Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ruang nostalgia

Menjadi mahasiswa Matematika adalah satu pilihan yang tak pernah aku sesali-setidaknya sampai hari ini. Aku memang mencintai disiplin ilmu yang satu ini, meski di awal masa kuliah aku mengalami semacam culture shock. Di jurusan Matematika Murni, aku dituntut untuk membuktikan puluhan teorema, bukan lagi memilih rumus untuk memecahkan soal bangun ruang. Di masa SMA aku hanya berkutat memecahkan masalah, tetapi kini harus mencari sebab-akibat suatu pemecahan masalah menjadi logis untuk digunakan. Kalau dulu tinggal menggunakan rumus, maka sekarang aku harus mengujinya. Jelas dua pekerjaan yang berbeda.

Berbeda denganku yang harus memperhitungkan kelogisan teorema, aksioma, hingga definisi, Rere kini memiliki makanan pokok yang tak pernah absen dikonsumsi setiap pekannya. Apa lagi jika bukan serangkaian praktikum yang membuatku pusing kepala?

Dalam praktikum, tentu saja ada laporan yang menyusul kemudian. Bagi seorang kinestetik seperti dia, pasti sangat membosankan jika hanya berkutat pada buku dan pensil di tangan. Itu sebabnya Rere sering melakukan free call denganku sembari mengerjakan tugas dan laporan praktikum. Membicarakan banyak hal meski aku tahu tangannya tetap bekerja. Khas Rere.

Seperti mala mini, ketika mulutnya tak habis-habis melontarkan berbagai kata.

"Sumpah, ya, Vy. Padahal aku baru pulang jam delapan. Tadi siang tuh aslabnya minta pendahuluan laporan dua hari lagi, loh. Eh, tiba-tiba dia chat di grup minta diselesain besok. Gila emang tuh orang."

"Ya udah lang ...."

Belum usai ucapanku, Rere memotongnya dengan amat tidak beradab. "Padahal besok deadline proposal awarding kampus. Ini kalau ada Dumbledore, sih, gampang. Tinggal pinjem tongkat sihirnya buat menghapus ingatan Mas Ardo si aslab nggak berperasaan itu."

Aku menghela napas, lalu kembali fokus menatap buku tebal di tangan. Selalu begini setiap Rere menelepon. Dia mengomel dan aku sibuk dengan urusanku. Rere tidak bisa jika belajar sambil diam, sedang aku tidak mudah terganggu oleh kebisingan ketika belajar. Sungguh kombinasi yang pas.

Rere masih melanjutkan gerutuannya. Dihiasi suara dentingan dua benda yang beradu. Sepertinya berasal dari penggaris yang menjadi alat pendukung kerapian laporan.

Aku selalu menyelesaikan review materi di siang hari, atau pagi-pagi seusai subuh. Aku tidak jago begadang, kecuali jika bad mood menyerang. Jadi, saat ini aku hanya sedang mengecek kembali catatan dan meneliti tugas yang sudah kuusaikan.

"Untung tadi acaranya bukan yang level berat kayak rapat, Vy." Rere kembali bersuara, ketika aku menutup binder dan beralih mengambil buku Geometri Ruang.

"Kayaknya itu kalimat syukur pertama kamu sejak nelepon aku," balasku santai, sembari membenarkan earphone yang mengait di telinga.

Ia terkekeh di seberang sana. "Tenang, Vy. Kamu nggak usah buru-buru tobat. Walaupun langka, ini nggak termasuk tanda-tanda kiamat."

Aku memutar bola mata. Bocah ini memang hobi mendinginkan panasnya sarkasme.

"Eh, lupa mau nanya. Tadi ketemu Mas Faris, kan? Ngomong apa kamu?"

Mendengar pertanyaan itu, aku menceritakan detail kejadian sore tadi. Tentu saja dengan menyembunyikan nama Aksa. Kalau Rere tahu bahwa Aksa adalah pria-yang-itu, tentu malapetaka akan menghampiriku. Tahu sendiri, kan, betapa isengnya sahabatku ini?

Rere terbahak setelah ceritaku usai. Sial. "Salahmulah, kalau di depan Mas Faris suka salah tingkah nggak jelas." Kekehan ringannya masih terdengar. Pasti dia sedang membayangkan wajah pucat pasiku.

"Siapa, sih, yang bantuin kamu?" Rere masih mengajukan tanya menyelidik.

"Ada. Temen UKMP. Kamu nggak kenal."

Aku bisa lega setelah Rere menyerah dan hanya menggumamkan 'oh' panjang, lalu meraih air putih yang kusediakan di atas meja belajar.

"Eh, eh, Vy. Tadi aku ketemu Aksa."

Aku kaget bukan main, bahkan sampai terbatuk ringan karena tersedak. Kenapa nama itu muncul setelah aku berusaha menyembunyikannya?

"Vy?"

"Siapa tuh?" Oke. Aku harus tenang. Ambil napas, keluarkan.

"Cinta pandangan pertamamu itu, loh," jawabnya santai, setengah terkikik geli.

Apa aku bilang? Kalau aku mengatakan sudah bertemu Aksa, bisa-bisa mulutnya makin menjadi-jadi. Aku bisa nekat operasi pemotongan urat malu jika sampai Rere memiliki celah lebih lebar untuk menggodaku-atau lebih tepatnya mempermalukanku. Ah, sepertinya tidak ada operasi semacam itu di dunia ini.

"Tahu nggak, sih, dia inget kamu, loh. Mana tadi ...."

"Bentar, Re."

Tanpa menunggu jawaban Rere, aku melepas earphone ketika mendengar samar ketukan pintu. Syukurlah, aku memiliki alasan untuk menghindar dari ledekan konyolnya.

Aku menghampiri pintu kamar ketika yakin bahwa ketukan itu nyata. Lalu, setelah membukanya, langsung kudapati Mama yang sudah memakai setelan tidur, lengkap dengan jilbab pasmina yang ia lilitkan dengan cukup rapi.

"Kenapa, Mam?"

"Ada Faris sama Ibun di bawah, Vy."

Aku terdiam. Bertamunya Mas Faris dan Ibun kala malam bukanlah hal yang baru. Namun, kini ada perasaan sesak yang sebelumnya tak pernah sepaket dengan kehadiran mereka.

***

Entah perasaanku saja atau aura Mas Faris memang sedang selayu itu. Garis wajahnya terlihat lelah, juga bahu yang tidak setegap biasanya.

Mengenalnya cukup lama membuatku sedikit-banyak dapat membaca, kiranya apa yang salah dengannya. Ia bukan seseorang yang bisa bercerita dengan gamblang kepada orang lain terkait masalahnya, bahkan kepada Ibun sekali pun.

Dulu, aku hanya perlu menemani Mas Faris saat merasa porsi bicaranya berkurang drastis. Menemaninya mengerjakan tugas, mencari buku, bahkan hanya duduk diam di teras florist Mama. Namun, aku tidak yakin untuk melakukannya lagi saat ini. Tepatnya, aku tidak yakin hatiku bisa mengerti.

"Nih, Ibun bikin brownies juga tadi, Vy."

Lamunanku buyar mendengar teguran Ibun. Kami sedang berada di dapur, sedang Mas Faris mengobrol dengan Mama di ruang keluarga. Kami memang sudah terbiasa begini. Jika Ibun mampir dengan membawa makanan, Ibun sendiri yang akan menyiapkannya untuk dinikmati.

"Eh. Oh. Enak tuh, Bun."

Ibun tersenyum dengan mata yang tetap fokus dengan kudapan di depannya, ketika mendengar jawaban tergagapku. "Kamu mikir apa?"

"Hm enggak, kok, Bun." Entah tabir apa yang tercipta semenjak pernikahan Mas Faris dilangsungkan, hingga bercakap dengan Ibun juga membuatku sungkan.

Sesekali aku melirik ke ruang keluarga dari celah dinding dapur. Memperhatikan pria itu, meski raut wajahnya tak sedikit pun tertangkap netra.

Mbak Nindy dan Mas Faris menikah selang tiga bulan dari kelahiran Aishwa Nahla. Tidak ada yang aku tahu soal rencana mereka. Satu yang kutahu pasti, Mbak Nindy terlihat begitu syok pasca keluarnya kereta yang ditumpangi Mas Putra-suami pertama Mbak Nindy-dari jalurnya, yang menyebabkan Mas Putra menjadi satu dari lima korban tewas.

Sejak hari itu, Ibun yang menjadi satu-satunya tante sekaligus ibu yang masih dipunyai Mbak Nindy, memberikan pendampingan eksklusif. Hari-hari itu turut menyeret Mas Faris ke dalamnya. Mungkin, dari sana perasaan mereka muncul. Atau sebenarnya rasa itu memang sudah ada dari dulu. Who knows?

"Melamun lagi. Kenapa, Vy?"

Ibun menarikku dari lamunan untuk kedua kalinya. Kini, wanita paruh baya itu sudah berada di sampingku. Kudapan yang beliau bawa juga sudah tersaji dengan apik. Aku tidak sadar sudah melamun dan meninggalkan realitas tempatku berpijak.

"Enggak, kok, Bun."

"Mau cerita?" Ibun memang selalu menjadi tempatku bercerita. Juga tentang perasaanku dengan Mas Faris, meski tak sekali pun menyebutkan nama pria itu.

Namun, kali ini aku menggeleng. Aku tidak yakin mampu menceritakannya.

"Bener nggak mau cerita? Jangan dipendam sendiri loh, ya."

Aku tersenyum kalem, lalu menuju ruang tamu bersama Ibun. Mama dan Mas Faris entah sedang membicarakan apa. Saat aku turun tadi, Papa juga menemani Mas Faris. Namun, sepertinya beliau sudah kembali ke kamar, mungkin untuk melanjutkan pekerjaannya.

Sekarang sudah pukul setengah sembilan. Terlalu malam untuk bertamu, tetapi tidak lagi jika orangnya adalah Ibun dan Mas Faris. Tetangga kompleks yang sudah kukenal di masa awal kepindahanku, yang tak hanya sekali-dua kali bertamu di waktu-waktu seperti ini.

Rumah kami cukup dekat. Itu sebabnya aku hanya mau diantar sampai stationary store oleh Aksa. Takut jika Ibun melihat, atau jika Mas Faris sendiri yang memergoki. Meski aku sendiri tahu, tidak akan ada masalah jika hal itu terjadi. Ah, rupanya saat itu aku bertingkah sebagai kekasih Mas Faris, yang takut kepergok sedang bersama pria lain. Benar-benar bodoh.

Aku duduk sambil memperhatikan Ibun dan Mama bertukar cerita, ketika Mas Faris membuka suara dan membuat jantungku bekerja berlebihan.

"Tan, aku pinjam Ivy sebentar, boleh?" tanyanya kikuk.

Entah kenapa, aku ingin Mama menolak permintaan itu. Namun, tentu saja hal itu tidak terjadi.

"Loh, biasanya main ajak aja, Ris." Mama tersenyum geli, sementara Mas Faris menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Wis sana kalau mau ngomong. Lagian, kok, diem-dieman aja dari tadi. Biasanya juga udah ngobrol ngalor ngidul."

Ah, benar juga kata Mama. Kebiasaan-kebiasaan kami mulai terkikis satu per satu.

***

Langit malam tersapu bersih oleh kapas-kapas hitam. Tidak ada gemintang yang cukup garang untuk menyibak pekatnya. Rembulan pun tampak seperti sinar lampu lima watt.

Tidak ada satu pun bisik yang memotong sunyi di antara aku dan Mas Faris. Kami sama-sama diam di kursi yang dibatasi meja kayu kecil. Biota malam yang bergelung di dunia tempat mereka bersarang, tidak berisik dengan cukup kuat untuk tercium pendengaran. Aku bahkan bisa mendengar lirih napas teratur pria di sebelahku, yang sejak lima menit lalu hanya berdiam tanpa niat memusnahkan bungkam.

Sepertinya benar. Ada sesuatu yang bercokol di kepala Mas Faris, hingga kebiasaan saling diam ini kembali dia realisasikan. Seperti biasa pula, aku cukup mengimitasi apa yang dia lakukan. Diam. Memberi ruang pada sunyi yang kadang bisa membunuh jiwa yang kesepian, pun bisa melarikan kekalutan yang tidak bisa enyah di tengah keramaian.

"Lucu, ya, Vy?"

Aku menoleh, mengernyit bingung mendengar pertanyaan Mas Faris.

"Apanya, Mas?" tanyaku seraya memusatkan pandang ke arahnya. Kemudian ia membalas tatapanku dengan senyum yang tersungging. Tatapan yang kontan membuatku gelagapan.

"Siapa sangka, kalau dua belas tahun lalu aku bisa bertemu dengan siswa kelas empat SD paling dewasa yang pernah ada, di depan stationary store?" Mas Faris menjeda ucapannya, lalu kembali menatap udara kosong di depannya. Satu hal yang aku syukuri, karena aku bisa kembali bernapas lega, meski debar tak keruan masih tertinggal di dalam sana.

"Lucu, mengingat aku yang waktu kecil sangat malas berteman dengan anak yang lebih muda, kini justru duduk di sini. Minta ditemani sama kamu."

Mendengar suara Mas Faris yang terasa jauh, ingatanku menerawang. Jatuh di stationary store yang dulunya masih berupa bangunan kecil dan sederhana, tidak seperti gedung dua lantai yang berdiri sekarang. Kala itu, aku sengaja pergi ke sana dengan teman-teman-juga diantar oleh pengasuh salah seorang temanku-untuk membeli perlengkapan lomba.

Aku akan mengikuti olimpiade Matematika. Karenanya, aku membeli perlengkapan yang benar-benar aku butuhkan.

Namun, teman-temanku justru sibuk mengambil segala benda yang mereka inginkan. Mulai dari lem kertas karakter, pembatas buku beraneka gambar, sampai gliter yang aku yakin tidak ada sangkut pautnya dengan lomba akademik yang akan kami ikuti. Mereka merengek, membuat pengasuh temanku yang menemani terlihat kewalahan.

Melihat hal itu, aku memutuskan untuk membayar belanjaanku, lalu menunggu di luar toko. Saat itulah, bangku panjang yang semula berisi aku seorang, mulai ditempati lelaki asing usia anak SMP yang sama sekali tidak aku kenal.

"Kenapa duduk di sini?" tanyanya dengan wajah kaku.

"Menunggu teman."

"Temanmu masih asyik memilih alat tulis di dalam. Nggak ikut?" Lelaki itu tidak memandangku sama sekali. Ia sibuk dengan minuman cincau kaleng di tangannya. Padahal, aku menghadap ke arahnya saat suara lelaki itu terdengar menyapaku. Ah, aku ingat sampai sedetail ini.

"Aku kan cuma butuh ini," ungkapku sambil mengangkat plastik belanjaan, yang diliriknya sekilas.

"Oh."

"Hm. Mas, kata Mama, kalau mau berbicara dengan orang lain, harus menghadap ke orangnya. Apalagi kalau orang itu masih asing. Kata Mama, biar sopan." Ia menoleh, menatapku. Seperti menjalankan titah yang tak bisa dibantah.

"Iya."

"Harus senyum juga, Mas. Kata Mama, biar lawan bicaranya nyaman."

Lelaki itu tersenyum, lalu mengulurkan tangannya kepadaku. "Faris."

Dari sana, perkenalan kami bermula. Mengawali kebersamaanku dengan seorang pria yang terpaut lima tahun usia. Namun, ajaibnya tidak membuatku merasa canggung sedikit pun.

"Dulu, kamu satu-satunya anak kecil yang nggak bikin repot buat diajak berteman. Satu-satunya anak kecil yang dengan sukarela kuanggap adik." Mas Faris menarikku dari nostalgia singkat tadi. Tatapannya lagi-lagi menghujaniku, menciptakan gigil kegugupan. Entahlah, biasanya aku tidak sugugup ini.

Menanggapi ucapan Mas Faris itu, aku hanya bisa tersenyum. Ini kali pertama Mas Faris menegaskan bahwa baginya, aku adalah adik yang ia akui meski tanpa aliran darah yang sama.

"Mas?" Aku menunggu respons Mas Faris. Ketika atensinya ditujukan kepadaku, aku melanjutkan, "Kalau Mas Faris diberi kesempatan untuk mengulang kehidupan, apa Mas tetap memilih kehidupan yang sama?"

Maksudku, apakah ia ingin memiliki orang-orang yang sama dan dengan jalinan yang sama dalam hidupnya? Seperti keberadaan dan hubungannya denganku, juga Mbak Nindy ....

Aku tidak tahu mengapa menanyakan hal itu. Sepertinya, tanya yang aku lontarkan adalah bentuk protes tentang pandangan Mas Faris soal siapa aku di hidupnya. Bahwa aku belum juga menerima.

Aku tahu, ini salah. Tidak seharusnya aku menyimpan harap kepada seseorang yang memiliki harap lain yang harus dijaga. Namun, kali ini biarkan aku memuaskan egoku. Puas dengan bangga-meski tidak ada gunanya-atau puas dengan ribuan kecewa.

"Kenapa tanya gitu?" Dahinya sedikit berkerut.

"Nggak apa-apa. Mau tanya aja."

Ada jeda sejenak, bersama matanya yang jauh menerawang. "Entahlah. Yang pasti, kalau tentang kamu, aku bakal tetap memilih ketemu, kenal, dan dekat sama kamu."

Lega? Apa itu yang kini aku rasakan?

"Dan ...." Aku menunggu patah kata lain yang akan meluncur dari lisannya. "Dan aku mau kita hidup dalam keluarga yang sama."

... dalam keluarga yang sama. Aku mengulangnya dalam hati.

Tatapan mata Mas Faris, kini bukan jenis yang membuatku salah tingkah, tetapi justru mampu membuat air mataku bisa kapan saja tumpah.

Dengan berharap kepada ketidakpastian, aku berlajar satu hal. Ternyata, aku sudah membodohi diri terlalu jauh. Melayangkan diri dalam euforia yang bisa kapan pun luruh, lalu hilang tanpa bisa lagi ditempuh.

Padahal selamanya, hanya ada hubungan adik-kakak antara aku dan Mas Faris.

***

Sudah setengah jam aku berguling di atas kasur. Buku kalkulus di tangan sepertinya ikut pusing karena berulang kali aku bolak-balik tanpa minat. Ibun dan Mas Faris beranjak dari rumahku sekitar pukul sepuluh tadi. Seusainya, aku langsung menuju kamar dan mengambil buku kuliah.

Meski dengan fokus yang tidak cukup bersahabat, aku mencoba menyelesaikan beberapa lembar yang masih harus dibaca. Ketika sadar bahwa tengah malam hampir menjelang, aku langsung membersihkan diri, untuk kemudian naik ke kasur. Namun, kantuk tidak kunjung menyerang.

Aku menatap langit-langit. Seolah film sedih sedang terputar di sana, suasana hatiku ikut sendu.

Kata-kata Mas Faris menempel sempurna di otakku. Bertanggung jawab penuh atas memburuknya suasana hati. Aku tahu, memang tidak ada sedikit pun ungkapan cinta secara romantis layaknya laki-laki kepada perempuan yang pernah Mas Faris lontarkan kepadaku. Namun, aku tidak tahu mengapa harapan tersemai subur di sudut hati.

Aku tahu, sepenuhnya aku yang terlalu terbawa perasaan dalam hubungan kami. Dulunya aku menyangkal. Mencokolkan pemahaman bahwa itu adalah hal yang wajar. Namun, waktu mengajari, bahwa tidak ada yang bisa dianggap wajar dari sebuah harapan. Kecuali jika luka bukan sesuatu yang akan aku permasalahkan.

Menit kembali berlalu dan mataku mulai terasa berat. Aku menutup mata, berharap lelap segera menyapa, sehingga aku memiliki cukup energi untuk mengikuti kelas kalkulus besok.

Ketika selimut sudah dibentangkan, hand phone di atas nakas bergetar tanda pesan WhatsApp masuk. Ah, aku lupa mematikan sambungan Wi-Fi rupanya.

Tanganku yang semula hanya berniat mematikan Wi-Fi, kini tergerak ketika notifikasi pesan WhatsApp dari nomor asing tertangkap mata. Aku membukanya, lalu pertanyaan-pertanyaan mulai muncul ketika aku membaca isi pesannya.

08232xxxxxxx

Hai, Gi. Gue Aksa.

Save, ya.

Punya temen kecil nggak? Kok temen kecilku nggak ada yang sweet kayak Mas Faris, ya. HEHE. #Canda Temen Kecil

[First Publish] May 30th, 2020.
[Revisi] January 2nd, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro