sebuah k a b a r baru
Terakhir kali singgah di rumah bergaya minimalis ini, semalaman aku tidak tidur. Sebab tidak tega melihat Karin yang terus menatap langit-langit tanpa sekali pun memejamkan mata. Dia tidak banyak berbicara, tetapi aku tahu bahwa dia amat khawatir dengan keadaan Ivy-adiknya dan Aksa yang baru berusia delapan tahun. Aku hanya bisa menemaninya dalam bisu. Sesekali menyeret topik random yang untungnya cukup dia sukai.
"Aduh, mau pulang sekarang banget, Anggi?"
Aku yang sedang melipat mukena, sedikit kaget saat Tante Ambar melongokkan kepala dari pintu ruang salat di belakangku. Aku cepat-cepat menyelesaikan aktivitasku, lalu menghampirinya. Sementara Karin dan Ivy yang menjadi makmumku, beranjak menuju kamar mereka.
"Iya. Udah magrib, Tante. Takut kemaleman."
Tante Ambar menggandeng tanganku, menuntun ke ruang keluarga. "Kalian mainnya udah sore, sih. Kan jadinya di sini cuma sebentar."
Aku terkekeh saat Tante Ambar menampilkan ekspresi protes.
"Insyaallah kapan-kapan kalau weekend aku main, biar bisa lama." Aku tersenyum sambil memasukkan ponsel ke dalam tas ransel yang kubawa.
Tepat saat Tante Ambar mengangguk menyetujui, Aksa dan suara salamnya muncul dari arah ruang tamu. Rambut gondrongnya masih terlihat basah, pasti karena air wudu. Sarung dan baju koko melekat di tubuhnya, serta sajadah yang disampirkan ke pundak.
Aku langsung berpura-pura sibuk mengecek isi tas saat Aksa menjatuhkan pandangan ke arahku. Ruang jantungku terasa sesak, hingga menyebabkan organ pemompa darah itu tidak bisa bergerak dengan lelusa. Jujur, penampilannya yang seperti itu membuat hatiku sejuk dan tidak tenang dalam waktu yang bersamaan.
"Pulang sekarang, Gi?" Aksa bertanya dengan enteng setelah mendudukkan diri di single sofa di dekat Tante Ambar. Aku langsung menatap ke arahnya, lalu langsung kembali menunduk. Astaga. Dia tidak bisa ganti baju dulu, ya?
"Iya." Tenggorokanku rasanya kering.
Seolah tidak cukup menyiksaku, Aksa menyunggingkan senyum sebelum beranjak menuju kamarnya. "Oke. Tunggu, ya."
Aku baru bisa menghela napas lega saat tubuh Aksa tidak lagi bisa aku jangkau. Namun, ada yang tidak aku sadari. Yaitu tatapan Tante Ambar yang terpaku ke arahku, dengan senyum penuh arti. Membuatku mengernyit, menebak apa yang dipikirkan wanita itu.
"Makasih, ya, Anggi, udah nemenin Karin malam itu. Udah nganterin Aksa juga." Tante Ambar meraih tanganku untuk digenggam.
Aku balas mempererat genggaman kami, ketika menyadari bahwa kesedihan kembali terpulas di wajah wanita tangguh ini. "Bukan apa-apa, Tante. Aku malah seneng bisa kenal sama Tante, Karin, dan Ivy. Seneng lihat rumah rame kayak gini."
Lagi-lagi, Tante Ambar tersenyum dengan tulus. Tangannya mengusap kulitku lembut, matanya memandangi tautan kami. "Aksa pasti bikin kamu khawatir." Ada jeda sebentar. Tante Ambar melarikan tatapannya ke mataku. "Sejak dulu, sejak ayahnya meninggal, dia selalu panik kalau ada kabar dari rumah. Ayahnya pergi bukan karena masalah medis. Beliau sehat. Mungkin, saat itu hanya sudah menjadi waktunya pergi. Itu sebabnya Aksa selalu takut kalau tanpa aba-aba terjadi sesuatu sama Tante maupun kedua adiknya. Dia takut kejadian waktu itu terulang lagi. Saat dia bahkan tidak bisa melihat jasad ayahnya dikuburkan."
Mendengar hal itu dari Tante Ambar, hatiku mencelus. Ditambah ekspresi penerimaan dan tatapan mata yang menerawang jauh dari wanita itu, hatiku terasa seperti sedang diremas. Sakit, sesak, dan kehilangan kebebasan bergerak.
"Tan ...."
Tante Ambar menyunggingkan senyum yang lebih lebar. "Maaf, Tante malah kebablasan cerita." Dia terkekeh ringan. "Aksa pasti bikin kamu khawatir banget, ya, waktu itu?"
"Eh? Oh, emmm ...."
"Ngobrolin apa, Bu?" Belum sempat menyelesaikan kalimatku, Aksa sudah duduk di sandaran sofa. Dia memijat pundak Tante Ambar dengan hati-hati, membuat wanita itu mendongakkan kepala dan melepaskan genggaman tangannya dariku. Syukurlah Aksa datang. Kebetulan aku tidak tahu mau menjawab apa tadi.
"Girls talk," kata Tante Ambar dengan nada jail. Aku ikut tertawa, sementara Aksa memasang wajah sebal.
"Pusing aku, rumahnya bakal ketambahan satu perempuan lagi. Masa aku laki-laki sendiri. Pasti jadi objek bullying." Aksa menggerutu sambil berpindah ke single sofa dengan santai, seolah tidak menyadari bahwa perkataannya membuat jantungku jumpalitan tidak karuan. Sedang Tante Ambar tergelak cukup keras.
"Udah, ah. Nanti tambah kemaleman. Anggi cokelatnya dihabisin dulu." Tante Ambar berkata setelah meredakan tawanya.
Aku menuruti, karena memang bingung mau berbuat apa. Aksa sukses membuatku mati gaya. Ah, untung cokelat ampuh memberikan kesan tenang. Entah disajikan hangat ataupun dingin seperti yang sedang kusesap.
"Kalian udah berapa lama, sih?"
Aku tersedak sampai hidungku terasa perih. Kali ini, kutambahi deskripsiku tentang cokelat tadi. Bahwa ia tidak tepat diminum dalam situasi genting.
"Eh, kenapa, Gi? Pelan-pelan." Tante Ambar menepuk-nepuk punggungku pelan, wajahnya terlihat khawatir. Ah, sungguh, hidungku sakit sekali.
"Ibu tanyanya nggak lihat waktu, sih." Aksa beranjak mengambil air putih, lalu menyodorkannya kepadaku.
Aku melirik pria itu sekilas. Ada senyum yang tersembunyi di wajahnya. Sial. Aku tertangkap basah sedang salah tingkah.
Untungnya, aku tidak perlu terjebak dalam situasi itu terlalu lama. Aksa langsung mengajakku untuk pulang setelah efek tersedakku mereda. Pertanyaan Tante Ambar tetap tidak terjawab, tetapi konser akbar di dadaku tetap semarak dan tidak mau diredam.
Kini, aku, Aksa, Tante Ambar, dan Ivy sudah berada di depan rumah. Wajah Ivy sudah lebih normal meski sisa pucat masih terpulas tipis di sana. Tadi, gadis mungil itu menahanku untuk tetap di rumahnya. Namun, rengekannya berhenti setelah Aksa ikut bersuara.
"Janji main ke sini lagi, ya, Kak Anggi." Ivy menyodorkan kelingkingnya, yang langsung kusambar agar kelingking kami segera bertaut.
Saat aku dan Aksa sudah akan pergi, Karin keluar dan menghampiri kami di teras. Melihat jaket tebal yang melekat di tubuh gadis itu, Aksa mengernyit. "Mau ke mana, Rin?" tanya Aksa mengonfirmasi.
"Ambil buku, Mas, di rumahnya temenku."
"Rumahnya di mana?"
"Deket sekolah." Gadis yang duduk di bangku SMP itu menjawab santai, meski aku bisa melihat bahwa dia sedikit waswas.
"Kirim pake ojek aja." Aksa memutuskan secara sepihak.
"Tapi, Mas ...."
"Minta tolong temenmu buat kirim lewat ojek, Karin."
Begitu saja, Karin langsung menyetujui.
Aku melirik Aksa. Mulai mengerti bahwa sifat yang kukira sangat otoriter itu muncul sebab dia harus menjadi kepala keluarga yang memutuskan banyak hal. Dia perlu ketegasan untuk memimpin sebuah rumah yang penuh dengan tanggung jawab.
***
Mesin motorku dan Aksa sudah mati. Aku juga sudah turun dari kendaraan roda dua itu. Namun, pagar rumah belum kusentuh. Ia masih tertutup rapat dan aku tidak ingin cepat-cepat membukanya.
"Weekend mau main ke rumah lagi?" Aksa membuka suara, setelah merapikan rambut yang berantakan karena helm.
"Ya, nggak gitu."
Tante Ambar pasti memberi tahu Aksa. Aku memang sungguh-sungguh saat berbicara dengan Tante Ambar tadi. Namun, ditanya oleh Aksa, aku tidak bisa menjawab. Ya, maksudku, masa aku mengunjungi rumahnya terus? Bukannya kami tidak memiliki hubungan yang sedekat itu?
Aksa terkekeh saat aku masih susah payah menyembunyikan kecanggungan. "Udah, nggak usah gugup gitu."
Aku mendengkus. Aksa memang tidak bisa berpura-pura tidak tahu dan berhenti membuatku malu karena tertangkap basah. Dasar menyebalkan!
"Aku masuk. Makasih udah boleh main ke rumahmu."
Tadi, seusai dari kafe tempatku bertemu dengan Mas Faris, Aksa mengajakku untuk menyambangi rumahnya. Berhubung jam kuliahku sudah selesai dan aku ingin membesuk Ivy, maka aku mengiyakan saja. Perlu aku akui, aku senang menghabiskan waktu bersama Ivy yang ekspresif, Karin yang cenderung pendiam, dan Tante Ambar yang memperlakukanku dengan sangat baik.
Kini, aku sudah membuka pagar. Saat kembali ke motorku untuk membawanya masuk, Aksa kembali bersuara. "Ibu orangnya nggak pelupa, loh, Gi."
Aku mendengkus. "Iya, nanti aku ke rumah Tante Ambar lagi," kataku menahan geram.
"Oke." Dia tersenyum lebar, sementara aku menatapnya sebal. Lalu, Aksa melanjutkan setelah jeda beberapa saat. "Ada lagi?"
"Apa?"
"Ada lagi hutang lo sama Ibu?"
Fokusku pada pintu pagar sudah teralih. Kutatap Aksa dengan wajah bertanya. "Apa, sih?"
"Ada pertanyaan Ibu yang belum lo jawab?" tanyanya santai, mengabaikan kebingunganku.
Namun, kebingunganku langsung terhapus digantikan oleh perasaan canggung ... atau entah apa namanya, saat sadar bahwa Aksa sedang menyinggung alasanku tersedak tadi. "Apaan, sih, Sa!"
Aksa tergelak, sampai badannya terguncang, yang kubalas dengan dengkusan kesal.
"Aku bakal nunggu sampai kamu siap memulai sama aku, Gi." Satu kalimat itu langsung terlontar saat sisa tawa habis menguap.
Sensasi panas langsung merambati pipi, membuatku menunduk mnghindari tatapan Aksa. Entah pria itu sadar atau tidak, jika sapaannya berubah dan sukses membuatku salah tingkah.
"Aku masuk," kataku cepat, saat tidak yakin kakiku masih mampu berdiri karena terlalu lemas.
Aku menstarter motor tanpa melihat Aksa. Namun, lagi-lagi suara pria itu membuat jantungku bekerja ekstra.
"Iya, nggak buru-buru, kok. Aku tungguin."
Ya Tuhan, sudah cukup. Dadaku rasanya seperti mau meledak.
Aku tidak berani menoleh sampai memarkirkan motor di garasi. Cepat-cepat memasuki rumah tanpa mengecek keberadaan pria gondrong itu.
Masih dengan dada yang bergetar hebat, aku mengucap salam. Mungkin karena terlalu lirih, tidak ada sahutan yang kudengar.
Aku pun memutuskan untuk langsung melangkah masuk. Namun, kakiku terhenti ketika suara Mama dan Nenek beradu di ruang keluarga. Suara televisi yang menyala tidak cukup mampu menyamarkannya.
"Ini skala yang besar, Bu. Dulu Ivy di SMA bisa menang dari semua orang. Sekarang dia lagi adaptasi di dunia baru dengan skala yang lebih besar. Arsyad dulu juga sempet anjlok prestasinya waktu awal kuliah. Setidaknya diapresiasi, Bu."
Telingaku menajam saat namaku yang disebut terdengar rungu. Sedikit kecewa karena lagi-lagi yang diperdebatkan adalah masalah yang sama.
Ini pasti karena aku mendapatkan peringkat terakhir di seleksi ON MIPA, meski tetap saja lolos mewakili universitas. Menjadi yang ketujuh dari tujuh orang terpilih bukanlah sebuah keistimewaan. Aku tahu itu.
Aku bergerak hati-hati untuk menuju tangga agar tidak menginterupsi percakapan dua orang itu. Namun, ketika tangga yang kutuju tinggal sepelemparan batu, suara Nenek membuat tubuhku membeku.
"Ivy itu beda, Nggrid. Orang lain bisa hidup standar dan ditoleransi kekalahannya karena mereka nggak kayak Ivy. Di keluarga mana dia akan diterima kalau prestasinya standar dan ternyata justru punya penyakit di tubuhnya?"
Dahiku mengernyit. Apa maksudnya?
"Ivy nggak sakit, Bu!" Suara Mama meninggi. Dari celah sempit di tembok yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga, aku melihat Mama yang memandang Nenek dengan serius. Sementara Nenek menampilkan wajah tak acuh, sambil memindah saluran televisi.
"Nggak sakit gimana, sih? Bapaknya meninggal karena jantung koroner di usia muda. Dia punya gen sakit jantung. Itu artinya Ivy juga berpotensi. Kalau prestasi dia biasa-bi ...."
"Ibu cukup, Bu. Cukup." Mama sekuat tenaga agar suaranya tidak meninggi.
Sementara di balik tembok, tubuhku membeku. Aku tidak bisa bergerak saat mendengar informasi yang baru aku tahu ini.
Jadi, selama ini, pola hidup yang disusun sedemikian rupa adalah usaha agar aku tidak menderita penyakit itu? Jadi, pembiasaan olahraga dan mengonsumsi serat yang cukup bukan semata untuk hidup sehat saja?
Tubuhku kebas. Tidak ada yang bisa kurasakan selain hampa. Tubuh Papa yang ambruk dari motor dan rela terguling sebab melindungiku terukir jelas di kepala. Hanya sedikit darah yang keluar dari pelipisnya, tetapi membuat Papa tidak pernah bangun lagi.
Kepalaku pusing. Seisi rumah seperti berputar dan tidak mau menempati posisi yang statis. Rasa sakit dan sesak di dada mulai menjalar, disusul pening yang menyerang. Pandanganku mengabur dan berangsur gelap. Setelah itu, aku tidak lagi dapat melihat sinar lampu yang menggantung di plafon rumah.
Enjoy and see you next chapter!
[First Publish] October 9th, 2020.
[Revisi] January 7th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro