m a t r o y s h k a rasa
Dari satu jam durasi duduk di depan meja belajar, 75 persen waktunya kuhabiskan untuk menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayangan yang selalu timbul dan enggan tenggelam. Entah kaset film mana yang tersesat di pemutar DVD otakku, sehingga satu wajah itu terputar terus setiap membuka pun memejamkan mata. Kalau seperti ini terus, target materi hari ini tidak bisa aku lampaui, padahal seleksi tahap pertama ON MIPA akan berlangsung awal bulan depan.
Kularikan tangan ke dada, meraba getar lembut yang datang dari sana. Entah sejak kapan efek itu bersarang di sana, saat tidak sengaja nama Aksa bergema di kepala. Mataku menerawang, pada rasa serupa yang masih saja menyusup saat segala tentang Mas Faris mampir di ingatan. Semakin ke sini, aku ragu bisa mengendalikan hati yang mulai gamang untuk memutuskan.
Suara di kepala seketika terbungkam, ketika suara notifikasi ponselku terdengar. Kupandangi angka dua di samping nama seseorang yang dari tadi berwisata di kepalaku. Sebagai tanda ada dua unread messages dari nomor itu.
Masih bergeming tanpa berniat membukanya, sebuah dering panjang membuat merutuk. "Kenapa nelepon segala, sih, ini orang?"
Setelah lama memenuhi ruangan, dering itu berakhir, sebagai panggilan tak terjawab. Aku memandanginya, lalu mengembuskan napas dengan getaran lembut yang mulai mengeras.
Namun, napasku kembali tertahan kala benda pipih itu menjerit singkat, menambah satu lagi pesan yang belum kubaca. Memejamkan mata, akhirnya kubuka pesan itu.
Aksa
Anggia
Gi
Missed voice call at 21:13
Lo udah sampe rumah?
Setelah meraup beberapa kata di layar, perutku terasa aneh, seperti digelitiki. Yang aku baca adalah sederet kalimat, tetapi yang tervisualisasikan justru wajah serius sang pengirim yang cukup dekat saat membenarkan risletingku tadi. Lalu, satu pesan mendarat lagi di mataku.
Jempol lo kesemutan sampe nggak bisa napak?
Dalam kondisi normal, harusnya decakan sebal lolos dari mulutku. Namun, kini yang kulakukan hanya menggigit bibir dan memejamkan mata guna meredam riuh di dalam sana. Bahkan tanganku terasa kelu untuk sekadar menari di atas keyboard. Sekali lagi, kuhirup udara dalam-dalam sebelum menyentuh ikon send.
Iya
Iya apaan?
Iya udah sampe, dari tadi.
Gue pikir iya kesemutan :D
"Nggak lucu, Sa," gumamku lirih, dengan sudut bibir yang tanpa sadar tertarik sedikit. Pesan itu pun tidak langsung kubalas, membuat beberapa saat kemudian Aksa memprotes.
Tuh
Lo nggak bales lagi
Satu arah banget chat sama lo
Ya udah nggak usah nge-chat
Usai mengetikkan kalimat itu aku justru gelisah, sebab sudah lewat dua menit dan Aksa betulan tidak membalas pesanku.
"Eh, aku kan bercanda. Dia anggep beneran?" Aku menggaruk kening serba salah. Apa-apaan, sih? Kenapa seolah aku ingin memperpanjang obrolan dengan Aksa?
Sepertinya aku betulan gila, apalagi saat aku memutar otak untuk membuka percakapan baru, lalu mengetik dan menghapus tanpa tujuan yang kutahu dengan jelas.
Aku tadi ngetik, makanya lama
Barusan gue mikir, makanya lama
:)
Nggak tanya.
Iya iya
I just do what you did :)
Heh.
Udah, udah. Gue lagi nggak ngajak ribut.
Then go to your book. Sorry if it's wasting your time.
Biasanya juga hobi wasting time, nggak pernah minta maaf.
:(
Aku terkikik mendapati emoji sedih yang dikirimkan Aksa. Ah, bukankah biasanya raut sebal yang selalu kutampilkan jika berkaitan dengan pria itu?
Aku meletakkan ponsel ke atas meja dengan sedikit kasar, lalu mengusap wajah dan menampar-namparnya ringan. Bagaimana mungkin saat ini aku sibuk tersenyum, padahal baru beberapa hari lalu memberikan maklumat tak terbantah agar Aksa pergi dariku?
Namun, aktivitas itu terhenti ketika sekali lagi jeritan dan getar dari ponsel terdengar. Tentu saja, dari Aksa.
Hey.
Wanna tell me something?
Tell you what?
Since when did math sound pretty cool when it came to you?
Kebingunganku langsung pudar, digantikan pipi yang mati-matian kutahan agar tidak mengembangkan senyuman. Dadaku bahkan semakin bergemuruh ketika membaca pesan itu sekali lagi. Tanganku berangsur dingin, apalagi saat status Aksa menjadi typing, lalu berubah online ketika sebuah pesan teks kembali dia kirimkan.
Oh, the correct one: since when a girl sounds more more more adorable when she explains math so well?
Aksa sialan!
***
Kasur sudah menjadi alasku merebahkan badan, bersiap menutup malam. Pesan terakhir yang kirimkan Aksa tadi tidak kubalas. Kini, berada pipih yang sempat mengaduk-aduk perasaan dalam posisi tengkurap di atas dada. Tidak ada lagi suara singkat yang datang dari sana. Menyisakan aku dan keheningan yang menyebar dengan cepat. Meski tidak sepenuhnya hening, karena organ di dalam dadaku masih bertalu lembut.
Pejaman mata kian kurapatkan. Perlahan petang digantikan kolase-kolase kebersamaanku dengan Aksa. Membuatku meraba kembali, seperti apa respons tubuhku saat bersama dengannya dulu.
Nihil. Aku tidak yakin dengan apa yang aku rasakan sebelum-sebelumnya. Entah karena aku lupa atau karena memang tidak ada rasa apa-apa atau mungkin ... karena aku belum menyadari apa pun waktu itu.
Rasa ini tidak asing. Persis seperti yang timbul setiap kali Mas Faris di dekatku. Namun, ada sesuatu yang masih kutakutkan. Bukan karena takut terluka atau tidak mau menanggung risiko jatuh cinta lainnya, tetapi karena belum sungguhan yakin dengan apa yang aku rasakan. Juga karena ... ada seseorang yang masih menempati sebagian besar ruang hatiku.
***
Masing-masing satu cup gelato berada di hadapanku dan Rere. Makanan dingin itu berpindah sedikit demi sedikit ke mulut kami. Buku dan alat tulis lainnya berserakan di meja bundar berkapasitas empat orang.
Rere mengajakku untuk belajar di kedai gelato alih-alih perpustakaan di mana kami bisa mencari referensi dengan mudah. Aku iyakan saja, karena memang merasa bosan dengan suasana belajar di perpustakaan.
Namun, kekhidmatan belajar kami terpotong kala sebuah suara menghampiri telinga. Disusul sang pemilik yang beranjak menarik kursi kosong yang melingkari meja kami.
"Loh, kalian di sini?"
Sosok Mbak Nindy dengan long cardigan yang menyembunyikan gamis yang dipakainya, juga jilban marun yang senada sudah duduk di sebelahku. Tidak berselang lama, Mas Faris berdiri di sampingnya dengan tangan yang menyampir di pundak Mbak Nindy. Pemandangan itu membuatku tidak mampu mengedip.
"Iya, Mbak. Nongki santai sambil cuci mata."
Suara Rere membuyarkan pikiranku. Menyedotku kembali ke dunia nyata.
"Semester dua pikirannya masih adem, ya. Sempet cuci mata sana-sini." Mbak Nindy menyahut. Kekehan mengiringi gerakannya yang terlihat anggun.
Sementara mataku tidak juga lepas dari Mas Faris, yang sedetik lalu beranjak duduk di sebelah Mbak Nindy, di samping Rere.
"Yah, gimana, ya, Mbak. Cecan kayak kita juga bisa burem matanya kalo nggak dicuci."
"Bisa-bisanya Ivy betah temenan sama kamu, Re," kekehan Mbak Nindy belum habis. Kini matanya sudah sibuk memindai menu, terlihat memilih mana yang paling menarik minatnya.
"Harusnya aku yang nggak betah sama dia, Mbak. Pikirannya absurd banget."
"Kok jadi aku yang absurd?" Aku tidak bisa tinggal diam saat Rere menyeret namaku.
"Abisnya nggak punya sense of romance sama sekali. Nonton drama aja nggak pernah baper. Apalagi kalau sama cowok real life. Beuh nggak bakal getar itu hatinya Ivy."
"Itu karena nggak tertarik aja, ih, Re. Mana bisa kayak gitu dibilang absurd." Aku menatap Rere tajam, tidak setuju dengan celetukannya. Enak saja. Yang absurd bin tidak jelas 'kan dia, bukan aku.
"Bener juga, sih, Ivy." Mbak Nindy manggut-manggut. Deretan menu di depannya tidak banyak menyita perhatian, membuat Mas Faris masih berdiri di lingkaran kami, menunggu jenis gelato mana yang harus dia pesan.
"Ya enggak, lah, Mbak Nindy. Orang dia nggak pernah suka sama siapa pun gitu."
"Hati orang siapa yang tahu, sih."
Kontan kepalaku menoleh ke arah Mas Faris saat pria itu membuka suara. Matanya masih menjelajahi gambar-gambar yang menggugah selera, sambil sebelah tangannya membalik lembar demi lembar buku menu itu. Tidak ada senyum yang bisa kutangkap dari wajah itu.
Aku terpaku. Ada kekuatan gaib yang membuatku enggan beralih meski tatapannya tak kunjung membalasku, ataupun membalas Mbak Nindy dan Rere yang juga memfokuskan tatap ke arahnya.
Rere berdeham, membuatku berhenti menjelajahi ekspresi Mas Faris.
"Bener juga. Ivy emang jago, sih, nutupin isi hati." Aku melihat Mas Faris melirik sekilas ke arah Rere. "Dulu aja bisa banget nutupin kalau dia suka sama Mas Risky. Berarti yang absurd tuh tipenya, bukan Ivy-nya," lanjut Rere santai, sementara aku melotot sempurna. Sejak kapan aku suka sama Mas Risky?
"Ap ...."
"Apa? Orang kamu juga ketahuan meluk bajunya Mas Risky yang baru kering, modus pinjem gitar, terus ...."
"Aku pesenin yang tiramisu," kata Mas Faris tegas. Setelah itu dia berlalu, meninggalkan kalimat Rere yang menggantung dan tidak lagi diteruskan. Dari samping, kulihat ekspresi wajahnya yang mengeras.
Lagi-lagi aku terpaku. Apa mungkin Mas Faris merasa tidak suka mendengar hal itu? Dia tidak suka mendengar pernyataan bahwa aku menyukai seseorang? Ah, bahkan jika benar pun, tidak akan ada yang berubah. Hanya dadaku yang semakin mengalami penyempitan rongga.
"Eh, BTW pekan depan ada pekan olahraga di Teknik." Mbak Nindy memecah keheningan. Mengambil alih atensiku dan wajah acuh Rere yang melahap gelatonya.
"Oh iya, Mbak?" kataku menanggapi.
"Iya. Temenin, yuk, Vy. Kamu juga, deh, Re." Mbak Nindy menatap aku dan Rere bergantian.
"Temenin ngapain, Mbak? Ngecengin anak Teknik?" celetuk Rere. Yah, memangnya apa lagi yang bisa diharapkan dari mulut ceplas-ceplosnya?
Mbak Nindy tertawa pelan. "Nonton Faris futsal. Namanya juga mahasiswa kebanggaan di masanya. Udah lulus juga tetep diundang kalau ada acara beginian."
Rere ber-oh ria, sementara pikiranku masih berlarian memikirkan sikap Mas Faris.
"Mau, kan, Vy, Re? Aku pengin kenal temen-temennya Faris, tapi bakal canggung kalau nggak ada satu pun yang aku kenal."
"Gimana Ivy, deh, Mbak."
"Gimana, Vy?" Aku membalas tatapan Mbak Nindy.
Satu hela napas kubuat setidak kentara mungkin agar tidak mengundang perhatian Mbak Nindy. Kenyataan bahwa Mbak Nindy dan Mas Faris kini berbagi dunia masing-masing, membuatku semakin dihimpit sesak.
"Boleh, Mbak."
"Oke. Makasih, Vy." Mbak Nindy tersenyum sumringah.
Entah apa yang akan aku rasakan nantinya, saat melihat Mbak Nindy mengakrabkan diri dengan teman-teman Mas Faris, membaurkan dunia mereka menjadi satu. Aku hanya tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menolak permintaannya. Enggan mengulurkan bantuan karena perasaan pribadi bukanlah hal yang benar.
Mataku menjelajah, lalu berhenti pada jejeran Matryoshka yang terpajang di sebuah meja di sudut kafe. Boneka kayu yang di dalamnya tersimpan boneka serupa dengan ukuran yang lebih kecil itu membuatku berpikir. Apa saat ini hatiku sedang menjelma Matryoshka? Bedanya, yang tersimpan di dalam hatiku adalah perasaan-perasaan yang berbeda bentuk, bukan hanya berbeda ukuran. Satu rasa untuk Mas Faris, satu lagi perasaan asing untuk Aksa.
Hai! Thank you for reading. Aku selalu menunggu pendapatmu tentang kisah ini. So, feel free buat menuhin kolom komentar, ya. Kalau suka dan berkenan, tolong dukung aku dengan klik ikon bintang.
[First Publish] July 23rd, 2020.
[Revisi] January 5th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro