TIGA
Keesokan hari dan seterusnya, dua pesawat itu menjadi mainan kesayangan Ganesha. Sebelum tidur ia mainkan. Bangun tidur, pesawat itu yang pertama dicari. Sedang menonton televisi, kedua pesawat diletakkan di sampingnya, diajak ikut menonton. Kadang, diajak makan juga, pura-puranya pesawat ikut meminum susu. Kemudian, saat ditawari Bunda membuat kue, pesawat itu akan berperan sebagai bala bantuan, mengangkut alat dan bahan yang diperlukan.
Semua bisa diangkut kecuali telur. Ganesha pernah membawa dua telur di atas pesawatnya. Eh, malah jatuh. Omelan Bunda langsung memenuhi dapur. Habis itu Ganesha tidak mau bawa telur lagi. Tapi yang lain tentu masih ia angkut dengan pesawat: keju, gula, vanili, pewarna, sendok, whisker, cetakan dan sebagainya.
Termasuk sore ini. Kata Bunda, mereka akan membuat puding cokelat dengan vla vanila. Ganesha mengangkut susu kental manis dan gula dengan pesawat. Bunda menyiapkan adonan. Pesawat Ganesha lalu mengangkut vanili. Bunda menyalakan kompor, memasukan semua bahan ke dalam panci, kemudian mengaduk semuanya. Biasanya Ganesha akan berdiri tidak jauh dari Bunda, mengamati, sesekali bertanya. Tetapi semenjak ada pesawat, perhatiannya teralihkan sepenuhnya. Sambil menunggu Bunda mengaduk, ia menerbangkan pesawat berkeliling meja. Ketika Bunda mengabari akan mengambil cucian di luar karena takut hujan, Ganesha pun tak acuh, sibuk dengan mainannya sendiri.
Ia memanuver pesawatnya melewati tumpukan piring yang baru dicuci. Pesawat berputar, menghindari pancuran air keran yang sengaja Ganesha nyalakan. Di benaknya, pancuran itu merupakan air terjun yang pernah ia lihat di televisi. Lantas, dari air terjun, pesawat menukik tajam melintasi langit-langit. Ganesha berjalan mundur sambil memunculkan suara "Wuuush!"
Tetapi, di tengah jalan, suara itu berubah menjadi erangan keras. Pesawat Ganesha jatuh seketika. Panci ikut terjatuh dengan suara klontang yang nyaring, seluruh isinya yang tengah mendidih tumpah. Cipratannya menodai perabotan Bunda dan kaki Ganesha. Panik, bocah itu memanggil-manggil Bunda. Kaki dan lengannya panas, bukan panas air mandi kalau pagi, tapi panas perih. Pedih. Membuat Ganesha ingin menangis.
"Astaghfirullah! Kamu ngapain, Le?"
Anak itu menoleh. Tangisnya pecah. Bukan Bunda yang menghampirinya. Ayah, dengan kaos loreng-lorengnya, juga panik. Ia berjongkok, mengamati lengan atas Ganesha yang terkena panci.
"Kamu kena di mana lagi?"
"Di kaki. Panas, Yah," jawab Ganesha, terisak-isak.
Ayah langsung memeluk pinggangnya, menggendong anak semata wayangnya. Ganesha didudukkan di wastafel. Kedua kakinya menapaki dasar yang terbuat dari besi. Ayah mengencangkan aliran air yang belum dimatikan, lalu mengarahkannya ke kaki Ganesha yang sakit.
"Tanganmu juga dikasih air. Biar lukanya ndak sakit. Sudah, jangan nangis."
Ganesha menurut, walau masih juga menangis. Ia menyodorkan lengan atas ke aliran air. Benar kata ayahnya, perih yang ia rasakan mulai hilang.
"Kamu tunggu sini, ya. Ayah ambil obat."
Ganesha mengangguk, kini berusaha mengeringkan tangisnya dengan tangan yang sehat. Derap langkah Ayah mengisi ruangan, menjauh, kemudian hilang.
Bocah itu menunggu.
Yang ia dengar berikutnya bukan derap kaki Ayah. Yang ia dengar berikutnya membuatnya terlonjak di tempat, menyebabkan jantungnya berdentum-dentum. Yang ia dengar berikutnya adalah bentakan Ayah memanggil nama Bunda, menggema di seluruh rumah.
Ayah tidak pernah membentak siapapun di rumah. Semut pun tidak. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, juga tidak bisa mendengar suara Bunda. Jadi bocah itu menunggu.
Dan menunggu.
"Kon gak becus ngurus anak, Las!" (Kamu nggak bener ngurus anak, Las!)
"Lepas, Mas!"
Saat bunyi langkah mendekat, Ganesha menoleh, memaksakan lehernya berputar ke belakang. Sebetulnya ia bisa duduk berbalik arah, tapi bocah itu takut kaki dan tangannya akan sakit lagi.
Di lorong, Ayah berjalan dengan tatapan yang belum pernah ia lihat. Hanya dengan melihatnya saja Ganesha sudah mengerut ketakutan. Ditambah dengan kondisi Bunda sekarang, bocah itu balik ingin menangis.
Bunda tidak jalan di samping Ayah. Pun tidak di belakangnya. Bunda bahkan tidak berjalan. Kakinya diseret paksa, tertarik dekapan Ayah di leher Bunda. Ganesha tidak tahu bagaimana dekapan Ayah di leher bisa menarik Bunda ke dapur, tapi ia paham kalau Bunda tidak suka. Tangan Bunda memukul-mukul lengan Ayah, meminta dilepaskan.
Sesampainya di dapur, dekapan Ayah lepas. Bunda didorong ke dinding, dipaksa berdiri. Ganesha tidak bersuara. Takut. Saat Bunda terbatuk-batuk sambil memegangi leher, Ganesha juga tidak bersuara. Saat kedua orang tuanya berteriak-teriak di depan wajah masing-masing, Ganesha masih tidak bersuara.
"Biasanya ndak gitu! Kalo ndak dikasih pesawat ya ndak gitu!"
"Kamu yang bodoh ninggal anak sendirian! Itu ada panci mendidih! Masih untung cuma kena sedikit!"
"Kamu juga bodoh itu kompornya ndak dimatiin! Kalau kebakaran gimana?"
Tangan Ayah terangkat. Ganesha hanya melihat sekilas sebelum tangan itu berhenti di wajah Bunda dengan suara keras.
"Kon ki dikandani malah ngandani! Perempuan ngeyel." (Kamu tuh dibilangin malah balik bilangin! Perempuan ngeyel)
Saat Bunda menyentuh pipinya, Ganesha akhirnya bersuara. Ia menangis.
::: o :::
Malam harinya tidak ada yang makan di dapur. Makanan Ganesha diantarkan ke kamar oleh Bunda. Makanan Ayah, Ganesha tidak tahu. Sejak sore tadi ia menolak keluar kamar. Bunda yang membawa bocah itu ke kamar, menunggu kaki dan tangan Ganesha kering, baru mengoleskan salep di bagian yang luka. Setelah salep dan air matanya mengering, Ganesha akhirnya tertidur.
Bangun-bangun, Bunda sudah duduk di samping Ganesha sambil membaca buku. Di pipi Bunda masih terlihat sekilas warna merah berbentuk tangan.
"Bun, kok Ayah tadi jahat?"
Bunda sepertinya baru sadar Ganesha sudah bangun. Buku yang ia baca diletakkan di meja. Tangannya terulur, mengusap-usap dahi Ganesha pelan.
"Lukanya masih sakit, Le?"
"Kalo kegesek sakit."
"Iya, emang harus hati-hati. Jangan kena sabun juga. Besok kamu mandi pake lap aja."
Ganesha mengangguk. Suasana hening. Lampu kamar dimatikan, temaram cahaya bersumber dari lampu tidur. Kamar Ganesha yang didominasi warna biru tampak gelap, mengundangnya untuk kembali tidur. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Matanya lengket semua, mungkin karena bengkak habis menangis.
"Itu sup apa?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Sup ayam yang tadi pagi. Kamu mau makan?"
"Mau. Aku lapar."
Bunda mengambil mangkuk dan mencelupkan sesuap nasi ke dalamnya. Campuran nasi dan sayur masuk ke mulut Ganesha. Sesuap, dua suap, tiga suap dikunyah dengan semangat. Baru bangun, ditambah habis menangis, biasanya memang membuat bocah itu kelaparan. Satu mangkuk habis dengan cepat. Bunda segera menawarkan porsi berikutnya.
Ganesha mengiyakan, masih dengan mulut penuh. Ketika Bunda pergi, tanpa sadar tangannya meraba-raba meja, mencari mainan pesawat yang biasanya ada di sana. Lama ia mencari dengan mata setengah terpejam, tapi tidak ketemu.
Ia pun terpaksa membuka mata, turun dari kasur, mengaduh karena kulitnya tergesek, lantas berdiri di depan meja lampu. Matanya tidak melihat pesawat warna putih dan hijau. Pindah ke meja belajar belum terlihat juga. Di kolong kasur, dalam lemari, antara buku-buku di rak, tidak ada. Ganesha jadi gelisah. Rasa laparnya perlahan sirna.
"Bun, pesawatku di mana?" tanya Ganesha begitu Bunda masuk ke kamar.
Bunda tidak langsung menjawab. Sup di tangan disusun berdampingan dengan sepiring nasi. Sesudah itu, Bunda duduk. Ganesha semakin gelisah. Bunda mengeluarkan bunyi yang mirip dengan orang membuang napas, lalu meminta Ganesha untuk mendekat.
"Pesawat itu dibawa Ayah, Le."
"Ke mana?"
"Ke tempat anak-anak yang kurang beruntung, Le. Mereka ndak ada yang beliin mainan baru."
"Itu kan punyaku!" balasnya, tidak terima. Mata Ganesha panas.
"Ayah takut kamu luka lagi. Besok-besok kalau sudah lebih besar, kita bisa beli pesawat yang baru."
"Aku maunya yang itu." Lagi-lagi tangisnya pecah. Sepertinya hari ini air mata Ganesha mengalahkan banyaknya tetesan hujan di langit.
"Nanti kita cari yang itu lagi, ya."
"Nggak mau! Ayah jahat!"
"Ayah ndak maksud jahat, Le. Bunda sama Ayah ndak mau kamu nabrak panci lagi kayak tadi. Kalau kena mata gimana? Nanti Ganesha ndak bisa lihat apa-apa lagi, lho."
Ganesha menggeleng-geleng keras. Marah. Dia tidak tahu marah ke siapa. Ke Ayah, ke Bunda, atau ke dirinya sendiri karena malah tertidur. Air matanya terjun bebas, semakin deras ketika ia merasakan tangan Bunda di sekeliling tubuhnya.
Entah berapa lama Ganesha menangis. Ia teringat ayahnya menarik paksa Bunda ke dapur. Kemudian ayahnya memukul wajah Bunda. Lalu sekarang, ayahnya mengambil mainan Ganesha.
Bocah itu mengusap kasar matanya, berusaha menghentikan tangis. Ia memanyunkan bibir. Dahinya berkerut penuh resolusi: Ayah jahat, Ganesha benci sama Ayah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro