satu ingin untuk m e m u l a i
Sebetulnya, tidak ada yang kupahami. Tidak ada satu pun alasan yang dapat menjawab pertanyaanku. Tentang apa dan mengapa Aksa bisa sepanik ini. Namun, apa pun itu, aku tahu bukanlah hal sepele, sebab tidak ada sisa ketenangan di wajahnya.
Kami baru saja sampai di depan sebuah rumah sakit, setelah kurang lebih satu setengah jam menumpang taksi online. Aku belum selesai membayar jasa driver taksi, ketika suara berdebam dari pintu mobil penumpang membuyarkan fokusku. Aksa langsung berlari setelah menutup pintu dengan keras. Aku buru-buru menyelesaikan urusanku, agar bisa segera menyusul Aksa. Langkah panjang segera kubumikan, tidak mau sosok Aksa menghilang dari jangkauan.
Taksi yang kami tumpangi menurunkan kami di depan pintu utama rumah sakit. Membuat Aksa dengan sekejap memasuki gedung medis yang kami tuju. Pria dengan lengan kemeja yang sudah digulung sebatas siku itu berhenti di depan meja resepsionis. Membuatku bisa berada di sampingnya dengan mudah. Dari samping, wajahnya masih terlihat pucat. Menyembulkan ketakutan tak terdefinisi dari dalam diriku.
"Pasien atas nama Livya Sabila," kata Aksa dengan terburu. Deru napasnya membuatku ingin menyuruhnya duduk, mengatur emosi, dan menenangkan diri. Namun, hal itu tidak akan berhasil.
Mulutku terbuka, lalu menutup kembali saat kulihat Aksa langsung berlari setelah mendapat informasi yang dia mau.
Aku mengikutinya. Menyeimbangkan ritme agar tidak tertinggal. Hingga saat kami hendak berbelok di sebuah koridor, suara benda-benda alumunium yang terjatuh tertangkap telinga. Aku buru-buru mendekat.
"Maaf, maaf." Aksa berjongkok. Membantu staf rumah sakit mengambil wadah makanan yang terjatuh dari troli.
"Nggak apa-apa, Mas. Ditinggal saja kalau buru-buru." Staf rumah sakit itu berkata dengan nada maklum, saat aku baru ikut berjongkok.
Mendengar kalimat itu, Aksa bangkit setelah mengucapkan kata maaf lagi. Aku mendongak. Karena tidak berhati-hati, Aksa kembali menabrak troli yang sama dengan keras. Sekilas, darah yang keluar dari kulit lengannya tertangkap mataku. Pasti ada bagian dari troli yang menggores lengannya.
Aku membiarkannya pergi. Aku yakin, dia tidak akan mementingkan lukanya dalam keadaan amat panik seperti ini. Sementara itu, aku masih berjongkok, membantu membereskan kekacauan yang disebabkan Aksa. Sebab aku sudah mengantongi informasi ruangan yang ditujunya.
***
Bau khas medis menusuk hidung. Koridor yang lengang memberikan kesan dingin. Satu-dua wajah frustrasi dari pengunjung yang mengisi koridor, membuatku tersengat khawatir. Aku tidak pernah melihat Aksa hilang kendali seperti ini.
Pintu di sebelah kananku terbuka. Refleks aku bangkit saat melihat Aksa dan seorang wanita paruh baya keluar dari sana. Wajah perempuan itu lebih kusut dari Aksa. Namun, saat melihatku dia langsung menyunggingkan senyum, meski sangat tipis. Dia kemudian berlalu meninggalkanku dan Aksa, sementara Aksa mengambil tempat di sebelah kiriku. Dengan gerakan yang amat jauh dari kata semangat.
"Makasih, Gi," katanya pelan.
Aku menoleh, membalas tatapannya dengan seulas senyum. Berharap hal itu bisa menenangkannya barang sedikit.
Tanpa membalas, aku meletakkan plastik berisi obat merah, kapas, kasa, dan plester yang kubeli di apotek rumah sakit ke atas space yang memisahkan kami. Aksa menatapku bingung. Ah, bahkan luka yang cukup panjang itu tidak dia rasakan.
Aku menunjuk lengannya. Sekitar lima senti di bawah siku, darah merah terlihat. Aku langsung mengalihkan pandangan setelah Aksa melihat ke arah jari telunjukku.
"Oh. Makasih, Anggia."
"Sama-sama. Bisa, kan?"
Aksa mengangguk dengan senyum tipis di bibir. Rasanya melegakan, saat aku bisa kembali melihat senyum di wajah berbingkai rambut gondrong itu.
Aku kemudian mengalihkan pandangan, menatap lurus tembok di depanku saat Aksa mengangkat lengannya. Kepalaku sedikit pening, saat luka yang tak seberapa itu terlukis di kepalaku.
Kebisuan langsung merambat. Aksa sibuk mengobati luka, mungkin sambil memikirkan hal-hal yang masih menjadi pertanyaanku. Aku penasaran, tentu. Namun, melontarkan pertanyaan mungkin akan membuatnya tidak nyaman. Jadi kubiarkan dia diam. Mengemasi emosi yang sempat tercecer dan tak terkendali. Setidaknya, kini dia jauh lebih tenang.
Aku menyalakan layar ponsel. Sudah pukul setengah sembilan. Sudah berlalu dua jam sejak kami beranjak dari rumahku. Salat isya juga sudah tertunaikan dalam perjalanan tadi. Tadinya, aku tidak memikirkan bagaimana aku akan pulang. Namun, kini aku mulai membingungkan hal tersebut. Ah, salahku karena tidak berpikir panjang.
"Udah bilang sama Om?" Aku menoleh ke arah Aksa ketika pria itu membuka suara. Lukanya sudah tertutup kasa. Membuatku tidak perlu menahan napas dan mengalihkan tatap darinya.
"Tadi telepon."
"Terus?"
Tidak ada terus. Dia memintaku pulang, dan aku lupa sudah menjawab apa saking bingungnya. Kalimat itu tentunya tidak aku lisankan, sebab takut Aksa merasa bersalah telah menyeretku ke sini.
"Em ...." Aku hanya bergumam tidak jelas. Bingung mau bilang apa.
"Dia adek gue." Aksa berujar sambil menatap tembok putih di depannya. Aku yang bingung mengapa dia tiba-tiba menyeret topik lain, hanya diam sambil memperhatikannya dari samping. Wajahnya tidak sekaku dan setegang tadi.
Dia menyandarkan pungung, membuat tingginya tidak melebihi tinggiku yang duduk tegak. "Dia nggak pernah mau ke rumah sakit kalau bukan sama gue. Bandel dan keras kepala banget." Aku melihat satu kekehan lolos. Tidak tahu kenapa, aku ikut tersenyum.
"Kalau sama gue, disuntik jadi nggak kerasa katanya. Cuma kayak digigit semut kecil. Kalau tanpa gue, tetep kayak digigit semut, tapi semutnya seribu. Aneh banget. Dia pikir gue bisa hipnotis kali, ya." Aku tertawa ringan, begitupun dengan Aksa.
"Itu karena kamu kakak yang dia sayang, Sa. Yang dia percaya. Makanya kalau sama kamu, dia nggak khawatir soal apa pun." Aku mengatakannya begitu saja. Ringan, tanpa ada sedikit pun reaksi di dalam sana. Namun, saat Aksa menoleh dan menyungingkan senyum yang sangat teduh, aku jadi salah tingkah. Ruang hatiku jadi amat riuh. Membuatku segera membuang muka.
"Gue nggak cukup baik buat jadi kakaknya."
Aku hanya menoleh. Di wajah Aksa, terpulas senyum tipis. Namun, entah mengapa aku melihat luka di sana.
Untuk mengalihkan perhatian, aku menanyakan hal lain. "Namanya siapa? Cowok atau cewek?"
Aksa menoleh. "Cewek. Namanya Ivy."
Eh? Kok sama seperti namaku, ya?
Seolah membaca keterkejutanku, Aksa membuka suara. "Livya Sabila. Tapi dia nggak mau dipanggil pakai nama lain, kecuali Ivy."
"Kok bisa samaan, sih?" Aku terkekeh. Begitu pula dengan Aksa. Lucu saja rasanya.
"Lucu, kan? Makanya gue nggak mau manggil lo Ivy."
"Ah, iya, iya. Aku ngerti. Aku juga aneh kalau ada yang namanya sama kayak orang terdekatku. Kayak biasanya yang aku panggil gitu tuh bukan dia. Iya, kan? Aneh." Aku jadi antusias. Ternyata Aksa memiliki perasaan sepertiku. Merasa aneh jika ada yang menyamai nama orang terdekatnya.
"Salah satunya, iya."
Aku mengernyit. "Salah satunya?"
Aksa tersenyum, sambil mengangguk pelan. "Alasan yang lain, karena gue nggak mau kalian bingung mau saling manggil gimana."
Tanpa mengalihkan perhatian dari Aksa, kernyitan di dahiku semakin dalam. Kalau tidak salah ingat, Aksa enggan memanggilku Ivy sejak pertama kami bertemu. Maksudnya ... dia sudah berniat membuatku bertemu dengan keluarganya sejak awal?
"Mikir apa, sih?" Lagi-lagi, Aksa tersenyum. Pucat di wajahnya berangsur memudar. Kini, dia berkali-kali lebih santai dibanding dua jam ke belakang.
"E-enggak," kataku, yang sialnya dengan sedikit tergagap. Tidak mungkin aku melisankan pikiranku. Akan terlihat gede rasa sekali, kan?
"Apa yang lo pikirin, kayaknya benar."
Aku melotot. Irama jantungku mulai tidak terkontrol. Dapat dipastikan, semburat merah sudah menyebar di pipi. Astaga. Aksa begitu enteng mengatakannya. Bisa-bisanya dia menjungkirbalikkan keadaanku dengan senyum ringan dan perkatannya itu, padahal baru dua jam lalu wajahnya sepucat kertas.
"Yah, merah," ledeknya tanpa beban, sambil meneliti wajahku. Sial. Pria di depanku ini tidak pernah bisa absen dalam hal menyebalkan.
"Berisik." Aku berkata sewot, lalu memalingkan wajah darinya.
Aksa tertawa hingga tubuhnya terguncang. Kali ini, bukan hanya kekehan ringan ataupun ringisan tanpa suara. Dia benar-benar tertawa puas. Meski dalam volume suara yang masih bisa ditolerir untuk terdengar di rumah sakit.
Aku melirik. Tanpa sadar, senyum terlukis di wajahku. Aku lebih suka dia menampilkan ekspresi seperti ini, dibanding wajah kalut seperti tadi.
"Sa." Suara lembut dari perempuan paruh baya yang keluar bersama Aksa tadi, membungkam tawa yang malam ini sangat aku suka. Aku ikut menoleh lalu berdiri. Wajah perempuan itu tampak lebih segar dibanding pertama aku melihatnya tadi.
"Udah, Bu?" tanya Aksa.
Perempuan itu mengangguk. "Kamu udah makan?"
"Belum," jawab Aksa dibarengi lengkungan di bibir yang bisa aku lihat dari samping.
"Nak ...." Ucapan ibu itu menggantung.
Aku yang sadar bahwa dia menanyakan namaku, langsung membalas, "Iv-eh, Anggia, Tante." Kegugupan tidak bisa kusembunyikan. Entah karena apa.
"Ah, iya, Nak Anggia." Senyum ramah langsung terbit, membuatku refleks membalasnya. Beliau mengulurkan tangan yang langsung aku sambut. "Tante Ambar. Ibunya Aksa. Nak Anggia udah makan?"
Aku menggeleng, kikuk. Padahal bukan apa-apa. Namun, menyadari bahwa perempuan di hadapanku ini adalah ibunya Aksa, ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar.
"Ya sudah. Kalian makan dulu saja. Beli sendiri nggak apa-apa?"
Aksa mengiyakan. Lalu, perempuan itu beranjak dari hadapan kami. Namun, belum genap meraih gagang pintu dan memasuki ruangan tempatnya keluar tadi, ibunya Aksa kembali menoleh ke arah kami.
"Nak Anggia tidur di rumah kami aja nggak apa-apa? Udah terlalu larut kalau mau pulang."
Aku hanya mematung. Bingung mau menjawab apa. Maksudnya ... aku tidur di rumah mereka? Rumah Aksa? Yang benar saja. Bisa-bisa Papa mendiamkanku sebulan penuh, kalau tahu aku tidur satu atap dengan pria bukan mahram tanpa ada beliau. Memang tidak akan ada yang terjadi. Namun, batasan seperti itu sudah menjadi kesepakatan dan prinsip di antara aku dan Papa. Tidak peduli akan terjadi apa-apa atau tidak.
"Iya, Gi. Better, sih, daripada harus pulang sekarang. Kemaleman. Gimana?" Aksa ikut mengiyakan. Aduh, bagaimana ini?
"Em ... gimana, ya." Itu sebuah monolog, bukan pertanyaan. Aku bingung mau menjawab bagaimana. Memang terlalu larut untuk pulang. Tidak mungkin pula aku meminta Aksa mengantar, sementara di sini ada hal yang perlu dia urus.
"Nggak apa-apa, Nak. Apa besok pagi ada acara?" Aku menggeleng. Tidak ada jam kuliah pagi.
"Ya udah, kita makan dulu. Nanti lo gue anter ke rumah," putus Aksa sepihak. "Ibu juga pulang aja. Biar Aksa yang di sini. Kasihan Karin sendirian di rumah."
Ah, begitu. Aksa bilang, seseorang bernama Karin di rumah sendirian. Artinya, tidak ada laki-laki lain di rumah itu, dan Aksa juga akan menginap di sini. Dengan begitu, tidak masalah jika aku menginap.
Akhirnya, aku mengiyakan.
Kami berjalan menuju kantin rumah sakit, sementara Ivy-adiknya Aksa-ditemani oleh Tante Ambar.
Sambil berjalan bersisian dengan Aksa, sekelebat pemikiran menghampiriku. Bahwa hari ini, aku merasakan sensasi kehilangan nyawa hingga merasa kedinginan, saat Aksa berubah kalut seperti tadi. Padahal aku tidak mengetahui apa pun, termasuk hal yang membuatnya menjadi demikian. Ada rasa sesak, saat melihatnya tidak merasakan luka yang menggores kulit karena ada hal lain yang menjadi perhatian. Juga perasaan lega saat melihat senyumnya kembali.
Malam ini, aku mengenal ibunya. Mengetahui nama adiknya dan nanti ... berkunjung dan menginap di rumahnya. Malam ini, aku bahkan mendapat panggilan yang khusus digunakan oleh keluarga pemuda di sebelahku ini. Panggilan yang belum pernah dilontarkan orang lain. Rasanya hangat, menyenangkan, meski rasa menggelitik di perut membuatku tidak nyaman.
Aku menoleh ke arah Aksa sambil terus berjalan. Aku ingin tahu semua tentangnya. Soal kondisi Ivy, juga apa yang membuatnya merasa bukan kakak yang baik untuk Ivy. Aku ingin tahu banyak hal. Ingin tahu beragam ekspresi di luar ekspresi menyebalkan yang sering ditampilkan. Aku ingin mendengarnya bercerita, bukan bungkam dan menyimpan ketakutan seperti di dalam taksi tadi. Aku ingin melihatnya tersenyum, bukan takut dan khawatir setengah mati.
Apa sekarang, aku boleh mengakui bahwa aku ... memiliki perasaan lebih untuk pria ini? Bolehkah aku mempertimbangkan statement Rere dan menyetujuinya? Bahwa aku mungkin memang benar-benar jatuh sesingkat ini, dan melupakan Mas Faris sesingkat ini pula. Apa aku salah?
[First Publish] September 19th, 2020.
[Revisi] January 6th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro