Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Ungkapan rasa

Embun pagi masih membekas sempurna di helaian daun pepohonan, menciptakan cuaca sejuk saat angin sepoi menerpa wajah Kalandra perlahan. Ia berjalan terburu-buru menelusuri koridor sekolah menuju taman belakang, sepatu Vans yang ia pakai menimbulkan suara berdebam tatkala beradu dengan lantai.

Sekolah masih terlihat sepi, jam masih menunjukkan pukul setengah enam kurang. Hanya terlihat beberapa siswa dan siswi yang rajin saja dan juga tukang bersih-bersih sedang menyapu halaman sekolah memecahkan kesunyian. Langkah Kalandra terhenti, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat tatkala netranya bertatapan dengan netra cokelat terang milik Nayla.

"Kenapa?" tanya Kalandra seraya mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar, menatap Nayla di hadapannya.

Seharusnya Kalandra sudah sampai di taman belakang sekarang sekadar menjernihkan pikiran sebelum melaksanakan ujian nasional. Hari ini adalah hari di mana seluruh kelas XII sedang mempertaruhkan dan menyiapkan masa depan, lebih tepatnya masa kelulusan.

"Mau ke mana? Buru-buru amat?" Nayla balik bertanya, menatap intens Kalandra.

Tanpa alasan yang jelas, perasaan Kalandra tiba-tiba bergejolak aneh. Tak ingin bertatap langsung, ia mengedarkan bola matanya ke sekitar. Aneh rasanya jika masih bertatapan dengan Nayla.

"Mau ke mana?" Nayla mengulang pertanyaan, dengan masih menatap Kalandra.

"Taman belakang," balas Kalandra jujur.

"Ngapain?"

"Belajar."

"Belajar apa merokok?" tanya Nayla seraya melipat tangannya di depan dada.

"Belajar, Nay," ucap pelan Kalandra, mencoba meyakinkan Nayla.

"Merokok apa belajar?" Nayla merasa belum yakin dengan jawaban Kalandra.

Kalandra mengembuskan napas kasar, menatap Nayla dengan sorot mata meyakinkan. Ia butuh waktu demi bisa menjernihkan pikiran, jika beban pikirannya bertambah. Maka konsentrasi tatkala mengerjakan soal ujian akan buyar begitu saja.

Entah kenapa Kalandra merasa jika Tuhan ingin melihatnya menderita saja. Masalah baru saja yang datang silih berganti, dimulai dari ancaman Kevin, keselamatan Kenzio dan Nayla, dan juga kafenya yang dituduh menyimpan narkoba. Kalandra yakin jika si pelaku tak lain ialah Kemal.

Kalandra merasa tidak yakin jika ia bisa mengerjakan soal ujian dan mendapatkan nilai terbaik yang diinginkan oleh sang papa. Sudah banyak masalah dan keonaran yang ia perbuat di sekolah, mustahil mendapatkan nilai terbaik.

"Kalandra," panggil Nayla dengan nada sedikit berteriak.

Kalandra tersentak, menatap Nayla dengan raut tanda tanya. Tanpa izin, Nayla menarik tangan Kalandra berjalan menuju kantin. Sesampai di kantin, gadis itu menyuruh Kalandra duduk. Tak ingin berdebat, Kalandra menurut kepada Nayla. Sedangkan gadis itu membeli air mineral dua botol, lalu duduk di samping Kalandra.

"Kamu udah sarapan?" Nayla bertanya sembari mengeluarkan kotak makan berwarna merah dan biru, ia menyodorkan kotak berwarna biru ke hadapan Kalandra.

Kalandra menatap kotak berwarna biru itu, lalu kembali menatap Nayla dengan tatapan seolah mengatakan 'apa ini?'. Nayla membuka kotak makan milik Kalandra, kembali menyodorkan kepada laki-laki itu.

"Kali ini jangan menolak rezeki lagi, sarapan dulu. Setelah itu baru belajar menghafal," ucap Nayla sembari membuka kotak makan berwarna merah berisi nasi goreng.

Tak ingin memperpanjang masalah, Kalandra menyendokkan nasi goreng itu ke dalam mulut. Mengunyah dalam diam, suasana kantin tampak hening. Hanya ada satu atau dua siswa sedang sarapan di kantin sama seperti Nayla dan Kalandra.

"Makasih," ucap tulus Kalandra setelah nasi goreng pemberian Nayla ia habiskan.

Senyum merekah terbingkai di bibir Nayla, "Sama-sama. Semangat ujiannya."

Kalandra tersenyum tipis sebagai balasannya. Tak terasa waktu beranjak siang, jam pelajaran pertama berbunyi. Membuat Kalandra dan Nayla berlalu menuju ruangan masing-masing.

"Soal apaan ini?" tanya Kalandra kepada dirinya sendiri tatkala menemukan soal yang sama sekali belum ia baca dan hafalkan.

Pelajaran pertama ujian ialah geografi. Pelajaran yang tak bisa dimengerti sama sekali oleh Kalandra. Ia memijat pelipis sekilas, kepalanya terasa pening melihat soal yang tidak ia ketahui apa jawabannya. Sial, ia merutuki dirinya sendiri yang tak belajar serius semalam.

Bola mata Kalandra tertuju ke arah kertas soal kembali, membaca soal itu sekaligus memahami maksud dari soal itu. Lalu menuliskan jawaban yang ada di dalam pikirannya, masa bodoh jika jawabannya salah atau benar. Terpenting ia sudah berusaha.

***

Bel pulang berbunyi, seluruh siswa dan siswi kelas XII sudah berlarian keluar dari ruangan masing-masing. Nayla berjalan menelusuri koridor menuju parkiran bersama Jihan, mereka tampak sedang bercengkerama mengobrolkan soal ujian yang mereka kerjakan tadi.

"Sumpah, tadi soalnya susah bener. Enggak ada satu pun soal yang gue hafal keluar, jebakan banget tuh soal," keluh Jihan tatkala mengerjakan soal fisika tadi.

Bagi Jihan hari ini ialah hari kesialan, ujian pertamanya malah mempertemukan ia dengan pelajaran fisika. Pelajaran yang membuat otak Jihan terasa ingin meledak.

"Makanya belajar yang bener, jangan mikirin si Ardi mulu." Nayla meledek sembari menyikut bahu Jihan.

"Ye, siapa juga mikirin tuh cowok? Sekarang mah, otak gue lagi mikirin hasil nilai fisika gue kayak gimana."

"Berdoa aja, semoga lo lulus ujian," ujar Nayla menenangkan Jihan.

Sorot mata Nayla tanpa tidak sengaja tertuju ke arah dua laki-laki sedang duduk di atas motor sembari mengobrol. Seulas senyum terbingkai di bibir Nayla, langkah Jihan dan Nayla terhenti di depan laki-laki itu.

"Hai Rio," sapa Jihan kepada Rio sembari mengulas senyum. Rio membalas senyuman Jihan dan juga sapaan dari Jihan.

Jika boleh jujur, Rio mengetahui bagaimana perasaan Jihan saat mereka masih dalam masa orientasi dulu. Gadis itu menunjukkan rasa suka secara terang-terangan kepadanya, tetapi ia tak begitu merespons apa pun. Sampai di kelas 11, Jihan sudah tak lagi mendekatinya ataupun memberi perhatian kecil, ia merasa jika gadis itu sudah menyerah. Rio sangat menghargai perasaan Jihan kepada dirinya, dulu.

"Mau pulang?" tanya Kalandra menatap Nayla.

Nayla mengangguk mengiyakan, sedangkan Jihan menyikut lengan Nayla seraya menyoraki kata 'ciee' membuat pipi Nayla bersemu merah.

Kalandra mengulum senyum tipis, senyum yang tak tampak di mata Nayla dan juga Jihan. Terkecuali Rio, sepupunya sendiri. Rio tahu jika Kalandra sedang tersenyum tipis menatap wajah Nayla sedang bersemu merah.

"Mau gue anter? Lo dijemput apa enggak?" Kalandra kembali bertanya, mengubah raut wajahnya menjadi datar lagi.

"Tadinya mau bareng Jihan, memangnya kalo kamu nganterin aku. Kamu enggak kerepotan?"

"Tenang, Nay. Kalo sama lo mah Kalandra siap direpotin lahir dan batin," timbrung Rio seraya merangkul Kalandra. Dengan sigap, Kalandra menepis tangan Rio.

"Santuy, Bor. Bercanda," kata Rio menyengir kuda.

"Lo bawa motor, Ji?" Rio bersuara lagi seraya menatap Jihan sekilas.

Entah kenapa hanya ditatap seperti itu, tiba-tiba rasa aneh bergejolak dalam benak Jihan. Gadis itu tersenyum kecil seraya mengangguk sebagai balasannya.

"Nah, kebetulan banget," ujar Rio melancarkan aksinya, membuat Kalandra mengerutkan dahi, begitu juga Nayla dan Jihan.

"Kebetulan? Maksud kamu?" tanya Nayla menatap Rio dengan bingung.

"Kalandra ngajak makan siang tadi. Jadi, kebetulan banget nih ada kalian. Gimana kalo kita makan siang bareng? Itung-itung resfreshing setelah ngerjain soal ujian pertama, setuju enggak?"

Sudah Kalandra duga, perasaannya tak mengenakan hanya gara-gara saran tak bermutu dari Rio. Ia mendelik tajam ke arah Rio, sedangkan laki-laki itu hanya menyengir seperti kuda. Menyebalkan.

"Setuju aja sih," balas Nayla yang diangguki oleh Jihan.

"Nayla sama Kalandra, gue sama lo ya, Ji. Soalnya gue enggak bawa motor," kata Rio seraya mengulas senyum kecil.

Kalandra berdecak kesal, mendelik ke arah Rio dengan tajam. Ia sudah tahu bahwa ini hanyalah akal-akalan Rio saja, sungguh Kalandra sempat mengumpati Rio dengan kata-kata kasar di dalam hati. Niat hati ingin segera sampai di kosan, malah ke sasar makan siang bersama Nayla, Jihan, dan juga si menyebalkan Rio.

"Dasar modus, gue enggak bisa," gertak Kalandra seraya membenarkan tas gendong di pundaknya.

"Kenapa? Bukannya Rio bilang kamu yang ngajak ya?" Nayla menatap Kalandra dengan tatapan ingin tahu.

Kalandra terdiam, menimang ajakan Rio. Sementara laki-laki itu tengah mengulum senyum penuh kemenangan, membuat Kalandra mengumpat dalam hati.

"Oke, makan siang doang!" tukas Kalandra sembari naik ke atas motornya.

Tanpa Kalandra sadari, Nayla mengulas senyum kecil. Setelah Kalandra mengeluarkan motornya, ia naik di belakang Kalandra. Tangannya memegang erat, jaket parasit milik laki-laki itu.

Motor Kalandra dan Jihan melaju meninggalkan sekolah, membelah jalanan kota Jakarta yang tampak terik.

***

Dua puluh lima menit di dalam perjalanan, akhirnya mereka berempat sampai di salah satu warung bakso dekat pinggir jalan. Kalandra sengaja mengajak makan siang di warung bakso pinggir jalan daripada makan siang di resto mewah.

Mereka tampak menikmati bakso pesanan masing-masing. Suara bising kendaraan yang sedang berlalu-lalang, sama sekali tidak membuat mereka merasa terganggu.

Sorot mata Kalandra tidak sengaja tertuju ke arah Nayla. Gadis itu tampak menikmati baksonya, sesekali mengusap peluh di pelipis akibat rasa panas dan pedas.

Kalandra menyodorkan minum ke Nayla tatkala gadis itu tampak gelagapan karena pedas. Buru-buru Nayla menerima minuman itu, meminumnya hingga tandas. Nayla bernapas lega, mengelap bibirnya dengan tisu.

"Makasih," ucap Nayla, mengulas senyum.

Kalandra tak menjawab, ia hanya mengangguk mengiyakan.

"Nay, lo enggak apa-apa 'kan?" Jihan yang baru saja menghabiskan baksonya bertanya seraya menatap Nayla dengan wajah khawatir.

"Kenapa? Aku enggak apa-apa." Nayla tahu jika Jihan merasa khawatir terhadap dirinya, karena Nayla tidak biasa memakan makanan pedas. Apa lagi tadi, ia tidak sengaja menuangkan lima sendok sambal ke mangkuk baksonya. Ia lupa jika memiliki riwayat penyakit lambung.

Kalandra menatap lekat wajah Nayla, satu hal yang ia temui di wajah itu ialah keteduhan dan kehangatan dibalik netra itu. Selain itu, senyum gadis itu membuat kekosongan di hatinya terisi. Akan tetapi, ia merasa jika wajah itu tidak lagi berseri seperti biasa. Wajah itu tampak pucat, seolah-olah sedang menahan sesuatu dalam tubuhnya.

"Muka lo pucet, lo yakin enggak apa-apa?"

Sontak saja Nayla langsung menoleh ke arah Kalandra, berusaha mengulas senyum agar tidak membuat teman-temannya merasa khawatir.

"Aku enggak apa-apa, perasaan kamu aja kali," alibi Nayla berusaha menyembunyikan rasa sakit di perut.

"Kayak lo enggak baik-baik aja deh, Nay. Muka lo pucet banget, lo makan sambal banyak 'kan tadi?" Rio yang sedari tadi menyimak dan memperhatikan Nayla dan Kalandra, menimbrung.

Kalandra menarik tangan Nayla, menggenggamnya dengan erat. Tangan itu terasa dingin, di genggaman Kalandra. Entah setan apa yang masuk ke dalam dirinya, sudut bibir Kalandra tertarik ke atas membentuk lengkungan kecil. Nayla yang melihat lengkungan di bibir Kalandra, tak berkedip sama sekali.

Tidak hanya Nayla, Jihan pun sama. Pertama kali Jihan melihat senyum walaupun tipis di wajah datar dan dingin dari Kalandra. Jika Jihan seperti siswi alay yang lain, mungkin sudah mengambil gambar lengkungan itu, lalu ia pamerkan di sosial media. Betapa bahagianya ia bisa mendapatkan gambar lengkungan tipis dari bibir laki-laki tampan dan dingin seperti Kalandra.

"Tangan lo dingin, muka lo pucet. Jangan maksain kalo lo baik-baik aja."

"Kalo memang lo ngerasa sakit, bilang aja. Gue takut lo kenapa-napa. Nanti yang ada nyokap lo salah paham sama gue, takutnya gue ngasih racun ke lo," lanjut Kalandra seraya menatap lekat netra milik Nayla.

Satu hal yang Nayla rasakan saat ini, ialah kenyamanan serta kehangatan dari telapak tangan Kalandra yang menggenggamnya begitu erat.

"Memangnya kamu berani ngasih racun ke aku? Sebelum kamu ngasih racun juga, aku udah keracunan karena kamu," ungkap Nayla tanpa ia sadari.

Jantung Kalandra berdetak dua kali lebih cepat, apakah ia tidak salah dengar? Entah nyata atau tidak, waktu seakan berhenti menjadi lambat. Netra itu saling bertemu, menciptakan rasa aneh dalam benak.

"Gue enggak mungkin meracuni orang yang udah berusaha buat gue bangkit, ngasih semangat demi bisa membuktikan kepada mereka yang anggap gue sampah," ucap Kalandra seraya mengulas senyum kecil.

Ini pertama kalinya seorang Kalandra yang dikenal datar, dingin, dan jarang sekali tersenyum, sekarang sedang mengulas senyum kecil seraya menatap Nayla. Bukannya Nayla yang merasa salah tingkah mendapatkan senyuman dari Kalandra, malah Jihan yang merasa baper dan salah tingkah melihat senyum di bibir Kalandra.

"Gue sangat berterima kasih sama lo, karena udah mau bantu gue. Mungkin perkataan lo ada benarnya, percuma masih inget sama bayang-bayang masa lalu, hal itu bisa menghambat jalan menuju kesuksesan." Kalandra melanjutkan ucapannya dengan masih menatap Nayla.

Nayla terkesima dengan ucapan Kalandra sekaligus tatapan netra hitam itu, seakan netra itu memiliki daya tarik tersendiri. Nayla terhipnotis dengan netra milik Kalandra, begitu meneduhkan.

"Berterima kasih itu sama Allah, karena Allah udah membantu kamu melangkah keluar dari masa lalu," ucap Nayla.

"Ekhm ... berasa dunia milik sendiri." Rio berdehem, menyindir Kalandra dan juga Nayla.

Dengan cepat, Kalandra melepaskan genggaman tangan itu. Ia membuang pandangan ke arah lain, kejadian tadi terekam jelas dalam ingatan. Jantungnya tak bisa diajak kompromi, selalu berdetak seperti sedang lari maraton. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Jujur saja, ini pertama kalinya ia merasakan rasa aneh seperti ini.

***

Motor matic Kalandra berhenti di pekarangan rumah Nayla. Sehabis makan bakso tadi, Kalandra mengantar Nayla pulang.

"Makasih ya," ucap Nayla setelah turun dari motor Kalandra.

"Bokap lo udah balik?" tanya Kalandra, ia tidak sengaja melihat mobil  berwarna putih di garasi sana.

Nayla menoleh ke belakang sekilas, kembali menatap Kalandra. Ia mengangguk sebagai balasannya.

"Ya sudah, gue balik ya," kata Kalandra seraya memasang helm kembali.

"Hati-hati, sekali lagi makasih."

Kalandra meng-stater motornya, menoleh sekilas ke arah Nayla. Lalu melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Nayla.

"Dia siapa, Nay?"

Baru saja masuk dan mengucapkan salam. Suara sang ayah menggelegar di dalam ruang tamu, membuat tubuh Nayla menenggang. Secepat mungkin, Nayla menyembunyikan wajah pucatnya, mencoba tersenyum seceria mungkin.

"Ayah? Kapan ayah pulang? Nayla kangen tahu sama ayah," ungkap Nayla, menghampiri Haris---ayah Nayla---memeluk tubuh laki-laki paruh baya itu.

Haris melerai pelukan itu, menangkup wajah Nayla. Alis Haris mengernyit tatkala melihat wajah anak gadisnya tampak pucat.

"Kamu makan pedas lagi?" Haris langsung menebak tepat sasaran, ia sangat mengenal Nayla.

Nayla menggeleng lemah, mencoba mengulas senyum lebar. Sekaligus menutupi rasa sakit di perut.

"Siapa laki-laki tadi?" Haris bertanya sekali lagi ke Nayla. Ia memang tidak sengaja melihat Nayla yang diantar oleh laki-laki muda. Ia tidak ingin melihat anak gadisnya terjerumus ke jurang penderitaan, apabila dekat dengan laki-laki muda itu.

"Dia Kalandra, Mas. Laki-laki muda yang aku ceritakan ke kamu," sambung Regina menghampiri sang suami.

Haris menatap Nayla lekat, memegang bahu anak gadisnya dengan erat. Sudut bibir Haris terukir senyuman kecil.

"Ayah enggak larang kamu dekat sama siapa pun, tapi ayah enggak suka kalo kamu dekat sama laki-laki muda itu. Mungkin kata mamamu dan kamu, dia anak baik-baik. Pernah menolong kamu dari Januar, tapi ayah enggak suka aja lihatnya. Jauhin dia, kalo kamu enggak mau ngeliat ayah marah besar sama kamu."

Ucapan sang ayah entah kenapa sangat menusuk hati Nayla. Padahal ia susah payah mendapatkan lentera teman dari Nayla. Ia memahami bagaimana khawatirnya sang ayah terhadap putrinya. Mungkin sang ayah tahu kasus apa yang pernah dibuat oleh Kalandra di masa lalu.

"Iya, Nayla enggak bakal buat ayah marah. Nayla bakal menjauh dari Kalandra."

TBC:
PART LAST:) EHE:)

MENERIMA KRISAR, KAKAK:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro