s t a r i n g
Sudah sejak beberapa hari lalu aku mengusulkan agar pengisi acara talk show diganti saja. Alasan utamanya karena Aksa sama sekali tidak membalas pesan-pesan yang aku kirimkan sejak perilaku tidak sopannya lima hari lalu. Aku tidak mau mengorbankan acara yang dibangun dengan susah payah ini, hanya karena terlalu bodoh bergantung kepada makhluk setidak jelas Aksa. Namun, Mas Dandi menolak. Setidaknya, dia akan menunggu sampai sepekan. Katanya, Aksa pasti punya urusan sendiri dan tidak bermaksud mengabaikan tanggung jawab yang sudah dia setujui. Toh, pria itu sudah menyetujui tawaran menjadi pembicara dan sudah menerima softfile detail acara, tak mungkin seenaknya lepas tanggung jawab begitu saja.
Hampir sepekan aku uring-uringan dengan Mas Dandi karena satu orang itu. Namun, kini si empunya nama tengah menyandar di salah satu pilar depan kelasku. Wajah tak berdosanya membuatku ingin mencabik-cabik lalu kulemparkan ke kolam piranha. Astagfirullah. Ya Tuhan, kenapa aku selalu berimajinasi layaknya seorang psikopat jika sudah bersangkutan dengan pria ini? Lama-lama kesehatan jiwaku perlu dipertanyakan.
"Santai, dong, matanya."
Tubuh lelaki itu mendekat. Teman-teman sekelasku sudah berlalu. Meninggalkan aku dan Razy yang tidak buru-buru bergabung dengan jubelan mahasiswa hanya untuk mencapai bibir pintu dengan segera.
"Apa, sih? Santai, kok, aku. Apa harus pasang kanopi di mata biar kelihatan lagi santai kayak di pantai?" sinisku dengan tatapan kesal.
"Lo kenapa, deh? Kangen tuh bilang. Bukan marah-marah."
"Dih." Sorot tak suka kutancapkan blak-blakan ke arahnya. Enak saja dia bilang begitu. Kalau bisa, aku justru ingin menyentilnya sampai ke Mars. Agar dia hidup bersama alien-alien jelek yang wujudnya seperti di sebuah film India.
Sebuah kekehan lolos dari mulutnya. "Kangen gue 'kan lo? Ngaku, deh."
"Nggak!"
"Alah ngaku aja. Kelihatan gitu."
"Nggak, ya!"
"Iya. Miss you too," balasnya tidak nyambung, dengan senyum sok cool yang membuatku ingin menjedotkan wajahnya ke tembok. Eh. Jiwa psikopatku timbul lagi, 'kan. Memang toxic personality orang satu ini.
"Nggak jelas!"
"Makanya jangan sibuk denial, biar semuanya jelas."
Mataku memelotot. Tampang sok mengerti, sok memahami, dan sok mengayomi itu membuatku benar-benar berhasrat untuk membuat datar wajahnya. Agar dia tidak bisa berekspresi lagi.
"Siapa, Vy?"
Aku sampai melupakan eksistensi Razy yang masih berdiri di sampingku. Kami sudah bersepakat untuk mengunjungi perpustakaan setelah satu-satunya mata kuliah hari ini selesai. Sama sepertiku, Razy juga akan mengikuti seleksi KN MIPA. Itu sebabnya kami memilih belajar bersama, agar bisa mendiskusikan satu-dua hal yang bebal diminta masuk ke kepala.
"Dia?" Menerima anggukan Razy, aku melanjutkan, "Senior di UKMP," kataku menjawab pertanyaannya.
"Wah, jadi di mata lo gue cuma senior, nih? Padahal kalo gue nggak ngasih kabar, lo uring-uringan." Aksa berkata dramatis dengan ekspresi menuntut penjelasan yang meninggalkan kesan kepura-puraan mahajelas.
"Kamu anak teknik apa teater, sih? Drama mulu kerjaannya."
"Lah, bener. Lo rusuh mulu kan beberapa hari ini sama Dandi? Gara-gara apa coba kalau bukan gue?" Sambil melipat tangan di dada, pria itu mengangkat dagunya tinggi. Semakin menjulang dengan kemeja flannel dengan seluruh kancing terbuka dan kaus hitam polos di dalamnya. Menempel pas, menjadi ciri khas selain rambut gondrongnya. Astaga. Harusnya aku melotot, marah, bukannya mengamati penampilannya seperti ini.
Aku berdeham. Seedikit lupa dengan apa yang tadi diucapkan Aksa. Sialnya karena sibuk memperhatikan penampilan pria itu.
Maka, aku memilih melontarkan pertanyaan yang tiba-tiba melintas di kepala. "Kamu tahu dari mana aku ada kelas di sini?"
Lagi-lagi dengan wajah tengil dan tangan yang terlipat di depan dada, dia menjawab, "Semacam ... telepati?"
"Nggak lucu."
"Gue nggak pernah ikut stand up comedy, sorry."
"Haha." Aku mengucapkan dua kata itu secara hiperbolis. Bukti bahwa kekesalan kembali menyelimuti.
"Kalau lo ada urusan, kita ke perpus habis zuhur aja, Vy. Sekalian gue salat Jumat dulu."
"Eh?"
Aku langsung menghadap ke arah Razy saat pria itu tiba-tiba bersuara. Langsung salah tingkah karena merasa bersalah sudah mengabaikannya.
"Nggak, kok, Zy. Nggak ada urusan. Sekarang 'kan masih jam sepuluh. Lama juga kalau mau nunggu zuhur dulu," kataku cepat.
Aku memang tidak ada urusan. Tidak ada rencana lain setelah selesai kelas, kecuali rencana yang sudah aku sepakati dengan Razy. Juga mencari beberapa buku referensi untuk persiapan sebuah lomba karya tulis yang rencananya akan aku ikuti. Sedang ajakan Aksa bukan suatu hal yang perlu aku pertimbangan. Apalagi setelah pengingkaran janjinya di kali terakhir aku melihatnya.
"Ya udah. Ke perpus sekarang?"
Aku mengangguk menyejutui ajakan Razy. Sedangkan kepalaku enggan kutolehkan ke arah Aksa, meski masih menyempatkan untuk melirik dari sudut mata.
"Duluan ya, Bang," pamit Razy kepada Aksa.
Aksa menjawab singkat. "Yoi."
Lalu, begitu saja aku meninggalkannya di belakang.
Aku dan Razy memilih mengunjungi perpustakaan jurusan yang ada di lantai tiga gedung kuliah Matematika. Karena dibanding perpustakaan pusat, kami akan lebih mudah menemukan buku yang kami cari di perpustakaan jurusan, karena semua koleksi di perpustakaan jurusan hanya memuat satu disiplin ilmu.
Tidak terasa kami sudah sampai di lantai tiga. Ketika berbelok ke kanan untuk menyusuri lorong dan menggapai pintu perpustakaan, seseorang menyejajari langkahku. Kupikir hanya orang yang mempunyai tujuan searah dengan kami. Namun, ketika dia tidak mendahului dan justru terus menyejajari, aku menoleh. Lalu, wajah Aksa yang menatap lurus ke depan membuatku menghentikan langkah.
"Kenapa, Vy?" Razy mengikuti gerakanku. Aku tidak menanggapi. Tatapanku masih terarah ke tubuh Aksa yang kini ikut berhenti dan membalikkan badannya.
"Eh, Bang. Ke sini juga?" sapa Razy ketika menyadari orang di sebelahku adalah Aksa.
"Boleh, 'kan?" Ia menjawab Razy, tetapi tatapannya mengarah kepadaku.
"Kamu ngikutin aku?" tembakku.
"Nggaklah."
Aku memutar bola mata. Memilih melanjutkan langkah dan meninggalkan Aksa. Namun, tidak lama dia kembali menyusulku. Kudiamkan saja. Zona perpustakaan tidak cocok untuk menjadi forum pembicaraan dengannya.
"Tempat mainnya calon mahasiswa berprestasi, nih." Aksa bergumam di depan pintu perpustakaan.
Nggak usah diladenin, Vy. Begitulah suara malaikat baik di atas bahu kananku.
Aku masuk dan menempati kursi kosong yang ada. Razy duduk di depanku, sementara Aksa menarik kursi yang ada di sampingku. Aku diam saja. Berlaku seolah dia bukan seseorang yang aku kenal dan bukan pula seseorang yang perlu ditanggapi keberadaannya.
"Gue nyari buku dulu, Vy."
"Oke. Aku tunggu di sini, deh. Masih ada buku yang belum selesai dibaca," ungkapku sambil mengangkat buku yang dipinjamkan Mas Faris yang baru kukeluarkan dari tas. Buku yang dipinjamkan Mas Faris. Aku menghela napas. Mungkin, akan lebih menyenangkan jika pria itu menemaniku di sini, seperti dulu.
Aku menggeleng. Apa-apaan ini?
Untuk mengusir perasaan sesak yang tiba-tiba datang, aku langsung menekuri buku di depanku selepas kepergian Razy. Berusaha tidak menggubris Aksa yang terlihat dari sudut mataku sudah mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Untungnya, dia juga diam. Sibuk dengan bacaan di tangannya, lalu mengeluarkan alat tulis lain. Mengerjakan tugas? Entahlah, bukan urusanku.
Dari lima materi yang akan diujikan dalam tiga tahap seleksi nanti, aku memilih mempelajari kombinatorika untuk hari ini. Tanganku sibuk membolak-balik buku dan sesekali mencatat pokok bahasan dari topik yang aku baca di block note khusus persiapan olimpiade. Hingga tidak beberapa lama Razy kembali dari kesibukannya.
"Kombinatorika?" tanyanya sambil beranjak duduk di depanku. Memastikan materi apa yang akan kami diskusikan kali ini.
"Iya."
Di atas meja sudah ada tiga buku hasil buruan Razy. Salah satunya adalah buku berjudul Pengantar Dasar Kombinatorika dan Teori Graf. Buku serupa dengan yang sedang aku baca. Di dua semester awal ini, kami belum mendapat mata kuliah yang merangkum topik kombinatorika. Jadi, wajar jika kami belum memiliki buku referensi topik tersebut.
Razy lalu bergabung dalam keheningan. Matanya sudah berlarian menjelajahi buku di tangannya.
Namun, bukannya fokus pada materi yang tersaji di depan mata, aku justru tergerak untuk menoleh ke samping tiap beberapa menit. Lalu memandangi Aksa yang sesekali menggaruk kening, lalu kembali berkutat pada gambar-gambar asing yang tidak kumengerti. Rambut panjangnya sudah diikat asal, dengan beberapa helai yang jatuh, menutupi pandanganku dari wajahnya. Aku bisa melihat rambutnya yang terawat, dengan aksen gelombang yang sepertinya alami. Potongan itu terasa pas untuknya, membingkai wajah tirus dengan dagu yang sedikit lancip. Tanpa sadar, aku tersenyum.
Namun, tiba-tiba bolpoin di tangan terjatuh ke meja, diiringi mataku yang otomatis melotot saat Aksa menolehkan kepala. Aku terpaku untuk sesaat. Pria itu mengangkat alis, kemudian ... aku tidak tahu! Aku buru-buru mengalihkan wajah dengan irama jantung yang tidak terkontrol lagi.
Astaga, apa itu tadi? Kenapa aku memperhatikannya? Sampai ketahuan pula!
Dengan heboh, aku langsung menyodorkan buku ke arah Razy, menunjuk sebuah sisi dengan asal menggunakan bolpoin. "Zy, ajarin yang ini. Ma-maksudnya gimana?"
Razy langsung mendongak, menatapku bingung. Mungkin karena ekspresiku yang tidak karuan. Sumpah! Aku deg-degan. Malu banget!
"Ini?" Razy mengernyit, sementara aku mengangguk-anggukan memberi isyarat agar dia cepat-cepat memberiku penjelasan. Agar aku memiliki kesibukan dan dapat menghindar dari pria di sampingku ini.
Razy akhirnya menutup bukunya dan fokus mengajariku. Namun, pikiranku tak lagi di tempat, meski mata sepenuhnya kukerahkan ke jari Razy yang melingkari ini-itu dengan pensil.
Aku merasa leherku pegal, merasa diperhatikan dari samping. Namun, aku tidak berani menoleh. Membayangkan Aksa memasang ekspresi seperti apa saja aku tidak berani.
Lagi-lagi, kupejamkan mata kuat-kuat kala bayangan kejadian tadi terlintas di kepala. Lalu, kala membuka mata, sudah ada sticky note berwarna kuning di samping lengan yang kulipat dan kuletakkan di atas meja. Aku meliriknya, hanya ada dua karakter di sana, titik dua dan kurung tutup. Emoji senyum.
Aku hendak merutuk, tetapi suara dehaman dari samping membuatku lebih ingin menghilang saat ini juga. Sial sial sial!
***
"Lo nggak sekalian ke bawah aja?"
"Enggak, deh."
"Oke," pungkasnya sembari membatasi halaman buku yang dia baca sebelum benar-benar menutupnya.
Suara murottal dari masjid kampus sudah terdengar, menandakan waktu salat jumat semakin dekat. Sementara aku sedang berhalangan, sehingga memilih berdiam di perpustakaan saja.
Razy ini peka. Kalau dia mengajak salat dan aku berkata tidak, dia langsung paham bahwa aku sedang tidak salat. Tidak seperti teman cowok lain yang akan bertanya "kenapa?" dan tak jarang berakhir canggung.
"Mau dibeliin apa?" Ah, Razy memang pandai menebak isi kepala. Tahu saja kalau aku lapar, tetapi malas beranjak.
Aku mencengir. "Jus stroberi sama roti cokelat. Makasih."
"Sip. Gue titip tas sama handphone. Kalau ada telepon angkat aja. Bilang gue lagi jumatan."
Aku mengiyakan dengan mengangkat jempol di depan wajah.
"Sepuluh ribu, 'kan, ya? Aku bayarin kas."
Saat aku menitip, Razy tidak pernah mau menerima uangku. Itu sebabnya aku memilih untuk membayarkan kas kelas.
"Nggak usah."
"Yaudah."
"Gue bilang nggak usah, ya, Vy. Lo tuh selalu diem-diem tetep bayarin."
"Kan aku bilang 'yaudah' tadi, Zy."
"Terserah lo, deh."
Aku menjulurkan lidah dan menahan tawa mendengar jawaban pasrahnya. Senyumku tak lepas mengiringi langkah Razy yang berlalu mendekati pintu.
"Tadi senyum-senyum lihat yang di sini. Sekarang kenapa objeknya beda lagi?"
Suara yang terdengar dari sisi kanan membuatku tersentak. Aku menoleh ke arahnya yang kini sedang sibuk merapikan tas tanpa memandang ke arahku.
"Apaan, sih?" sungutku. Berusaha melupakan insiden memalukan beberapa waktu lalu.
Sebenarnya aku waswas jika dia membahas hal itu. Takut mati kutu dan berakhir malu. Untungnya saja, Aksa mengerti ketakutanku. Dia keluar dari impitan meja dan kursi setelah memasukkan semua buku ke dalam tas.
"Gue titip tas," katanya yang kusahuti dengan anggukan.
Helaan napas meluncur begitu saja, ketika kupikir pria itu sudah menjauh. Namun, suara yang kembali muncul dari balik punggung membuatku menegakkan badan sambil meremas bolpoin di tangan.
"Gue nggak suka lo deket-deket dia."
Pria itu kembali lagi entah setelah langkah keberapa dan aku tidak berani menoleh. Kenapa jantungku kembali bertalu kencang?
Halo halo! What's wrong dengan chapter ini sampe kamu senyum-senyum gitu? Oh, enggak senyum-senyum ternyata. Ya udah, deh, gapapa WKWK
Kritik dan saran dipersilakan! Jangan lupa klik ikon bintang. Oke?
[First Publish] June 11th, 2020
[Revisi] January 3rd, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro