bincang
"Morning, Princess." Papa mengecup bagian kiri kepalaku sebelum menarik kursi di ujung meja.
Hari ini aku tidak memiliki jam kuliah pagi. Namun, sarapan bersama adalah rutinitas wajib yang tidak boleh diabaikan selama kami bertiga tidak memiliki alasan yang dapat ditoleransi. Hal itu yang membuat repetisi pagiku selalu sama. Tidak ada kata bangun siang, di hari libur sekali pun.
"Morning, Papa."
Papa meraih segelas air putih yang aku tuangkan untuknya, sedang Mama masih sibuk dengan jus yang ia buat. Wanita itu selalu memastikan agar aku dan Papa mengonsumsi serat yang cukup.
"Itu si Salsa katanya jadi perwakilan sekolahnya buat pidato tingkat Asia di Bangkok, loh, Vy." Tak berselang lama, Mama bergabung, dengan tiga gelas jus alpukat yang langsung berpindah ke mulutku. Jika durian dijuluki raja buah oleh khalayak, maka bagiku raja buah yang sebenarnya adalah alpukat.
"Iya, Mam?" kataku menanggapi informasi dari Mama.
Salsa yang kami bicarakan adalah sepupuku dari pihak Mama. Gadis itu lebih muda empat tahun dariku. Kini, ia duduk di salah satu sekolah menengah yang tidak main-main biayanya.
"Sekolahnya saja bergengsi. Nggak heran bisa menggali potensi sebegitu maksimalnya." Mama bergumam lirih dengan sesuap nasi yang baru meluncur ke mulut.
"Kamu dulu di Aussie, kan, Vy?"
Dulu aku memang beberapa kali menjadi perwakilan sekolah untuk event eksternal. Seperti lomba, student exchange, training, dan kegiatan lainnya. Aku senang sekali ketika Mama atau Papa mendapat surat undangan ke sekolah, untuk diberi sosialisi terkait kegiatan yang akan aku ikuti. Senang melihat senyum merekah mereka, juga dukungan penuh yang dengan suka rela mereka berikan.
"Di Aussie leadership camp, sih, Mam. Kalau pidato cuma di Bali sama Malang."
"Ah, tapi tetap keren kamulah, Vy. Kan kamu juga sekolah di sekolah reguler, bukan VIP kayak Salsa." Mama berkata tak acuh, dengan fokus yang tertuju pada nasi goreng di piring. Berbeda dengan Papa yang langsung berdeham lalu menjatuhkan tatapannya di mataku yang juga refleks memandangnya. Aku tersenyum. Menyelipkan kalimat "tidak apa-apa" di lengkungan bibir, yang pasti dipahami dengan jelas oleh Papa.
"Di mana pun tempatnya, emas mah selalu jadi emas, Mam," gurauku sedikit pongah. Berupaya mencegah hening di antara kami.
Mama tertawa sampai gigi-gigi rapinya menyembul sempurna. Sementara Papa hanya terkekeh sambil mengacak rambutku pelan.
Dulu, Papa selalu khawatir jika aku tertekan dengan kalimat tak tersurat Mama. Kalimat tanpa paksa, tetapi berisi harap dan titah dalam waktu yang sama. Bagaimana Mama selalu membanggakanku di depan keluarga besar, yang secara tidak langsung membuatku harus selalu bisa dibanggakan. Meski aku tahu, ada alasan lain yang membuat Mama bersikap demikian.
Namun, aku selalu meyakinkan Papa bahwa aku tidak apa-apa. Toh, aku memang suka dengan dunia akademik, dunia lomba, juga organisasi. Aku tidak pernah keberatan untuk melalukan semuanya. Karena aku memang suka.
"Berangkat siang, kan, Vy?" Papa membuka suara ketika nasi goreng di piringnya sudah sepenuhnya tandas.
"Masuk jam tiga, sih, Pa. Cuma Ivy mau ke Gramedia buat cari referensi kuliah. Habis itu mau langsung ke perpustakaan kampus rencananya. Mau belajar sama kakak-kakak himpunan."
Memasuki semester dua, aku selalu berusaha mengingatkan diriku untuk lebih serius. Sebab semakin ke sini, materi yang harus aku pelajari semakin rumit.
"Semangat, Princess."
Papa menyudahi sarapannya, lalu beranjak untuk mengecup kening Mama. Tas kerja sudah menggantung apik di tangan kirinya.
Aku selalu suka menikmati kehangatan yang menjalar ketika Papa mengecup kening Mama lama. Membuatku yakin bahwa cinta mereka begitu nyata, saling terpaut dengan erat. Momen itu membuatku melupakan sejenak banyak hal yang tak seharusnya kupusingkan, melupakan selipan ragu dengan fondasi fakta-fakta kecil yang nyata adanya. Bahwa mungkin ... cinta di antara mereka tidak sepenuhnya saling.
Aku mengantar Papa sampai teras. Hal yang amat sering aku lakukan. Namun, bukannya langsung pergi, Papa justru menatapku lama.
"Kenapa, Pa?"
Papa menatapku serius, masih berdiri di samping kursi teras. "Kapan kamu mengecewakan Mama sama Papa dalam hal prestasi?"
Alih-alih menjawab, aku hanya mengernyitkan dahi dalam-dalam. Antara bingung ke mana arah pembicaraan Papa, sekaligus bingung hendak menjawab apa.
"Never, Vy. Nggak sekali pun Papa kecewa sama usaha dan pencapaian kamu." Papa menatapku begitu intens. Manik matanya menyimpan teduh yang membuatku merasa berada di tempat paling aman. Ia melindungiku bahkan dari teduh tatapnya.
"Jangan terlalu keras, Vy," lanjutnya sungguh-sungguh.
"Pa ...."
"Kamu nggak harus selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Oke?"
"Nggak gitu, Pa."
"I know, Baby Girl. Papa tahu alasan kamu. Tapi kamu harus tahu, kamu nggak seharusnya memikul beban yang nggak pernah menjadi tanggung jawab kamu. Give yourself a million time to be you. Just you. Bukan kamu yang harus selalu punya sesuatu yang membuat dunia menerima kamu. Oke?"
Aku mengangguk patuh, meski di dalam hatiku ada penyangkalan yang tidak pernah aku tahu kapan akan teredam. Bersama deru mobil yang menjauh, kepatuhan yang aku deklarasikan beberapa menit lalu ikut berlalu meninggalkan.
***
Jika Rere memilih eksekutif mahasiswa sebagai ranah juangnya, maka aku memilih sibuk dengan himpunan mahasiswa. Dulu aku sempat mempertimbangkan untuk terjun di BEM seperti pilihan Rere hari ini. Namun, aku merasa kurang cocok di sana.
Hal itu yang menjadi alasan mendasar mengapa aku duduk lesehan di selasar auditorium kampus bersama seluruh anggota himpunan mahasiswa se-MIPA, seusai jam kuliah. Agenda kami adalah membahas program kerja besar, yaitu MIPA Festival. Program kerja gabungan antara himpunan mahasiswa Matematika, Kimia, Fisika, Biologi, dan IPA yang berisi serangkaian kegiatan olimpiade berbagai tingkat, juga talk show dan seminar motivasi. Aku ditempatkan di divisi acara untuk program ini.
"Pemateri talk show gimana, Dan? Ini urgent dan kudu disegerakan. Jaga-jaga kalau opsi speaker pertama nggak bisa, kita masih punya cukup waktu buat nyari speaker lain." Mas Andaru menjatuhkan pandangannya ke perkumpulan divisi acara.
"Kemarin kita udah ada opsi, tapi anak kampus lain. Kata lo lebih baik pakai orang kampus kita aja. Jadi, ya, opsi itu gugur. Tapi ini udah ada opsi baru, kok, Ru." Speaker yang dimaksud adalah narasumber dalam talk show seputar olimpiade di ranah MIPA untuk mahasiswa.
"Dari mana dan siapa aja penanggung jawab yang bakal handle orangnya?"
Aku melirik catatanku. Di sini Mas Dandi menunjukku sebagai sekretaris divisi acara. Jadi, aku yang menyimpan semua catatan rapat internal kami. Aku tahu bahwa pertanyaan Mas Andaru tidak memiliki jawaban lengkap, setidaknya dari catatanku.
"Ehm," deham Mas Dandi, "kita ambil satu dari anak MIPA yang dari cabang biologi. Satu lagi dari Teknik. Anak Tekkim yang dapat emas di cabang kimia."
"Penanggung jawabnya siapa? Harus ada satu anak acara yang dampingin Humas, ya. Biar nggak ada kesalahan informasi dari kita ke pembicaranya."
"Itu belum kita tunjuk, Ru."
"Tunjuk sekarang, Dan. Harusnya nggak keberatan kalau ditunjuk. Bukan gue mau mendesak atau gimana. Tapi biar langsung fix, Dan. Banyak yang masih harus kita urusin."
"Kita diskusiin nanti, deh, Ru. Ini anak-anak juga udah dapet job desk masing-masing. Kasihan lah main tunjuk gitu." Mas Dandi dengan empatinya. Ini yang membuat kami--anggota divisi acara--merasa amat beruntung memiliki ketua divisi seperti dia.
"Oke, deh."
Aku jadi tidak enak dengan Mas Andaru. Dia pasti ingin semuanya jelas lebih cepat. Banyak yang harus kami persiapkan, sementara waktu persiapan hanya berkisar satu bulan lagi.
Karenanya, aku membuka buku catatan untuk mencari lembar berisi tanggung jawab setiap anggota tim acara. Aku melihat tugasku yang tertulis di sana. Mendesain tempat acara bersama koordinator lapangan dan menjadi moderator dalam talk show. Sepertinya aku masih bisa jika dibebani tanggung jawab untuk meng-handle pembicara. Hitung-hitung mengenal lebih dalam sebelum memoderatorinya di acara nanti.
"Aku aja nggak apa, Mas. Biar sekalian bangun chemistry sama pembicaranya. Toh, dibantu anak Humas juga." Aku mengutarakan isi kepala kepada Mas Dandi.
Mas Dandi tersenyum ke arahku, lalu berujar, "Ok. Thanks, ya, Vy."
Rapat berakhir tepat saat azan magrib berkumandang. Namun, belum benar-benar selesai untuk divisi acara. Usai magrib nanti, kami akan melaksanakan rapat internal. Membahas segala hal yang harus segera kami tuntaskan.
"Vy, nomor WhatsApp pembicara udah gue kirim ke lo, ya." Mas Dandi menyejajari langkahku untuk menuju koridor gedung kuliah Kimia--tempat kami akan melangsungkan rapat internal.
Sudah hal yang umum bagi mahasiswa untuk menjadikan koridor gedung sebagai tempat berkumpul. Baik untuk mengerjakan tugas, diskusi, rapat, atau hal lainnya.
"Oke. Makasih, Mas," kataku sambil mengecek handphone untuk kemudian mendapati pesan dari Mas Dandi berupa kontak seseorang dengan nama "Gisel Biologi" dan "Wardhana Tekkim".
"Gue yang makasih kali, Vy."
"Santai, Mas."
"Ntar gue alihin, deh, tugas desain lapangan lo."
"Eh, aku nggak keberatan, kok, Mas, insyaallah. Yang lain juga udah punya tugas sendiri, kasihan. Lagian ini juga sekalian kenalan sama pembicara, biar nggak canggung pas jadi moderator nanti."
"Lo tuh. Ngeluh atau nolak, kek, Vy. Setiap kepanitian selalu iya-iya aja kalau ditunjuk."
"Gimana, sih, Mas? Kok malah nyuruh ngeluh. Aneh banget."
"Lagian nurut banget. Jadi partner organisasi aja berdedikasi gitu. Gimana kalau jadi partner hidup coba?"
Aku tergelak menanggapi wajah bersungut-sungutnya. Ada-ada saja seniorku satu ini.
***
Rapat selesai pukul setengah sembilan malam. Aku langsung menuju parkiran gedung PKM--Pusat Kegiatan Mahasiswa--FMIPA untuk mengambil motorku. Parkiran Fakultas sudah ditutup sejak pukul delapan sore. Oleh karena itu, jika ada agenda yang melebihi jam delapan, mahasiswa memilih memarkirkan kendaraan di parkiran PKM.
Aku sudah meraih motorku ketika sebuah suara yang belum terlalu akrab, menyapa pendengaran.
"Anggi."
Aku menoleh, kemudian mendapati Aksa yang berjalan mendekat. Untuk apa pria ini berada di gedung PKM FMIPA semalam ini?
"Hai," sambutku canggung.
Aku sedikit waswas jika Aksa menanyakan terkait pesan WhatsApp-nya yang belum juga aku balas sampai sekarang.
"Baru mau pulang?"
Untung hal pertama yang dia lontarkan bukan pertanyaan yang aku khawatirkan tadi. Mungkin ia tidak benar-benar butuh pesan balasan dariku. Why he has to, kan?
Aku mengangguk, lalu balik bertanya, "Kamu ngapain di sini?"
"Urusan advokasi."
"BEM?"
"Iya. BEM Fakultas. Lo sendiri ada urusan apa?"
"Rapat acara tadi," kataku sambil mengangguk menanggapi suara klakson dari teman himpunanku yang berlalu dari parkiran lebih dulu. "Aku baru tahu kamu di BEM."
"Malah nggak wajar kalau lo tahu. We are still stranger to each other, aren't we? Bales pesan aja jadi hal nggak wajar, 'kan buat lo?"
Apa dia sedang menyindirku? Maksudku, tidak bisakah dia menjawab dengan kalimat yang lebih enak didengar?
"Hm," gumamku malas. Kesal dengan tanggapannya yang terdengar sangat sarkastik.
"Nggak bawa jaket?"
Aku menggeleng, ingin segera pergi dari hadapannya. Aku memang lupa membawa jaket dan kini hanya mengenakan blus panjang. Tadi aku pergi ke Gramedia terlebih dahulu sebelum menuju kampus. Karena letak toko buku yang sangat dekat, aku jadi lupa membawa jaket. Aku baru ingat tentang hal itu ketika sudah sampai di kampus. Menyimpan jaket di tas memang bukan kebiasaanku.
"Pakai, deh." Aksa melepas jaket berwarna hijau army yang melekat di tubuhnya, lalu menyerahkan kepadaku.
"Enggak, deh. Kamu juga pulang malem."
"Ck." Aksa berdecak, lalu menyampirkan jaketnya di lenganku yang memegang setang motor. "Bawel," katanya kemudian.
Aku melotot mendengar perkataannya. Berinteraksi dengannya dua kali, aku jadi tahu kalau dia adalah tipe pemaksa.
"You told me, we are stranger. Remember? Antara orang asing nggak minjemin barangnya dengan mudah, deh."
"Oke, were. Sekarang dan seterusnya, kita bukan lagi orang asing." Aksa ini suka sekali membantah omonganku, dengan wajah menyebalkan. Padahal dia yang jelas-jelas tidak jelas. "Pakai."
"Kenapa harus?" tanyaku sedikit menantang. Dia ini aneh. Rasanya aku juga tidak mau kalah darinya.
"Karena ini malam, Anggia. Kasihan tubuh lo." Aksa menatapku malas.
"Lah, emang kamu nggak kasihan sama tubuhmu sendiri?"
Ya Tuhan, maafkan aku yang sudah membantah titah senior yang dua tahun lebih senior di atasku.
"Stubborn," gumamnya lelah. Ya suruh siapa dia menyebalkan seperti itu? "Gue cowok, dan lo cewek. Nggak seharusnya gue biarin lo nerjang angin malam tanpa jaket, sementara tubuh gue terbungkus kain tebal ini."
Lipatan di dahiku tercipta begitu saja. Apa dia bilang? "Kamu seolah mau bilang kalau cewek lemah dalam ketahanan tubuh. What's the difference between you and me? Between a status of men and women?" Wah, aku jadi sedikit emosi setelah mendengar alasan gender yang dia lontarkan. Memang apa bedanya tubuh kami? Sama-sama terbuat dari sari pati tanah, 'kan?
"Wow. Apa gue lagi bicara sama seorang feminis?" Sebelah alisnya terangkat saat mengatakan hal itu. "Listen, Anggia. Mana kalimat gue yang merendahkan?"
Tidak ada, sih. Namun, Aksa seolah ingin mengatakan itu. Iya, 'kan? Kalian berpikir sepertiku tidak?
"See? Lo nggak bisa jawab." Seketika dia menampilkan smirk yang membuatku semakin sebal. "Gue cuma mau memprioritaskan kaum lo. Itu prinsip gue. Salah? Gue nggak nganggep lo lebih butuh jaket dibanding gue. Tapi gue nggak mau pake jaket, sementara nggak ada kain serupa yang membungkus tubuh lo. Jelas?"
Ah, dia ini membaca buku seribu satu trik membungkam lawan bicara, ya? Bisa-bisanya aku tidak bisa bersuara seperti ini.
"Hm. Oke. Tapi nggak usah, deh."
"Kenapa, sih? Gengsi lo? Tinggal pake ribet amat. Gue bisa pinjem temen nanti."
"Oke. Oke. Aku pakai. Makasih!" Akhirnya aku mengalah, dengan nada kesal paling natural dalam hidupku, sepertinya.
Di samping memang dia ada benarnya, aku juga ingin cepat-cepat sampai rumah. Badanku sudah butuh siraman air lalu lilitan selimut tebal. Belum lagi aku masih harus me-review materi kuliah hari ini yang belum selesai kulakukan siang tadi. Satu lagi, aku malas berhadapan dengannya.
"Sorry nggak bisa nganter."
Aku menoleh ke arahnya saat kalimat itu terlontar. Untuk apa minta maaf?
"No need. Bukan tanggung jawab kamu buat antar aku."
"Iya, terserah."
Aku mengulum senyum mendapati pria itu yang tidak membantah.
Aku bukan tipe orang suka terlibat dengan bantah-membantah, apalagi dengan orang yang baru kukenal. Kecuali dalam forum diskusi, tentunya. Itu sebabnya, aku masih merasa aneh ketika dua pertemuanku dengan Aksa selalu diisi oleh perdebatan kami.
"Duluan, ya, Sa. Maksih jaketnya." Aku sudah menyalakan motor untuk keluar dari area parkir. Aksa masih berdiri di belakang motorku. Demi kesopanan, aku menekan klakson untuk berpamitan kepadanya.
"Kalau udah nggak sibuk, balas chat gue. Lo udah baca. Centang biru lo nggak bisa bohong dan lo nggak perlu kesusahan nganter surat lewat merpati buat bales."
Punggungku menegak. Aku tidak menolehkan kepala kepadanya. Duh, kenapa dia menyinggung hal ini terus, sih? Aku jadi merasa tidak enak. Sebenarnya aku tidak bermaksud mengabaikan pesannya. Hanya saja, aku tidak menemukan alasan untuk membalas. Juga karena ... aku takut tebakanku tentang alasannya mengirim pesan kepadaku itu benar adanya.
***
Aku masih mengeringkan rambut dengan handuk putih ketika teringat pesan Mas Dandi seusai rapat tadi. Ia memintaku segera mengecek nomor pembicara yang ia kirimkan, dan paling lambat besok siang sudah harus menghubunginya. Mas Dandi menyerahkan tugas menghubungi itu kepadaku, bukan kepada divisi Humas. Kata Mas Dandi, Humas masih harus mengonfirmasi banyak pihak yang sama pentingnya. Selain itu, akan lebih maksimal jika yang menjelaskan tentang teknis talk show adalah anak acara.
Oleh karena itu, aku langsung mengecek pesan Mas Dandi. Aku langsung menyimpan nomor itu dengan nama Giselle Biologi dan Wardhana Tekkim seperti yang dilakukan Mas Dandi. Untuk memastikan bahwa nomor itu tersambung dengan WhatsApp, aku langsung mengeksplorasi kegunaan ikon kaca pembesar yang bertengger di bagian atas. Aku menghela napas lega ketika kutemukan nama Giselle Biologi, lalu Wardhana Tekkim di sana.
Ketika hendak menutup aplikasi, aku merasa tidak asing dengan foto profil yang digunakan oleh Mas Wardhana. Untuk itu, aku mengeceknya. Saat foto seorang pria yang menghadap ke samping dengan jas lab putih serta tabung reaksi di tangannya itu terlihat lebih jelas, aku semakin mengerutkan dahi. Foto ini terlihat familier.
Menyerah karena belum juga bisa mengingat siapa pemilik foto profil yang serupa, aku membuka room chat yang semula kukira masih kosong. Namun, aku terkejut ketika mendapati pesan Aksa tempo hari berada di sana. Aku melirik ke bagian atas. Memastikan bahwa yang sedang kubuka adalah room chat si Mas Teknik Kimia. Ketika nama Wardhana Tekkim tidak juga berubah setelah kupelototi, aku sadar bahwa Aksa dan Wardhana berbagi nomor WhatsApp yang sama.
Secara otomatis, jantungku berpacu kencang. Aku langsung menghubungi Gabby untuk memintanya menghubungi Mas Wardhana, sementara aku menghubungi Mbak Giselle saja.
Gabby
Geb, kamu tolong handle Mas Wardhana, ya. Nanti kalau kamu ragu sama pertanyaan dia, kamu tanya aku dulu. Biar nggak ada miskom.
Meski nantinya aku harus berinteraksi dengan orang itu, setidaknya nanti yang mengharuskanku bukanlah saat ini, ataupun besok. Aku hanya ... tidak terlalu nyaman untuk berinteraksi dengannya.
Hollaaa. For standing by my side, thank you. Hehe
Enjoy, yaa!
[First Publish] June 1st, 2020.
[Revisi] January 2nd, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro