6. Pembawa Sial
"Lan, tunggu Lan," panggil Renal mengejar Kalandra sampai di pakiran belakang kafe. Kebetulan saja pakiran belakang sangat sepi, tak ada orang lain selain mereka.
Kalandra berhenti, menatap dingin ke arah Renal. Susah payah ia menahan amarahnya sekarang. Ia tidak mau melampiaskan kepada Renal, mengingat Renal sudah ia anggap seperti kakak sendiri.
"Please, ikut sama kita," mohon Renal kepada Kalandra.
Kalandra memutar bola matanya dengan malas, bukankah mereka sudah tahu jawaban Kalandra tadi saat di dalam kafe? Kalandra hampir lupa, ini Renal bukan orang lain. Renal si pemaksa!
"Lo udah tahu jawabannya," ucap dingin Kalandra seraya menatap mereka dengan tatapan malas.
Renal menarik kerah jaket Kalandra, menatap penuh permusuhan. Kei yang sedari tadi menyimak berusaha menarik paksa Renal agar melepaskan cekalan itu. Namun usaha Kei gagal, pemuda itu memilih membiarkan saja. Daripada nanti ia yang kena batunya.
"Pengecut!" teriak Renal tepat di depan wajah Kalandra. "Kalo bukan karena gue peduli, gue enggak akan maksa lo!"
Kalandra menggeram mendengar kata pengecut. Ia sangat membenci kata itu, yang keluar dari mulut orang lain. Kalandra mendorong Renal hingga menjauh, membuat Renal mundur beberapa langkah.
"Lo yang lebih pengecut!" Kalandra membentak.
"Iya, gue emang pengecut. Gue enggak kayak lo yang kabur dari musuh sendiri. Asal lo tau aja, gue ngelakuin ini karena gue peduli, peduli sama lo."
Kalandra membuang tatapan ke arah lain. Ia bukan kabur dari musuhnya-Kemal, hanya saja ia butuh waktu sendiri untuk sekadar menenangkan pikiran sejenak. Memikirkan bagaimana caranya mengalahkan Kemal kembali. Jika harus bertarung di MMA lagi Kalandra tidak bisa karena sang papa sudah pernah melarang dan mengancam. Ia juga sudah pernah berjanji kepada almarhumah sang mama.
"Gue tau, Nal. Tapi gue butuh waktu sendiri buat bales Kemal."
***
Peluhnya jatuh, rahangnya kukuh, tindakan ia melumpuhkan lawannya begitu membuat arena one pride MMA bergemuruh. Mereka menyoraki sebagai bentuk memberi semangat untuk idola mereka yang sedang bertarung mempertahankan kemenangan dan harga diri setiap komunitas atau geng naungan masing-masing.
Iris mata hitam pekat milik laki-laki bertubuh atletis, bersurai cepak hitam itu menggelap mengingat si lawan tanding pernah menghina sang mama waktu kemarin sebelum pertarungan mereka terlaksana. Ia marah besar mendengar hinaan dari mulut orang lain yang disandingkan untuk sang mama.
Tangannya kembali meninju keras perut sang lawan, membuat sang lawan terjengkang mengenai pembatas arena. Laki-laki itu tak henti-hentinya memberi bogeman, menangkis, dan meninju keras ke seluruh tubuh lawannya.
Sang lawan tak berdaya sama sekali, membuat dirinya terkapar lemah di arena tinju sana. Banyak darah segar di sudut bibir lawan itu dan seluruh wajah milik sang lawan babak belur karena ulah laki-laki beriris mata hitam pekat.
Walaupun lawannya sudah lumpuh dan babak belur, tetapi tidak membuat laki-laki itu berhenti memukuli. Ia merasa belum puas dengan apa yang dicapai. Wasit yang melihat laki-laki bersurai cokelat kehitaman sudah terkapar lemah dengan banyaknya darah, segera melerai aksi pertinjuan yang akan dilakukan oleh laki-laki beriris mata hitam pekat. Sang wasit berusaha menjauhkan laki-laki itu dari lawan tanding yang sudah terkapar lemah dengan darah terus mengalir.
"Kalandra ...!" teriak Renal dari luar arena, laki-laki itu mencoba menyadarkan Kalandra yang sedang dirasuki oleh setan-dipenuhi oleh gejolak api kemarahan.
Kalandra, laki-laki itu tak peduli dengan teriakan sang tertua. Ia tetap memilih memukuli sang lawan tandingnya guna menyalurkan rasa dendam di dada. Wasit sudah kewalahan mengehentikan Kalandra, Renal dan komunitas Champin harus turun tangan sendiri demi bisa memisahkan Kalandra. Tidak hanya komunitas Renal saja, salah satu komunitas sang lawan pun turun tangan membantu anggota mereka yang sudah terkapar tak berdaya.
Renal menarik tangan Kalandra menjauh dan keluar dari arena tersebut. Baru saja mendapat lima langkah mereka keluar dari arena, teriakan dari salah satu komunitas sang musuh membuat langkahnya terhenti sejenak.
"Lo harus bayar semuanya, berengsek! Liat aja setelah ini hidup lo enggak bakalan tenang. Enggak cuma lo, seluruh anak Champin kena imbasnya!" teriakan dari salah satu komunitas sang lawan tak dihiraukan sama sekali oleh Kalandra.
Laki-laki itu berlalu seraya meredakan emosinya. Tidak bisakah manusia hidup dengan tenang tanpa harus ada penghinaan? Jika saja mereka tak memulai duluan maka Kalandra tidak akan melakukan hal seperti ini. Terutama menyakiti orang lain. Namun, rasa sakit hati yang dirasa tak seberapa dengan rasa sakit bogeman dan luka di wajah musuhnya tadi.
"Kalo kita enggak berhentiin lo, mungkin aja lo udah bunuh tuh si David adik dari si Kemal. Lo sadar enggak sih apa yang lo lakuin tuh berlebihan," ucap Renal. Posisi mereka kini berada di ruang VVIP yang memang disediakan untuk istirahat para peserta MMA.
"Gue enggak peduli, gue pengen dia mati di tangan gue sendiri!" Nada bicara Kalandra terdengar penuh penekanan.
Renal menatap Kalandra tidak percaya, sebagai tertua di komunitas Champin ia tidak mau salah satu anggotanya terkena masalah. Kalandra merupakan anggota baru di komunitas mereka. Kalandra bergabung baru dua bulan yang lalu. Walaupun baru dua bulan, tetapi Renal sudah menganggap Kalandra seperti adik sendiri.
"Lo bisa aja dituduh pembunuh sama mereka, Kalan." Renal dengan sabar menasihati Kalandra yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri.
Kalandra terdiam, ucapan Renal ada benarnya. Jika ia meneruskan memukuli David maka ia akan di penjara atas tuduhan kasus pembunuhan. Lalu bagaimana dengan penghinaan atas nama sang mama? Kalandra tidak terima, ia dendam kepada orang yang sudah berani menghina sang mama.
"Lo mau ke mana?" tanya Renal melihat Kalandra berlalu meninggalkan ruang VVIP.
***
"Habis dari mana kamu?" Suara bariton penuh ketegasaan menggema di ruang tamu.
Kalandra memejamkan mata, baru saja ia memasuki rumah, ia sudah disuguhi oleh kemarahan sang papa.
"Papa bertanya kepadamu, Kalandra!" Pria paruh baya dengan wajah ketegasannya itu berdiri di hadapan Kalandra. Menatap tajam wajah sang putra, lalu meneliti setiap inci wajah Kalandra.
Ada sedikit luka di sudut bibir Kalandra, Bayu-papa Kalandra. Memegang kuat dagu Kalandra untuk melihat luka itu lebih jelas.
"Kamu berantem lagi? Sudah Papa bilang Kalan, jangan berantem lagi! Kamu baru saja masuk kelas X, bahkan belajar di kelas X pun kamu belum. Masa depanmu masih panjang." Bayu menasihati sang anak dengan begitu sabar.
Kalandra tak menyahut, ia lelah sekarang ini. Butuh rehat sejenak demi bisa menghilangkan rasa lelah di sekujur tubuh. Semenjak sang mama sakit dan ia memasuki SMA, sang papa banyak berubah-menjadi tak peduli dengan keluarganya. Pria paruh baya itu akan peduli jika Kalandra berbuat masalah terlebih dulu. Apakah ia harus membuat masalah agar sang papa terus memberikannya perhatian lebih?
"Jangan membuat Papamu emosi, Kalan! Tidak kamu tidak Mama kamu, sama-sama pembawa sial!" teriak sang papa naik pitam. Niat Kalandra ingin memasuki kamar, terhenti oleh teriakan itu.
Napas Kalandra memburu, dadanya naik turun. Ia tersulut emosi oleh kalimat itu. Bisa-bisanya pria paruh baya itu menghina istrinya sendiri, tepat saat sang istri sedang sakit-sakitan. Tatapan Kalandra beradu dengan Bayu. Sama-sama menyiratkan emosi.
"Tidak ada yang namanya istri pembawa sial dan anak pembawa sial. Intropeksi diri saja siapa yang pembawa sial di sini. Anda tidak ingat---"
"Aku ini Papamu, berani sekali kamu memanggil Papamu dengan sebutan 'Anda'. Dasar anak pembangkang!" Bayu kembali berteriak memotong ucapan Kalandra. Kesabarannya habis menghadapi sikap pembangkang dari Kalandra.
"Kalo emang enggak mau disebut dengan sebutan 'Anda', setidaknya hargai dulu Mama saya!"
TBC:
Menerima kritik dan saran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro