Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Sama-sama Terluka

"Iya!"

Kalandra sedikit membentak, menatap Kenzio dengan malas. Bukannya merasa takut, Kenzio malah terkekeh kecil. Hal inilah yang ia rindukan, kemarahan sang kakak tiri.

"Kenapa dia menganggu? Aku rasa dia tidak menganggu sama sekali," timbrung Nayla menatap Kalandra sekilas, lalu menatap Kenzio dengan seulas senyum kecil.

"Kakak ipar benar sekali." Kenzio berjalan ke sisi dekat Kalandra, mengambil posisi duduk di kursi kayu panjang sana.

"Sebagai tuan rumah yang baik. Seharusnya mempersilahkan tamunya untuk duduk," ucap Kenzio dengan tampang tak berdosa, sedangkan raut wajah Kalandra tampak menahan emosi.

"Gue nggak menerima tamu sekarang," tukas Kalandra dengan nada sinis.

"Ck, kakak masih saja sinis. Aku ke sini hanya ingin melepas rindu saja. Jika Zio ingin bertamu, apakah harus izin terlebih dulu?" Kenzio menatap tak percaya ke arah Kalandra. Tidakkah pemuda itu merasakan hal yang sama dengannya? Rindu misalkan, sungguh menahan rasa rindu untuk sang kakak sangat menyesakan.

"Berarti aku juga harus izin dong?" Nayla yang sedari tadi menyimak, ikut membuka suara kembali.

Entah keberanian dari mana, Nayla kembali duduk. Tak lupa juga senyum manis terbingkai di bibir untuk Kenzio. Merasa kesal sendiri, Kalandra memilih mengambil posisi duduk di tengah-tengah mereka.

"Nggak baik berduaan di depan kosan, nanti ketiganya setan," ujar Kenzio mencairkan suasana.

"Lo setannya!"

"Ih ... kamu ya, Kalan. Nggak bisa apa berkata lembut sedikit saja? Dia itu adik kamu," sahut Nayla memarahi Kalandra.

"Tidak ada yang bisa melunakan hati batu seorang Kalandra. Yang dulunya ceria dan penuh canda tawa, sekarang sudah berubah menjadi keras dan datar." Kenzio menerawang jauh, sekelebat memori masa lalu terlintas sesaat.

Kalandra menatap Kenzio dari samping dengan intens. "Waktu yang bikin gue berubah dan masa lalu yang bikin gue menjadi orang asing, bukan Kalandra yang dulu."

Kenzio mengulas senyum tipis mendengar ucapan Kalandra terdengar dingin. Ia tahu bagaimana sosok Kalandra yang dulu. Ceria dan ramah senyum, itulah yang diingat oleh Kenzio. Ia mengalihkan tatapannya ke arah ketiga bodyguard sang papa sedang menunggu di depan sana, juga Nayla yang terdiam sembari menundukan kepala.

"Kak Kalan tahu? Siapa yang lebih sakit di sini?" Kenzio bertanya kepada Kalandra. Ia harus meluruskan masalah ini, mereka sama-sama korban di cerita takdir ini. Akan tetapi, yang lebih menderita dan sakit hati adalah Kenzio.

"Gue tahu, lo yang lebih menderita di sini." Kalandra menatap kosong ke arah depan. Tenggorokannya terasa tercekat.

"Jika Kakak tahu, kenapa Kakak tidak mau bertemu dengan Zio? Seolah-olah Kakak membenci Zio, padahal dulu Kakak pernah bilang. Jangan membenci orang lain, mau itu orang yang tidak kamu suka atau yang tidak menyukai kamu. Mereka tidak menganggap kamu teman, maka anggap saja aku sebagai temanmu. Karena itulah aku masih menganggap Kakak sebagai seorang teman," ucap Kenzio seraya mengulas senyum tipis.

Kalandra ingat betul kapan ia mengucapkan kalimat itu. Pada saat menolong Kenzio dari aksi pembullyan. Nayla yang masih berada di tengah-tengah mereka, merasa canggung sendiri. Tak ingin ikut campur dalam urusan keliarga, Nayla berdehem sedikit agar kedua pemuda itu sadar akan kehadirannya sebagai orang asing.

"Aku pamit ya, sudah jam sembilan. Aku harus pulang," ujar Nayla sembari membereskan kotak makan yang ia bawa, beranjak dari duduknya.

"Mau gue anter?" tawar Kalandra ia khawatir jika Pandoker menghadang jalan pulang Nayla.

Nayla mengulas senyum sembari menggeleng kecil. Ia enggan meminta Kalandra mengantarnya pulang. Biarkan pemuda itu menghabiskan waktu sedikit bersama sang adik. Dari cara mereka mengobrol, Nayla sudah bisa menebak. Jika kedua pemuda itu sedang bernostalgia masa lalu dan meluruskan permasalahan yang belum sirna dari masa lalu.

"Aku bisa sendiri, lagi pula aku bersama sopir kok," kata Nayla. "Kalo gitu aku permisi ya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," balas serempak.

Tatapan Kalandra masih terfokus ke arah punggung Nayla yang mulai melangkah menjauh dari kosannya.

"Kakak menyukainya?" Kenzio bisa melihat gerak-gerik aneh sang kakak saat menatap Nayla, memberanikan diri bertanya langsung.

"Nggak."

"Mungkin belum saatnya. Nanti kalo sudah jatuh cinta mah, Kakak nggak bakal mau jauh-jauh dari dia. Kayak papa yang selalu mikirin, Kakak," ucap Kenzio menatap sekilas ke arah Kalandra, sedangkan Kalandra malah terdiam.

Rasa tak suka dan masih belum bisa memaafkan sang papa. Luka yang dulu masih membekas. Ia juga sadar, bahwa menjadi korban dalam hubungan kedua orang tuanya bukanlah ia saja. Kenzio juga menjadi korban di sini, apa lagi Kenzio salah satu korban bully  di sekolah dassr. Akan tetapi, bagi Kalandra artinyasama saja. Sama-sama merasakan luka dan sakit hati dari mas lalu. 

"Emangnya papa cinta dan sayang sama gue? Lo inget waktu nyokap gue mati gara-gara bunuh diri?" Kalandra tersenyum kecut mengingat wajah sang mama untuk yang terakhir kali.

Tatapan Kalandra kosong, rasa sesak menyeruak di hati. Jika boleh jujur, hati paling dalamnya mengatakan bahwa Kalandra sudah memaafkan kesalahan sang papa. Akan tetapi, logika dan pikirannya menentang semua itu. Hampir dua tahun, Kalandra memikirkan hal itu. Berperang dengan hati dan logika sampai sekarang ia belum bisa menemukan keputusan yang tepat. Apakah ia membenci sang papa atau tidak?

"Kalo emang papa sayang dan cinta sama gue. Seharusnya beliau lebih perhatian sama gue, hadir dalam kemenangan pada saat gue ikutan lomba fotografi waktu smp. Lo tahu? Gue kehilangan sosok pahlawan yang selalu gue bangga-banggakan di depan orang lain." Momen seperti inilah yang Kalandra benci, terlihat menyedihkan saat bercerita tentang masa lalunya.

"Kakak tahu apa yang Zio rasakan? Sebelum mengetahui kalo Zio anak kandung papa Bayu?" Kenzio mengulas senyum tipis, ingatan ia menduduki bangku sekolah dasar terlintas.

Seorang anak berusia sembilan tahun tampak tidak memiliki teman sama sekali, bahkan tidak ada yang mau berteman dengannya. Kenzio kecil terlihat menyedihkan, ia selalu dibully dan tak segan disuruh seperti seorang pembantu.

"Mereka mengolok-olok Zio, menyuruh Zio seperti pembantu, dipandang sebelah mata. Bahkan, setiap hari saat Zio masuk sekolah, mereka membully Zio. Mereka bilang, kalo Zio anak haram. Anak hasil dari hubungan terlarang," ucap Kenzio dengan parau.

Kalandra menelan ludah sendiri, matanya memanas mendengar curahan hati sang adik. Ia tahu bagaimana kehidupan Kenzio waktu itu. Mereka sama-sama terluka.

"Tetapi bedanya ...." Zio menjeda ucapannya, menatap sekilas ke arah Kalandra yang bergeming mendengar curahan hatinya. "Kakak terlalu pintar menyembunyikan luka di depan orang lain, sedangkan aku terlihat lemah di mata orang lain. Asal Kakak tahu saja, setelah kebenaran itu terungkap, tidak ada gunanya membenci mereka yang sudah menorehkan luka kepada kita."

Kalandra tertawa kecil, tetapi bagi Kenzio itu terdengar bukan seperti tawaan. Melainkan nada seseorang yang sedang berusaha mengontrol kesedihannya agar tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa ia sedang bersedih. Tangan Kalandra menepuk pelan bahu Kenzio, lalu ia merubah kembali raut wajah menjadi datar.

"Mungkin lo berpikir seperti itu. Asalkan lo tahu aja, luka yang ditorehkan oleh kedua orang tua, sangat sulit disembuhkan. Bahkan di saat seorang anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian, orang tuanya malah memberikannya materi saja. Bukan kemauan si anak." Kalandra tersenyum kecut, menatap Kenzio dengan  dingin. "Ini bukan soal luka karena tidak diberi perhatian dan kasih sayang, tetapi luka atas penghinaan dan main tangan terhadap anak."

"Mungkin lo cuma dapat bully dari anak seumuran lo, tetapi Kalandra remaja mendapatkan tamparan keras. Padahal ia tidak sengaja melakukan kesalahan itu, asal lo tahu aja. Luka itu belum sembuh, masih tergores di dalam hati," lanjut Kalandra.

"Rasa benci itu hanya sesaat, Kak. Suatu hari nanti juga, Kakak bakal merasa kasihan dan takut kehilangan papa. Zio cuma mau ngasih tahu, kalo papa sebenarnya sayang dan cinta sama Kakak. Papa nggak pernah membandingkan rasa sayangnya, mau itu ke Kakak ataupun ke Zio." Kenzio beranjak dari duduknya.

"Zio mohon, jangan dengarkan apa kata logika. Namun, dengarkanlah apa kata hati. Ya, walaupun mengikuti apa kata hati itu tidak mudah. Lekas sembuh, Kak." Setelah mengucapkan itu, Kenzio berjalan menjauh dari kosan Kalandra.

Kalandra menatap punggung Kenzio menjauh dari kosannya bersama ketiga bodyguard suruhan sang papa. Perlahan punggung itu menghilang di belokan gang sana.

Pikiran Kalandra kacau, ia tidak memedulikan rasa sakit di pipi dan sudut bibir saat mengumpati kata-kata kasar. Ia sangat benci berada di dalam situasi seperti ini.

"Argh ...!" umpat Kalandra memukul dinding dengan keras.

TBC:
Menerima kritik dan saran:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro