Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

m i s u n d e r s t a n d i n g

"Aduh, telurnya kurang ini. Tepung terigu sama kecapnya juga. Padahal udah mau subuh gini." Tante Ambar tampak kelimpungan. Tangannya sibuk membuka tutup panci dan wajan yang sedang merebus dan memasak bermacam-macam bahan.

Aku yang sedang mengiris bawang merah menoleh ke arahnya. "Mau beli aja, Tante? Keburu, kan, ya?"

"Ah, iya. Keburu, kok, Gi. Mas, anter Anggia beli bahan-bahan yang kurang." Tante Ambar memanggil Aksa yang sedang mengelap piring.

Mendengar seruan Tante Ambar, Aksa menoleh. Matanya langsung bertatapan denganku yang memang dari tadi memperhatikannya. Dia tampak menghindari kontak mata. Pandangannya langsung diarahkan ke Tante Ambar yang berdiri saling membelakangi denganku. "Kok Aksa, sih, Bu?"

"Ya masa Ibu? Kamu mau gantiin masak?" Aku susah payah menahan tawa. Tante Ambar terlihat lincah memainkan skenario. Iya. Ini adalah skenario yang aku rancang, dengan Tante Ambar yang membantu menjalankannya.

"Aksa sendiri aja, kalo gitu. Apa aja tadi?" Aksa langsung mengambil ponsel. Mungkin untuk mencatat apa saja yang perlu dibeli.

"Nggak. Nanti kamu salah beli. Biar sama Anggi aja yang lebih ngerti masalah belanja." Tante Ambar tidak mau menyerah. Membuatku diam-diam khawatir jika Aksa melancarkan berbagai penolakan yang tidak bisa kami tangani.

Mataku belum beralih darinya. Aku tidak peduli kalaupun dia sadar sedang diperhatikan. Justru sengaja, agar dia tahu bahwa aku masih sosok nyata yang bisa dilihat.

Aksa mengembuskan napas. "Ya udah, Anggi sendiri aja."

"Heh!" Aku langsung menoleh ke arah Tante Ambar saat suaranya meninggi. Perempuan itu membalikkan badan dan kini menatap Aksa. Terlihat garang, meski kesan kalem yang menjadi ciri khasnya sama sekali tidak hilang. "Anggi udah repot-repot mau bantuin kok malah disuruh-suruh sendiri, sih? Lagian dia mana tahu toko kelontong di sini?"

Aku meringis. Kasihan juga melihat Tante Ambar yang berpeluh akibat uap panas yang menerpa wajah, tetapi harus berlaku sesuai naskah yang semalam kami sepakati.

"Ya Aksa juga nggak tahu, Bu. Lagian mana ada toko kelontong yang buka sebelum subuh gini?" Aksa masih membantah, tetapi nada suaranya tidak lagi ngotot.

Tante Ambar beralih ke wajan besar, kembali membelakangiku dan Aksa. "Tempatnya Bu Tin, yang deket taman kompleks, Mas, arah mau ke pasar. Itu toko buka dua puluh empat jam. Makanya kalo disuruh beli-beli tuh berangkat, jadi bisa tahu toko-toko di sekitar sini."

Aku menggigit bibir untuk menahan tawa. Baru kali ini aku melihat Tante Ambar menceramahi Aksa. Aku kembali menatap pria itu. Bawang merah yang kuiris sudah kehilangan atensi sejak lama. Tepat ketika senyum tertahan belum hilang dari bibirku, Aksa balik menatap, membuat pipiku seketika kaku. Senyumku terhapus habis, menyisakan tanda tanya saat dia tidak kunjung mengalihkan tatap seperti kebiasaannya belakangan ini. Akhirnya, aku melihat pria itu mengembuskan napas. Aku tahu dia masih enggan, tetapi kali ini aku berhasil membuatnya bersinggungan denganku.

***

Semalam, setelah Karin tidur, aku keluar menuju dapur karena tenggorokanku terasa kering. Awalnya aku belum memiliki solusi apa pun untuk membuat Aksa terbuka akan lukanya. Namun, saat itu aku melihat Tante Ambar di ruang keluarga. Dia sedang membuka-buka album foto. Hal yang membuatku mengurungkan niat menuju dapur dan justru bergabung dengannya.

Saat aku ikut melihat wajah-wajah Aksa, Karin, dan Ivy dari waktu ke waktu, sebuah ide tercetus. Aku ingin berbicara dengan Aksa. Maka, meski berat, aku bertekad untuk meminta bantuan Tante Ambar. Sebab aku yakin, seorang Ibu pasti ingin anaknya baik-baik saja.

Maka, setelah memantapkan niat, aku mengutarakan satu statement yang membuat Tante Ambar tercenung. "Gimana kalau ternyata Aksa cuma nggak mau sedih di depan kita, Tante? Karena dia tahu, sedihnya Aksa bakal nambah kesedihan orang lain di sekitarnya. Padahal Aksa sendiri terluka terlalu banyak."

Aku menambahkan dengan menyerahkan kartu tanda mahasiswa milik Aksa, membuat wanita itu langsung menitikkan air mata. "Aksa mungkin benci dirinya sendiri, Tante," kataku semalam.

Setelahnya, Tante Ambar menyetujui permintaanku untuk membuat Aksa mau berurusan denganku. Aku memang tidak menjanjikan apa pun. Tidak berjanji akan membuat Aksa mau bercerita, apalagi memafkan dirinya sendiri. Itu bukan kapasitasku. Aku hanya ingin ... entahlah. Aku hanya mau berbicara dengannya, itu saja. Bahwa semua orang tidak sedang menuntutnya untuk kukuh saat sebenarnya rapuh. Meski tidak tahu bagaimana harus memulainya.

Aku mengambil ancang-ancang untuk membelokkan stang, ketika kulihat Aksa sudah berbelok ke pelataran parkir sebuah toko. Namun, ternyata toko yang kami tuju belum buka. Sepi, hanya terang lampu LED yang membuat tempat itu sedikit bernyawa.

Aksa turun dari motor, kemudian tangannya bergerak mengambil ponsel di saku dan menempelkannya ke telinga. "Belum buka, Bu. Apa? Hari Senin bukanya habis subuh? Terus gimana? Ya udah."

Aksa terlihat mematikan sambungan telepon setelah mengucapkan salam. Wajahnya sedikit kesal. Jujur, aku pun tidak tahu kalau toko yang disebutkan Tante Ambar masih tutup. Entah ini bagian dari rencana ... atau Tante Ambar memang lupa.

"Baru buka habis subuh." Aksa berkata sambil menoleh ke arahku. Dia beranjak duduk di pelataran toko yang berundak.

Aku mengikuti, duduk beberapa jengkal darinya. "Kita tunggu subuh aja. Habis itu ke masjid dan balik lagi ke sini. Kata Ibu, biasanya habis salat subuh langsung dibuka." Aksa berbicara denganku, tetapi pandangannya jatuh ke objek acak di depan sana. Aku hanya manggut-manggut, tidak membalas dengan sepatah kata pun.

Keheningan langsung merasuki ruang di antara kami, menempel pada dinding-dinding tak kasat mata yang membatasi. Kami sama-sama bergeming. Aku sibuk mengobrak-abrik kosakata, sedang Aksa entah sedang memikirkan apa.

Aku masih berkutat dengan pikiran sendiri, ketika dari sudut mata dapat kutangkap gerakan Aksa. Pria itu melepas jaket parka yang dikenakannya. Lalu ia menggeser jaket itu ke arahku, setelah meletakkannya di lantai toko yang memang tidak terlihat kotor. Aku memandanginya, kemudian ingatan tentang Aksa yang menaikkan risleting jaket yang aku kenakan di lapangan parkir kafe, kembali terputar. Kalau bisa, aku ingin memintanya melakukan hal itu lagi. Namun, itu terlalu mustahil. Apalagi setelah keputusan yang aku berikan kepadanya. Ah, ternyata baru sebentar aku salah mengambil keputusan, tetapi semuanya berhamburan dan seolah tidak bisa lagi disatukan.

Aku memilih meraih jaket itu. Kemudian segala ucapanku kepada Aksa selama ini terputar di kepala. Tentang aku yang memaksanya pergi, padahal Aksa sudah berusaha sejak awal. Tentang aku dengan perasaan bimbangku, yang secara tidak langsung membebani pria itu juga. Tentang aku yang kesulitan menghadapi hati dan pikiranku sendiri, lalu Aksa berkali-kali harus menerima keputusanku yang tidak mengenakkan. Padahal, pria itu juga memiliki luka, bukan aku saja.

Kalau ditilik lagi, sejak awal, aku memang tidak pernah memberi kesan bahwa aku bersedia menjadi tempatnya berbagi luka. Justru aku yang memberi tahunya kalau kita tidak akan baik-baik saja jika bersama. Lalu, kini aku berharap apa? Dia bercerita segala hal kepadaku, padahal aku tidak mau melihat kesedihannya? Kenapa aku bodoh sekali?

Secara refleks, aku menunduk bahkan sebelum risleting jaket kunaikkan. Aku sadar, air mata mulai turun, perlahan membasahi lengan jaket yang kujadikan tumpuan. Kenapa aku bisa seegois ini? Kenapa aku harus berpikir terlalu jauh dan memutuskan dengan cepat tanpa pikir panjang?

Kini, mungkin Aksa tidak mau lagi berurusan denganku karena dia tahu, aku adalah tipe perempuan paling menyusahkan sedunia.

Tanpa sadar, air mata lolos disusul isakan lirih yang tidak mampu kutahan. Ingin sekali kuhentikan, tetapi sesuatu yang meremas hatiku membuat keinginan itu tidak bisa terealisasikan.

"Anggi." Suara rendah Aksa terdengar. "Hei." Aku tahu dia mendekat, tetapi keberanianku untuk mendongak lebur dibawa derasnya air mata.

Satu hal yang aku ungkapkan sebagai respons, yaitu kata maaf yang kuutarakan berulang-ulang. Sebelum akhirnya aku memilih berdiri, menghampiri motor dan menstarternya. Tidak peduli dengan seruan Aksa yang membuat seluruh tubuhku gemetar seperti dikerumuni ribuan semut.

[First Publish] November 4th, 2020.
[Revisi] January 8th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro