Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

a nano nano day

"Vy, aku harus banget interogasi kamu, ya!"

Aku bingung mendengar kalimat ancaman yang keluar dari mulut Rere sesaat setelah ia menyerahkan kendali motor kepadaku. Kami sudah berada di halaman rumahnya, setelah mengemudi lebih dari tiga puluh menit. Mas Faris juga ikut. Kini, dia duduk di motornya yang diparkir di depanku.

"Apa, sih?" Aku betulan clueless dengan maksud bocah ini.

"Nggak usah pura-pura, ya, Vy. Aku udah nahan-nahan dari tadi. Demi kelangsungan tebengan, aku rela nahan rasa penasaran ini. Kalau sampai bisulan-"

"Wait. Jadi kamu bermanis madu di depanku karena ini? Ya Allah, capek aku temenan sama kamu."

Rere nyengir menanggapi serobotanku. Pantas saja dia tidak banyak mengusik seharian ini. Ternyata ada maunya. Namun, wajah mencengir kudanya itu tidak berlangsung lama. Dia kembali melotot, saat seharusnya aku yang lebih berhak berlaku demikian.

"Nggak usah ngalihin pembicaraan dulu, deh, Vy!"

Aku hanya bisa mengernyit, tidak mengerti.

"Jadi, di belakangku, kamu sama Aksa sejauh apa?"

Sejauh apa bagaimana? Jauh jarak rumahnya? Mana aku tahu rumah dia di mana. Satu yang sedikit kutahu hanya jarak usia kami. Jika dia angkatan 2017 dan aku angkatan 2019, maka kurang lebih kami terpisah dua tahun usia.

"Tuh 'kan, kayak Nobita!" sentaknya saat aku tak kunjung menjawab.

"Kok jadi Nobita?"

"Ya lagian loading banget."

"Ih mulut!"

Aku tidak tahu, di kehidupan sebelumnya, aku memiliki dosa sebanyak apa. Entah hanya sebatas gunung Everest, atau meluber setara dengan seluruh luas pegunungan Himalaya, hingga aku bisa memiliki teman seperti Rere.

"Aku tahu, Vy, kalau kamu dianterin sama Aksa selesai kumpul UKMP waktu itu. Dan malamnya kamu pura-pura nggak pernah dengar nama Aksa pas aku heboh cerita ke kamu."

Jadi ini yang membuat dia bertanya sejauh apa tadi? Kalau yang dimaksud Rere adalah sejauh apa hubungan kami, bukankah terlalu dangkal untuk menyimpulkan progres hubungan hanya karena sekali diantar pulang?

"Ya ampun. Apa hubungannya sama 'sejauh apa' yang kamu tanyain tadi, coba?" Aku memutar bola mata kesal. Tidak habis pikir dengannya.

"Eh, jelas ada, lah! Mana ada orang baru kenal udah nganterin sampai rumah gitu?" Aduh, aku jadi tidak mau dengar kelanjutan ocehan Rere. Mulutnya tidak bisa dikontrol oleh akal sehat kalau sudah emosi begini. "Jadi, orang yang kamu bilang udah bantuin kamu itu dia? Aksa? Jadi dia yang berhasil bikin kamu kabur ... aduuuh! Vy!"

Dari tadi, aku sudah memberi kode agar Rere berhenti berbicara. Namun, dia sama sekali tidak menghiraukan pelototanku yang lebih lebar dari tokoh Valak dalam serial The Conjuring 2. Aku semakin ketar-ketir saat perkataannya semakin tidak terkontrol. Itu sebabnya aku mencubit lengannya keras, meski dengan susah payah karena dia berdiri cukup jauh dari motorku. Mungkin dia sudah mengantisipasi penganiayaan fisik yang sudah pasti akan aku lakukan.

Rere baru ikut melotot saat aku melirik Mas Faris dengan wajah geram. Ia membungkam mulutnya hiperbolis, membuatku ingin menendangnya hingga raib seperti dalam serial kartun yang aku tonton saat kecil.

"Oh, lupain, Vy. Ternyata itu cuplikan novel yang aku baca semalam. Duh, baper banget, sampe kebawa ke dunia nyata."

Cerdas sekali. Rere memang murid paling teladan dari Maha Guru Nobita.

Aku memasang wajah memelas, meminta dia untuk membebaskanku dari Mas Faris bagaimana pun caranya. Namun, dengan kurang ajar, dia justru melenggang mendekati pagar rumah, dengan lambaian tangan yang membuatku benar-benar ingin mematahkan lengan itu.

"Hati-hati, Vy. Tadi lupain aja. Itu bukan kamu ternyata. Hehe. Makasih juga, Mas Faris, udah mau nganterin. Titip Ivy." Rere berkata tanpa jeda, dengan senyum yang terlihat jelas dipaksakan.

Aku melirik Mas Faris. Canggung, malu, dan berbagai rasa tak mengenakkan lain bergumul dalam dadaku.

"Pulang sekarang?"

Aku mengangguk. Oke, aku harus tenang. Tak ada kusut yang tak usai, tak ada gading yang tak retak, tak ada pendekar yang tak bulus, badai pasti berlalu. Oke. Tidak nyambung sama sekali.

***

Perjalanan yang tidak pernah kuharapkan akan berakhir ini ternyata harus usai juga. Sepanjang jalan aku memikirkan tentang apa yang akan aku katakana kepada Mas Faris. Apa saat dia berpamitan pergi, aku hanya harus berkata "hati-hati di jalan, Mas," saja? Apa kalimat seperti itu cukup benar setelah Mas Faris mendengar perkataan Rere tadi?

Sekarang aku berpikir, apakah aku masih bisa memasang muka badak seolah tidak ada yang terjadi dalam periode lima belas menit ke belakang?

"Aku langsung, ya, Vy. Salam buat Tante."

Aku menghela napas lega saat Mas Faris lebih dulu memecah keheningan.

Aku mengiyakan, menjawab salam yang dia ucapkan, kemudian berbalik untuk masuk ke rumah ketika Mas Faris sudah menyalakan mesin motornya.

"Vy."

Kakiku sontak terpaku di atas tanah. Ternyata, ini belum selesai?

"Iya, Mas?" tanyaku sambil menoleh ke arah Mas Faris senormal mungkin. Walaupun rasa malu dan tidak enak hati betah bergulung manja di dalam sana.

"Udah lama kenal Aksa?"

Duh, Gusti. Mau jawab apa aku? Belum lama? Mana mungkin aku langsung membuat janji dengan dia jika keadaannya seperti itu? Apalagi Aksa seorang laki-laki. Mas Faris paham betul, kalau aku tidak akan sebegitu mudahnya membuat janji untuk pergi bersama laki-laki yang belum lama aku kenal.

Namun, jika aku berkata sudah mengenal Aksa cukup lama, itu hanya akan membuatku tertimbun dalam kebohongan lain yang lebih besar.

"Em ... belum lama, sih, Mas." Ya sudahlah. Jujur saja. Walaupun aku yakin tidak akan bisa jujur dengan sempurna.

"Kita betulan nggak bisa kayak dulu ya, Vy?"

"Eh?"

Aku mendengarnya menghela napas. Mesin motornya sudah kembali ia matikan sejak memanggil namaku tadi.

"Dengar."

I'm listening, Mas Faris, batinku.

"Kita bukan seseorang yang diberi kuasa untuk menyetir semesta. Hanya Tuhan yang bisa. Dan banyak putaran setir yang membuat dunia kita nggak berjalan sesuai arah yang kita mau. Tapi sekali lagi cuma Tuhan yang bisa memutuskan."

Aku mengerjap. Bagaimana ini? Bagaimana jika kepalaku membuat kesimpulan yang tidak semestinya?

"Hidupku saat ini, Tuhan yang memutuskan. Aku harap, antara kita nggak harus ada banyak yang berubah."

Aku melongo untuk mencermati ucapannya. Saat aku masih sibuk dengan gerigi-gerigi di otak yang terus berpuar untuk menemukan titik terang, motor Mas Faris berlalu dari rumahku.

"Wa'alaikumussalaam." Aku menjawab salam Mas Faris lirih. Ditambah deru motor yang ia naiki, sudah pasti Mas Faris tidak akan mendengarnya.

Jika tidak salah mengartikan, jika kedua frasa itu digabung, kurang lebih maknanya; Mas Faris hanya mengikuti roda kemudi Tuhan, dan dia akan memilih arah lain jika memang bisa. Sayangnya tidak. Dia tidak bisa.

Benar seperti itu tidak, sih? Lalu artinya, kehidupan Mas Faris saat ini bukan sesuatu yang ia rancang? Kalau begitu, kehidupan yang mana? Pernikahannya dengan Mbak Nindy?

Tuhan, aku tahu ini salah. Namun, entah kenapa, aku bahagia dengan asumsiku itu.

***

Wardhana Tekkim

Paham.

Kalau mau chat dibalas, harus kasih pinjem jaket.

Kalau mau lo chat duluan, harus ada kepentingan.

Aku membaca pesan balasan dari Aksa dengan kesal. Alih-alih menjawab pertanyaanku sebagai event organizer dan dia sebagai guest star-nya, dia malah membawa topik pribadi. Tidak salah memang. Namun, apa dia tidak berpikir kalau jawabannya itu akan membuat kepentingan profesional kami jadi canggung? Oke. Dia tidak akan merasa canggung. Dari dua interaksi kami, sepertinya Aksa cukup ngeyel. Kecil kemungkinan dia merasa tidak enak setelah melontarkan kalimat sarkastik itu.

Aku menghirup oksigen banyak-banyak. Mencoba tidak menghiraukan tanggapannya.

Wardhana Tekkim

:)

Pura-pura bodoh sepertinya akan lebih aman.

Wardhana Tekkim

Jadi bagaimana, Mas? Mas Wardhana ada waktu untuk hari apa, ya?

Aksa

Ya Tuhan, memang urgensi nama panggilan itu sebesar apa, sih? Waktu itu meributkan sapaan mas, sekarang meributkan nama belakangnya. Hal baru bagiku untuk mengetahui ada laki-laki yang seribet ini.

Sebelumnya, aku sudah memperoleh informasi singkat dari Mas Dandi tentang Aksa Wardhana. Iya. Itu nama panjangnya. Dia adalah mahasiswa Teknik Kimia semester empat. Aku menebak, dia mengikuti program tertentu sehingga harus mengambil cuti. Karena meski di sekretariat UKMP dia mengaku angkatan 2017, tetapi dia masih meniti semester empat. Atau mungkin ada alasan lain yang tidak tergapai asumsiku. Entahlah. Bukan urusanku juga.

Wardhana Tekkim

Iya, maaf. Jadi bagaimana, Mas?

Aku mengetik pesan itu dengan perasaan dongkol yang susah payah kutahan. Aku tidak mengerti mengapa sebegitu sensitifnya dengan Aksa. Mungkin karena sikap nyolot atau bahkan keinisiatifannya-walaupun aku sempat sangat bersyukur dengan sifatnya yang satu ini. Satu yang pasti, jika sudah berurusan dengan Aksa, aku selalu berharap bisa kabur ke belahan dunia mana pun di mana tidak ada dia di sana.

Wardhana Tekkim

Nggak salah sambung, kok.

Ini bukan ketua panitia atau ketua hima yang kamu butuhin tanda tangan pengesahannya.

Aku hanya berbicara formal untuk tidak menanggalkan kesan sopan, lalu dia langsung menyindirku seperti itu? Aku jadi penasaran, apakah dia memiliki dendam kesumat kepadaku? Menyebalkan.

Aku memilih mengabaikan pesannya. Bodoh amat mau bagaimana. Aku akan kembali menghubunginya mungkin nanti atau besok saja dan berpura-pura bahwa kejadian ini tidak pernah ada.

Namun, belum sempat aku menyimpan hand phone sebelum menuntaskan niatku untuk turun, benda pipih itu kembali bergetar. Rupanya berasal dari pesan yang dikirim oleh Aksa. Aku mengernyit saat dia bertanya apakah aku di rumah atau tidak. Kupikir dia hendak memberitahuku kapan kiranya kita bisa bertemu untuk membahas persiapan talk show, sekaligus 'mengakrabkan' diri sebagai moderator dan speaker. Meski cukup bingung, aku tetap membalasnya.

Iya. Kenapa?

Tidak menunggu detik berlalu, pesan yang aku kirim langsung berstatus read. Saat balasan darinya sampai, aku langsung menggeram kesal dan menyesali keputusanku untuk menyambut pertanyaannya itu. Pasalnya, dia hanya membalas, "Seharus ada alasan itu kalau mau tanya info pribadi?" Sama sekali tidak jelas dan menyebalkan. Kalau tidak ingat masih membutuhkannya, aku pasti tidak akan berpikir dua kali untuk memblokir nomor pria itu.

What a Nano Nano day today! Ramai sekali rasanya. Dari yang kesal, ketar-ketir, awkward, senang, sampai ingin makan otak manusia seperti ini.

Kali ini aku benar-benar melemparkan ponsel ke atas tempat tidur, lalu meninggalkan kamar tanpa menoleh ke atas kasur. Bahkan, sedikit rasa senangku karena asumsi tentang Mas Faris tadi sudah mengabur tak kasat mata.

Aku mengambil jilbab instan dan mengenakannya sebelum meninggalkan kamar.

Saat hendak kembali ke kamar setelah mengambil beberapa camilan dan potongan buah segar, langkahku terhenti di ruang keluarga karena mendengar bel berbunyi.

Hanya ada aku di rumah. Mama sedang menjenguk tetangga kami yang melahirkan, sedang Papa sepertinya sedang berada di kamar mandi. Namun, aku yakin seratus persen kalau bukan Mama yang membunyikan bel tersebut. Sebab Mama hanya perlu mengucap salam dan beranjak masuk, tak perlu menunggu dibukakan pintu.

Aku beranjak menuju pintu depan, masih sambil menerka siapa kiranya yang berada di baliknya.

Setelah membuka pintu, aku menatap Aksa bingung. Dia berdiri di depan pintu dengan wajah yang sedikit kesal. Sebentar. Sepertinya aku tidak menyepakati apa pun di chat tadi yang membuat dia memiliki alasan untuk berada di depanku detik ini juga. Apalagi wajah kesal itu. Rasanya aku bukan pihak yang berhak menerima ekspresi itu.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, ya?"

"Lo punya HP buat apa, sih? Bales chat susah, angkat telepon susah."

Aku melongo tak percaya. Dia berada di sini, di depan rumahku, di depan mataku, untuk mengomeliku seperti ini? Apa-apaan, sih, pria ini?

"Gue mau ambil jaket."

"Kamu ke sini buat ambil jaket?" Padahal dia sendiri yang bilang agar aku mengembalikannya hari Senin, saat kumpul UKMP. Jaketnya yang lain tiba-tiba tidak bisa dipakai semua, ya, sampai berubah pikiran begini?

"Nggak usah kebanyakan mikir. Gue dari Gramedia, terus sekalian lewat rumah temen buat balikin jaketnya yang gue pinjem, dan gue lupa bawa jaket lain buat pulang."

Ya santai saja, dong. Nyolot banget, sih.

"Iya, aku ambilin." Aku hendak kembali memasuki rumah, ketika teringat belum berbasa-basi menyilakan ia masuk atau minimal duduk di kursi teras. "Duduk dulu, Sa. Tunggu bentar."

Aksa mengangguk, tetapi belum beranjak untuk duduk. Aku kembali membalikkan badan sebelum dia memprotes.

"Gi."

"Ya?"

"Ambil jaket lo sekalian."

Lagi-lagi aku mengurungkan niat untuk masuk ke rumah. Dia mau pinjam jaketku?

"Apa?" balasku bingung.

"Siapa tahu lo butuh."

"Hah?"

"Ini udah malem."

"Hah?"

"Nggak ada kata lain?" Aku melihat raut sebal yang ia tampilkan. Ekspresi yang mungkin lebih tepat menjadi milikku saat ini, yang kesal dengan kalimat bak parodi putar yang keluar dari mulutnya. "Temenin gue bentar."

Sepertinya, terkejut adalah sentuhan terakhir dari keramaian rasaku hari ini.

Hai! Hope you enjoy, ya. J

[First Publish] June 3rd, 2020.
[

Revisi] January 3rd, 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro