frustrated y o u
"Mas!"
Tidak sabar lagi mendengar gumaman Mas Arsyad di ujung telepon, aku memekik tertahan. Ekspektasi mendapat pendengar tampaknya tidak bisa terealisasi dengan mudah. Nyatanya, pemuda itu justru menguras kesabaranku.
Pria itu sudah pulang karena tidak bisa terlalu lama meninggalkan pekerjaan. Sementara Nenek masih di rumahku sampai sekarang.
"Apaan, sih, Vy?" Dengan suara serak khas bangun tidur, Mas Arsyad menyahut.
"Kamu diajak ngomong ham hem mulu dari tadi," kataku ketus.
"Ya ini masih pagi." Aku bisa membayangkan Mas Arsyad masih enggan membuka matanya. Dasar. Padahal sekarang hari kerja dan sudah pukul setengah enam. "Udah, ah. Ngapain kamu nelepon pagi-pagi?"
Sebelum mengeluarkan kata-kata, aku bergumam. Menimbang harus membuka dengan cara seperti apa. "Mas, kamu kan cengengesan gitu, ya."
"Baru mulai, loh, Vy. Aku tutup, nih."
Aku berdesis jengkel. Responsif sekali dia. Padahal aku sengaja meledeknya agar pembicaraan ini tidak terkesan serius. Agar dia tidak mengulik pikiranku lebih dalam, lalu aku ketahuan sedang dilema seperti ini.
"Ih! Iya, iya, maaf," potongku cepat. Sebelum Mas Arsyad melancarkan ancamannya. "Maksudnya, Mas. Mas Arsyad kan santai gitu pembawaannya. Tapi pernah nggak Mas Arsyad takut ngecewain? Ini ambil kasus hubungannya Mas sama Mbak Hanna, deh. Mas pernah takut Mbak Hanna kecewa sama hasil usahanya Mas, nggak?"
Ini sudah hati-hati, 'kan? Kekhawatiranku karena mungkin tidak bisa memenuhi ekspektasi Nenek dan harapan Mama ... tidak akan terbaca,' kan? Aku takut Mas Arsyad menangkap kekhawatiranku, tentang Mama dan Nenek yang bisa saja berdebat karena pencapaianku.
Aku menggigit bibir, menunggu respons dari Mas Arsyad.
"Nggaklah. Masmu kan ganteng, easy going, pinter, romantis. Kurang apa lagi coba? Hanna juga cinta banget sama Mas. Nggak akan kecewa-kecewa gitulah dia, apalagi cuma soal pencapaian."
Iya, sih. Kalau memang sayang, pasti kegagalan bukan alasan untuk memunculkan rasa kecewa. Namun, maksudku itu Nenek. Bukan orang lain. Mas Arsyad pun tahu pasti, meski beliau menyayangiku, tapi baginya prestasi juga penting. Untuk masa depanku, terutama.
"Iya, sih."
Ternyata susah juga, ya, untuk memancing seseorang dalam pembicaraan. Otakku buntu. Tidak bisa berpikir bagaimana caranya membuat Mas Arsyad bicara soal respons Nenek atas pencapaian dan kegagalannya.
"Kamu lagi pdkt, ya?" Intonasi Mas Arsyad terdengar seperti orang yang sedang menyelidik.
Diiyakan saja kali, ya? Siapa tahu nantinya dia menyeret ranah pembicaraan yang aku inginkan.
"Ya gitu," kataku ragu.
Mendengar jawabanku, Mas Arsyad terbahak. Agak lama, sampai membuatku kesan dan ingin meneriakinnya. Untungnya, sebelum hal itu terjadi, tawa itu mereda. Meski masih menyisakan kekehan ringan yang membuatku merotasikan bola mata.
"Take it easy, Vy." Pria itu menjawab. Suaranya sudah terdengar stabil. "Orang yang bertahun-tahun menikah aja bisa saling kecewa. Padahal mereka udah komitmen buat sama-sama. Apalagi hubungan yang kayak gitu. Ibaratnya kayak belajar main voli. Sekeras apa pun kamu servis, kalo jatahnya nggak sampe net, ya tetep nggak sampe. Kalo dipaksain, tanganmu yang sakit. Harusnya si lawan main maklumin, karena kamu dalam proses belajar. Nggak seharusnya nyalahin atau malah cari lawan yang lain."
Aku terdiam. Bukan ini jawaban yang aku mau. Ternyata, mengiyakan bukan pilihan yang tepat. Mas Arsyad betulan percaya dan membahas hal yang sebetulnya tidak aku butuhkan.
"Vy?"
Mendengar sahutan dari seberang telepon, aku tersadar. "Eh, iya, iya, Mas. Lagi mikir juga. Nggak sabaran banget," sahutku akhirnya.
"Lagian lebay kamu. Padahal udah terbiasa sama ekspektasi Nenek. Tapi masalah kayak gini masih dipikir susah."
Eh, apa dia menyebut Nenek?
"Gimana?" pancingku setelah yakin bahwa Mas Arsyad membawa Nenek dalam pembicaraan.
"Bikin pacar atau siapa pun itu nggak kecewa, nggak bakal sesulit bikin Nenek muji kamu, kan? Harusnya kebal-lah." Suara itu terdengar santai. Berlawanan dengan irama jantungku yang bertalu kencang.
Aku mengatur napas, sebelum memilih bersuara. "Loh, bukannya Nenek ringan banget kalau muji kamu? Anak emas. Bisa semuanya." Aku mencoba santai.
"That's what people see. Tapi kalau di depanku, nuntut lebih mulu."
Aku mengernyit. Masa, sih? Seingatku, di mana pun berada, Mas Arsyad selalu dibangga-banggakan oleh Nenek.
"Masa, sih, Mas?"
"Yeu nggak percaya. Nenek tuh maunya yang terbaik. Jadi, beliau nggak ngebiarin cucunya puas gitu aja dengan sanjungan-sanjungan langsung."
Ah, begitu rupanya. Belasan tahun mengenal Nenek, aku belum juga sejeli itu.
"Oh, gitu, ya. Terus Mas nanggepinnya gimana?"
"Nenek?"
"Iya."
"Dulu, sih, bikin drop. Jadi kecewa juga sama diri sendiri. Tapi makin ke sini, ya ... di-ya udah-in aja. Nenek tuh kurang di bagian mengapresiasi aja, kok. Dia nggak suka nyalahin juga."
Ada jeda di antara kami. Suara keran terdengar jelas. Aku yakin, pria di seberang sana sudah sepenuhnya bangun dan beranjak dari kasur.
Aku beranjak meninggalkan meja belajar. Udara sejuk langsung menyapa ketika aku membuka pintu balkon. "Menurut kamu, caranya bikin Nenek nggak kedengeran ngeremehin pencapaian kita gitu gimana, Mas?"
"Kamu sebenernya mau tanya soal Nenek, kan?" Aku melotot saat teleponku kembali mengeluarkan suara.
"Hah?"
"Kamu lebih excited waktu ngomongin Nenek, Vy. Kenapa?"
Aku gelagapan.
"Udah dulu, deh, Mas. Aku kuliah jam tujuh."
Aku langsung menutup sambungan. Tidak menunggu sahutan Mas Arsyad, bahkan aku lupa mengucap salam.
Aku meletakkan ponsel ke atas meja dengan sedikit kasar. Baru kali ini aku khawatir dengan respons Nenek. Karena baru kali ini juga aku merasa gagal. Tepatnya sejak aku keluar dari ruang seleksi ON MIPA. Saat aku merasa tidak yakin dengan jawaban yang aku tuliskan.
Saat SMA dulu, rasanya mudah saja membuat Nenek tersenyum, meski bukan memuji dengan kalimat panjang. Biasanya dia hanya berkata, "Tingkatkan lagi. Jangan cepat puas. Di luar sana banyak yang lebih hebat dari kamu." Namun, itu sudah membuatku senang. Berbeda dengan respons Nenek saat aku menenteng piala juara lima malam Sabtu lalu. Baru kemarin Nenek berkata setajam itu.
Ah, persaingan di perguruan tinggi tidak semudah saat SMA. Mendapatkan juara satu bukan perkara yang bisa secepatnya dan sesegera mungkin kudapatkan.
Berbicara dengan Mas Arsyad membuatku sedikit lega. Meski masih ada yang mengganjal. Masih ada yang aku takutkan. Karena hubungan Nenek dan Tante Airin-ibunya Mas Arsyad-tidak seperti hubungan pelik antara Nenek dan Mama.
***
Mas Faris
Mau nonton live musik, nggak?
Besok berangkat siang, kan?
Aku memandangi layar ponsel tanpa berniat mengetikkan sepatah pun kata untuk membalas.
Magrib sudah lewat. Tubuhku sudah segar setelah diguyur air dingin dan menghirup harum sabun kesukaanku. Semua kepenatan yang berasal dari padatnya hari Selasa seolah terangkat. Meski kini ada kepenatan lain yang menyapa.
Aku sudah bertekad untuk menjauh. Meski jika dalam keadaan normal, aku akan langsung mengiyakan ajakan Mas Faris. Namun, sekarang aku tidak bisa, tidak boleh.
Belum genap aku menutup aplikasi chat yang menampilkan nama Mas Faris, suara ketukan di pintu terdengar. Membuatku langsung menghampirinya.
"Ada temenmu di bawah, Vy." Mama langsung menjawab saat aku menanyakan sebab keberadannya di depan kamarku.
Aku mengernyit. Seingatku, tidak ada janji yang kubuat. "Siapa, Mam?"
"Katanya, sih, Aksa namanya."
Aksa? Ah, bagaimana pun aku memang harus bertemu dengannya. Aku baru ingat, Mas Dandi berkata bahwa dia sudah mengubungi Aksa dan memintanya untuk menemuiku. Urusan humas sudah selesai, briefing acara sudah aku laksanakan dengannya. Namun, aku masih punya tanggungan sebagai orang yang akan memoderatorinya.
"Ya udah. Ivy pakai jilbab dulu, Mam."
Aku langsung turun setelah memastikan rambutku tertutup sempurna. Long cardigan berwarna peach membalut tubuhku, menutupi kaus lengan pendek yang aku kenakan.
Baru selangkah menapaki lantai dasar rumahku, suara Nenek menghentikan gerakanku. Beliau berjalan dari ruang tamu yang terletak di sisi kiri tangga. Kini, Nenek sudah berada di depanku, tepat di depan tangga.
"Itu siapa, Vy? Pacar kamu?" tanya Nenek santai, tapi terkesan menyelidik.
Aku gelagapan. Padahal mudah saja untuk menjawab tidak, sebab memang begitu keadaannya. "Bukan, Nek."
"Terus?"
"Senior Ivy." Kalau Aksa dengar, pasti dia langsung protes. Seperti saat di depan Razy waktu itu.
"Oh, ya udah. Tapi inget, kalau mau sama cowok, diseleksi dulu. Dia pantas buat kamu nggak."
"Iya, Nenek sayang." Aku mengamit tangan Nenek, mengelus lengannya. Lalu membiarkan beliau berlalu menuju ke arah ruang tengah.
Bicara pantas atau tidak, rasanya justru aku yang tidak pantas untuk Aksa. Aku tidak ada apa-apanya untuk dia. Soal prestasi ataupun pemikiran. Dia terlalu sempurna dalam bersikap, sedangkan aku serba bingung dan dilema.
Eh, kok aku jadi memikirkan kecocokanku dengan Aksa?
Tidak mau semakin berpikir lebih jauh, aku memutuskan untuk segera menghampiri Aksa.
Aksa duduk menghadap ke arah kedatanganku. Sementara di depannya, Papa menatap pria itu. Aku bisa melihat jelas bahwa Papa sedang memindai Aksa, meski hanya dari samping. Aksa tidak membalas tatapan Papa. Dia menunduk dan terlihat kikuk. Tidak seperti gayanya yang tengil seperti biasa.
Melihat pemandangan itu, aku ikut deg-degan. Kakiku lemas, telapak tangan berangsur dingin. Ada perasaan takut jika Papa tidak menyukai Aksa. Kok, terdengar seperti seseorang yang khawatir pacarnya bertemu sang papa, ya?
"Pa?"
Papa dan juga Aksa langsung menoleh saat aku bersuara. Sekilas, aku dapat menangkap gurat lega di wajah Aksa. Sedang Papa langsung menatapku lembut dan penuh senyum.
"Lama banget. Ditungguin tamunya, loh."
"Masa, sih? Nggak sampai lima menit, kok."
Papa menghampiriku. Lalu tersenyum dengan maksud yang tidak bisa kuartikan.
"Ya udah, Papa tinggal. Jangan berantem." Papa berkata dengan kekehan yang menyertai. Membuatku melotot tidak terima. Enak saja. Memangnya aku anak kecil, pakai bertengkar segala?
"Ish. Kayak nasihatin anak kecil aja, deh."
Menanggapi gerutuanku, Papa tertawa. Membuatku semakin kesal.
"Aksa, titip, ya."
"Iya, Om."
"Pa!"
Aku dan Aksa menyahut serentak. Papa semakin melebarkan tawanya.
Sambil berlalu, Papa menepuk pundakku dan mengatakan hal yang membuat jantungku serasa mau keluar dari tempatnya. "Pipi kamu merah banget," kata Papa, lalu bergegas pergi sebelum aku merespons.
Dalam hati, aku merutuk. Untuk menyamarkan kegugupan, aku berdeham sebelum beranjak duduk di depan Aksa. Pria itu langsung menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Secangkir teh dan dua stoples kue kering sudah ada di hadapannya.
"Maaf, lama."
"Nyiksa gue, lo." Aksa berkata sambil mengelus dadanya.
"Hah?"
"Astagfirullah. Ternyata kayak gini rasanya ngadepin calon mertua."
Bukannya menjawab kebingunganku, Aksa justru melantur. Mengatakan hal yang absurd, tapi mampu membuat jantungku semakin tidak karuan.
Aku tidak mengacuhkan perkataannya. Pura-pura sibuk dengan ponsel, padahal tidak ada yang menarik di sana. Sebab Aksa berhasil meraup semua perhatianku dengan penampilannya malam ini.
Pria dengan rambut gondrong di bawah telinga itu masih memejamkan mata. Mengatur napas seolah baru diburu salamander seperti dalam serial Bumi karya Tere Liye. Dia tidak sadar, bahwa sosoknya yang dulu tidak berpengaruh apa pun terhadap jantungku, kini justru membuat organ itu memompa dengan cepat.
Setelah yang sama masih membungkus tubuh itu. Kemeja flannel dan kaus hitam. Rambutnya rapi, meski sepertinya sudah lebih panjang dari pertama kali aku bertemu dengannya. Membingkai elok wajah bersih nan putih itu.
Astaga. Bahkan jam tangan yang melingkar di tangan Aksa mampu membuatku menahan napas. Ini gila!
"Mulai dari mana?" Aku memilih membuka percakapan, daripada harus kehabisan oksigen jika lebih lama memfokuskan diri pada sosok di depanku ini.
"Tuh, kan. Selalu to the point." Aksa memprotes.
"Harusnya seneng, kan, urusannya jadi cepet kelar?"
Raut wajah Aksa terlihat sebal. Dia seperti hendak membantah, tapi mengurungkan niat dan justru menghela napas. Menahan kesal? Mungkin.
Sambil meraih ransel yang ada di sebelahnya, Aksa berkata, "Langsung ke kuisioner, deh."
Sekarang, giliran aku yang terdiam. Aku menatap tangan yang tidak memegang apa pun kecuali benda pipih lagi pintar ini. Rupanya aku lupa membawa kuisioner yang sudah aku cetak. Aku langsung mencari soft file-nya di storage ponselku. Namun, nihil. Sepertinya file itu ikut hilang saat aku membersihkan cache WhatsApp.
"Itu." Aksa mengangkat pandangannya yang semula befokus pada selembar kertas, saat aku membuka suara. Membuatku jadi salah tingkah ditatap dengan pandangan ingin tahu seperti itu. "A-aku ambil kuisionernya dulu ...."
Dering ponsel Aksa memotong ucapanku. Dia buru-buru mengangkat telepon dan memberi isyarat agar aku menunggu sebentar.
"Wa'alaikumussalaam."
"Aksa ke sana sekarang."
Aksa langsung menutup telepon. Raut wajahnya langsung berubah, tidak meninggalkan sedikit pun kesan rileks dan tenang. Kini, dia terlihat kalut. Benar-benar kontras yang sangat kentara.
"Kenapa, Sa?"
"Sori. Lain kali aja, ya, Gi? Gue ada urusan. Bisa pamitin ke orang tua lo? Gue buru-buru."
Aku menatapnya bingung. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sementara Aksa langsung beranjak dan mencangklong tas asal-asalan.
Aku masih belum bisa membaca situasi, saat kunci motor Aksa yang terjatuh tertangkap mataku. Pria itu tidak sadar. Dia sudah bergegas keluar rumah. Mau tidak mau, aku langsung menyusulnya setelah memungut kunci yang tergeletak di samping sofa.
"Aksa, kuncinya." Aku mendekati Aksa yang kini sudah berdiri di samping motor yang diparkirkan di teras rumahku, di dalam pagar.
Dia yang sedang merogoh saku dengan tergesa, segera menoleh.
"Oh, thanks," katanya singkat, sambil meraih kunci di tanganku. Kekalutan sama sekali belum teredam. Justru semakin terlihat jelas.
Aksa memasukkan kunci dengan terburu-buru. Sehingga tidak kunjung pas. Benda kecil itu malah terjatuh dari tangannya.
Dengan jelas, aku melihat tangannya yang gemetar. Wajah tampan itu terlihat pucat pasi. Saat itu juga, aku memilih memegang setang motor Aksa. Langsung kurebut kunci motor yang baru dia ambil dari tanah.
"Aku antar," kataku mantap.
Aksa langsung menatapku dengan mata memohon. Seolah aku harus membawanya secepat mungkin ke tempat yang dia inginkan saat ini. Sekilat yang bisa dilakukan manusia di dunia.
Aku akan bawa kamu ke sana, Sa. Ke tempat apa pun itu yang harus kamu kunjungi sekarang. Aku janji. Tolong, jangan seputus asa ini.
Terima kasih udah baca sampe sejauh ini! Boleh tahu, nggak, apa yang bikin kamu mau klik cerita ini dan terus lanjutin baca? Tell me, please.
[First Publish] September 13th, 2020.
[Revisi] January 6th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro