masa lalu yang lain
Semula, kupikir bercerita akan membuat segalanya semakin runyam. Terbayang betapa Rere akan sibuk mengajukan pertanyaan. Namun, dugaanku salah. Sehabis membaca secarik kertas yang kuberikan, Rere hanya menatapku dan tak sedikit pun memberi celah sebagai jalan keluar suara dari tenggorokannya. Dia menungguku. Seperti tahu kalau aku belum sepenuhnya siap untuk meloloskan suara.
Aku menghela napas. Kertas di tangan Rere beralih ke tanganku setelah aku meraihnya.
Tanpa menatap ke arah Rere, kubuka suara meski rasanya terlalu berat. "Mbak Nindy yang ngasih itu ke aku."
Tidak ada reaksi. Namun, dari mata jernih sahabatku, ada ketenangan yang mengajakku menyelam tanpa harus takut tenggelem. Ternyata, bercerita tidak seburuk yang ada di pikiranku.
Aku menunduk, memainkan kertas di tanganku.
"Emang begitu baiknya, sih, Re, menurutku. Mbak Nindy ngambil tindakan paling logis biar ke depan nggak ada kesalahpahaman lain. Dengan begitu, aku juga bisa ikut ambil sikap." Aku menyelesaikan kalimat itu dengan tempo yang amat lambat, yang dalam keadaan normal akan membuat Rere memprotes tidak sabar.
Kali ini, kalimatku bersambut. Rere membuka suara dengan nada menenangkan dan tidak terkesan akan menyudutkan. "Terus kamu bermasalah di bagian mana? Kamu bilang setuju sama yang dilakuin Mbak Nindy dan mau ambil sikap. Kamu masih belum mau ngelupain Mas Faris?"
Aku menggeleng. Bukan untuk mengatakan tidak ingin melupakan Mas Faris, tetapi karena aku sendiri bingung dengan apa yang aku rasakan saat ini.
Rasanya sesak sekaligus sakit, ketika mendengar kebenaran yang seharusnya membuatku tersenyum sepanjang hari, tetapi aku tidak lagi memiliki kesempatan. Seingin apa pun aku mempertahankan apa yang pernah dan mungkin masih aku rasakan untuk Mas Faris, juga apa yang Mas Faris rasakan untukku, keadaan finalnya adalah untuk menyerah.
Di sisi lain, ada rongga yang sepertinya berhasil ditempati Aksa, entah sejak kapan. Membuatku kehilangan detak jantung normal bahkan saat namanya terlintas tanpa sengaja.
Aku takut. Sebab di keadaan hati yang tidak karuan seperti sekarang ini, keputusan yang aku pilih bisa jadi sama sekali tidak tepat. Aku tidak mau mengambil keputusan, sedang rasa yang kumiliki sebelumnya belum selesai. Aku tidak mau mengulang kejadian yang ingin aku musnahkan. Kejadian yang melibatkan Mama, Papa, dan seseorang yang tidak pernah.
"Aku bingung sama perasaanku sendiri, Re. Sebelumnya aku berpikir buat memulai perasaan sama orang lain, tapi waktu tahu isi surat itu, aku jadi ragu. Rasanya jahat kalau aku memilih memulai, padahal yang dulu belum selesai. Aku nggak mau melibatkan orang lain dan bikin dia kecewa." Aku menatap ke arah Rere setelah kalimat panjang itu selesai. Meski bukan pertama, tetapi bercerita detail seperti ini bukanlah kebiasaanku. Apalagi yang melibatkan perasaan. Mengaku suka pada Mas Faris saja hanya keceplosan, tidak niat membeberkan.
"Buset. Kusut bener benang di kepala kamu," kata Rere sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Membuatku melayangkan tatapan kesal. "Kamu banget, deh. Overthinking."
Aku diam. Menunggunya mengatakan kalimat yang lebih panjang dan lebih spesifik.
"Kamu berniat jadiin Aksa pelarian?"
Aku menggeleng.
Eh? Kok membawa nama Aksa? Rasanya aku tidak sekali pun menyebutkan nama Aksa.
Aku cepat-cepat menyela sebelum Rere berkata lebih jauh lagi. "Kok jadi Aksa?"
"Memangnya bukan?" tembak Rere tepat sasaran. Nadanya memang bertanya, tetapi aku tahu dia sudah lebih dulu mengantongi jawaban versinya sendiri. "Masih aja setengah-setengah kalau cerita. Udah, sih, nggak usah ditutupin."
Aku menghela napas. Sekuat apa pun berusaha menutupi, Rere bisa dengan mudah membacanya.
Sebelum aku benar-benar rela membenarkan kesimpulan Rere, dia kembali berujar, "Jadi gimana? Emangnya kamu niat jadiin doi pelarian?"
"Ya enggak, Re," kataku lirih.
Raut khas sesi interogasi mulai muncul di wajah Rere. "Terus dari mana kamu tahu kalau kamu bakal ngecewain Aksa?"
"Ya, mungkin aja aku nggak betulan suka sama dia." Jika nada bicaraku terdengar ragu, bukan hal aneh lagi. Sebab memang begitu isi kepalaku.
"Dari mana kamu tahu kalau nggak betulan suka sama dia?"
Aku menggeleng. Persis seperti respons yang mungkin ada di kepala Rere.
"Yup. Kamu nggak tahu." Berhenti sejenak, Rere kembali melanjutkan, "Dari mana juga kamu yakin kalau efek sesak dan marah saat kamu tahu bahwa Mas Faris juga suka sama kamu, adalah bukti kalau kamu masih cinta sama dia? Kenapa kamu nggak mikir kalau itu cuma respons kecewa? Ego kamu yang kegores, karena kamu penginnya tahu sejak dulu. Bukan karena kamu masih punya perasaan."
Tatapan Rere yang menghujani membuatku melarikan mata dengan gelisah. Dibanding butuh jawaban, semua pertanyaan Rere hanya membutuhkan pengakuan. Tanpa aku jawab pun, pertanyaan itu sudah sepenuhnya memiliki sambutan yang amat jelas. Retoris.
"Aku nggak bisa ngomong banyak. Cuma, kamu terlalu saklek sama aturan penyimpulan yang kamu buat sendiri, Vy. Aturan yang nggak ngebolehin orang lain terluka dalam jangka waktu panjang. Padahal, semua kesimpulan itu sama sekali nggak berdasar. Sama kayak kemungkinan lain yang kamu abaikan. Harusnya kamu adil, ngasih tempat juga buat kesimpulan yang kamu abaikan itu, Vy. Kamu berhak mikirin diri sendiri."
Satu paragraf panjang yang diucapkan Rere tidak ada yang bisa kusangkal. Akibatnya, respons yang aku berikan hanya diam. Membiarkan satu-dua mahasiswa yang mendiami pelataran perpustakaan berlalu, meninggalkan debu halus kemarau yang beterbangan.
Benar. Aku memang menutup diri atas kemungkinan lain yang tidak ingin aku benarkan. Sebab bagiku, kemungkinan itu akan lebih banyak mendatangkan luka jangka panjang bagi orang lain.
"Emang apes hidupku. Figuran yang lewat-lewat nggak jelas aja dapet bayaran. Lah, aku ceramah panjang lebar cuma dapet pemandangan cewek hopeless yang bengong kayak gini." Setelah menyindirku, Rere menjejalkan segenggam snack dan mengunyahnya hiperbolis. Memunculkan suara berisik yang cukup keras.
"Kamu ngeselinnya pake tombol on-off, ya, Re? Kepencet on tuh kayaknya," kataku malas. Sementara Rere terbahak meski aku tidak yakin kalimat yang keluar dari mulutku selucu itu.
***
Meja makan terasa lebih hening. Padahal, jumlah kami bahkan lebih banyak dibanding hari-hari biasanya. Ada Mas Arsyad yang duduk di sebelahku, menendang-nendang kakiku seolah sengaja membuatku kesal. Sedang di sebelah Mama, Nenek menyuapkan makanan dengan khidmat, tenang, dan tidak sedikit pun ingin diganggu.
Akhirnya, Nenek menyentuh gelas bening berisi air putih untuk mengusaikan makan malam. Mas Arsyad menghela napas hiperbolis, membuatku langsung melotot ke arahnya. Bocah usil ini tentu saja tidak rela untuk diam barang sepuluh menit untuk menunggu Nenek selesai makan.
Iya. Yang membuat suasana lebih hening meski kami tidak lagi bertiga seperti biasanya adalah Nenek. Ibu dari Mama yang tinggal berjarak 130 kilometer dari kota tempatku berada. Beliau amat menjaga adat dan kesopanan. Tidak ada yang berani membuka suara di meja makan, kecuali ingin mendapatkan lirikan tajam dari Nenek.
"Nenek dateng kapan?" Aku membuka suara setelah menandaskan isi piring. Mengabaikan Mas Arsyad yang kakinya masih tidak bisa diam di bawah sana.
Nenek menatapku sambil tersenyum, berkharisma dan percaya diri. Kesan yang tidak pernah hilang barang sedetik dari matanya. "Siang, Vy. Nungguin kamu nggak pulang-pulang."
"Kok nggak telepon? Ivy bisa jemput Nenek, loh, kalau siang. Tadi kan nggak ada jam siang." Walaupun aku tidak yakin bisa tega memilih izin, mengingat ada beberapa persiapan MIPA Festival yang perlu banyak perhatian.
Alih-alih Nenek, justru Mama yang menyambut protesku. "Katanya biar kamu menikmati kesibukan dan nggak bolos dengan alasan nenekmu datang, Vy."
Nenek terkekeh, juga Papa yang berada di ujung meja. "Nggak apa-apa. Nenek 'kan udah dianter sama masmu. Nenek di sini juga sepekan, kok."
Mataku melebar. Nenek tidak bilang akan mengunjungi rumah ini, tapi beliau bahkan merencanakan menginap sampai sepekan! "Ih, Nenek, kok nggak bilang-bilang?"
"Seneng banget. Pasti minta dicariin kutunya, ya?" celetuk Mas Arsyad sambil menggapai tempe goreng di hadapanku. Aku langsung mengangkat sendok di piring, lalu mengetukkannya dengan keras ke jari pria itu.
"Adaaaw! Sakit, Bocah." Dia memekik dan menjatuhkan kembali sepotong tempe yang sudah disentuh.
"Syad, jangan ribut di depan makanan." Suara Nenek yang tegas membuat Mas Arsyad melirikku jengkel.
Rasain! Begitulah tatapan yang aku lontarkan kepadanya.
"Kamu Sabtu ini seleksi ... apa itu, Vy?" Nenek mengalihkan pembicaraan. Tidak menghiraukan Mas Arsyad yang masih bersungut kesal.
Aku beranjak membantu Mama membereskan piring kotor, saat melihat semua orang di meja sudah menghabiskan makanannya. Termasuk Mas Arsyad yang masih melirik-lirik ke arah tempe tanpa tepung di depanku.
"KN MIPA, Nek. Sabtu ini tahap pertama, tingkat kampus. Kalau lolos, lanjut ke seleksi wilayah," kataku sambil tersenyum.
Aku langsung menuju wastafel, sementara Nenek masih belum beranjak dari kursinya. Mas Arsyad? Ah, dia pasti sudah tidak sabar untuk melancarkan aksi bucin kepada mantan yang membencinya setengah mati itu.
Baru menyentuh spons, suara Nenek kembali tertangkap telinga. "Yang serius, Nduk. Jangan main-main, apalagi ngalor-ngidul nggak jelas bawa alat musik. Janji harus lolos, ya?" Aku mau menoleh dan merespons, tetapi Mama mendahului. Gerakan tangannya pada piring juga otomatis terhenti saat beliau menolehkan kepala.
"Bu." Mama berkata tegas. Ada nada peringatan yang meluncur dari mulutnya.
"Kenapa, sih? Ibu bilang bener. Jangan sampai Ivy kayak-"
"Ibu!" Suara Mama naik. Membuatku memejamkan mata erat. Sudah dapat kutebak apa yang akan mereka ributkan selanjutnya.
Aku tidak tahu tatapan seperti apa yang saling dilayangkan oleh dua orang itu. Aku tidak berani berbalik, apalagi mendapati Papa yang terus menatapku dengan wajah bersalah. Padahal, beliau tidak salah dari segi mana pun aku memandang.
"Kamu nggak berubah, ya, Nggrid. Selalu belain laki-laki itu. Apa kamu mau Ivy menjalani kehidupan kayak-"
"Ibu!" Suara Mama lebih keras dari sebelumnya. Membuatku mencengkeram piring semakin keras. Seolah takut ia akan meluncur jatuh jika sedikit saja kulonggarkan pegangan.
"Setiap datang ke rumah ini, Ibu selalu ngungkit-ngungkit tentang orang yang harusnya menjadi anak Ibu. Apa nggak cukup semua yang Ibu lakuin dulu, Bu? Apa nggak cukup sampai Ibu juga mau jatuhin Ivy? Aku nurutin semua mau Ibu dari kecil." Kalimat Mama terjeda. Isakan halus lolos dari dirinya. Membuatku ikut menyusut setitik air mata yang merembes.
"Baru sekali aku nggak nurutin Ibu." Mama melanjutkan, dengan isak yang coba ditahannya. Aku tahu, ganjalan di hatinya masih ada meski sudah bertahun-tahun lamanya.
"Ma." Kini, Papa angkat suara. Aku semakin tidak mau membalikkan badan. Tidak mau melihat Papa yang menumpukkan kesalahan pada dirinya, seolah semua yang terjadi adalah dosanya yang belum sanggup ditebus.
"Kamu harusnya nurutin semuanya, Nggrid. Tanpa terkecuali." Kalau bisa, aku ingin membawa Nenek pergi menjauh dari Mama. Dua perempuan ini tidak akan mau mengalah satu sama lain.
"Aku nggak mau jadi monster kayak Ibu!"
"Ma!" Suara Papa menyambar. Membuat Mama sedikit terkejut di sampingku.
Hening. Tidak ada suara lagi dari dua perempuan yang sedari tadi saling membenturkan perkataan. Aku juga membeku. Bahkan takut jika suara keran air bisa memperburuk keadaan.
"Cukup," lanjut Papa setelah hening barang lima detik. "Ivy, masuk kamar, Princess."
Aku menurut. Kucuci tanganku dengan cepat, lalu berbalik tanpa mau menatap satu pun mata milik tiga orang di ruang makan.
Sekuat tenaga, aku menyeret kaki yang terasa berat. Padahal, saat ini aku butuh kecepatan mahakilat untuk segera pergi dari sini. Untuk segera menulikan diri dari tiga pasang mata yang sama-sama terluka, meski berbeda bentuknya.
Terngiang kembali seruan Nenek yang menyebut laki-laki itu, juga teriakan Mama yang langsung tidak terima saat Nenek mencelanya. Memunculkan lagi ingatanku tentang satu hal yang aku bingungkan belakangan.
Lebih dari sepuluh tahun dan Mama belum juga lepas dari masa lalunya. Belum sepenuhnya hidup dengan Papa yang selalu ada.
Pemikiran-pemikiran lain susul-menyusul menghantam kepalaku, saat suara Mama dan Nenek belum hilang dari kepala. Suara-suara itu mengiringiku dengan ejekan. Meneriakkan bahwa aku terlalu naif telah setuju untuk berdamai dan memulai sebuah rasa baru, saat yang sebelumnya tak kunjung usai.
Thanks for reading!
[First Publish] August 29th, 2020.
[Revisi] January 6th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro