already s e t
"Lo masih mau di sini, Vy?"
Saking larutnya dalam materi yang sedang kupelajari, aku tidak sadar kalau Mbak Vio sudah mengemasi buku-bukunya. Hal yang kemudian membuatku mengernyit. Pasalnya, Mbak Vio sudah bilang akan di perpustakaan sampai asar nanti. Lalu, kenapa dia merangkum semua bawaannya ke dalam tas, padahal baru hampir jam dua?
"Iya, Mbak. Mbak Vio ngapain beres-beres?" tanyaku menuntaskan rasa penasaran.
Sebelum menjawab, dia memasang tampang cemberut. "Sebel gue punya komting yang teledornya nggak ketulungan."
"Terus?" Maksudku, apa urusannya dengan berkemas-kemas?
"Minggu lalu dia dititipin surat pemberitahuan gitu. Kalau hari ini ada pertemuan sama dosen wali. Dan dia baru bilang sekarang. Gitulah. Ribet pokoknya."
Aku meringis. Drama seperti itu memang kadang terjadi, begitu juga di kelasku. Musibah lupa, salah informasi, dan kealpaan lain sudah menjadi suatu kewajaran yang sayangnya selalu berujung menyebalkan.
Kakak tingkat yang kukenal melalui Himpunan Mahasiswa Matematika itu beranjak, sementara Razy juga sudah pergi selepas salat Jumat tadi. Bagaimana dengan Aksa? Entahlah. Dia pergi tidak lama setelah Razy. Hal yang kusyukuri karena aku tidak harus terlarut dalam kebisuan perpustakaan dengannya. Namun, tetap saja aku belum lega karena pria itu meninggalkan tasnya di sini, yang artinya kami akan kembali bertemu karena dia menitipkannya kepadaku.
Akhirnya, di sinilah aku. Sendirian di antara rak-rak buku, lengkap dengan tumpukan kertas yang dijilid itu. Tempat di mana bau paling menyenangkan bisa dihirup. Tempat yang tak pernah membuatku bosan atau lelah, meski hanya duduk di salah satu kursi yang tak mampu mendengar rambatan suara yang aku nyanyikan diam-diam. Tempat yang sejak usiaku sepuluh, menjadi ruang paling akrab di hari-hariku.
Sejak hari di mana aku bercakap dengan orang asing di depan toko alat tulis delapan tahun lalu, aku jadi sering mengunjungi perpustakaan. Sekadar untuk menemani laki-laki yang irit senyum itu.
Memperhatikannya menggoreskan tinta-tinta produksi pabrik ke atas kertas yang ia bawa. Membaca novel sembari menunggunya selesai menghitung sederet soal dengan formula yang tidak aku mengerti apa maksudnya. Atau mendengarnya yang fasih menceritakan The Ugly Duckling dalam bahasa Inggris. Di suatu sudut, yang tidak terjangkau telinga penjaga perpustakaan.
Dari sana, perpustakaan menjadi tempat yang tak bisa aku abaikan begitu saja.
Ya Tuhan. Lagi-lagi aku membawa Mas Faris dalam angan-anganku. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak sekadar menunggu rasa ini raib. Aku harus berkeras menghilangkannya. Harus.
Aku menghormati Ibun, juga Mbak Nindy. Rasanya seperti mengkhianati mereka jika aku terus-terusan menyimpan rasa kepada seseorang yang sudah jelas siapa pemiliknya.
Melalui makan malam di rumah Ibun beberapa waktu lalu, aku jadi berpikir ulang. Jika aku di posisi Mbak Nindy, aku tidak akan suka jika suamiku dipandang dengan perasaan cinta oleh wanita lain. Meski aku tidak bisa menyalahkan atau mengendalikan perasaan wanita itu.
Toh, tidak ada untungnya aku berdiam diri, menunggu rasa itu terkonversi menjadi rasa lain yang lebih wajar. Aku hanya akan merasakan euforia, yang kemudian justru menjadi bumerang. Tidak baik memelihara perasaan yang sudah menjadi toxic seperti ini. Aku harus berusaha untuk tidak membodohi diri sendiri dan memanjakan hati dengan kesemuan yang tak pernah menjelma hakiki. Sedikit-banyak, ini demi kebaikanku juga.
"Masih lama?"
"Astagfirullah." Aku refleks memekik saat Aksa tiba-tiba menarik kursi di sebelah. Suara yang datang tanpa aba-aba itu membuatku kaget dan otomatis tertarik dari lamunan.
Pria itu terkekeh, sementara aku masih sibuk memegangi dada. Kupelototkan mata kesal, yang ditanggapinya dengan berusaha menahan kekehan.
"Sorry, sorry. Assalamualaikum," katanya kemudian. Lirih, lebih tepatnya berbisik, dengan senyuman yang disematkan.
Aku tidak memalingkan wajah, tetapi membalas tatapannya yang dijatuhkan kepadaku.
Wajah pria itu tampak kusam khas cumbuan matahari. Baju yang melekat di tubuhnya juga terlihat lebih berantakan dibanding terakhir kali aku mengejanya dengan sudut mata. Namun, dengan penampilan seberantakan ini, kulit sawo matang itu tetap menarik. Rambut yang sudah semakin panjang membingkai wajahnya, membuat kesan maskulin menguar kuat sekali. Satu-dua yang jatuh di kening mengundang ruas jari untuk menyugar.
Seketika, aku mengerjap kala senyum Aksa semakin melebar. Aku memejamkan mata erat, lalu melengos menghindar dari matanya saat sadar sudah mengulangi kesalahan yang sama hari ini.
"Mulai sadar sesuatu?" Kembali terdengar suara dari sebelah yang kuyakin disertai seringaian dari pemiliknya.
Namun, dibanding menanggapi kalimat itu, aku justru mengangkat tangan lalu menutupi wajah. Malu, sungguh! Lagi pula kenapa aku memperhatikannya seperti itu coba?
"Santai, Anggia. Lo mau gue pura-pura lupa? Oke. Atau pura-pura nggak sadar kalau lo lihatin gue melulu? Nggak masalah. Jadi, gimana? Mau dilanjutin, nih, lihat-lihatannya?"
"Stop!"seruku tertahan. "Diem, nggak?" Aku menoleh ke arahnya, memasang wajah galak yang entah berhasil atau tidak.
Rasa frustrasi menggempur ekspresiku, hingga keberanian untuk membayangkannya surut bak air laut yang mengalami pasang perbani. Sementara pria itu mengangkat kedua tangan dan membuat gerakan mengunci mulut.
Benar saja, setelah itu keheningan merambat di antara kami. Dari sudut mata, kulihat Aksa sudah berkutat dengan buku dan laptop. Entah apa yang dia lakukan. Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama lagi.
"Tadi ketemu Bang Faris."
Aku mengernyit. Setelah puluhan menit saling diam, kupikir dia tidak berbicara kepadaku. Namun, karena penasaran, aku menoleh. Kesibukan Aksa masih sama, yaitu menekuri buku dan menggoreskan pensil ke atasnya.
"Siapa?" tanyaku membuat atensinya berpindah.
Aksa meletakkan pensilnya, lalu menghadapkan badan-bukan hanya wajah-ke arahku sambil bersidekap. Apa? Begitulah makna tatapan yang kulayangkan.
"Jadi gimana rasanya punya kakak laki-laki ketemu gede kayak dia?" Aksa menelengkan kepala. "Bentar." Dia menarik diri dari hadapanku. Kembali menegakkan badan dengan dahi berkerut dan mata yang menyipit, seperti sedang menerawang suatu hal. Sementara aku masih mempertahakan ekspresi bingung karena tak kunjung ke mana dialog ini mengarah. "Lebih tepat gue tanya gini, gimana perasaan laki-laki yang deket sama lo, ya?"
"Maksudnya?"
"Dia protektif banget. Matanya itu, loh. Niat banget mau bunuh gue."
Seketika otakku berputar, mengingat pernahkah mengenal Mas Faris yang seperti itu. Rasanya selama ini tidak. Atau sekarang memang benar begitu? Apa itu karena kini dia tidak bisa membersamaiku lagi? Jadi, dia ingin membentengiku dari laki-laki karena dia seorang kakak untukku? Iya. Pasti begitu. Bukankah kakak laki-laki tidak ingin adiknya didekati oleh sembarang pria?
Aku memilih untuk menunduk. Bagaimanapun, Aksa bisa jadi mendengar percakapanku dengan Rere di pernikahan Mas Faris dulu. Jika salah ucap, aku bisa terlihat menyedihkan di depannya.
"Lo nggak masalah dia kayak gitu?"
"Kenapa harus masalah?" Melipat dahi, kembali kudongakkan kepala. "Itu perasaan kamu aja. Mas Faris nggak pernah bersikap kayak gitu, kok. Mungkin kamunya aja yang nyebelin, tengil, suka ngajak ribut. Pantes, kok, kalau Mas Faris kesannya mau makan kamu hidup-hidup. Berarti dia normal. Sama kayak aku."
Eh, kok aku jadi ngegas, sih?
"Lo ada dendam apa, sih, sama gue?" Kini, ekspresi seperti meneliti tergambar di wajah Aksa.
"Aku yang harusnya ngajuin pertanyaan itu."
Kekehan pria menyebalkan itu lolos ketika dia melihat kekesalanku, membuatku melengos dan membiarkannya berhadapan dengan bagian kanan tubuhku. Lagi-lagi dia memiliki celah untuk mengolok-olok. Sialan. Aduh, Rere pasti akan mengomel berjam-jam jika dia tahu bahwa aku keseringan mengumpat, meski hanya di dalam hati.
"Gue nggak tahu serumit apa hubungan kalian." Aku menajamkan telinga. "Tapi rasanya ...."
Meski mataku tidak terpaut pada raganya, tetapi telingaku terbuka lebar. Penasaran dengan asumsi yang ada di kepalanya.
Namun, karena waktu terus kami lewati dan tak kunjung kudapat lanjutan kalimatnya, aku menyergah. "Jangan setengah-setengah!"
"Lo dari tadi dengerin?" Smirk menyebalkan. Membuatku menyesal sudah memutuskan untuk membuka suara.
Kurotasikan bola mata, membuatnya sekali lagi mengangkat tangan tanda menyerah. "Oke, oke. Gue benci bilang ini. Tapi ya udahlah, ya. Nothing will change between you and him."
Berubah apa?
"Gue laki-laki. Dan meski nggak bisa menyamaratakan perilaku orang lain atas dasar kesamaan gender, tapi gue cukup yakin dengan asumsi ini. Bahwa dia ...."
Kenapa Aksa berbicara setengah-setengah begini, sih? Aku 'kan tidak sabar menunggu kelanjutannya. Geram sendiri jadinya.
"Lo masa nggak sadar?"
Apa, sih, ini orang?
"Anggi!" Dia terlihat gemas.
"Apa?" jawabku mencoba tak peduli. Sedikit memberikan atensi dengan raut sebal yang kubuat-buat. Padahal sebenarnya sangat penasaran dengan isi kepalanya.
"Lupain," geramnya sambil mengalihkan tatap dari mataku.
Mencoba tidak peduli, kupusatkan fokus pada deretan huruf dan angka yang harus kumengerti. Bersikap seolah perkataannya tadi tidak menarik perhatianku sama sekali. Meski rasanya aku ingin berteriak di telinganya keras-keras.
Baiklah. Memang begini yang lebih benar. Aku sudah berjanji untuk membentengi diri dari segala hal yang berkaitan dengan Mas Faris dan perasaanku. Aku tidak seharusnya berhasrat untuk menuntaskan ego tentang asumsiku. Ini tidak benar, jika aku berharap bahwa orang lain memiliki kesimpulan serupa tentang perasaan pria itu kepadaku.
Iya. Dari tadi aku mencoba menebak ke mana arah perkataan Aksa dan aku sudah memegang satu kemungkinan. Bahwa Aksa memiliki kesimpulan yang sama denganku, yang tidak boleh lagi bersemayam di bilik otak ini.
"Vy, ya ampun! Kamu nitipin HP di kantong Doraemon terus kecampur sama barang-barang aneh lain apa gimana, sih? Aku teleponin kamu ratusan kali."
Tubuh yang semula menunduk, kini kutegakkan ketika kursi di depanku ditarik dengan tergesa. Dalam sekejap, Rere sudah mendudukkan diri di sana.
"Ish. Ini di perpustakaan, Re. Jadi ...."
"Razy mana?"
Aku memutar bola mata. Dia memang tahu kalau aku ke perpustakaan bersama Razy, tetapi melalui chat sudah kukatakan bahwa pria itu pergi lebih dulu.
"Budayakan literasi, Re. Baca chat makanya."
Sambil menyahut, mulai kukemasi buku yang ada di meja. Rere sudah ada di sini. Itu artinya, aku bisa pulang sekarang. Karena selain menyelesaikan beberapa judul, alasanku masih betah di sini setelah Mbak Vio pergi adalah untuk menunggu kedatangan sahabatku ini.
"Loh, Aksa?" katanya, sekaligus keluar dari percakapan kami.
Aku mendengkus, tidak mau memikirkan apa yang selanjutnya terjadi.
"Hai, Re."
"Hai. Masih di sini?"
Masih? Apa maksudnya?
Alat tulis tidak lagi menarik minat, kala satu kata itu menyembul di antara percakapan mereka. Tidak sekali pun kukatakan pada Rere bahwa Aksa di sini. Sementara kata "masih" secara tidak langsung menandakan bahwa dia tahu pria itu bersamaku sebelumnya
"Thanks to you."
Sebentar. Apa maksudnya dia berterima kasih kepada Rere?
Wait. Percakapan macam apa ini? Bola lampu di kepalaku memijar dengan amat terang. Ide tentang mengapa Aksa tiba-tiba berada di kelasku perlahan terlihat jelas.
Pandanganku terbagi kepada Rere dan Aksa, sementara keduanya menatapku dengan sedikit canggung dan ringisan yang seperti saling mengimitasi. Sial. Jadi ini murni kesengajaan?
Siapa yang pernah dicomblangin? Apa malah sering jadi makcomblang? HEHE
[First Publish] June 16, 2020.
[Revisi] January 4th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro