SEPULUH
Sejak kecil, Ganesha mampu mendeteksi perubahan pada wajah Bunda. Kalau marah, alisnya bertaut, matanya memicing, dan bibirnya tidak tersenyum. Kalau sedih, ada air mata yang jatuh dari mata Bunda. Kalau senang, biasanya Ganesha akan ikut senang, tertawa dan memeluk Bunda.
Ia juga ingat, Ayah dulu sering tersenyum, sayangnya sejak kecelakaan jarang lagi ia lihat tersenyum.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai bisa mengenali ekspresi yang muncul pada wajah mereka di sekitarnya. Tante Vina suka marah. Guru-guru banyak tersenyum, meski ada pula yang menyeramkan. Fauzan sering tertawa, tapi kadang menangis sambil berteriak. Teman-teman yang lain tergantung kondisi, tapi Ganesha tahu satu anak perempuan yang hobi menangis. Mereka sekelas saat tingkat dua dulu. Ganesha tidak suka dia, karena perempuan itu pernah mematahkan pensil warnanya. Untungnya mereka tidak sekelas lagi.
Beberapa ekspresi kerap Ganesha lihat, namun gagal pahami. Biasanya muncul kalau ia, Bunda dan Ayah pergi keluar. Pernah ia tanya Bunda, mengapa orang-orang sering memandangi Ayah dari jauh. Kata Bunda, mungkin karena Ayah berbeda. Tapi ia masih bingung, memangnya kenapa kalau berbeda? Kata Bunda, kalau ada orang dari negara lain yang main ke Indonesia juga biasanya diliatin orang, karena kelihatan berbeda. Tapi kan, Ayah orang Indonesia?
Akhirnya, Ganesha tanya, apa Ayah berbeda karena warna kulitnya? Ada banyak bekas luka bakar di kulit Ayah. Wajahnya tidak lagi seperti gambar manusia di buku sekolah. Matanya juga tidak seperti mata orang lain. Tidak pernah Ganesha lihat mengedip.
Kata Bunda iya. Jawaban itu melegakan Ganesha. Ternyata, karena kulit dan wajah Ayah berbeda. Meski tidak nyaman diperhatikan banyak orang, Ganesha sudah tahu jawabannya.
Sayang semua berubah saat pertengahan kelas tiga SD.
Nama temannya itu Shalsa. Rambutnya panjang dengan warna yang tidak terlalu hitam. Mereka duduk bersebelahan dan Shalsa beberapa kali meminjamkan krayon padanya. Suatu hari, ia ingat Shalsa bertanya.
"Bapakmu tuh kenapa to?"
"Lho kamu pernah lihat ayahku?"
"Waktu itu, habis ke museum, kan bapakmu ikut jemput."
"Ooh. Iya. Ayah kecelakaan pas aku kelas satu."
"Kamu ndak malu to punya ayah kayak gitu?"
"Malu kenapa?"
"Ya... Medeni tuh lho." (Ya... nyeremin tuh lho)
Sejak saat itu, Ganesha tidak suka ketika orang memandangi Ayahnya. Ia juga tidak suka ketika teman-teman menanyakan tentang Ayah. Pun tidak suka ketika tugas disekolah mewajibkannya untuk menceritakan tentang Ayah dan pekerjaannya.
Salah seorang temannya yang laki-laki, pernah memanggilnya anak Ula. Ganesha tahu maksudnya anak ular. Mereka bilang kulit ayahnya mirip ular, tiga warna dengan banyak bercak. Hari itu akan selalu Ganesha kenang sebagai hari adu jotos, di mana ia menutup kegiatan sekolah di ruangan BK. Menulis banyak sekali kalimat "Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
::: o ::::
Benar tebakan Sensei, Ganesha memiliki bakat di bidang bela diri. Ketika Fauzan masih mengenakan sabuk kuning, Ganesha sudah menjadi Modoriobi dengan sabuk hijau menuju biru.
Kekesalannya pada Ayah serta mimpi buruk yang terus berulang sejak kelas dua SD, menjadi pecut tersendiri bagi Ganesha. Karate bukan hanya senjata untuk melawan perampok dan pencuri. Untuk Ganesha, setiap pukulan dan tendangan yang ia lancarkan, merupakan amunisi untuk melawan monster-monster yang acapkali muncul di dalam mimpinya. Makhluk menyebalkan yang selalu bermanifestasi di gang yang sama.
Ia teringat bangun menangis. Kemudian Bunda memeluknya di samping. Ganesha ceritakan mimpinya sambil sesenggukan. Bunda bilang itu hanya mimpi. Karena Ganesha sering dengar cerita tentang hantu di gang itu.
"Karateka!"
"It!"
Ganesha duduk di jajaran kelas tiga, menjadi satu dari dua yang bersabuk hijau. Hari ini ada simulasi untuk memilih siswa yang akan mengikuti lomba karate di sekolah lain. Ia mengamati Sensei menguji kakak-kakak, mulutnya terngaga beberapa milimeter. Kakak dengan sabuk hitam bergerak dengan sangat cepat. Seandainya Ganesha bisa bergerak dengan secepat itu, pasti tidak ada lagi nyamuk yang bisa menggigit dahi dan pipinya.
Yang paling keren, mereka juga melakukan semacam pertarungan berdua-berdua. Nanti Ganesha akan tanya Sensei apa nama pertarungannya. Namun yang jelas, Ganesha bercita-cita bisa mengenakan sabuk hitam. Selama ini kelas karate untuk sabuk biru ke atas dipisah dengan kelas Ganesha dan kawan-kawan. Baru hari ini, karena mengikuti seleksi lomba, mereka berkumpul bersama di lapangan.
"Keren tuenan rek!" (Keren banget, rek!)
Ganesha mengangguk-angguk setuju. Bahkan Fauzan yang biasanya membuat guyonan tidak berucap sama sekali. Wus, wus wus! Lantang bunyi tangan menebas angin. Betapa saktinya orang-orang dengan sabuk hitam. Seperti penari dari dunia lain!
Tak lama kemudian, Sensei menghampiri deretan siswa kelas tiga dan empat. Ganesha duduk lebih tegak. Rupanya akan diseleksi tiga orang dari sabuk hijau. Tiap lima anak dipanggil sampai tibalah giliran Ganesha. Bocah itu berlari ke tengah lapangan. Dari lima yang dipanggil, Ganesha merupakan yang paling bontot.
"Karateka!"
"Osh!" Ganesha membungkuk.
"Heian Sandan!"
Ganesha beruntung. Ia dijadwalkan untuk ujian sabuk hijau minggu depan. Heian Sandan sudah pernah ia coba, walau masih lupa sedikit-sedikit. Sensei bilang, tekniknya masih perlu diperbaiki. Juga kecepatannya.
Bocah itu lantas menyesuaikan dengan bersama yang lain. Buka kuda-kuda. Pukul ke kiri dengan keras lalu berpaling ke kiri. Pindahkan posisi tangan: pukul atas dan pukul bawah. Berbalik arah. Pukul lagi. Ganesha membayangkan monster di depannya. Ia memukul dengan semangat sambil mengulang teriakan Sensei di dalam kepalanya, "Gunakan teknik yang benar!"
Kemudian hadap kiri lagi. Pukul ke atas dengan tangan kiri, setinggi bahu. Pukul lagi dengan tangan berbeda. Lalu, kesukaan Ganesha: berputar! Setelah itu posisikan naik kuda sambil melepas tinju kiri. Tukar tinju kanan dan teriakkan, "Kiai!"
Ganesha putar balik pelan-pelan, mengatur tangannya di posisi yang sesuai. Bagian kedua ini seru, karena bocah itu selalu membayangkan dirinya sebagai raksasa yang sedang marah.
Angkat kaki kanan, banting keras ke bawah, lalu pukul ke atas dengan tangan kanan. Tarik tangan, bersiap-siap mengulang gerakan dari sisi yang berbeda. Hantam tanah! Hantam lagi!
Ah. Tahan sebentar, pelankan gerakan. Kemudian pukul lagi dengan keras searah garis lurus. Terakhir, putar balik dan kembali berteriak, "Kiai!"
Seru! Ganesha bahkan tidak sadar bahwa hanya ia dari empat lainnya yang menyelesaikan kata.
catatan penulis:
Hullo. Penulis paling lambat di jagat oranye kembali lagi hehehe. Buat cerita Ganesha, sptnya bakal aku tahan dulu. Targetnya skrng adl kecepatan update maksimal satu kali sebulan. Maaf ya hehehe. Alesannya ada beberapa. Pertama, karena aku masih mau explore masalah psikologi dan psikiatri anak. Cerita ini punya sekitar 20-30 bab lagi, tapi karena isunya sensitif dan penting buatku, aku mau sambil baca-baca dan belajar juga. Kedua, karena aku buta masalah karate jadi waktu untuk risetnya lumayan makan waktu. Dan ketiga, karena aku mau fokus dulu ke Sabotase aka lanjutannya buku Kamuflase. Jadi, kalau kangen kalian masih bakal tetep ketemu Ganesha!
Walaupun bukan versi yang minta dicubit pipinya sih XD
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro