b a d l u c k
"Vy, nanti aku ikut sampe rumahku, ya? Mau ngambil motor."
Siang ini, kami sedang berada di perpustakaan kampus. Niat awalnya, aku ingin belajar beberapa materi untuk seleksi KN MIPA PT-Kompetisi Nasional MIPA tingkat Perguruan Tinggi-yang akan diadakan sekitar dua bulan lagi. Namun, Rere memaksa untuk bergabung, dan berakhir dengan ocehannya yang tidak berhenti sejak tadi. Meski tidak ada penjaga perpustakaan, aku berulang kali mengingatkannya bahwa kerusuhan kami bisa mengganggu pengunjung lain.
"Vy, ih. Kamu marah beneran?"
Cukup sudah. Semakin lama didiamkan, ia makin menjadi, seperti biasa.
"Setelah kamu kasih nomor aku ke orang asing tanpa bilang ke aku? Terus kamu ngarang cerita kalau aku jungkir balik seneng banget waktu dapet chat dari dia? For real?" Aku melotot ke arahnya.
Rere bukan tipe orang yang pandai menutupi keusilannya. Dia justru bangga dengan tingkah absurdnya itu. Karena itu, dia menceritakan kelakuannya di belakangku tanpa perlu aku paksa.
"Vy, awal aku kasih nomor ke dia, karena dia bilang kamu daftar UKMP di departemen yang dibawahi sama Aksa. Ya, walaupun aku yang nawarin dulu, sih. Terus yang aku bilang kamu seneng banget itu, cuma bercanda asli. Sumpah, deh, aku nggak maksud apa-apa."
Bola mataku terputar malas.
"Jadi, boleh, ya, aku ikut kamu? Please please pleaseeee," mohonnya sambil mengatupkan kedua tangan, dengan raut wajah yang ia atur sedemikian rupa, membuatku menghela napas pasrah.
"Iya. Tapi aku yang bonceng."
"Apa pun, deh. Yang penting nggak keluar duit banyak."
Jika tidak ingat sedang berada di perpustakaan, aku pasti akan mengomelinya. Pasalnya, Rere tidak pernah ingat slogan save money-nya jika sudah berhadapan dengan skin care. Namun, untuk masalah lain yang melibatkan uang, ia selalu berkoar-koar untuk hemat. Kata Rere, skin care adalah satu-satunya pengecualian.
"Eh eh, Vy, inget Mbak Arlita nggak?" Rere kembali menarik atensiku dari buku yang aku buka. Matanya fokus menatap layar hand phone.
"Sekretaris PMR pas kita kelas sepuluh itu bukan?" Aku mengingat nama yang disebutkan Rere itu. Dia adalah senior dua tingkat di atas kami semasa SMA.
"Iya, Vy. Dia mau nikah. Kirim invitation video di grup PMR."
Rere menunjukkan undangan yang dia maksud kepadaku. Sobatku ini dulunya adalah anggota PMR aktif, sementara aku memilih OSIS untuk digeluti. Dalam hal organisasi, kami memang tidak pernah memilih tempat yang sama.
"Gila, ya. Dia masih kuliah, loh, padahal. Aku mikir tugas aja udah mau pecah kepalanya. Ini dia mau nyambi ngurus suami. Jangan sampe ntar ujungnya sewa ART, terus berakhir kaya di FTV gitu. ART nya nggak cuma ngurus rumah, tapi ngurus lahir batinnya suami doi." Rere bergidik ngeri karena prasangkanya sendiri. Dia ini hobi banget berspekulasi yang aneh-aneh.
"Otak sinetron dasar," gerutuku malas.
"Eh, bisa jadi loh, Vy, dia kewalahan handle dua tugasnya itu. Nggak menutup kemungkinan dia sewa ART, dong. Secara tahu sendiri lah ruwetnya jadi mahasiswa."
Aku tidak menanggapi pemikirannya itu. Setelah dia mengatakan telah mem-forward undangannya kepadaku, Rere beranjak mencari buku entah apa.
Kini, pikiranku melayang pada percakapan di kantin MIPA beberapa waktu lalu, yang aku tangkap dengan tidak sengaja. Hari itu, Mas Faris mengajakku bertemu di kantin. Namun, saat aku tiba, dia sedang asyik mengobrol dengan Mas Abdan-temannya. Karena itu, aku mengurungkan niatku untuk langsung mendekati mereka. Aku memilih memesan jus di gerai dekat meja mereka. Ia duduk membelakangi tempatku berdiri, sementara Mas Abdan berada di depannya, berbatasan dengan sebuah meja.
"Secinta apa pun gue sama Mei, nggak akan gue ngajak dia nikah sekarang. Gue pernah ngerasain jadi mahasiswa. Buat nyelesain tugas aja minta ampun sulitnya. Gimana mau ngurus ribetnya rumah tangga, Ris? Yang ada nantinya gue minta dia berhenti kuliah, atau paling buruknya kita milih pisah. Nggak akan mudah, yakin gue." Aku tidak berniat menguping, tetapi suara Mas Abdan menelusup mulus ke pendengaranku, mengingat jarak kami yang tidak terlalu jauh.
"Seyakin itu?" tanya Mas Faris.
"Iyalah. Coba lo sebutin, mahasiswa mana yang nggak keteteran sama tugas? Nggak ada, Ris."
Aku melirik Mas Faris, dan saat itu juga mendapatinya mengedikkan bahu.
"Jangan bilang diam-diam lo nyebutin nama Ivy di kepala?"
Saat mendengar namaku disebut, aku langsung menajamkan telinga. Saat itu aku sedikit kaget, sekaligus tidak sabar menunggu jawaban Mas Faris. Juga ada tanya, kenapa Mas Abdan membawa namaku dalam percakapan ini?
"Nggak tahulah, Dan. Gue cuma takut lo nyesal nantinya."
"Heh, emang lo nggak mikir hal serupa buat diri lo sendiri?"
"Mikir, Dan, mikir." Jika tidak salah menangkap, kala itu nada bicara Mas Faris sedikit frustrasi. "Masalahnya gue nggak mau menekan dan membebani dia. Tahu sendiri dari dulu prestasi selalu nomor satu buat dia. Gue nggak yakin dia setuju buat ikatan itu. And I can't take a risk, kalau nantinya hubungan kita jadi nggak baik-baik aja setelah gue ngungkapin keinginan gue. Padahal selama ini kita fine-fine aja."
Ketika aku masih belum mengerti dia yang dimaksud Mas Faris, Mas Abdan sudah lebih dulu melihatku. Mata kami saling beradu. Aku melihat tingkah kikuknya, sebelum dia melambai dan memanggil namaku untuk begabung dengannya.
Mas Abdan meninggalkanku dan Mas Faris berdua di kantin. Selepas kepergiannya, percakapan kami berlangsung canggung.
Hanya karena mendengar namaku disebut dalam percakapan Mas Faris itu, bodohnya, aku menganggap bahwa akulah objek yang dibicarakan Mas Faris tadi, untuk diajak memangun sebuah ikatan. Pemikiran yang otomatis terpatahkan ketika Mas Faris mengangsurkan selembar undangan pernikahan kepadaku selang sekitar empat bulan setelahnya.
Getar di hand phone membuatku mau tidak mau meliriknya, lalu mengecek sebab getar itu ada. Ternyata sebuah pesan dari aplikasi chat yang aku pakai.
Mas Faris
Lagi di perpus?
Sebenarnya aku tidak berniat untuk membalas pesan dari Mas Faris. Bohong jika aku tidak berusaha menghindarinya beberapa waktu ini. Karena nyatanya, aku memang perlu beristirahat menghadapi kehadirannya, yang belakangan tidak lagi disertai getar menyenangkan. Melainkan degup menyesakkan. Namun, aku tidak mau Mas Faris menyadari hal itu dengan jelas, yang bisa jadi membuatnya tidak nyaman. Itu sebabnya aku memilih untuk membalas pesannya kali ini, karena tanda read barang tentu sudah tertransfer kepadanya.
Iya.
Pusat atau jurusan?
Pusat. Kenapa, Mas?
Sejujurnya, aku sedikit waswas kalau-kalau Mas Faris akan menyusul atau apa. Namun, aku tidak mau terlalu banyak berasumsi. Dia sudah pasti punya kesibukan baru. Menghampiriku bukan lagi hal yang akan dilakukannya dengan alasan sesederhana 'ingin saja' seperti biasanya.
"Hai, Vy."
Suara Mas Faris menyentakku. Dia langsung mengambil tempat di depanku dengan entengnya. Sementara aku merasa sangat gugup dan terkejut. Apakah dari tadi dia memang sudah berada di bangunan yang sama denganku?
"Eh ... di sini juga, Mas?"
"Hm."
Dia sibuk merogoh tas. Matanya fokus ke sana, sementara aku mengamati gerakannya dalam diam.
"Kamu nggak bilang mau ikut KN MIPA."
"Aku bilang Ibun, kok, Mas."
"Itu sebabnya aku dengar dari Ibun. Bukan dari mulut kamu sendiri."
Dia tidak lagi sibuk dengan tas hitam di tangan. Kini pandangannya mengunciku dengan kedalaman matanya. Membuatku menahan napas. Tidak lagi memikirkan jawaban untuk perkatannya yang terkesan menuntut penjelasan. Yang ada di otakku hanya matanya, dan keteduhan yang tetap sama.
"Ini buku referensi buat persiapan KN MIPA, dari temanku. Bisa kamu pinjam dulu." Ia mengangsurkan tiga buah buku ke hadapanku.
"Oh ... em ... makasih, Mas," kataku sambil meraih buku yang ia sodorkan. Hal-hal seperti ini yang membuatku sulit terlepas darinya. Sepertinya dia benar-benar tidak sadar akan efek tindakan yang menurutnya wajar itu. Kalau begini terus, kapan aku bisa lepas darinya?
"Sama-sama."
Aku tersenyum. Entahlah, kini yang bisa aku lakukan hanya diam, tersenyum, atau menjawab singkat-singkat saja. Rasanya aku tidak memiliki cukup tenaga untuk bersikap seperti biasa di depan pria ini. Bahkan aku tidak mengabarinya tentang KN MIPA, seperti yang dia katakan tadi. Aku hanya merasa ... tidak tahulah. Mungkin memang begini yang tepat. Hidupnya tidak lagi harus tentang kabar-kabar lomba dan semua kegiatan yang akan aku ikuti. Yang kemudian berlanjut dengan kesibukannya membantuku mempersiapkan segalanya.
"Boleh nggak, Vy, kamu kasih tahu aku seperti biasa?"
"Kasih tahu ... apa, Mas?"
"Semuanya. Kegiatan yang mau kamu ikuti. Kaya dulu. Kita masih sama, kan, Vy?"
Apanya yang masih sama? Bahkan perasaanku yang dulu hanya berhias bunga, kini dihinggapi lebah yang menyengat sejak hari pernikahannya tiba. Menciptakan lebam-lebam yang harus aku tahan, padahal jeritanku sulit dibungkam.
"Vy?"
"Eh, iya, Mas. Maksudku, aku nggak mau repotin Mas Faris. Biasanya kan Mas Faris aku ribetin kalau aku mau ikut apa-apa. Takut ganggu aja."
"Kapan aku merasa diribetin?"
Aku menghela napas. Bukan itu poin yang ingin aku sampaikan. Bagaimana caraku menyampaikan, dengan tidak membongkar apa yang tersimpan di hatiku dan kemudian membebaninya dengan perasaanku?
"Maksudku, Mas Faris kan punya Mbak Nindy yang harus diprioritaskan. Jadi, aku ... em ... ya gitulah pokoknya, Mas. Takut ganggu Mas Faris."
Mas Faris menghela napasnya, lalu bergumam lirih dengan suara yang masih mampu aku dengar dengan jelas. "Harusnya nggak perlu ada kondisi seperti ini."
***
Seperti persetujuanku untuk pulang bersama Rere tadi, kini aku duduk di boncengannya. Dengan Mas Faris yang mengendarai motor di depan kami. Tadi saat di perpustakaan, Mas Faris bergabung denganku dan Rere. Jadilah kami pulang bersama.
Kehadiran Rere di antara aku dan Mas Faris di perpustakaan tadi, bertepatan dengan selesainya kalimat Mas Faris yang tidak aku mengerti apa maknanya. Karena itu, aku tidak jadi menanyakan apa maksudnya, untuk menghindari turn on-nya ke-over protective-an Rere. Dia sangat mendukungku untuk maju dan meninggalkan perasaanku kepada Mas Faris. Sebenarnya aku tidak pernah memberitahu Rere tentang persoalan hatiku. Namun, dia begitu andal menebak dan kemudian membuatku mengaku di depannya.
Ponsel yang berada di saku kemejaku berdering. Aku menepuk pundak Rere untuk menepi. Sejak berita penjambretan hand phone saat mengemudi marak terdengar, aku memilih untuk menepi ketika harus menggunakannya.
"Re, bentar. Ada telepon masuk."
Rere menurut. Kami menepikan motor dan membiarkan Mas Faris kian menjauh di depan sana.
"Wa'alaikumussalam. Gimana, Geb?"
"Vy, Mas Wardhana bisa ketemunya besok Sabtu. Tapi gue udah ada acara, nih, nggak bisa cancel."
Waduh. Aku mencium bau tidak sedap dari berita awal yang dia sampaikan. Pasalnya, aku sudah memastikan bahwa Aksa Wardhana adalah satu orang yang sama. Untuk mengundang pembicara seperti ini, memang sudah seharusnya untuk melakukan briefing awal, jauh-jauh hari sebelum terselenggaranya acara. Hal itu bertujuan agar pembicara dapat menyiapkan materi, atau apa pun itu yang perlu pemikiran matang.
"Selain besok, dia punya waktu lagi kapan? Kalau pun dua-tiga hari ke depan masih okelah, Geb."
"Dia bisa Senin sore abis magrib. Tapi besok Senin gue ada acc-an, Vy."
Firasatku terbukti benar. Padahal aku sudah lega saat Gebby menyetujui permintaanku semalam. Namun, ternyata semesta ingin bercanda denganku. Apa boleh buat? Kasihan juga Gebby jika harus membatalkan acaranya.
"Ya udah, biar aku yang ketemu Mas Wardhana."
"Makasiiih, Ivy. Sumpah gue nggak maksud buat lepas tanggung jawab."
"Iya, tahu aku, Geb."
"Ntar biar gue yang ketemu Mbak Giselle, ya, Vy, berarti? Dia bisa kapan aja?"
"Dia besok sama Minggu free. Senin juga dia bisa sampai jam satu siang."
Sambungan terputus setelah kata terima kasih kesekian yang dilontarkan Gebby. Aku mengembuskan napas cukup keras, sampai Rere menoleh ke arahku.
"Kenapa, deh? Kesel gitu mukanya."
"Di-prank sama YouTuber," jawabku asal.
"Ngaco. Orang selempeng kamu cuma bisa nurunin rating channel prank kayak gitu. Mana ada YouTuber nggak waras yang rela kontennya krik krik gara-gara kamu?" Dia tergelak keras. Sementara aku melotot tajam ke arahnya.
Dari seberang jalan, aku mendengar teriakan Mas Faris, yang tidak lantas menyurutkan gelak tawa Rere.
"Kenapa?"
Aku menggeleng sebagai jawaban. Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan setelah menunggu Mas Faris berada di sisi jalan yang sama. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus menerima telepon tadi.
Sebuah telepon yang membuatku merasakan kekesalan Mama saat berhasil masuk ke laman web flash sale yang sangat ia inginkan, tetapi harus menelan kecewa saat pemburu lain mendahuluinya sehingga ia tidak mendapatkan produk yang diincar. Kekesalan saat aku merasa bisa lepas dari pertemuan dengan seseorang yang membuatku cukup tidak nyaman, tetapi semesta menyerobot kelegaanku begitu saja.
Pernah banget, mau ikut pre order gitu. Eh, udah check out dan tinggal bayar, malah stock-nya run out gegara banyak yang ngincer barangnya. Galaunya nggak abis-abis TT
[First Publish] June 2nd, 2020.
[Revisi]January 3rd, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro