kudapati Aksa berdiri di sana. Dengan senyum menyebalkan, dia menjatuhkan tatap ke mataku. Jantungku langsung berdetak tak karuan. Ah, pasti ini efek kaget. Iya, pasti. Ya Tuhan, bahkan aku tidak bisa yakin dengan asumsiku, saat koloni kupu-kupu seketika menyerbu ruang perutku.

"Siapa, Vy?"

"Eh?" Suara Mbak Nindy membuatku tergagap. Alma dan temannya pun ikut berhenti. "Em ... temenku, Mbak. Mbak Nindy duluan aja, sambil nyari tempat duduk. Nanti aku nyusul."

"Oh, oke, deh."

Seperti mauku, Mbak Nindy berjalan lebih dulu ke arah tribune di depan sana. Menyisakan aku yang kini menatap Aksa dengan emosi yang sulit kuungkapkan dengan satu kata.

"Kok disuruh duluan temennya?" Nadanya ingin tahu, tetapi ada selipan jahil di senyumnya. Membuatku mengernyit sekaligus waswas dengan asumsi yang ada di kepala Aksa.

"Ya kamu ngalangin jalan. Aku pikir mau apa."

"Biasanya nggak gini."

Lekukan di dahiku semakin dalam, sedang Aksa tersenyum penuh arti, seolah menikmati ketidakmengertianku. "Apanya?"

"Biasanya main ngehindar dan pergi-pergi aja."

Jadi, mau aku pergi saja?

"Ya udah." Aku mengentakkan kakiku, lalu berniat untuk melangkah ke arah perginya Mbak Nindy. Namun, Aksa memblokade jalanku dengan sigap. Kini badannya menghalangi pandanganku.

Aku menahan napas saat sadar jarak kami hanya terpaut setengah meter. Membuatku tidak berani mengangkat wajah, untuk sekadar memprotes si lelaki yang tubuhnya sudah terbalut setelan olahraga ini.

"Bercanda," lirihnya riang. Pati pria itu sedang menyunggingkan senyum.

Aduh, bahkan suaranya membuatku ingin lari dan menceburkan diri ke air, agar tidak ada satu pun manusia yang bisa mendengar degup jantungku.

Aku berdeham untuk menyamarkan kegugupan. Lalu, masih tanpa menatapnya, aku mencoba bersuara. "Terserah, deh. Aku mau nyusulin temenku. Minggir!"

Bukan Aksa jika mengalah pada perintahku begitu saja. Dia tidak bergerak, justru merentangan kedua tangan sehingga aku hampir menabrak sebelah tangannya. Sadar kalau posisi kami bisa disalahartikan, aku memelotot ke arahnya sebelum mundur satu langkah.

"Apa-apaan, sih, Sa?" tanyaku geram.

"Bentar. Mau lihat muka lo dulu." Aksa berkata sambil menelengkan kepala, membuatku mendongak kemudian disuguhi senyum dan tatapan matanya yang teduh.

Astaga. Sepertinya aku harus ke dokter jantung, atau sekalian ke psikiater. Mana mungkin pipiku terasa panas dan langsung tersergap salah tingkah begini? Hanya karena suara Aksa? Yang benar saja. Memalukan!

"Turunin tangannya. Malu tuh diliatin." Dengan memendam kegugupan, aku berkata sambil menekankan setiap kalimatnya. Kutundukkan kepala, takut efek yang kini bersemayam di wajahku bisa dibaca.

"Oke, oke," katanya sambil menyimpan kedua tangan di samping badan, masih belum beranjak dari hadapanku. Untung kami berdiri di koridor yang lumayan lebar. Jadi tidak begitu memblokade jalan.

"Gue seneng lo di sini. Sorry, ya. Gue nggak maksud ghosting dengan nggak muncul di hadapan lo beberapa hari ini. Beneran, deh, gue harus ngurus banyak hal akhir-akhir ini. Jangan ngerasa di-PHP, ya, Vy?"

Wajahku kembali mendongak, lalu mengerjap dan bersuara dengan gugup. "A ... apaan, sih. Nggak jelas."

Aksa terkekeh, sambil bersedekap dan menekuk lutut untuk menyamakan tingginya denganku. "Nggak apa-apa. Ya udah. Gih ke tribune. Cari tempat nyaman buat nonton gue. Bentar lagi gue main."

"Aku nggak ke sini buat nonton kamu!"

"Iya." Lagi-lagi dia tersenyum kalem untuk membalas protes yang aku ajukan. Ditambah tatapannya yang tidak pernah beralih dariku, aku jadi ingin menendangnya sampai ke Saturnus. Biar dia berselancar tanpa henti di cincin planetnya, sampai merasakan mulas yang hebat. Agar dia tahu begitulah rasa yang meremas perutku saat ini.

***

Waktu setengah pertandingan futsal sudah berlalu. Tim Aksa-yang menjadi lawan main tim Mas Faris-memimpin permainan sampai saat babak kedua dimulai beberapa menit lalu. Biasanya aku tidak tertarik dengan hal-hal berbau sepak bola.

Namun, kali ini aku bahkan tidak merasa bosan menghabiskan waktu dua puluh menit di atas tribune. Kenapa? Aku juga tidak tahu. Yang pasti, aku gemas sendiri saat dua orang yang kukenal menguasai pergerakan bola. Berkali-kali hampir bersorak saat mereka mendekati gawang lawan. Aku sampai tidak yakin memegang tim yang mana.

"Vy?"

"Iya, Mbak?" Aku menoleh setelah menelan air putih dari tumbler yang kubawa.

"Pernah jatuh cinta?"

Aku terkejut. Untung air yang kuteguk sudah masuk dengan sempurna. Kalau sedikit saja tersisa di tenggorokan, pasti aku akan tersedak.

Aku sangat terkejut, tetapi Mbak Nindy justru susah payah menyembunyikan tawanya. Kenapa hari ini semua orang sangat suka menertawakan responsku, sih?

"Kenapa tanya gitu, Mbak?" tanyaku setelah menetralkan keterkejutan.

"Ya, tanya aja, Vy. Habisnya setahuku kamu nggak pernah pacaran."

"Ih, beda kasus, dong, Mbak. Kan nggak selamanya orang yang jatuh cinta berakhir dengan pacaran."

Benar, 'kan? Tidak semua cinta memiliki free pass untuk melaju ke sebuah hubungan.

"Iya, sih. Menurutmu kenapa bisa nggak berakhir pacaran?"

"Hm ... bisa karena prinsip, kisahnya yang emang rumit, orangnya yang nggak tepat, atau alasan lain dari pribadi masing-masing."

"Kalau kamu sendiri?"

Eh?

"Aku, Mbak? Em ... alasanku?"

"Iya, Ivy." Mbak Nindy tersenyum teduh ke arahku, dengan sedikit kekehan yang menyertai.

"Aku nggak tahu, sih, Mbak. Aku nggak pernah bikin prinsip buat nggak pacaran. But sometimes, it takes time to think about how my relationship will be. Prinsipku ada di 'gimana aku akan menjalani', bukan iya-enggaknya buat menjalin hubungan itu."

"Kamu fokusnya ke batasan dan semacam rules di hubungan itu, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Jadi, kenapa nggak pacaran? Pasti kalau jatuh cinta, pernah, dong?"

Eh?

Ibu muda satu anak ini pandai membuatku nyaman berbincang. Sampai aku hampir mengabaikan kemungkinan, kalau semua pertanyaannya bertujuan mengorek informasi diriku. Ah, ini asumsiku. Terlalu percaya diri memang.

"Ya, enggak aja, Mbak. Nggak tahulah," jawabku salah tingkah.

Masa aku harus bilang kalau selama ini perasaan yang aku simpan hanya untuk Mas Faris dan sayangnya tidak bersambut? Masa aku harus bilang begitu kepada Mbak Nindy yang merupakan istrinya? Yang benar saja!

"Kok salting gitu, sih, Vy?" Mbak Nindy terkekeh.

Ah, iya. Lagi pula Mbak Nindy bertanya dengan nada santai. Pasti dia bertanya memang untuk mencari bahan obrolan saja. Aku saja yang terlalu banyak berpikir. Kebiasaan.

"Habisnya Mbak Nindy nanyanya aneh-aneh, sih," sambutku salah tingkah.

"Iya, deh, maaf." Tawa kecil masih menyertai kalimatnya.

"Eh, nggak apa-apa kali, Mbak. Aku bingung aja mau jawabnya gimana," kataku sambil meringis.

"Santai kali, Vy." Kini fokusku tidak sepenuhnya tertuju ke lapangan, meski pandangan kami sama-sama jatuh ke bawah sana. "Menurut kamu cinta itu harus saling? Harus timbal balik?"

"Em ... menurutku, sih, bukan harus nggak harus, ya, Mbak. Lagian perasaan orang nggak ada yang bisa maksain. Cuma, pasti nggak enak kalau tahu perasaan itu nggak berbalas. Kayak apa, ya ... merasa sendirian, mungkin? Mikirin, ngangenin, bahkan mendoakan seseorang yang nggak melakukan hal serupa, bisa memunculkan sisi emosional seseorang. Seperti sedih, sakit, misalnya. Ya, walaupun bilangnya ikhlas, tetap aja di dalam hati pasti ada sedikit perasaan kayak gitu. Nggak tahu juga, sih, Mbak. Aku nggak pandai nganalisis yang begituan," kataku panjang lebar, sambil mengedikkan bahu.

Saat mendengar pertanyaan Mbak Nindy tadi, aku langsung teringat Papa. Aku tahu beliau ikhlas, tetapi aku tidak bisa yakin kalau Papa baik-baik saja. Apalagi kalau melihat Mama masih menyimpan foto pria itu di dompetnya, pergi ke makam setiap peringatan kepergiannya, bahkan tak jarang kulihat dia pulang dari makam dengan mata sembab setelah.

"Setuju." Mbak Nindy menimpali dengan tatapan yang lurus ke depan. Lalu, aku melihatnya merogoh sling bag. "Itu yang aku pikirin belakangan ini, and I decide to let you know, setelah dengar jawaban kamu tadi."

Tahu ... soal apa?

"Aku semakin yakin buat ngasih ini ke kamu." Mbak Nindy menatapku sambil tersenyum.

Dia mengambil tanganku yang masih menggenggam tumbler, lalu menyimpan sebuah kotak untuk aku genggam. Kini, kotak kado kecil berwarna biru pastel sudah berada di tanganku. Membuatku menjatuhkan tatapan bingung.

"Ini ... apa, Mbak?" tanyaku sambil meneliti kotak itu.

"Harusnya ini udah di tanganmu dari lama. Tapi, kayaknya aku yang jadi penyebab benda ini nggak sampai ke kamu, waktu itu."

"Dari siapa?" tanyaku semakin bingung

"Mungkin aku sok tahu, tapi menurutku kamu menyimpan perasaan itu. Kalaupun opiniku benar, aku bukannya mau mengubah kondisi, atau bikin kamu menjalin sebuah hubungan yang mungkin bisa dimulai sejak dulu. Aku nggak sedang suka rela mau menghancurkan pernikahanku. Aku hanya percaya kalau menyimpan perasaan sendirian itu nggak mudah, kayak pendapat kamu tadi. Bisa jadi, seseorang bahkan menilai dirinya tidak layak dicintai karena perasaannya tidak berbalas. Itu yang bikin aku ngasih kotak ini ke kamu." Bukannya menjawab pertanyaanku, Mbak Nindy justru mengatakan hal lain yang membuatku semakin bingung.

"Aku nggak ngerti, Mbak."

Perasaanku. Opini Mbak Nindy. Pernikahan. Pendapatku tadi. Maksudnya apa? Aku hanya mampu menangkap satu-dua kata, seperti kata kunci dalam suatu abstrak penelitian.

"Kamu akan ngerti setelah buka kotak itu." Mbak Nindy tersenyum, seolah memberi isyarat kalau ketidakmengertianku bisa terjawab dengan membongkar isi kotak ini.

"Boleh aku buka sekarang?"

"Boleh. Itu punya kamu."

Dengan ragu, aku menarik simpulan pita yang melilit si kotak. Setelah tutupnya terbuka, sebuah kertas yang dilipat hingga berukuran sekitar lima senti ada di sana. Sebuah kotak merah turut mengisi ruang kosong di sana. Apa itu ... cincin?

Demi menuntaskan rasa penasaran, aku langsung mengambil kertas yang dilipat, lalu meembukanya dengan wajah bingung. Dua perasaan itu tidak bersarang lama, karena semakin jauh aku membaca, semakin menumpuk rasa sesal.

Mataku memanas sampai terasa perih, karena aku terus menahan butiran yang siap tumpah dari sana. Dadaku rasanya seperti diremas dengan kekuatan yang tidak main-main. Ah, aku salah langkah. Harusnya kubaca surat ini saat sendiri saja. Kalau sudah begini, aku ragu bisa menjaga pondasi baik-baik saja.

Hai. Thanks for reading :)

[First Publish] August 7th, 2020.
[Revisi] January 5th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro