Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

l i m b u n g

Untuk Ivy, kalau kamu baca surat ini, artinya aku masih pengecut karena nggak berani ngomong langsung ke kamu.

Kalau kamu baca pun, pasti udah lewat berbulan-bulan, bahkan tahun sejak aku nulis surat ini.

Ya. Aku sepengecut itu.

Aku bahkan nggak nyantumin tanggal penulisan di surat ini, karena aku malu.

Malu kalau kamu tahu berapa lama tepatnya aku mengumpulkan keberanian.

Terlepas itu semua, meski aku malu, aku senang saat kamu membaca kata pertama di kertas ini.

Karena itu artinya, kamu akan segera tahu apa tepatnya arti kamu buat aku.

Vy .... Bagiku, ada yang lebih penting dari sekadar mengungkapkan perasaan.

Yaitu mengusahakan agar orang yang kita sayang selalu bisa kita sentuh keberadaannya.

Karena aku bisa memendam perasaan seberapa pun lama.

Namun, sehari saja tanpa keberadaan orang yang aku sayang, aku nggak akan bisa.

Itu sebabnya baru sekarang keberanian itu datang.

Setelah seribu bahkan sejuta bimbang membuatku menahan semuanya.

Vy, aku nggak mau kamu pergi setelah tahu bahwa kamu adalah segalaku.

Bahwa kamu adalah seseorang yang aku inginkan untuk mengikat janji suci pernikahan, sama aku.

Kini, aku mengesampingkan ketakutan itu.

Karena aku takut nggak akan punya kesempatan buat ngomong semuanya ke kamu kalau aku terus menunda.

Aku sayang kamu, Ivy.

Bukan sebagai seorang kakak kepada adiknya, tapi sebagai seorang pria kepada perempuan yang dicintainya.

Jelas, kan?

Tolong bilang iya, karena aku mungkin nggak tahu caranya bikin kamu paham selain dengan kalimat itu.

Terima kasih, Vy, untuk bertahun-tahun tetap di sampingku.

Mendengarkan semua hal seolah kamu nggak pernah capek sama keluhanku.

Sudah aku bilang, kan, kalau keberadaan kamu lebih penting dari perasaanku?

Maka dari itu, jangan pergi setelah kamu baca ini.

Faris.

Seluruh tubuhku terasa ringan. Seolah yang sedang duduk ini hanya bayangan, tanpa raga yang tertarik gravitasi. Aku seperti terombang-ambing, diselimuti gemetar yang membuat tubuhku mati rasa. Sepertinya, limbung akan terjadi selanjutnya jika aku tidak buru-buru menarik diri ke realitas.

"Ini ...."

"Maaf, kalau dengan keputusanku ngasih tahu kamu, aku malah semakin lukain kamu. Tapi aku mau semuanya selesai, Vy."

Aku diam. Mataku masih terpaku pada kertas di tangan, sekaligus untuk menyembunyikan selaput bening yang mulai memenuhi bilik mata. Harusnya surat ini membuatku tersenyum, jika saja kubaca berbulan-bulan lalu.

Suara Mbak Nindy terdengar menggema, seperti diteriakkan ke ceruk gua. Membuatku semakin yakin bahwa isi kertas di genggamanku tidak boleh membuatku terlena. Di dunia, aku tidak memiliki hak untuk mengharapkan fakta yang baru kubaca masih berlaku untukku.

"Aku berharap, apa yang ada di antara kamu dan Faris perlahan bisa selesai setelah kamu tahu soal kenyataan ini. Bahwa Faris mungkin belum sepenuhnya melepaskan kamu, tapi sekarang di dunianya udah ada aku dan Ais." Kata demi kata yang keluar dari mulut Mbak Nindy terdengar pilu. Suaranya lesu dengan kekalutan yang tak sedikit pun tersamarkan.

"Maaf ...," gumamku selirih angin. Seolah takut ada yang rusak jika aku berbicara sedikit lebih kencang.

"Kamu nggak salah, Vy. Aku ngomong soal ini bukan mau bikin kamu merasa bersalah."

Diam. Aku tidak tahu mau menyambut seperti apa. Juga takut kristal bening yang siap luruh ini akan tumpah seiring lontaran kataku.

"Aku tahu, semuanya akan sulit kalau Faris menghadapinya sendirian. Aku tahu dia berusaha. Tapi setiap lihat kamu, dia belum sekuat itu buat menampik perasaannya. Bahkan, waktu kamu berkunjung ke rumah terakhir kali, itu pertama kalinya dia panggil aku dengan sebutan manis. Sayang." Ada senyum kecut yang menutup kalimatnya. "Aku tahu, di depan kamu dia mau meyakinkan diri sendiri, dia cuma mau membohongi dunia kalau perasaannya ke kamu udah nggak ada. Padahal, semuanya masih sama."

"Mbak ...." Pasti sakit. Aku tahu pasti ada luka yang menganga, saat status pernikahan tidak berselimut cinta.

"Di kedai waktu itu, aku tahu Faris jengkel waktu Rere sengaja manas-manasin dia."

Aku mengernyit. Tidak menyadari hal itu sebelumnya.

"Semua orang bisa tahu perasaan Faris ke kamu bahkan dari sekali lihat, begitu juga Rere, Vy. Sayangnya, kamu yang bersikukuh menutup mata."

"Mbak ...." Aku tidak bisa berkata banyak. Ribuan andai terus berputar di kepalaku. Sakit. Saat sebuah kenyataan yang harusnya membuatku senang, kini justru harus kulepaskan.

Kami sama-sama terdiam. Membuat telingaku kembali disesaki sorak-sorai. Suara yang bermenit-menit lalu seolah sirna, tersamarkan rasa sakit yang berdenging-denging di telinga.

"Maaf, ya, Vy."

Aku yang semula kembali menunduk, langsung menolehkan kepala ke arah Mbak Nindy.

"Mbak Nindy nggak salah apa-apa. Aku yang justru mengacau, Mbak."

Kulihat kepala Mbak Nindy menggeleng pelan. "Enggak. Sedari awal justru aku yang bikin kacau. Aku tahu, aku egois saat mengiyakan permintaan Ibun untuk melangsungkan pernikahan kami. Saat itu, aku takut Ais bakal tumbuh tanpa sosok ayah. Hal yang membuat aku akhirnya setuju dan mengabaikan perasaan Faris yang sepenuhnya buat kamu."

Tidak. Aku tidak akan menyalahkan Mbak Nindy. Kehilangan Mas Putra di tahun awal pernikahannya dalam kondisi yang sedang hamil, bukan sesuatu yang mudah. Ibun juga pasti berpikir demikian, hingga beliau membuat keputusan untuk menikahkan Mas Faris dengan Mbak Nindy.

"Itu sebabnya Mbak Nindy nggak salah. Toh, aku dan Mas Faris nggak dalam keadaan yang amat dirugikan," kataku. Meski nyatanya dadaku terasa sesak dan ngilu.

Aku melirik perempuan di sebelahku. Dari samping, dia menyunggingkan senyum tipis.

"Kamu baik. Bikin aku merasa semakin jahat udah ngasih tahu kamu soal hal ini." Aku merasa pandangannya beralih ke arahku. Membuatku mau tidak mau mebalas tatapannya. Wajahku pasti sudah kacau dan aku tidak lagi sanggup menyembunyikannya. "Aku bilang ini ke kamu karena aku yakin kamu selalu sebaik itu."

Aku mengernyit.

"Aku memutuskan untuk bilang, supaya kamu membantu Faris melupakan semuanya, Vy. Karena aku nggak mau pernikahan kami terus-terusan bertumbuh dengan nggak sehat, dengan Faris yang hatinya masih buat kamu. Aku nggak mau."

Ah, iya. Siapa pula yang ingin menjalani pernikahan dengan perasaan pasangan yang demikian. Sekarang aku mengerti.

"Jujur, aku juga belum bisa ngelupain Mas Putra, tapi aku terus mencoba buat nempatin Faris di hatiku, di posisi yang bikin aku nggak bisa tanpa dia. Aku nggak punya struggle nyata, karena Mas Putra nggak ada lagi di sini. Beda sama Faris. Dia bisa ketemu kamu kapan pun, usahanya juga bisa roboh kapan pun itu." Helaan napas terdengar dari perempuan itu. "Dengan ngasih tahu hal ini, aku pengin kamu menjaga perasaanmu, juga perasaan Faris. Memastikan semuanya nggak semakin tumbuh hingga akar-akarnya tertancap kuat."

Semenit, dua menit, hingga peluit panjang terdengar memekakkan, aku tidak juga menyahut. Semua permintaan yang kudengar tidaklah salah. Sudah sewajarnya sebuah pernikahan melukis jalan cerita dengan cinta. Lidahku terlampau kelu. Segala asumsiku tentang Mas Faris terjawab dengan gamblang, sesuai yang aku harap dan pikirkan. Namun, yang sekarang harus kulakukan adalah melupakan segalanya.

***

Usai pertandingan, Mbak Nindy mengajakku menghampiri Mas Faris. Namun, aku tidak cukup yakin bisa menghadapi pria itu dengan keadaan hati yang sekacau ini.

Akhirnya, aku memilih pergi. Tempat yang kutuju adalah kamar mandi yang juga berfungsi sebagai ruang ganti.

Aku berkata kepada Mbak Nindy bahwa ada teman yang sudah janji akan kutemui setelah pertandingan. Untung tadi kami bertemu Aksa. Sehingga Mbak Nindy langsung percaya saat aku berkelit dari ajakannya dengan alasan itu.

"Aku yakin ini bakal sulit kalau semuanya diperjuangkan sendirian. Aku butuh Faris buat berjuang di hubungan kami, sama aku. Sedangkan Faris bakal susah lupain kamu, kalau dia bersikap berbeda, sementara kamu masih sama kayak dulu, waktu dia jatuh-bangun mencintai kamu."

Suara Mbak Nindy masih memenuhi kepalaku. Seolah memantul di dinding-dindingnya.

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Keran air sudah kututup, setelah gemericik yang keluar dari sana sukses membasahi wajahku.

Semuanya terasa jelas sekarang. Percakapan Mas Faris di kantin waktu itu, juga di teras rumahku. Perkataan anehnya di taman dekat sekolah, di depan rumahku seusai kebohonganku terbongkar, responsnya saat aku bersama Aksa, juga sikap-sikapnya kepadaku selama ini. Mas Faris tidak menganggapku sebatas adik, seperti aku yang menempatkannya lain dengan posisi seorang kakak.

Semuanya jelas. Jelas pula kalau aku harus melepaskan perasaanku. Bahwa ada dunia orang lain yang tidak boleh aku hancurkan.

Sekali lagi, aku menghadap ke cermin, memeperhatikan bola mata yang memerah karena air mata yang kukeluarkan di kamar mandi tadi. Kemudian aku memilih merogoh sling bag, mencari ponsel yang tersimpan di sana.

Aku langsung menempelkan benda pipih itu ke telinga, menunggu panggilanku disambut seseorang di seberang sana. Tidak menunggu waktu lama, suara yang kuharapkan terdengar dari sana.

"Aku baru selesai kelas. Kamu agak nanti kalo mau ngomel. Aku tu ...."

"Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Re?" Aku memotong perkataan Rere dengan nada yang jauh dari kata tegas.

"Hah?"

"Kenapa aku nggak pernah sadar soal ini semua?"

"Apa, sih? Kamu habis makan daun kecubung?"

Aku tersedu lirih, membuat Rere memanggil-manggil namaku berulang kali. Saat itu juga, langsung kumatikan sambungan telepon lalu meminta maaf kepada Rere melalui pesan teks. Entahlah, aku ingin seseorang mendengarku saat ini juga. Untuk menyuarakan ganjalan yang memampatkan saluran pernapasan, membuatku merasa sesak.

Aku mengembuskan napas berat, lalu mengembalikan ponsel ke tempatnya tadi. Sekali lagi, aku membasuh wajah, meski hal itu tidak sedikit pun menghapus kesan habis menangis dari wajahku.

Aku beranjak keluar. Tepat ketika hendak berbelok menuju jalan keluar gedung olahraga, mataku menangkap tubuh seorang pria yang juga baru keluar dari ruang ganti pria. Sebuah handuk putih ia gunakan untuk mengelap wajah dan leher.

Dia belum menyadari kehadiranku yang kini mematung menatapnya, dengan pukulan-pukulan dari dalam tubuh yang seolah ingin mendobrak dadaku.

Aku belum bergerak, saat dia tanpa sengaja menghadap ke arahku. Mata kami saling bertubrukan. Dia menatapku lekat, sedang mataku tidak mau beralih dari teduh matanya. Dia berjalan menghampiriku, dengan wajah santai dan senyum kecil yang tersungging. Aku tidak bergerak, baik untuk mendekat atau berlari menjauhinya. Sampai dia berada tepat tiga langkah di depanku.

"Hai."

Suaranya ... membuat jantungku semakin bertalu kencang. Aku diam, tidak membalas.

Bodohnya, mataku justru memanas. Sedetik setelahnya, kulit pipiku merasakan setetes air yang jatuh, diikuti tetes-tetes lainnya. Aku tidak percaya ini. Kenapa aku menangis di keramaian seperti ini? Juga di depan Aksa?

"Hei, hei. Lo kenapa?"

Air mataku belum juga berhenti saat Aksa bergerak serba salah di depanku. Tangannya seolah mau menggapai wajahku, tetapi ditarik lagi. Kepanikan tercermin di sana.

"Anggia. Lo kenapa? Ngomong."

Aku mengusap pipi, lalu tersenyum bodoh. Ya, bodoh memang. Sedari tadi aku susah payah agar tidak menjatuhkan setitik pun air mata di depan orang-orang. Namun, kini justru suka rela menjatuhkan tangis saat tubuh Aksa berada di depanku, membawa dentuman yang tak kunjung mereda di dadaku.

"Hei. Kenapa? Duduk dulu." Aksa mengisyaratkan agar aku duduk di bangku panjang di sisi kananku. Nada suaranya terdengar khawatir.

Aku menggeleng.

"Nggak. Sori. Aku duluan," kataku, lalu melewatinya begitu saja.

Tubuh pria itu sigap menghadang langkahku. Membuatku berhenti untuk mengindari tabrakan dengannya. Tidak kaget jika Aksa tidak membiarkanku pergi begitu saja.

"Gue antar."

"Nggak usah."

"Lo kelihatan nggak baik-baik aja, Gi. Pokoknya gue antar." Tatapannya tegas, menyiratkan padaku bahwa dia tidak mau dibantah. Namun, aku tidak mau membuatnya semakin dekat denganku. Tidak dalam keadaan hatiku yang sangat aneh ini.

"Nggak usah. Tolong," mohonku kepadanya, sambil terus menatap.

Detik demi detik berlalu dalam diam, hingga Aksa menyingkir dari hadapanku, memberiku akses untuk melanjutkan langkah.

Aku tidak lagi menoleh ke belakang, meski sangat ingin. Kuabaikan debaran di dadaku yang seolah tak mau menjauh dari keberadaan Aksa.

Di sela langkahku yang kian menjauh dari sosok Aksa, sebuah suara menelisik telingaku.

"Aksa, ke mana lo? Kita main lagi abis ini!"

"Pake pemain lain. Gue ada urusan!"

"LO KAPTENNYA, SULAEMAAAN!"

Bersama derap yang kian mendekat, aku tahu bahwa Aksa tidak pernah mengalah, bahkan untuk saat ini. Aku tahu dia berada di belakangku. Aku menghela napas. Kenapa hatiku bereaksi aneh untuk dua orang yang berbeda?

Kalau suka dan berkenan, tolong klik ikon bintang untuk dukung aku. Thank you!

[First Publish] August 16th, 2020.
[Revisi] January 5th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro