Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

d i l e m a

"Ih, kenapa, Vy? Kamu nggak ada klarifikasi sama sekali, loh."

Suara Rere terus menggangguku. Berusaha mengalihkan fokusku dari buku tebal yang harus aku lahap sampai habis. Namun, aku tetap pura-pura bodoh, padahal tahu betul apa yang dia maksud.

Seperti rengekan Rere yang terdengar sebelumnya, aku kembali menimpali dengan gumaman. Meski kepalaku tidak benar-benar diam, justru sibuk mempersiapkan diri jika kesabaran Rere tidak lagi tersisa.

"Vy!"

Perkiraanku benar. Kini kesabaran Rere sudah habis, terlihat jelas saat dia menarik paksa buku berisi bermacam aksioma, teorema, definisi, serta segala hal memusingkan lainnya.

Aku memejamkan mata sebelum memilih menghadapi wajah yang pasti menampilkan raut kesal itu. Mau menghindar bagaimana lagi? Rere sudah memberiku waktu lebih dari dua hari. Tentunya dia sangat amat membutuhkan penjelasan mengapa aku membuatnya khawatir waktu itu.

"Aduh, Re. Tiga hari lagi udah tahap satu ON MIPA. Aku harus belajar, loh."

Meski tidak yakin Rere akan mengalah hanya karena muka memelasku, aku tetap harus mencoba. Kalau dalam dunia medis, sih, katanya kita harus mencoba walau peluang keberhasilan hanya satu persen.

"Nggak akan butuh waktu satu jam buat cerita. Please, deh."

Aku menatapnya pasrah. Satu persen kemenangan memang milikku, tetapi Rere memegang 99 persen sisanya. Bersikap keras kepala hanya akan menyia-nyiakan waktuku lebih lama lagi.

Aku memutuskan untuk buka suara, meski bukan mutlak keinginanku. "Ya nggak kenapa-kenapa, Re. Kemarin Mbak Nindy ngomong sesuatu. Terus ...."

"Terus?"

"Ya udah. Nggak ada terus-terus. Selesai. Aku pulang duluan."

Rere melotot tidak terima. Tangannya memberikan gestur meremas di depan wajahku, membuatku memundurkan badan serta memejamkan mata secara spontan.

Ekspresi gemasnya segera terluapkan dengan ucapannya. "Ya ngomong apa dia, Vy!"

Tahu ekspresi orang yang berusaha menghindari sebuah pohon yang akan roboh di depan mata, tetapi tetap berkeras ingin melihat insidennya? Itulah ekspresiku saat ini. Ingin menutup mata demi menghindari tatapan Rere, tetapi tetap berusaha membalas sorot jengkelnya.

"Jangan responsif gitu, ah. Takut aku."

Hela napas keluar dari mulutnya. Aku tahu Rere mencoba mengesampingkan emosi. "Iya, oke. Tapi yang lengkap ceritanya. Aku betulan ngira kamu kenapa-napa, loh, kemarin. Mana suaramu kayak orang nangis pula."

Dia sudah menyandarkan tubuh ke dinding yang ada di belakangnya. Pelataran perpustakaan kampus-tempat kami duduk lesehan-yang cukup lengang membuatku mampu mendengar gemuruh hatiku. Semua yang tertuang di kertas itu masih jelas di kepala, begitu pula dengan sesak yang masih sama. Juga ... cincin yang tidak bisa aku pandang bahkan sedektik lamanya.

Sebenarnya, meski aku tidak ingin Rere mencemaskanku, aku memang butuh pendengar. Aku membutuhkan seseorang untuk menyingkirkan batu yang dua hari belakangan menyumpal dadaku.

Aku menatap Rere ragu. Melihat wajah Rere yang meyakinkanku, aku memutuskan untuk berbagi kegelisahanku kepadanya. "Janji jangan berlebihan nyikapinnya, loh, Re. Sepekan ke depan aku juga bakal lupain masalah ini, kok."

"Iya."

"Aku syok aja. Selebihnya aku nggak apa-apa, kok."

"Iya, Ivy."

"Kamu nggak us ...."

"Astaga!" Rere memejamkan matanya rapat-rapat. Dia ... kesal? Ah, tentu saja. Aku sangat berbelit-belit padahal belum masuk ke topik yang ingin dia dengar.

Aku cengengesan. Baru saja mau melanjutkan niat untuk bercerita, saat ponselku menjerit singkat. Tanda sebuah pesan masuk ke surelku.

Mengabaikan wajah kesal Rere yang levelnya sudah naik berkali-kali lipat, aku membuka ponsel. Mengabaikan Rere sekali lagi.

Aku memang memberi nada notifikasi yang berbeda untuk email. Karena pesan-pesan penting lebih sering dikirimkan melaui email. Entah itu konfirmasi lomba, seminar, atau beasiswa yang aku apply. Aku sengaja menspesialkan notifikasi agar tidak telat membaca pesan-pesan itu.

Namun, saat membuka aplikasi email yang ada di ponsel, tubuhku membeku. Memang info penting yang ada di daftar paling atas. Namun, nama pengirimnya membuatku meneguk ludah.

Aksa Wardhana
To : ivyanggia
Mar 25, 2020

Selamat siang, Anggia Ivy Senandika. Kami dari panitia Campus Award ingin menginformasikan bahwa kamu terpilih menjadi kandidat mahasiswa berprestasi di ajang Campus Award 2020. Selamat, ya.

Membaca paragrap pertama itu, kebahagiaan langsung menyusup. Senyum langsung terkembang. Memang bukan mahasiswa berprestasi yang diseleksi ketat oleh fakultas, lalu melaju ke tingkat universitas dan terakhir bersaing di tingkat nasional. Mahasiswa berprestasi dalam ajang Campus Award ini dipilih melalui penilaian panitia dari berkas dan catatan prestasi, mungkin juga dibantu dosen. Memang tidak seprestisius pilmapres dari ristekdikti. Namun, tentu saja aku cukup bangga bisa menjadi nominasi saat masih semester satu.

Namun, sedetik kemudian sebuah nama dari pop-up WhatsApp membuatku menggigit bibir. Beralih sebentar dari isi email tersebut.

Aku langsung membuka aplikasi WhatsApp. Mengecek room chat dengan Aksa. Namun, belum sempat membacanya, Rere menginterupsi.

"Vy, astaga!"

"Hah?" kataku bingung, menoleh ke arah Rere penuh tanda tanya.

"Dapet salam dari mas-mas Indomaret."

Dengan bingung, aku menghentikan kegiatanku. "Hah?"

Sambil bersedekap dan menyandarkan punggung ke dinding, Rere merotasikan bola matanya sebal. "Ntar suruh mampir. Beli cotton bud."

Aku berdecak saat tahu sahabatku ini hanya mau mengejekku. Enak saja mengatai pendengaranku terganggu.

"Lagian dipanggil susah banget. Nyari siapa?"

"Bentar, Re."

Aku memilih untuk kembali memfokuskan mata ke layar ponsel. Meneliti kembali apakah Aksa pernah menyebutkan hari ini untuk mengajakku bertemu.

"Tau, ah." Rere bergerak mengambil penggaris.

Aku pura-pura tidak mendengar, sibuk dengan ponsel di genggaman.

Aku men-scroll pesan Aksa sampai pada percakapan kami dua hari lalu, saat aku masih membalasnya. Itu adalah malam hari seusai pertandingan futsal yang melelahkan meski aku tidak ikut bermain. Malam setelah Aksa mengikutiku sampai ke rumah, meski aku tidak sedikit pun menjatuhkan perhatian ke arahnya.

Aksa Wardhana

Lo kenapa?

Anggia?

Oke. Lo jelas nggak baik-baik aja.

Gue ganti pertanyaannya. Tadi ada kejadian apa?

Please. Bales. Lo bikin gw khawatir.

Don't waste your time.

Aku nggak apa.

Oke.

Take your time.

Cepet sembuh. Kalo susah, cari bantuan.

Jangan dihadapin sendiri kalo emang nggak bisa.

I'm here.

Yesterday

Can we meet?

Besok, ya. Di pelataran perpus pusat gimana?

Oke. See you.

Refleks, aku mengedarkan pandangan. Mencari sosok pria itu yang tak tahu mengapa ingin bertemu. Namun, nihil. Mataku tidak menjangkau apa pun.

Sadar kalau usaha itu tidak membuahkan hasil, layar ponsel kembali menjadi pusat perhatianku. Di sana, pesan terbaru Aksa muncul. Pesan yang baru kuterima beberapa menit lalu.

Today

Congrats!

Kalau saingannya elo, sih, gue milih mundur aja, deh.

Hahaha

Can we meet? Buat ngasih hardfile undangannya, nih.

Ntar nggak dapet special seat kalo nggak bawa undangan.

Ya ... walaupun lo tetep punya special seat di hidup gue dengan ataupun tanpa golden ticket.

Ciaaah.

Hehe

But, it's ok kalau nggak bisa.

Hari Sabtu gue tungguin depan gate biar lo bisa masuk.

Aku menghela napas. Ada sesak yang mengganjal saat tahu bahwa Aksa masih di sana, berdiri untukku. Juga sesak untuk hal lain yang tidak kumengerti. Akhir-akhir ini, bayangannya selalu menyisip di lubang waktuku yang tak terisi, bahkan di waktu yang penuh dengan kegiatan yang harus kukerjakan sekali pun. Dia banyak menyita pikiranku, bahkan nyaris memenuhinya.

Aku tidak mengerti. Apa Aksa hanya pengalih perasaanku saja? Sementara yang utuh tetap untuk Mas Faris?

Aku takut, jika kusambut begitu saja, ternyata perasaanku untuk Aksa hanya semu. Lagi pula tidak mungkin perasaanku terhadap Mas Faris tergantikan dalam waktu satu bulan. Itu terlalu singkat. Bahkan, bagi Mama delapan belas tahun saja belum cukup untuk melupa.

Saat hendak menutup aplikasi tanpa berniat mengirimkan satu pun balasan pada Aksa, satu pesan kembali masuk.

Udah di sana, kan? Mau ketemu?

Jantungku bertalu super kencang. Dia tahu? Apa Aksa ... di sini? Bukankah aku sudah bilang tidak bisa menemuinya?

Melihat kenyataan bahwa dia tidak langsung menemuiku meski tahu aku ada di sini, Aksa pasti menghargai keputusanku. Pria itu mungkin saja ingin memaksaku untuk mengatakan sesuatu, seperti dia yang memaksa mengikutiku sampai rumah di hari pertandingan futsal itu. Namun, sekali lagi dia lebih memikirkan perasaan dan keadaanku.

Aku tidak berani memutar pandangan seperti tadi. Takut jika tatapan mata kami bertemu. Takut aku akan bertingkah bodoh seperti saat di gedung olah raga dua hari lalu.

Maka, kuputuskan untuk menutup WhatsApp. Membiarkan pesannya tidak bersambut.

Pikiranku kalut. Sepertinya benar, aku butuh saran untuk perasaan yang amat absurd ini. Aku tidak bisa menerjemahkannya sendirian. Ini membuatku gila, saat status dan perasaan Mas Faris masih membuatku sakit, tetapi aku juga merasakan getar aneh saat nama Aksa melintas begitu saja.

Aku langsung merogoh tas. Mencari kertas lusuh yang berkali-kali kubaca ulang dan kuremas begitu saja.

"Re."

"Apa?" sentaknya garang.

"Aku mau cerita, ih." Aku mengulurkan lipatan kertas ke arahnya, mengabaikan wajah masam Rere. "Baca ini dulu."

Rere meneliti benda di tanganku. Menatapnya setengah enggan. "Apa, nih? Tisu bekas dikasih ke aku."

Aku tidak menanggapi. Membiarkan Rere membuka lipatan kertas yang sudah amat lusuh karena berkali-kali kubuka dan kuremas. Seolah dengan begitu, aku bisa menghilangkan tinta di dalamnya. Sekaligus menghapus segala ingatan tentang isi di dalamnya.

Thanks for reading :)

[First Publish] August 22nd, 2020.
[Revisi] January 5th, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro