Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

s m i l e

"Lo harus beli, kalau nggak kita nggak akan pulang."

Sudah bermenit-menit kami berdebat di depan chest freezer yang menyimpan bermacam-macam es krim. Aksa meminta ditemani ke mini market di tepi jalan besar. Dengan alasan kesopanan dan fondasi tidak enak hati, aku menyetujuinya. Ah, juga karena malas berdebat, jadi aku mengambil jalan mudah agar semuanya segera selesai.

Namun, dugaanku salah. Cepat selesai hanya fatamorgana belaka. Sebab, sesampainya di tempat tujuan, dia justru berkeliling di antara rak-rak produk tanpa tujuan. Dia malah memaksaku untuk mengambil snack kesukaanku. Tentu saja tidak aku turuti karena sedang tidak ingin membeli apa pun. Nanti kalau dia berlepas tangan saat di kasir bagaimana? Aku tidak mau menyodorkan diri untuk menanggung malu, karena tidak membawa uang.

Puncak kegilaannya adalah saat ini, di depan bekunya chest freezer, dia membuat kepalaku mendidih. Kalau tidak ingat perundangan yang mengatur tindak pidana, sudah aku masukkan tubuh jangkung itu ke dalam mesin pendingin. Biar lidahnya tidak bisa bergerak saking kelunya. Bagaimana tidak? Dia memaksaku membeli es krim padahal aku sedang tidak menginginkannya.

Aku jadi penasaran, apakah dia tebentur sesuatu yang sangat keras di perjalanan tadi? Tidak, tidak. Jika tingkah absurd, menyebalkan, juga keras kepalanya ini berasal dari sebuah benturan, itu artinya dia terbentur hampir setiap hari. Karena dia memang selalu semenyebalkan ini.

"Kalau kamu nggak mau pulang, ya udah. Aku mau pulang sendiri!"

Sudah habis kesabaranku untuk melayani tingkahnya. Kini, aku memutuskan untuk beranjak. Menyesal rasanya, sudah mengiyakan "permintaan" menemani yang dia lontarkan di depan pintu rumahku tadi.

"Sayang, kok ngambek?"

Sial. Teriakannya menyita perhatian beberapa pengunjung yang sedang mengantre, juga mereka yang sibuk mencari barang yang diinginkan. Bahkan, anak kecil yang beberapa detik lalu masih sibuk menunjuk frozen food yang dia mau, juga ikut menoleh dan membagi tatapan kepadaku dan Aksa. Sudah. Aku tidak berani melirik mbak kasir yang bisa jadi juga sedang menghentikan gerakannya.

Kupejamkan mata kuat-kuat sebelum memutuskan berbalik menghadapnya. Bukan apa-apa. Namun, bertengkar-dengan-pacar-di-mini-market bukan jenis kejadian yang bisa aku sandang dengan suka rela.

Aku menghampiri Aksa dengan wajah kesal yang tidak repot-repot kusembunyikan. Langsung kugeser penutup chest freezer dan mengambil sebatang es krim secara random. Menentang kemauannya ternyata bukan pilihan yang tepat.

Aku menyodorkan es krim di tangan sekaligus memberikan tatapan "puas-kamu?" kepadanya. Si Mas Ganteng yang dielu-elukan Rere ini tersenyum sangat puas.

"Nah, gitu, dong. Lain kali kalau mau langsung ambil aja. Nggak usah bingung milih. Ambil dua-duanya juga nggak apa-apa." Apa-apaan ini? Dia ingin membuat drama atau bagaimana?

"Mau lagi?" tanyanya dengan gaya pacar-paling-mengayomi. Dih, amit-amit.

"Nggak! Makasih!" tandasku sewot.

Aksa terkekeh. Membuatku terlihat seperti pihak kekanakan di suatu hubungan. Karena ulahnya, aku masih mendapati lirikan geli beberapa orang. Hal yang membuatku ingin menggetok kepala Aksa agar jalan pikirannya yang tersesat bisa menemukan jalan pulang.

"Lucu banget kalau ngambek."

Aku tidak menanggapi.

Bersama keremangan satu dua lampu jalan yang menerangi, aku mendiamkan Aksa sepanjang perjalanan pulang. Untungnya, dia juga ikut diam. Jadi, telingaku tidak perlu terkontaminasi limbah suara yang membuat sakit kepala. Di tangannya tidak ada sesuatu pun, karena pria ini memang tidak membeli apa-apa kecuali es krim yang ada di tanganku. Itu artinya dia memang tidak berkepentingan di mini market. Dia mengerjaiku!

"Jadi, MIPA himpunannya sering gabung bikin event gitu, ya?"

Aksa membuka suara. Suara pertama setelah kami keluar dari mini market.

"Hm."

Dari sudut mata, aku melihatnya menganggguk-anggukan kepala takzim. Sebagai tanda mengerti atau tanda terbukanya pikiran untuk mengajakku berperang lagi, aku tidak tahu.

"Emang bukan kerjaannya BEM?"

Pakai tanya! Jelas-jelas Gebby dan aku menghubungi dia atas nama himpunan mahasiswa se-MIPA.

"Nggak."

"Acaranya apa aja, sih? Bakal gimana tuh konsepnya?"

"Ya gitu. Ada lomba, seminar buat SMP SMA, talkshow buat setingkat mahasiswa."

"Oh. Program kerja baru?"

Sebentar. Biar aku sedikit mengingatkan. Bukankah dia adalah mahasiswa senior? Walaupun berasal dari fakultas lain, tetapi dia harusnya pernah dengar acara ini, 'kan? Mengingat acara yang sedang kami perbincangkan terbilang besar. Setahuku, sesame ormawa saling mendukung dalam hal kegiatan, meskipun fakultas lain yang mengadakan. Setidaknya ikut andil dalam hal publikasi. Lalu, kenapa dia sama sekali tidak tahu?

"Kamu tutup mata soal MIPA apa gimana, sih?" Aku menatapnya heran, sementara pria itu menatapku dengan amat santai. Please. Ini adalah event tahunan yang cukup besar. Acara Youth Innovation-event unjuk kebolehan berinovasi di dunia perteknikan-saja aku tahu, masa dia clueless soal kegiatan yang kami bicarakan ini, sih?

"Oke. Ini pertama kali lo nyolot duluan," simpulnya dengan satai.

Aku tidak nyolot, kok.

"Nggak usah bantah, deh. Keliatan tuh keselnya." Dia terkekeh, seperti orang dewasa yang tidak habis pikir dengan tingkah konyol anak-anak yang ditemuinya di jalan.

"Lo close book dikit, kek. Kebaca banget mukanya."

"Close book apaan? Dipikir kuis dadakan kali, ya!"

Aksa terkekeh geli di sampingku.

Dari tadi kami terus berjalan. Tepatnya, aku yang tidak mau berhenti barang sejenak walaupun dia sempat menghentikan gerakannya tadi. Enak saja. Aku mau cepat sampai rumah. Utamanya, agar tidak perlu lagi menghabiskan waktu dengannya.

"Gue tahu, kok, soal event lo ini. Nyari topik aja tadi. Salah siapa lo puasa ngomong gitu?" akunya dengan amat sangat santai. "Kenapa? Kesel?"

Pakai ditanya! Jelaslah.

"Sensi banget kalo sama gue."

Sudah cukup aku mempunyai Rere dengan tingkah absurdnya. Sekarang malah ditambah makhluk aneh dengan sindrom kalau-nggak-ngajak-ribut-bisa-bisulan macam Aksa ini. Mempercepat penuaan dini saja.

"Sariawan?"

"Nggak."

"Abis, dari tadi diem."

"Aku makan es krim. See?" Aku mengangkat es krim sampai ke depan wajahnya.

"Nggak sopan makan sambil jalan."

"Kan kamu yang nyuruh."

Saat keluar dari mini market tadi, Aksa memintaku untuk duduk di kursi yang tersedia di depan bangunan tempat kami keluar itu. Barang sebentar, sekadar untuk menghabiskan es krim yang terpaksa harus aku beli. Namun, tentunya aku tidak mau. Ogah sekali berlama-lama dengan makhluk satu ini. Alhasil, dia memaksaku untuk langsung memakannya agar makanan dingin ini tidak mencair. Daripada berdebat dengan kepala batu satu ini, aku memilih mengiyakan saja.

"Oke oke." Baru sadar kalau ketidaksopananku adalah buah paksaannya, ya? "Gitu, dong. Nurutnya jangan kumat-kumatan, kek. Bikin darah tinggi aja."

Kebalik! Kamu yang justru bikin aku darah tinggi! Tentu saja teriakan itu hanya menggema di pikiranku. Harus aku tahan agar tidak ada skenario di luar ekspektasi yang bisa dia ciptakan.

Aku meraup es krim dalam satu potongan besar untuk membantu menelan geram yang sudah minta diletuskan.

"Wow. Santai, dong. Enak banget sampe semangat gitu makannya?"

"Nggak!"

Hanya berselang detik dari bentakan ketusku, tanpa disangka, Aksa mencondongkan tubuh tingginya ke arahku. Wajahnya mendekat. Tepatnya ke ice cream cone di tanganku. Ia meraup makanan manis, dingin, lagi lembut itu ke dalam mulutnya. Fenomena yang hanya beberapa detik, tetapi sukses membuatku mengurungkan niat untuk bernapas.

Aku masih menahan napas dan tanpa sadar menghentikan langkah saat dia sedang meraba rasa. Kutatap wajah itu dengan sorot terkejut.

"Enak, kok," katanya sambil melihat ke arahku dan mencecap rasa es krim. "Bohong lo."

Kini langkahku sudah terhenti sepenuhnya.

Aku mengerjap untuk memulihkan diri dari keterkejutan. Setelah kesadaran memelukku dengan sempurna, tidak ada satu pun organ dalam tubuh yang dapat menahan teriakanku. "Heh! Kamu gila, ya?" semprotku dengan emosi yang memuncak.

"Apaan?" Aksa membalas dengan tatapan bingung, dengan badan yang berdiri dua langkah di depanku.

"Nggak sopan banget, sih?"

"Apa, sih? Sakit nih telinga!"

"Itu tadi ngapain deket-deket? Mau kupukul, ya?"

Enak saja dia memajang wajah tak berdosa setelah spontanitasnya itu. Kalau sampai kulitnya menyentuh kulitku, sudah betulan kutendang dia ke Amazon biar jadi santapan anakonda. Sembarangan sekali.

"Loh, sesalah itu sampe lo teriak-teriak?"

"Iyalah! Enak aja."

Ternyata menanggapinya memang adalah pilihan yang tak pernah boleh aku lirik sekali pun. Karena selalu berbuah kekesalan yang membuatku berhasrat menjadi psikopat.

Sebelum jantungku bekerja lebih ekstra sekaligus kekurangan oksigen sebagai bahan bakarnya, aku menghela napas keras lalu perlahan menetralkannya. Lagi pula, marah-marah seperti ini tidak akan mengubah apa pun. Aksa tetap tidak akan paham apa maksudku jika aku tidak berbicara dengan gamblang. Mengingat fakta wajah clueless-nya meski aku sudah menyinggung posisi kami yang sangat dekat tadi.

"Dengar, Tuan Aksa Wardhana, pemenang medali emas di olimpiade kimia paling bergengsi di negeri ini." Aku mengatakannya dalam satu tarikan napas. Namun, melihatnya yang menarik satu alis dengan tampang penasaran yang di mataku tampak sangat menyebalkan, aku mengurungkan rilisnya kalimat-kalimat lain dari mulutku. "Ah, udahlah. Kamu nggak akan ngerti."

Aku meninggalkannya terpaku di belakang. Untuk beberapa saat kemudian mendapatinya menyamakan langkah di sebelah.

"Kalau lo nggak ngomong, makhluk mana yang bakal ngerti dengan pasti?"

"Ya udah. Lagi pula kamu nggak harus ngerti," tandasku tak mau kalah.

Benar, kan? Ini soal prinsipku dan orang lain tidak harus tahu. Aku adalah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap prinsip yang kupegang sendiri. Kalau dipikir lagi, aku juga tidak perlu sebegitu marahnya dengan Aksa. Toh, dia memang tidak sedikit pun paham soal hal ini. Dia tidak tahu menahu tentang jarak aman antara laki-laki dan perempuan yang aku jaga.

"Setelah lo bentak-bentak gue?" tuntutnya.

"Sorry. Aku refleks tadi."

"Lo lebih hutang penjelasan dibanding permintaan maaf."

Aku diam. Rupanya sudah kulupakan satu hal. Bahwa tidak ada yang akan berakhir cepat jika berurusan dengannya.

Mungkin karena aku tidak merespons, Aksa kembali berucap, "Lo nggak suka ada yang nyerobot makanan lo? Atau ... lo nggak suka di posisi terlalu deket sama cowok?"

Tepat sasaran. Ini karena aku memang seterbaca itu atau memang responsku tadi sudah cukup untuk menjelaskan semuanya? Aku berhenti tanpa sadar. Menatap punggungnya yang masih bergerak pelan di depanku, lalu berbalik tidak lama kemudian.

"Gue rasa, jawabannya yang kedua. Straight to the point, hm? Bener, kan?"

Aku ingin berteriak 'tidak' untuk membungkam wajah yang kuartikan sedang memasang tampang sombong lagi mengejek itu. Namun, mengingat pengalaman sebelumnya, rasanya mustahil dia akan percaya penyangkalanku begitu saja.

"Sa, udah, deh." Biar aku coba mengakhiri, meski probabilitas berhasilnya tidak lebih dari satu persen.

"Gini, ya, Anggi. Itu prinsip lo? Bener?"

Kami kembali melanjutkan setapak demi setapak yang jadi sangat lama karena perdebatan-perdebatan yang tak ada habisnya. Aku tidak menanggapi lontaran tanya itu. Dibanding pertanyaan, kalimat itu lebih bermakna tuntutan kepastian.

"Gue artiin iya," pungkasnya. "Gi, nggak ada yang salah kalau lo sepenuhnya mau tanggung jawab sama pilihan lo. Tapi lo pernah mikir nggak, sih, kalau lo nggak bisa melakukan semuanya sendirian? Sedangkan pilihan lo bisa jadi melibatkan orang lain?" Dia mengambil jeda untuk kemudian melanjutkan maksudnya, "Lo nggak selalu hidup di lingkungan homogen. Which is lo nggak perlu kesusahan megang prinsip, karena semua orang berprinsip sama kayak lo. Tapi ini lingkungan heterogen. Dengan lo yang tertutup kayak gini, nggak menutup kemungkinan ada prinsip yang tanpa sengaja lo cacati. Bilang, biar orang lain juga ngerti batasan yang lo bangun."

Aku mengakui bahwa opini Aksa banyak benarnya. Namun, prinsipku yang satu ini bisa jadi memberikan kesan tak menyenangkan dalam pergaulanku.

"Iya. Cuma, Sa. Pasti kamu kepikiran, dong, kalau bakal ada kesan eksklusif yang melekat sama aku kalau aku seterang-terangan itu? Aku nggak mau pergaulanku kaku. Jadi, aku milih buat keep prinsip ini tanpa perlu disadari orang lain." Entah kenapa, suaraku melunak setelah pria itu berkata panjang lebar.

Dianggap eksklusif, bukan sesuatu yang aku inginkan. Berkata 'tidak suka' tidak pernah mudah bagiku. Terlebih jika hal itu akan mengubah interaksi antara aku dan mereka yang bersangkutan.

"Kalau lo nggak mengeksklusifkan diri, nggak akan kejadian hal kayak gitu. Misalnya gue nggak suka makan pedes dan temen-temen tahu itu, tapi gue nggak langsung batalin kumpul sama temen cuma karena mereka milih kumpul di warung geprek. Yak arena gue punya alternatif lain. Lo bisa, kok, berprinsip sekaligus fleksibel dalam satu waktu bersamaan."

Kepalaku memproses kalimat panjang itu.

"Nggak ada salahnya mempermudah diri sendiri." Ia menatapku dengan senyum tulus, seolah mengerti kedalaman pikiranku. Senyum yang membuatku ikut menarik bibir karenanya.

"Hm. Aku coba. Makasih."

Entahlah. Aku tidak berniat menanggalkan senyum yang tercetak di bibirku, juga tidak mau hal yang sama hilang dari wajahnya.

"Girang banget lihat gue senyum. Naksir lo?" katanya menyelidik. Dengan senyum tulus yang sepenuhnya hilang.

Luntur sudah. Rasanya ingin aku tarik kata-kata yang menguar di dinding otakku beberapa saat lalu. Harusnya aku tidak boleh lengah dari kenyataan, bahwa Aksa tidak akan pernah absen menjadi makhluk paling menyebalkan.

"Amit-amit!"

Ia tergelak. "Ngegas banget, sih?" Sisa tawa masih mengambang di balik suaranya. "Jangan-jangan lo marah bukan karena prinsip? Lo Cuma takut naksir sama gue, kan? Tadi lo pasti deg-degan banget."

Sembarangan menyimpulkan sekali. Enak saja dia mengklaim perasaanku seperti itu.

"Enggak, Sa, astaga!"

"Iya juga nggak apa-apa."

"Terserah!"

Ia tergelak, lagi. Sialan.

Untungnya rumahku sudah tertangkap mata. Aksa juga tidak bersuara setelah tawanya reda.

Dari kejauhan, aku melihat sepeda motor yang sudah tidak asing lagi bagiku. Kendaraan roda dua yang selalu aku tunggu kedatangannya. Mataku terus terpaku ke sana. Ingin cepat-cepat sampai dan mencari tahu, kiranya apa yang membawa benda ini ke rumahku?

"Anggia."

"Eh? Apa?"

"Ngelamun ya, lo?"

"Hm ... enggak. Kenapa?" Aku betulan tidak dengar apa yang mungkin tadi dikatakannya.

"Lo nggak balas chat gue tadi. Kenapa?"

Oh, here we go. Dia hobi sekali menanyakan masalah pesan singkat, ya?

"Nggak. Nggak sengaja tadi."

"Gue nyebelin?"

Banget! Demi apa dia sadar? Mendengar pertanyaannya, aku melupakan kehadiran Mas Faris yang sempat menarik atensi.

"Menurut kamu?" Aku cukup beretika untuk mengiyakan dengan gamblang.

"Gue pikir, iya." Tanggal berapa ini? Biar aku catat hal bersejarah ini untuk mengingatkannya di kemudian hari. Siapa tahu aku akan diangkat sebagai orang yang berjasa karena mengabadikan hari pentingnya. "Dan gue nggak jelas. Benar?"

Wow. Double jackpot.

"Sakit, Sa?" tanyaku takjub.

Ia tidak menanggapi gurauanku. "Sori kalau gue suka nggak jelas. Karena jujur, gue juga nggak bisa ngasih penjelasan ke diri gue sendiri. Apalagi ke lo, kan?"

Apa, sih, maksudnya?

"Selagi gue memastikan sesuatu, gue nggak akan nuntut lo buat lakuin apa pun. Gue cuma berharap, lo nggak keberatan kalau gue bolak-balik di hari-hari lo."

Hah? Memastikan apa? Dia bicara apa, sih, sebenarnya?

"Aku nggak paham."

"You don't have to. Itu tugas gue buat bikin lo paham. Tapi sambil jalan, ya? Gue juga belum bener-bener paham."

"Terserah kamu, deh. Pusing aku."

Selain untuk mengakhiri pembicaraan yang tidak tahu mana pangkal mana ujungnya, aku berkata demikian karena kini sosok Mas Faris yang duduk di kursi teras sudah semakin dekat. Saat aku mendekati pagar rumah, dia berdiri seolah menyambutku. Membuat senyumku tersungging secara otomatis. Sensor motorikku sudah sangat terbiasa menghadapi kehadiran pria itu dengan senyum yang enggan memudar barang sebentar.

"Kamu mau ...."

"Gue mampir bentar, deh."

"Eh?"

"Ada Bang Faris juga."

"Udah malem, Sa."

Tidak menghiraukan ucapanku, dia justru berjalan mendahului. Aku hanya menatapnya bingung. Seharusnya dia pulang saja, 'kan? Apalagi baru tadi siang Mas Faris tahu kalau aku sudah membohonginya dengan bantuan pria ini. Pasti akan canggung.

"Assalamu'alaikum," salamku saat sudah berdiri di depan Mas Faris.

"Wa'alaikumussalam."

"Kok nggak masuk, sih, Mas?"

"Enggak. Tadi Tante bilang kamu lagi keluar. Aku sengaja nunggu kamu di sini."

Selama beberapa saat, antara Mas Faris dan Aksa, belum ada yang berinisiatif untuk memulai sapa. Mas Faris tersinggung sudah dibohongi? Namun, harusnya aku yang lebih pantas disalahkan, 'kan? Aksa justru tidak tahu apa-apa.

"Aku bawain vitamin. Kamu suka lupa kesehatan kalau sibuk persiapan lomba."

Senyumku terkembang sangat lebar. Ya Tuhan, perhatian Mas Faris tidak juga berubah meski buku nikah sudah dikantonginya. Hal yang membuat hatiku menghangat, pipiku juga sepertinya sudah memerah. Untung kami berada di bawah cahaya lampu yang cukup remang. Jadi, meronanya pipiku masih bisa disamarkan.

Jangan ingatkan aku tentang status, kumohon. Aku tahu ini salah. Karena sedang memanjakan hatiku dengan kebahagiaan, padahal kebohonganlah yang menjadi asal muasalnya. Aku tahu, bahwa sedang kutenggelamkan diriku dalam semu. Namun, aku ingin membiasakan diri. Mungkin seiring waktu, perasaan ini akan berganti nama. Tidak lagi berjudul cinta secara romantis kepada seorang pria. Semoga.

"Makasih, Mas. Ngerepotin banget jadinya."

"Akan lebih baik kalau kamu nggak bawa-bawa kata repot." Aku yang salah dengar, atau memang nada suaranya terdengar dingin?

"Eh?"

"Aku langsung pulang, Vy. Pamitkan ke Om sama Tante. Assalamu'alaikum."

Aku belum sempat mengatakan apa pun untuk menahannya lebih lama, tatapi Mas Faris sudah lebih dulu menjauhi pelataran rumahku. Padahal aku sangat ingin dia di sini. Menikmati waktu sedikit lebih lama. Menyelami pekat langit di atas sana, seperti malam-malam saat semuanya masih sama.

Aku mengiringi kepergian Mas Faris dengan tatapan. Orang-orang bergilir datang dan pergi, hilang dan kembali. Suatu kesalahan jika menganggap diri sendiri sebagai rumah dan ujung pelabuhan orang lain. Karena segala datang, pergi, hilang, dan kembali, semisteri lahir dan mati. Hanya Tuhan yang tahu pasti.

"Gue pulang."

Eh? Aku sampai melupakan Aksa karena sibuk dengan pikiran yang mengiringi kepergian Mas Faris.

"Katanya mampir?" Itu hanya basa-basi. Karena kepergian Aksa lebih aku harapkan daripada pilihannya untuk tinggal. Setidaknya, dalam mood seperti ini, aku tidak ingin berdebat.

"Bukan gue yang lo harapin tetap di sini, kan?" Ada seringai mengiringi kalimatnya. "Sorry udah ganggu malam lo."

Aku tertegun. Ada yang salah dengan ekspresi pria itu.

Kritik dan saran dipersilakan Jangan lupa vote-nya, yups!

[First Publish] June 5th, 2020.
[Revisi] January 3rd, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro