Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

e p i l o g

Masih mengambang di udara, tangan gue sudah ditepis oleh seseorang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan cewek wajah SMP yang sekarang sudah menyandang status istri. Masih bisa, kan, gue manggil dia cewek? Ah, tentu. Walaupun sekarang sudah jadi Nyonya Wardhana, 27 tahun bukan angka yang besar bagi dia, apalagi dengan wajah yang nggak pernah menua itu. Panggilan yang nggak bisa lagi gue tujukan buat dia cuma satu: gadis. Ya ... because she's my wive, Boys, Girls. Jelas bukan gadis lagilah. Hehe.

"Ngapain cengar-cengir?" sentak Anggia sambil memukul kepala gue dengan tas tangannya. Galak banget si Mbak Istri.

Gue mengaduh, lalu memanyunkan bibir, sengaja membuat Anggia bergidik, lalu tergelak saat wanita itu ogah menoleh ke arah gue.

"Kalian tuh nggak bisa tentram gitu, ya?" Vania menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu tidak tahu saja, kami memang selalu tidak tenteram kalau merasa "terancam". Seperti saat ini. Anggia nggak sedikit pun menyembunyikan rasa kesal saat gue mau mengacak rambut Vania.

Membuat Anggia cemburu adalah hobi yang terasa sangat menyenangkan. Nggak. Meski suka iseng kayak gitu, gue nggak pernah sekali pun main belakang. Terlintas buat nyebut cewek lain dengan kata cantik aja nggak pernah. Gue nggak akan pernah bikin dia merasa pengin pergi dari gue karena hal-hal konyol kayak gitu. Gue cuma suka liat Anggia yang manyun, kesal, tapi gengsi mau bilang "cemburu".

Sedangkan Anggia, dia nggak perlu sedikit pun usaha buat bikin gue cemburu. Karena tatapan teman-teman cowoknya sudah berhasil menciptakan kegerahan. Punya istri cantik dan cerdas plus populer di kampus dan tempat kerja emang berat ternyata.

Gue menanggapi Vania--teman masa kecil yang bikin Anggia uring-uringan sejak awal pacaran-dengan singkat. Lalu, Anggia mengajak gue pergi, bergerak ke sisi gedung di mana Nenek sedang duduk bersama keluarga besar Anggia. Minus Mama, karena beliau sedang bersama Ibu di ruang rias.

"Nenek." Anggia melepaskan tangan gue, lalu menghambur ke pelukan neneknya.

Wanita tua itu mengusap punggung Anggia dengan lembut sambil tersenyum. Gue menyalami Nenek setelah mereka saling melepaskan pelukan.

"Ini rambutnya dicukur nggak bisa? Kok suka gondrong kayak gini, sih, Mas."

Selalu rambut, hal yang diributkan dan diprotes oleh Nenek. Sementara seperti biasa, gue hanya menampilkan cengiran.

Nenek menggeleng, lalu kembali bersuara, "Penampilan itu cerminan diri kamu, loh, Mas. Gondrong begini jatuhnya kamu awut-awutan, bisa-bisa dicap nggak profesional." Nenek masih belum menyerah.

Gue hendak membuka suara, tetapi Anggia menarik-narik jari gue. Seperti biasa, menyuruh mengiyakan saja. Namun, gue justru menoleh ke arahnya dan mengerling jahil, membuat dia mengernyit tak mengerti.

"Habisnya kata Anggia dia suka rambut gondrong, Nek. Mana nggak bisa tidur kalau nggak ... aduh!" Anggia mencubit perut gue dengan keras, membuat gue mengaduh di ujung kalimat.

Kini, bola mata wanita itu seperti akan keluar dari tempatnya. Membuat gue semakin terkekeh, apalagi melihat wajahnya yang langsung merah padam.

"Wah, dengan siapa kami berbicara? Kenapa Ivy kita jadi manis-manis manja begini kayak lagu lawas?" kata Mas Arsyad, yang kemudian mengundang tawa penghuni meja. Gue juga ikut tertawa, tentu saja. Sebelum istri kesayangan mendesis kesal lalu mengentakkan kaki dan beranjak pergi.

Waduh. Bahaya kalau dia ngambek. Awet banget soalnya.

Benar saja. Wanita itu masih enggan menanggapi bahkan sampai kami lama terduduk di baris terdepan, yang sangat dekat dengan sepasang kursi dan meja untuk akad nikah. Dia nggak peduli dengan colekan, cubitan, bahkan kecupan singkat yang gue layangkan di pipi halusnya. Mampus.

Namun, setelah mendiamkan cukup lama, kini Anggia menggenggam erat tangan gue. Posisi duduknya menegak saat Karin memasuki gedung dengan gaun putih yang sangat anggun. Wajah Karin terpulas make up. Kerudung yang dililitkan ke kepalanya membuat gue ikut mengeratkan genggaman Anggia. Adik gue ... bakal gue serahkan ke tangan laki-laki lain. Membuat semua rasa haru menyeruak, disusul gemetaran yang kembali muncul setelah berhasil gue lupakan beberapa saat lalu.

Karena akad nikah harus segera dilaksanakan, Anggia melepaskan genggaman, lalu menyusut sudut matanya yang basah. Dia tersenyum, memberi kekuatan yang membuat tenggorokan nggak lagi begitu kering.

Kini, gue sudah berada di samping penghulu, menjadi wali bagi Karin, menggantikan Ayah menggenggam tangan mempelai pria untuk mengucapkan ijab. Saat riuh saksi mengesahkan prosesi sakral ini, air mata jatuh. Begitu pun dengan Karin yang terus menyusut sudut matanya, menghalau air mata agar nggak merusak riasan.

Anggia langsung memberikan pelukan hangat saat gue sudah berada di depannya. Rangkulan erat itu mengusir sedikit gemetar dan memberi ruang agar gue bisa lebih puas menumpahkan keharuan.

"You did your best, Aksa. Kamu kakak yang hebat. Kamu kakak paling hebat yang pernah aku kenal."

Suara lirih itu mengisi seluruh sendi, menghunjam ke pusat jantung, membuatnya tersebar ke seluruh tubuh ketika organ itu memompa darah. Gue semakin mengeratkan pelukan. Sekali lagi, air mata menitik di balik punggung wanita itu.

Gue bersyukur punya dia. Seorang wanita dengan kerumitan yang susah banget dipahami, tetapi dengan ajaib bisa mengurai segala kusut di kepala gue. Memberikan rangkulannya saat gue mau menangis, tapi malu sama dunia. Mengusap rambut gue saat petang hari hadir bersama segala kelelahan. Juga dia yang hanya menatap dan menatap, tapi mampu membuat gue ingin selamanya menetap.

Perjalanan kami sebelum menikah bukanlah kisah yang mulus. Berulang kali putus-nyambung, tapi nggak sekali pun ada orang baru di antara kami. Pikiran-pikiran kusut milik gue maupun Anggia belum sepenuhnya pudar. Hal yang membuat kami sering ingin pergi dari satu sama lain, dengan alasan absurd yang sebenarnya hanya ada di kepala.

Namun, pada akhirnya, dua gumpalan rumit ini justru mengurai saat disatukan. Menuntun kami pada sebuah gerbang suci pernikahan, setahun lalu. Masih dini usia ikatan kami, tapi dalam pelukan ini, gue percaya bahwa simpul yang mengikat gue dan Anggia akan menguat dan nggak sedikit pun bisa dilepas. Kecuali ketetapan Tuhan yang nggak bisa gue bantah.

Gue nggak tahu kenapa gue dan Anggia memiliki pemikiran yang amat rumit, juga nggak tahu kenapa gue ngotot dapetin dia sejak pertama lihat sosoknya. Namun, setelah melewati semuanya, gue tahu bahwa kami emang seharusnya bertemu dan bersama. Mengurai dan membentangkan seluruh rumit di kepala yang lagi-lagi entah dari mana asalnya.

Gue beruntung punya dia. Buat menemani jalan gue mengikhlaskan Ivy, menopang Karin dan Ibu, hingga kini melepas adik kesayangan gue untuk mengenyam dunia pernikahan.

"Makasih, Anggia. I love you."

"I love you, Aksa."

Gue mengeratkan pelukan. Dan kalimat ini adalah kalimat penutup dari kisah yang perlu kami ceritakan. Penutup dari perjalanan kami yang saling merawat luka, lalu membuka lembar baru dan memilih bersama meski dalam situasi sulit sekali pun.

Perlahan kami percaya, bahwa takut melukai bukan sebuah alasan untuk saling pergi. Karena tak ada yang menjamin jika luka akan menghilang jika kami tak lagi bersama. Kami hanya perlu saling menggenggam dan menguatkan di tengah luka yang menghunjam dalam.

Seperti ungkapan Anggia waktu itu, kami memilih bersama. Merawat luka, menikmati tawa.

ALHAMDULILLAAAH. Hehe. Thank you sudah di sini sampai akhir.

[First Publish] November 20th, 2020.
[Revisi] January 8th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro