21. Jatuh Cinta
"Lo sih malam-malam malah balik, udah sih tidur di rumah gue. Jadi kayak gini 'kan," ucap Rio merasa kesal sendiri.
Mendengar kabar bahwa Kalandra babak belur. Segera Rio melesat ke kosan milik Kalandra, menjenguk laki-laki itu. Pantas saja saat Rio ingin mengajak solat subuh berjamaah, ia tidak melihat Kalandra di kamar tamu.
Di kosan Kalandra juga sudah ada Renal dan Kei turut menjenguk keadaannya. Mereka berdua tidak terima jika Kalandra dikalahkan begitu saja.
Seharusnya di hari minggu seperti ini, Renal dan Kei kembali bekerja, melancarkan strategi yang akan mereka susun demi bisa menyingkirkan Pandoker.
Bukannya merasa senang dijenguk sahabatz justru Kalandra malah berdecak kesal. Ia menatap satu per satu sahabatnya. Luka lebam yang ada di wajah, ssudah ia obati sendiri. Ucapan Kevin semalam masih terngiang. Sepertinya ia harus menjadi pelindung Nayla dan Kenzio mulai sekarang.
"Kal, kok muka lo kayak yang nggak suka kalo kkta datang," ucap Kei mengetahui raut wajah risi dari Kalandra.
"Iya, gue risi! Sana pulang, gue nggak apa-apa," usir Kalandra sehalus mungkin.
Renak berdecak tak suka, memutar bola matanya ke arah lain. "Lo risi atau emang ada sesuatu yang lo sembunyiin?" Renal memicingkan matanya menatap Kalandra.
Kalandra terdiam sembari memegangi luka di sudut bibirnya. Ia enggan memberitahu yang sebenarnya kepada Renal.
"Jangan main rahasia-rahasian, kalo ada masalah cerita sama gue," ujar Renal merasa yakin jika Kalandra sedang dalam masalah.
"Gue nggak apa-apa," tutur Kalandra.
"Yakin?" tanya sekali lagi Renal.
Kalandra mengangguk, mengiyakan. Lebih baik mengiyakan saja daripada urusannya panjang nanti. Ia tidak ingin membahas soal Pandoker lagi dan lagi. Telingannya terasa panas apabila mendengar nama geng itu.
"Batas waktu pertandingan lo sama Kemal, satu minggu lagi." Renal membeberkan kabar itu kepad Kalandra.
Seharusnya yang terkejut mendengar kabar itu ialah Kalandra bukan Rio. Rio menatap Renal dengan alis berkerut, mereka sudah saling mengenal saat ia baru saja menduduki bangku SMA. Kalandra mengenalkan Renal kepada Rio.
"Satu minggu juga, Kalandra disibukan dengan ujian nasional." Rio menimpali. Ia tahu pertandingan apa yang dimaksud oleh Renal.
"Gue tahu, tetapi setelah ujian itu selesai. Kemal minta pertandingan itu segera dilangsungkan."
"Emang ada ya, turnamen MMA sekarang?" tanya Rio, membuat ketiga laki-laki itu saling melirik satu sama lain. Mereka tidak ingin ada orang lain tahu selain anggota Champin.
Kei merangkul Rio sembari memgulas senyum lebar. "Masa lo nggak tahu? Ada kok turnamennya," alibi Kei.
Sementara Rio memanggut-manggut mengerti. Kalandra memijat pelipisnya yang terasa pening, rasa perih di pipi kiri kembali terasa. Bogeman yang diberikan oleh Kevin bukan main, sangat nyeri.
Suara pesan masuk menyita perhatian Kalandra, ia menatap layar gawainya. Nama Kenzio terpajang di layar monitor gawai. Baru saja Kalandra memikirkan sang adik, anak itu sendiri yang menghubungi lebih dulu.
Rio penasaran pesan dari siapa yang Kalandra dapat, ia menyembulkan kepalanya melihat layar monitor gawai itu. Belum saja melihat jelas, Kalandra malah menjauhkannya.
"Kepo banget sih lo!" bentak Kalandra merasa tidak suka jika ada orang lain yang ingin tahu isi gawainya.
Rio berdecak, menatap malas ke arah Kalandra. "Cuma penasaran doang."
Kei terkekeh melihat raut kesal dari Rio, ia kembali merangkul Rio layaknya seorang sahabat. Begitu juga dengan Rio yang merasa tak keberatan sama sekali.
"Calm down, lo kayak yang nggak tahu Kalandra kayak gimana aja," ucap Kei sembari terkekeh pelan menatap Kalandra yang sedang kesal.
"Selalu marah karena hal sepele," jelas Rio membenarkan ucapan Kei.
"Sana pulang, gue mau istirahat." Kalandra beranjak dari duduknya. Menarik tangan Kei dan Rio keluar dari kamar. Begitu juga dengan Renal.
Kalandra mengusir ketiga laki-laki itu dari kosannya. Tak peduli dengan rengekan Kei dan juga Rio yang meminta agar dirinya tetap berada di kosan. Pintu tertutup dengan kasar, tak lupa juga Kalandra menguncinya.
Ia sengaja mengusir ketiga laki-laki itu, agar pikirannya sedikit tenang. Jika mereka masih berada di kosan, Kalandra menjamin jika ia tidak bisa istirahat dengan tenang.
Terlalu banyak beban pikiran yang merasuk dalam otak Kalandra. Memikirkan tentang ujian nasional, agar ia bisa membuktikan kepada sang Papa, menebus nilai pelajaran yang tertinggal, dan memikirkan, bagaimana caranya melindungi Kenzio dan juga Nayla dari Pandoker.
Lamunan itu buyar tatkala indra pendengarnya menangkap suara ketukan pintu. Kalandra mengepalkan tangannya kuat-kuat, entah kenapa ia berpikir bahwa yang mengetuk pintu ialah Kei dan juga Rio. Ia tidak ingin ada orang yang menganggu kenyamanannya.
"Lo mau apa lagi---"
Ucapan Kalandra menggantung sembari mengepalkan tangannya di knop pintu. Alis Kalandra berkerut mengenali siapa yang datang, dari mana gadis itu tahu kosannya?
"Nayla? Ngapain lo ke sini?" Kalandra menatap Nayla dengan tajam.
Nayla mengulas senyum manis. Kantung kresek dalam genggamannya, ia naikan di udara agar Kalandra bisa melihat bahwa ia datang untuk menjenguk.
"Duduk." Kalandra menyuruh Nayla duduk di kursi panjang kayu depan kosannya.
"Lo tahu dari mana kosan gue?" Kalandra bertanya seraya memicingkan matanya dengan curiga. Perasaan ia tidak pernah memberitahu alamat kosannya ke siapapun.
"Rio yang ngasih tahu aku, kalo kamu di keroyok orang sampe babak belur," jelas Nayla, menatap Kalandra penuh arti.
Andai saja Kalandra memiliki perasaan yang sama dengan Nayla. Akan tetapi, Kalandra hanya menganggap Nayla seorang teman berbagi cerita saja. Ingin sekali ia memiliki kisah seperti di wattpad atau seperti gadis yang lainnya.
"Lo bawa apa?" tanya Kalandra, membuyarkan lamunan Nayla.
Nayla tersenyum, ia membuka kantung kresek itu. Mengeluarkan kotak makan berwarna biru muda, lalu membukannya. Terdapat roti bakar selai cokelat lumer, membuat cacing dalam perut Kalandra meronta meminta diisi. Jujur saja, Kalandra belum sempat sarapan tadi, ia terlalu sibuk dengan luka di sekujur wajah.
"Makanlah, kata Rio kamu belum sarapan," ujar Nayla.
Kalandra menatap Nayla sekilas, membuang tatapannya ke arah lain. "Rio ngasih informasi sebegitu jelas?"
Nayla menggeleng kecil, "Tadi aku ketemu sama dia di depan gang. Katanya dia diusir sama kamu, emang benar?" Nayla menatap Kalandra dengan raut keingintahuan.
"Kalo iya, kenapa?" Kalandra menyentak.
Nayla hanya bisa mengembuskan napas kasar. Sifat asli Kalandra ternyata sudah keluar. Nayla kembali menyodorkan kotak makan itu ke hadapan Kalandra.
"Ambillah, sarapan dulu." Nayla dengan sabar menawari roti itu kepada Kalandra.
Kalandra menatap sekilas Nayla, tak ingin menolak rezeki. Kalandra mengambil sepotong roti bakar itu, menyuapkan ke dalam mulut.
"Nggak baik lho, mengusir teman yang sedang datang menjenguk."
"Tapi ganggu," balas Kalandra sesudah mengunyah rotinya.
"Terserah kamu sih, ketus mulu. Lagi sakit juga," tutur Nayla seraya menatap Kalandra yang sedang menghabiskan rotinya.
"Sakit ini nggak seberapa diban---"
"Dibandingkan dengan rasa sakit di hati?" Kalandra menatap Nayla dengan datar, sedangkan Nayla tertawa kecil. Ia sudah tahu apa yang ingin Kalandra katakan.
Melihat tawa kecil itu, entah kenapa hati yang terasa sepi kembali terisi. Senyum itu mengingatkan Kalandra kepada sang mama. Setiap ia berada didekat gadis itu, hatinya selalu menghangat. Apa lagi perlakuan Nayla yang menganggap Kalandra ada dalam lingkungan sekolah.
"Kenapa gue ngerasa aneh gini ya?" tanya Kalandra menatap Nayla tanpa jeda.
Nayla terdiam. Dengan ragu, ia menoleh menatap Kalandra sedang menatap dirinya. Tatapan mereka saling bertemu, netra keduanya menyiratkan asa yang terpendam.
"Mungkin kamu berhasil menemukan orang yang sudah mau mendengar ceritamu," balas Nayla asal. Sebenarnya ia tahu maksud dari rasa aneh itu. Ia juga merasakan hal yang sama.
"Ngaco lo," elak Kalandra. Tatapan Kalandra kembali dialihkan ke arah lain.
"Habiskan sarapannya, aku akan merasa bahagia. Jika kamu menghabiskannya." Nayla memberikan kotak makan berisi roti tersebut ke tangan Kalandra.
Tak ingin membuat Nayla sedih. Kalandra menghabiskan roti tersebut. Membuat suasana di antara mereka mendadak hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Nayla melirik sekilas ke arah Kalandra, roti bakar pemberiannya tersisa sepotong lagi. Senyum tipis terbingkai di bibir, ia merasa senang jika Kalandra menghabiskannya.
"Aku boleh bertanya sama kamu?" Nayla menatap Kalandra penuh arti, berharap pertanyaannya bisa dijawab.
"Apa?"
"Kamu pernah jatuh cinta?" tanya Nayla hati-hati.
Kalandra bungkam. Lidahnya kelu. Pertanyaan macam apa ini? Jatuh cinta? Kalandra juga tidak tahu apa arti jatuh cinta. Ia menatap Nayla dengan sebelah alis terangkat.
"Pertanyaan yang sangat bodoh. Emangnya jatuh cinta apa artinya?" Kalandra kembali bertanya balik kepada Nayla.
Sementara Nayla yang susah payah menetralisir jantungnya, mendadak dibuat bingung. Ia tidak yakin jika Kalandra tidak tahu arti jatuh cinta, tetapi melihat kesungguhan di netra hitam pekat itu. Membuat Nayla yakin, jika Kalandra sama sekali tidak tahu apa artinya jatuh cinta.
"Jatuh cinta itu ... merasakan getaran aneh saat berada bertemu dengan seseorang. Merasakan bahagia saat dekat di sisi orang itu. Lalu selalu memikirkan orang itu setiap saat, bahkan merindukan sosok orang itu," jelas Nayla seraya menatap Kalandra, begitu juga sebaliknya.
Kalandra terdiam. Kerongkongannya mendadak kering, susah payah ia meneguk salivanya. Angin pagi, menerpa wajah Kalandra. Segera Kalandra membuang tatapannya ke arah lain.
"Jatuh cinta, ya?" Kalandra menggantung ucapannya. Entahlah, ia belum merasakan jatuh cinta.
"Nggak, gue belum pernah ngerasain. Kalo soal cinta sama lawan jenis juga belum. Cinta dari bokap aja terasa kurang, gimana mau cinta sama lawan jenis?" Kalandra melanjutkan ucapannya, menerewang jauh.
Jatuh cinta? Dua kata itu tidak pernah mewakili jalan hidup Kalandra, yang ia tahu hanyalah pertengkaran kedua orang tua saja. Selebihnya, Kalandra menutupi diri.
"Mungkin kamu belum merasakan yang sesungguhnya," papar Nayla.
"Balas yang lain, jangan bahas cinta," kilah Kalandra.
"Kenapa? Asalkan Kakak tahu saja, cinta papa untuk Kakak begitu besar," sambung seorang pemuda bermata sipit seperti orang Tiongkok, berdiri di hadapan Kalandra.
Kalandra bangun dari duduknya begitu juga Nayla. Kilatan api kebencian terpancar dari netra hitam pekat itu, netra yang memancarkan keteduhan tadi berubah menjadi tajam. Nayla menatap pemuda Tiongkok itu dengan alis berkerut, belum lagi ketiga pria paruh baya di belakang pemuda itu.
"Ngapain lo ke sini?" Kalandra membentak, ia tampak tak suka dengan kedatangan Kenzio di kosannya, apa lagi dengan kawalan bodyguard sang papa.
"Menjenguk Kakak sendiri memangnya tidak boleh?" tanya Kenzio dengan tenang, tak peduli jika ia mendapatkan semprotan marah dari Kalandra.
Nayla yang menyimak, menyimpulkan bahwa pemuda Tiongkok ini adalah adik Kalandra. Nayla menatap bergantian kedua pemuda itu, tetapi ia tidak menemukan kemiripan sama sekali di wajah keduanya. Hanya saja Nayla merasa tak asing dengan wajah pemuda Tiongkok ini, ah iya pemuda itu sangat mirip dengan papa Kalandra.
Akan tetapi bagi Nayla masih tampanan Kalandra. Jika dilihat-lihat Kalandra seperti memiliko wajah keturunan asia-jawa, berbeda dengan pemuda Tiongkok itu, sepertinya begitu yang Nayla lihat.
"Pemuda Tiongkok ini siapa, Kalan?" Nayla yang sedari tadi diam, membuka suara.
Kenzio dan ketiga pria paruh baya tertawa kecil mendengar pertanyaan Nayla. "Tiongkok?" Kenzio bertanya sekali lagi.
Nayla mengangguk kecil mengiyakan. Sementara Kalandra sudah geram.
"Aku tidak memiliki darah Tiongkok. Mungkin saja ini gen turunan dari papa."
Nayla mengangguk sembari ber-oh-ria. "Apakah kamu adiknya, Kalan?"
Kenzio tersenyum kecil, menyenangkan juga mengobrol bersama kekasih sang Kakak. "Iya. Apakah kamu kekasih Kakakku?"
Mulut Nayla terkatup. Ia bingung harus menjawab apa.
"Dia temen gue," jelas Kalandra.
Kenzio mengangguk mengiyakan. "O, teman. Mungkin belum sepenuhnya menjadi kekasih."
"Zio, sekali lagi lo ngeledek gue. Gue pastikan lo pulang tanpa kaki," geram Kalandra, ia tahu jika Kenzio hanya meledek saja.
"Wow, takut. Tapi sebelum Kakak lakuin itu, lihay dulu ketiga bodyguard bayaran papa. Sangat ahli mematahkan leher orang," kata Kenzio.
Kalandra berdecak kesal. Sementara ketiga pria paruh baya berbadan kekar itu tertawa kecil melihat pertengkaran adik kakak berbeda rahim. Momen seperti inilah yang jarang mereka lakukan sejak insiden dua tahun silam itu.
"Muka lagi lebam gitu, seenaknya ngomong matahin kaki orang," cibir Nayla. Buru-buru Nayla menutup mulutnya, ia takut jika Kalandra mendengarnya.
Benar saja, Kalandra menatap dirinya dengan tajam. Seolah-olah tatapan memberi peringatan. Sedangkan Kenzio mengulas senyum penuh arti.
"Sepertinya, aku datang di waktu yang kurang tepat."
"Iya!"
TBC:
Mohon tag apabila ada typo. Please:)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro