Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

do your w o r k

Wejangan dari para peserta ON MIPA tahun-tahun sebelumnya kucatat baik-baik. Sambutan sekaligus pelepasan dari rektor dan jajarannya juga sudah berlangsung. Tas berisi segala keperluan seleksi kucangklongkan di pundak, untuk kemudian diangkut ke dalam bus yang akan membawa seluruh peserta ke LLDIKTI wilayah. Semua persiapan sepertinya sudah sempurna.

Kemarin, aku mendapat kiriman gitar dari Salsa, yang ternyata merupakan inisiatif Mama. Hal itu membuat mood-ku bagus. Ditambah lagi, kami-aku, Mama, dan Papa-akhirnya saling terbuka. Tidak ada lagi aku yang salah paham tentang Mama yang tidak mencintai Papa dan menyalahkan diriku sendiri atas hal itu. Tidak ada lagi aku yang menjaga pola makan dan olahraga dengan amat ketat. Masih, tetapi dalam skala wajar seperti yang memang diterapkan Mama sejak dulu.

Kalau soal Nenek, aku belum mengerti adakah yang berubah atau beliau masih saja tidak terima dengan masa lalu Mama. Tidak ada yang bisa kusalahkan, sebab aku tahu Nenek pun memiliki lukanya sendiri. Kalau dipikir lagi, benar kata Papa. Semua yang terjadi bukan salah siapa pun. Bukan Mama yang kerap menumpahkan tangis di makam Papa Danu, bukan juga Nenek yang terluka saat apa yang dimau tidak berjalan seperti semestinya. Bukan juga aku ... kata Papa. Kini, aku berani membenarkan semua itu.

Seharusnya, hari ini aku berangkat lomba dengan perasaan lega. Sebab semuanya terasa usai dan perasaanku lebih lapang. Namun, ada satu yang masih mengganjal. Seorang pria yang interaksi terakhirnya denganku adalah dua pekan lalu. Seseorang yang seharusnya di sini memberikan sepatah dua patah kata dalam pelepasan, tetapi justru tidak hadir. Iya. Seseorang yang pernah menyumbangkan satu medali emas di ON MIPA cabang Kimia kepada kampus.

Kalau kalian mengira, setelah berani tidak menyalahkan diri sendiri sifat over thinking-ku ikut hilang, kalian salah. Aku masih begini. Berpikir bahwa Aksa mungkin sudah sebal denganku, berpikir dia membenciku, dan pikiran lain yang membuatku memilih pergi saja. Sulit sekali mengusir pikiran-pikiran ini, ketika logikaku terus berjalan dan mengumpulkan berbagai argumen logis.

"Kantin dulu, nggak? Masih lumayan lama, nih, sebelum bus berangkat." Mbak Vio menepuk pundakku. Aku baru sadar kalau sedari tadi berjalan ke luar auditorium sambil melamun.

Aku melirik jam tangan. Masih jam sepuluh. Benar kata Mbak Vio. "Nggak, deh, Mbak. Aku udah makan. Mau ke toilet dulu aja."

Setelah mendengar jawabanku, Mbak Vio berjalan lebih dulu. Aku mendudukkan diri di kursi dekat pintu keluar, mengambil ponsel yang sejak kemarin tidak kuberi perhatian. Aku hanya membuka pesan teratas yang sudah aku pinned. Grup peserta ON MIPA, himpunan, serta ETD UKMP. Tujuannya agar aku lebih fokus mempersiapkan hari ini.

Untuk itu, aku berniat mengecek sejenak isi ponsel.

Karena gedung auditorium sudah mulai sepi, aku memilih mengecek ponsel sambil berjalan. Tanganku asal men-scroll saja, hingga sebuah nama membuatku menghentikan layar yang bergulir. Karin. Aku langsung membukanya.

Karin

Kak Anggi, sibuk, ya?

Mas Aksa sakit, Kak.

Kurang tidur, kata dokter. Akhirnya kena anemia.

Kakiku langsung terpaku saat kalimat terakhir dari pesan itu tertangkap mata. Kecemasan langsung merayap begitu saja. Separah apa? Sampai diopnamekah?

Sekarang gimana, Karin?

Udah baikan?

Terus ini dia di rumah sakit?

Centang satu. Aku mendesah frustrasi.

Namun, ketika kuturunkan ponsel dan kutegakkan pandangan, keterkejutan langsung menyergap. Di sana, di ujung koridor auditorium, Aksa berdiri sambil menatapku. Aku tidak bisa meneliti bagaimana wajahnya. Pucatkah? Lalu, bagaimana dengan suhu badannya? Apa dia sudah tidak apa-apa sampai kini berdiri di sana? Atau ... aku yang salah lihat saja?

Untuk memastikan, entah mendapat keberanian dari mana, aku menyerukan nama Aksa keras-keras. Pria itu tersenyum. Tidak pergi ataupun mendekat ke arahku. Akulah yang memilih bergegas mendekat ke arahnya dengan langkah selebar mungkin.

Entah kenapa aku seemosional ini, tetapi satu bulir bening tiba-tiba saja mengalir tepat sebelum aku berhenti di depannya.

"Hei, kok nangis?"

"Kamu kenapa di sini?" Bukan urusanku, aku tahu. Hanya saja ... entahlah. Kombinasi rindu, cemas, merasa bersalah, dan kesal dengan diri sendiri membuatku kehilangan kendali atas gerak motorikku.

Aksa tersenyum. "Harusnya emang di sini. Dari tadi malah. Tapi telat, acaranya udah selesai."

Aku terdiam, meneliti wajah pria itu seolah takut ada yang hilang. Hendak bertanya bagaimana keadaannya, tetapi takut mendengar hal buruk keluar dari mulutnya. Ah, mulai over thinking lagi.

Lalu, suara Karin kembali terngiang di kepalaku. "Mas Aksa ... dia nggak pernah nangis, Kak."

Kemudian, suara lirih Ivy menggantikannya. "Kak Anggi harus jadi temennya Mas Aksa terus, ya? Janji?"

"Aku telat. Kalau gitu ...."

"Aksa." Aku langsung memotong saat sadar bahwa Aksa menampilkan gestur hendak pergi sekarang juga. "Aku nggak salah." Dahi pria berkemeja dark chocolate dan kaus berwarna senada, tetapi jauh lebih terang itu mengangkat alisnya. Kancing kemeja yang tidak dikaitkan masih menjadi ciri khasnya. Namun, kini rambutnya tergerai sedikit berantakan, tidak seperti hari-hari biasa yang selalu tersisir rapi.

"Apanya?"

"Aku nggak salah kalau akhirnya papaku pergi."

Aku memperhatikan tangan Aksa. Jari-jarinya sibuk meremas, seolah sedang menyalurkan emosi. "Papaku pergi karena memang saatnya pergi. Aku nggak tahu kalau dia sakit dan itu bukan salahku. Aku ngerepotin dia dengan banyak mau, tapi itu nggak bikin aku jadi pihak yang salah. Papa kecelakaan waktu nganter aku ke pet shop, tapi kalau memang saat itu adalah waktu Tuhan memanggil Papa, pergi-enggaknya Papa ke pet shop ... beliau tetap ketemu Tuhan hari itu juga. Iya, kan, Sa?"

Pria itu bergeming. Dari sudut mata, aku tahu tangannya masih mengepal. "Sa? Kamu yang bilang kalau aku nggak salah, kan?"

Aksa membuang muka, sedang aku tak sedikit pun mengalihkan atensi darinya. Wajah pucat itu membuatku marah, tetapi entah pada siapa. Mendapati Aksa seperti ini membuatku ingin meneriaki diri sendiri.

"Ivy pernah bilang sesuatu yang bikin Aksa nggak mau cerita sama kamu?" Pertanyaan Papa Aris tempo hari sukses membuatku merasa tertampar.

Mendengar pertanyaan itu, ingatanku langsung terlempar ke kejadian di pemakaman. "Aku nggak suka lihat kamu sedih." Itu yang kukatakan padanya. Itu yang mungkin membuat Aksa tidak mau terlihat sedih di depanku.

Aku mengeluarkan kartu tanda mahasiswa milik Aksa. Mengulurkannya dan tidak berniat menarik tangan meski pria itu tidak menyambutku. Aksa hanya memandangi tanganku.

"Kamu juga nggak salah. Sama kayak aku. Kita sama, Sa. Iya, kan?" kataku dengan lirih. Tanpa kuduga, pria itu langsung membalikkan badan. Membuatku terkejut dan ketakutan kalau-kalau dia memilih pergi saat ini juga.

Namun, dugaanku tidak terbukti saat kulihat tubuh itu meluruh ke lantai. Dia berjongkok membelakangiku. Bahunya bergetar dan saat itu juga aku tahu, Aksa bersedia membuka kedoknya. Meski dengan dia yang memunggungiku membuat rasa bersalah langsung memeluk erat-erat.

Pandanganku mengabur. Untuk sesaat, kubiarkan kami tidak saling menatap. Membiarkan air mata jatuh tanpa tersentuh penglihatan orang lain.

Hingga saat merasa waktu menikmati kejatuhan diri sendiri sudah cukup, aku bergerak dan berhenti tepat di depan Aksa. Mengambil posisi duduk lesehan sekitar lima jengkal di depannya. Pria itu menunduk, enggan menatapku dan memperlihatkan wajah yang kuyakin sudah sembab.

"Ayo kita batalin janjinya, Sa." Mendengar suaraku, pria itu hendak mengangkat wajah, tetapi urung dan memilih menenggelamkan kepala di lipatan lengan.

Aku tersenyum, tetapi air mata tetap turun. Lucu melihatnya seperti anak kecil begini, tetapi miris sebab dia tetap tidak ingin terlihat menangis di depan mataku.

"Ayo batalin janji kita buat nggak saling bikin sedih." Aku melihat tubuh Aksa yang berhenti menegang. Bahkan satu tangannya sudah dia turunkan. "Aku nggak masalah lihat kamu sedih."

Sehabis kalimatku usai, Aksa mengangkat wajahnya perlahan. Matanya masih berair, tetapi tidak lebih dari itu. Mungkin karena dia sudah menggunakan lengan kemeja untuk menyerap air matanya.

Mata yang berkaca-kaca itu beralih menatapku. Aku tersenyum, bahkan menahan diri untuk tidak tertawa. Dalam keadaan normal, aku pasti akan setuju bahwa kami kekanakan.

"Kamu ... aku ...." Pria itu mengacak rambut frustrasi, membuatku mengernyit bingung. "Maksudnya ini kamu ... kamu mau kita ... argh!"

Meski tidak mengerti maksud Aksa, tetapi aku terbahak saat pria itu mendudukkan diri ke lantai dengan kasar, sambil sekali lagi meremas rambutnya kesal. Kenapa, sih?

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa," ucapku kemudian.

Aksa menatapku, tetapi tidak bersuara. Hal itu yang membuatku akhirnya mengalah dan memecah keheningan. "Ayo nggak usah janji buat nggak saling bikin sedih, Sa. Karena di depan sana, banyak kesedihan yang nggak bisa kita hindari. Jadi, cukup kita sama-sama aja. Cukup bilang kalau sedih, bilang kalau capek, dan saling bilang kalau semuanya akan berakhir. Kalau semua kesedihan bukan sepenuhnya salah kita."

Mata kami saling bertaut. Saling menyelami seolah rela tersesat satu sama lain. Sebelum akhirnya Aksa memutus kontak dan langsung berdiri. Membuatku terkejut bukan main.

"Damn, Anggia! It's such my work to do! Kenapa malah kamu yang nembak aku?"

Aku terbahak mendapati Aksa yang bergerak acak dengan wajah yang tidak bisa kuartikan. Aku masih saja duduk, sementara dia mondar-mandir tanpa henti, bahkan sampai berjalan membelakangiku untuk kemudian berbalik lagi. Perutku betulan terasa sakit.

Melihat pria di depanku ini, aku jadi tahu bahwa prinsip yang kupegang tidak selamanya tepat. Aku memang tidak ingin melihat orang lain sedih, tetapi aku tidak bisa mengendalikan kesedihan orang lain. Kalau pun bukan aku sumber kesedihannya, maka masih ada jutaan sumber lain yang siap menanti. Yang kuperlukan bukan menghindari raut sedih orang lain, tetapi menemaninya dan berbisik bahwa semua akan selesai dan sebuah senyum sedang menanti di depan sana.

Selama ini, aku sibuk mengalkulasi, menghindari banyak hal yang berisiko tinggi. Hingga terlupa bahwa hidupku bukan matematika yang segalanya memiliki jawaban pasti. Aku hidup dengan banyak ketidakpastian, yang ke mana pun aku berlari selalu setia mengiringi.

Mataku yang menerawang sambil tersenyum langsung terusik, ketika Aksa mendekatkan tangannya ke kepalaku. Aku otomatis menghindar. Aku menatapnya kesal, tetapi yang lebih membuatku kesal adalah bayangan yang entah mengapa tiba-tiba terlintas di kepala. Aku berdiri dan melotot ke arah Aksa. "Vania siapa?"

"Hah?" Aksa memasang muka cengo. Mungkin kaget dengan pertanyaan random-ku. Aku teringat gadis itu saat Aksa hendak mengacak kepalaku-gestur yang pernah dia lakukan kepada Vania tepat di depan mataku.

"Vania! Dia siapa?" Aksa hanya tersenyum, membuatku semakin meradang.

Wajah jahil pria itu tersungging. "Jadi cemburu, nih?"

Dengan cepat, aku menginjak kaki pria yang sedang bersedekap di hadapanku itu. "Ish!" desisku, sementara Aksa mengaduh kesakitan.

Ketika berhasil menetralkan rasa yang kuyakin pasti sakit di kakinya, pria itu mendekat dan merendahkan tubuh menyamai tinggiku. "Nanti dikasih tahu. Tapi itu busnya udah mau berangkat."

Aku langsung menoleh cepat ke pelataran auditorium, tempat sebuah bus terparkir. Benar saja. Para mahasiswa sudah mengerubungi kendaraan itu. Aku juga melihat Mbak Vio yang mengedarkan pandangan, lalu menatap handphone. Saat itu juga, ponselku berbunyi. Ada panggilan dari Mbak Vio.

Aku menoleh ke arah Aksa, memberinya tatapan peringatan. "Udah sana. Nanti ketinggalan." Sambil terkekeh, dia merespons wajah kesalku.

Aku mengiyakan, lalu berjalan meninggalkannya yang masih berdiri mengantar langkahku dengan tatapan.

Diam-diam senyumku terkembang. Masa bodoh dengan Vania atau siapa pun itu. Satu yang paling penting, Aksa sudah setuju dengan semua yang aku ungkapkan tadi. Menyadari hal itu, deru dalam dadaku terasa sangat kencang, sampai rasanya mau meledak dan menghancurkan seluruh organ di dalam sana. Aku pikir, tidak akan ada yang bisa memompa jantungku lebih cepat lagi saat ini. Namun, tebakanku salah ketika suara nyaring Aksa terdengar dari belakang sana.

"Semangat, Pacar!"

Sumpah. Aku akan meledak sekarang juga!

Halo. Thank you sudah membaca sampai sejauh ini.

[First Publish]November 12th, 2020.
[Revisi] January 8th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro