a morning
"Ivy habis zuhur langsung pulang, kok, Mam. Nggak usah dikirim juga nggak apa-apa." Sembari menyibak gorden yang menutup akses mata terhadap dunia luar yang masih remang, aku berbicara dengan Mama melalui sambungan telelpon.
"Ya emang kamu nggak mau baca-baca sampai zuhur nanti? Udah biar Mama kirim pakai jasa ojek aja."
Aku tersenyum. Pasti Mama sedang sibuk menyiapkan sarapan sambil menjepit handphone di salah satu bahunya. Keribetan yang bisa aku baca meski pandanganku tidak transparan hingga dapat mengawasinya.
"Ya udah, terserah Mama, deh," kataku akhirnya.
Dialog kami berakhir dengan kemenangan di tangan Mama.
Saat meninggalkan rumah untuk menginap di rumah Rere, aku memang lupa membawa satu pun buku. Ketika menyadari kecerobohanku, Mama langsung menerorku, tidak peduli meski matahari bahkan belum mengalahkan sinar bintang.
Sementara aku sudah melakukan stretching ringan dan membersihkan diri, si pemilik kamar kembali bergelung di bawah selimut. Sehabis salat tadi, Rere langsung menaiki ranjang dengan alasan masih mengantuk. Sedang aku tak pernah bisa tertidur kembali setelah menyentuh air.
Kini saatnya aku turun, siapa tahu Tante Indah sedang berada dalam kerepotan dan aku bisa mengulurkan bantuan.
Aku baru melihat sosok Tante Indah yang sedang berkutat dengan kabinet dapur ketika suara motor tertangkap pendengaran. Sudah sampai, ya? Cepat sekali.
Langkahku bergerak menuju tempat berdirinya Tante Indah sebelum menuju ke luar rumah. "Tante, Ivy mau ambil kiriman Mama, nih. Pintu depan masih dikunci, ya?" tanyaku ketika sudah sampai di samping Mamanya Rere ini.
"Ohh. Di gantungan kunci samping cermin, Vy. Kuncinya yang ada gantungan Stitch-nya, udah jadi satu sama kunci gerbang," jawabnya sambil menghentikan gerakannya yang sedang menghaluskan ... tempe? Iya, sepertinya itu tempe. Terserahlah. Bukan tugasku untuk menebak dengan benar juga.
"Oke, Tan, makasih."
Aku mengambil kunci yang dimaksud Tante Indah, membuka pintu rumah dan keluar menuju pembatas terakhirku dengan jalanan di depan.
Ketika gerbang besi sudah berhasil aku geser, terkejut adalah reaksi pertama yang menghampiriku. Yang ada di depanku bukanlah kurir, tetapi seseorang yang tidak seharusnya berada di sana sepagi ini. Ia sudah membuka helm di kepala sehingga aku bisa menangkap jelas senyum tipis yang tersungging di wajahnya.
"Assalamu'alaikum," ucapnya mengawali dialog, sekaligus menyadarkanku dari keterkejutan.
"Eh, hai ... em ... maksudku, wa'alaikumussalam." Aku menggigit bibir bawah, menutupi canggung yang pasti bisa disadari oleh Mas Faris dengan mudah.
Benar saja. Dia terkekeh ringan, seolah membenarkan pikiranku. "Lagi nunggu orang?"
Mungkin dia bertanya seperti itu karena aku langsung muncul di hadapannya, padahal dia belum mengabariku kalau dia berada di sini.
"Iya."
Hanya iya? Ah, seluruh kosakata di kepalaku sepertinya menguap, sehingga suara yang ingin aku keluarkan bahkan bingung mau membentuk kata yang seperti apa.
Sebenarnya, mendapati Mas Faris berada di depan rumahku saat sinar tipis matahari belum menyapu bersih langit kelabu, bukanlah sebuah hal baru. Sekadar lari pagi, sarapan bubur di warung tenda di sekitar taman kompleks, atau berjalan santai sebelum menghadapi rutinitas formal, biasa kami lakukan bersama. Melihat sosoknya di depan rumah teman di mana aku sedang menginap, juga bukan hal yang amat langka. Tentunya setelah aku memberi tahu. Namun, sekarang kami tidak berdiri di depan rumahku dan aku tidak memberi tahu Mas Faris bahwa aku menginap di rumah Rere. Jadi, sebelum memusingkan alasan, hal yang ingin aku ketahui adalah ... kenapa dia bisa tahu aku ada di sini?
Sebentar. Dia tahu dari live Instagram semalam? Aku segera menyesali, mengapa Rere merekamku saat masih menyanyikan lagu kesukaan pria itu. Did it look like I remembered him?
"Kamu bawa motor?" Masih dalam kecanggungan, aku mengangguk menanggapi pertanyaan Mas Faris. "Kamu ambil motor, deh. Aku tunggu."
"Eh?" Maksudku, mau apa memangnya?
"Oh. Kamu masih mau nunggu orang, ya?" responsnya lagi, karena aku hanya mengernyit.
"Iya, itu juga, sih."
"Oh. Ya udah, lain kali aja." Mas Faris mengangkat helm yang ada di setang kiri motornya.
Menyadari kalau Mas Faris berniat pergi, aku berkata spontan untuk menghentikan gerakannya. "Eh. Itu ... em ... aku cuma nunggu ojek yang nganter barang kiriman Mama, kok, Mas."
Hah? Terus? Untuk apa juga aku menjelaskannya kalau memang tidak ingin menyambut ajakan Mas Faris? Harusnya sudah benar kalau dia ingin pergi, 'kan?
"Oh," katanya setelah mengurungkan niat untuk menenggerkan helm di kepala. Senyum di wajahnya tidak juga surut. "Kita tunggu ojeknya dulu, baru pergi. Oke?"
Harusnya aku menyuruhnya pergi saja, 'kan? Aku bisa menyusun alasan bahwa aku sudah punya rencana ke car free day bersama Rere, harus menekuri buku-buku seharian, atau alasan lain yang bisa kugunakan untuk menyambut ajakannya dengan kata tidak. Namun, Teman-teman, aku justru mengangguk patuh tanpa perlawanan.
"Kita ... mau ke mana emangnya, Mas?" Kepalang tanggung. Aku sudah mengiyakan, rasanya dia tidak akan langsung percaya kalau aku berbalik menolak ajakannya dengan alasan yang kubuat-buat. Atau karena aku memang menginginkan kebersamaan dengannya?
"Nanti juga tahu," jawabnya santai sambil mengulas senyum.
***
Aku langsung menghampiri tempat yang beratapkan tanaman ivy, setelah tertegun menyadari di mana kami berada kini. Tanaman yang merambat di atap berupa para-para bambu itu terlihat lebih rimbun dibanding terakhir kali aku meraupnya dalam ingatan. Batang kecilnya membelit bambu besar yang menopang atap, juga ada yang menggantung bebas meski tidak terlalu panjang.
Mas Faris berdiri di sebelahku dengan kedua tangan penuh bawaan. Aku bahkan baru sadar kalau dia membawa plastik saat menjemputku dan selama perjalanan tadi.
"Lupa, nggak?" tanyanya sambil tersenyum.
"Ya, nggak bakal lupalah," jawabku masih sambil berdiri di luar naungan teduh ivy. "Mas Faris beli bibit?" tanyaku menghadap penuh ke arahnya. Mataku melirik ke sebelah tangannya.
"Iya. Waktu itu aku minta tolong Pak Sarif buat rawatin tanaman ini. Karena aku tahu kamu bakal sibuk di kampus, dan aku juga sibuk ngurus distro dan kontrak magang lanjutan. Sayangnya, aku telat. Beberapa anggrek udah pada layu. Jadi, beli lagi." Mas Faris mengakhiri penjelasannya seraya mengangkat plastik bawaannya.
Aku termenung. Tempat ini menjadi salah satu hal yang kuhindari untuk mengaburkan ingatan tentang pria ini. Kini, bohong jika aku merasa baik-baik saja.
Tanpa tahu kesesakan yang bergejolak di dadaku, Mas Faris mulai fokus membuat media tanam dari sabut kelapa, arang, dan juga pot tanah liat untuk lima anggrek baru yang dibawanya. Aku menyusul dan melakukan hal serupa.
Dulu, petak kecil yang berada di samping bangunan SMA ini hanyalah taman kecil dengan tanaman yang kering kerontang. Namun, kami menyulapnya menjadi tempat hijau dengan beberapa kursi yang berasal dari ember cat besar. Pohon-pohon besar yang ditanam di sisi jalanan yang lengang membuat tempat ini semakin teduh, juga hening karena di seberang sana hanya ada lahan kosong dengan rumput liar yang tinggi.
Mas Faris menyulapnya demikian saat aku masih SMP dan dia duduk di bangku SMA. Sengaja, agar aku yang selalu menunggunya untuk pulang bersama memiliki tempat untuk menghabiskan waktu sampai jam sekolahnya usai.
Banyak hal yang kami lakukan di sini. Mulai dari berbincang hingga mengerjakan tugas bersama. Sebenarnya aku bingung, apa maksudnya mengajakku tiba-tiba ke sini. Tidak tahukah bahwa tempat ini bisa membuatku tenggelam dalam kenangan?
Kami sudah selesai dengan media tanam dan si anggrek. Kini Mas Faris sedang menggantungkannya di pinggiran langit-langit para-para, sementara aku berpindah pada batang mawar yang sudah menjulur tidak keruan. Aku berniat untuk memotongnya agar tidak terlalu berantakan.
"Aduh!"
Aku mengaduh karena rasa perih yang seketika menjalar di telapak tangan. Tidak tahu bagaimana kronologinya, duri dari batang yang kupotong menggores kulitku cukup panjang. Hingga ada darah yang merembes dari baret yang tercipta.
"Kenapa, Vy?" tanya Mas Faris panik.
"Ke ... na duri."
Mas Faris sudah berjongkok di sampingku yang menutup mata rapat, enggan menyaksikan cairan merah di tanganku, meski hanya sedikit. Aku merasa tanganku sedikit gemetar, juga napas yang susah dikendalikan. Sekelebat peristiwa menghampiriku, menyedot seluruh oksigen yang ada di sekitar hingga sesak menyerang begitu saja.
Sementara itu, dengan mata terpejam, aku merasa ada tangan yang mencekal pergelanganku yang terbalut kaus. Tangan itu lalu membalikkan telapakku agar menghadap ke tanah.
"Jangan dilihat," bisik Mas Faris padaku. "Buka matanya. Nggak apa-apa," lanjutnya lagi.
Aku menuruti titahnya dengan patuh. Di hadapanku tidak ada lagi pemandangan luka yang membuatku tidak ingin membuka mata.
"Tunggu bentar."
Aku menoleh ke arah Mas Faris yang menyunggingkan senyum menenangkan, sebelum ia beranjak dari sisiku. Tidak lama, dia kembali dengan selembar daun yodium di tangannya.
"Tutup mata."
Seperti sihir dalam cerita fiksi yang dapat mengendalikan laku seseorang, perkataan Mas Faris bekerja demikian kepadaku. Membuatku dengan senang hati menjemput gelap ketika kedua kelopak tertutup rapat. Cekalan lembut tangannya di pergelanganku seperti menegaskan bahwa di tengah gelap, ia menuntunku untuk mengenyahkan sesak, hingga kini napasku berangsur kembali beraturan. Cemas dan gemetar perlahan menyingkir, digantikan sedikit perih ketika lukaku bersentuhan dengan getah daun yodium.
"Udah," kata Mas Faris sambil kembali membalikkan tanganku, agar tidak ada pemandangan luka yang bisa aku lihat.
"Sakit banget?"
Aku menggeleng, karena perihnya memang tidak seberapa.
"Jangan nangis."
Aku langsung menyentuh lingkar mata dengan tangan kanan yang bebas dari perih dan baret. Benar saja, tanpa sadar ternyata air mataku mengalir. Aku cepat-cepat menghapus jejak basahnya.
"Enggak, kok," sangkalku tanpa menatapnya.
"Terus itu air matanya siapa?"
"Ish."
Dia terkekeh pelan. "Iya, iya."
"Sorry, aku pegang tangan kamu," kata Mas Faris Lirih.
Saking gemetar dan takutnya, aku sampai tidak memikirkan hal tersebut. Namun, seingatku, Mas Faris tidak secara langsung menyentuh kulitku. Dia memegang bagian tanganku yang terbalut kaus. Saat meneteskan getah pun, aku tidak merasakan sentuhan kulitnya. Aku tahu Mas Faris juga berusaha agar dia tidak menyentuh kulitku.
"Nggak apa," jawabku.
Ada jeda di antara kami sebelum akhirnya Mas Faris berdiri hingga membuatku mendongak mengikuti gerakannya.
"Mas Faris, makasih."
Dia kembali berjongkok saat mendengar suaraku. Alih-alih menjawab, dia justru tersenyum dan membawaku pada topik pembicaraan lain.
"Mau sarapan bubur, nggak?"
***
"Kamu tahu kenapa dulu aku nanam pohon yodium?"
"Kenapa?"
"Karena aku nggak sama kamu kalau kamu sekolah."
"Terus?"
"Aku nggak bisa langsung lari cari antibiotik kalau kamu luka, Vy."
"Tapi aku tetep belum berani netesin getahnya sendiri, kalau lukanya berdarah, Mas."
"Iya, itu yang lupa aku pikirin."
"Maksudnya?"
"Satu yang masih jadi bebanku, Vy. Aku nggak bisa memastikan semuanya baik-baik aja, karena aku yang justru nggak baik-baik aja kalau maksa buat turun langsung. Dan ... aku juga nggak mau orang lain yang melakukannya. Egois, 'kan?"
Dialog di bawah tenda bubur dengan Mas Faris tadi, masih terputar di kepala. Suaranya terdengar dekat juga jauh sekaligus. Dekat karena ingatanku tentangnya belum memudar sama sekali, juga jauh karena aku tak sepenuhnya paham apa maksudnya.
Oke. Sebenarnya kalau disambungkan dengan kalimat-kalimat sebelumnya, aku sedikit-banyak mengerti. Namun, kali ini, otak penuh kesimpulanku kupaksa untuk diam, karena kesimpulan yang aku sepakati dengan diriku sendiri hanya akan mengundang hal yang tidak kuinginkan. Tak ada baiknya jika kesimpulan itu benar ataupun salah. Tidak ada fifty-fifty kelegaan, karena yang aku dapat pasti berbonus kesesakan.
Mas Faris tidak bisa lagi ada untukku, tetapi dia ingin. Mas Faris tidak bisa lagi ada untukku, tetapi tidak ingin orang lain menggantikannya. Apa ini? Aku takut dengan kalkulasiku sendiri.
Setelah selesai dengan Mas Faris, aku kembali ke rumah Rere untuk mengambil tas dan kiriman Mama, lalu segera beranjak pulang. Kini, aku menyeka wajah yang pias terkena tamparan angin karena kaca helm tidak kuturunkan. Basah. Tanpa sadar, ternyata air mataku meleleh. Huh. Cengeng. Aku bahkan menangis hanya karena pikiranku sendiri.
Aku menarik napas dalam. Setelah menarik diri dari pikiran dan asumsiku, rasa sesak langsung menghimpit tanpa ampun. Membuatku harus menggigit bibir untuk menghalau tetes lain yang sudah siap tumpah. Tidak. Aku tidak boleh kalah dengan perasaanku sendiri. Ia tidak boleh mengendalikanku terlalu jauh.
"Gi."
Sebuah suara membuatku menoleh tepat setelah aku sampai di depan pagar rumah. Aku langsung menurunkan kaca helmku ketika menyadari bahwa Aksa berdiri di samping motornya. Ah, aku bahkan tidak menyadari ada seseorang di depan pagar rumahku.
"Ngapain lo nurunin kaca helm lagi?"
"Wa'alaikumussalam." Aku berharap suaraku tidak terdengar sengau.
"Gue udah salam, ya. Nggak usah sok nyindir gitu."
Masa, sih? Aku tidak mendengarnya, kok.
"Kamu pulang, deh, Sa. Aku lagi males ribut," serobotku langsung, dengan nada malas yang memang kusadari.
"Yang mindset-nya ketemu-ribut ketemu-ribut itu lo, Gi, bukan gue," jawabnya dengan sebelah tangan bertumpu pada pagar rumahku yang tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Sementara aku berdiri menghadapnya tanpa minat, dengan helm yang masih bertengger manis di kepala.
"Iya."
"Itu helm nggak mau dilepas? Mau jadi super woman baru?"
Ya Tuhan. Aku betulan ingin cepat-cepat masuk sekarang ini.
"Iya."
"Kamus bahasa lo rusak? Mau gue beliin? Habis itu lo hafalin biar kosakata lo nggak iya iya doang."
"Aku masuk," kataku sambil membuka pintu pagar. Mencoba untuk tidak menanggapi satu pun omongannya.
"Gi!" Dia memanggilku dengan sedikit keras. Mungkin karena aku sama sekali tidak menanggapinya.
"Sa, aku harus banget masuk sekarang," ujarku lelah. Aku menoleh ke arahnya sambil beranjak menaiki motor untuk membawanya melewati pekarangan sebelum sampai di teras rumah.
"Rumah lo nggak bakal digotong semut, kok, kalau pun lo nggak masuk sekarang." Dia justru berkata ngotot.
Sepertinya aku salah jika sempat berpikir kalau dia akan serius mengungkapkan maksudnya berada di sini, di hari yang masih terbilang pagi.
"Aku masuk."
"Kalau gue suka sama lo, gimana?"
Tubuhku membeku di atas motor. Sistem pernapasan yang semula berjalan otomatis, kini nyaris berhenti karena otakku blank seketika. Sebelum akhirnya aku mendapatkan kesadaranku kembali, membuatku langsung membawa motor ke teras rumah, lalu melewati birai pintu tanpa membalikkan badan kembali. Bahkan tidak untuk sekadar menutup pagar yang masih terbuka lebar.
Nothing to say HEHE
[First Publish] July 1st, 2020.
[Revisi] January 4th, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro