20. Gengsi
Seminggu lagi, ujian nasional akan segera dilangsungkan. Membuat Kalandra dan Nayla sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka berlomba demi bisa mendapatkan gelar juara umum.
Apa lagi Guanna Three setiap tahun sekali akan menggelar tropi student of the year, seluruh murid dari kelas 10, 11, dan 12 bersaing sengit demi bisa mendapat gelar terbaik. Entah gelar kelas paling ramah dan terbersih, sampai gelar juara umum dalam bidang akademik maupun non akademik.
Akan tetapi, sepertinya Kalandra tidak tertarik merebutkan tropi itu. Ia hanya ingin membuktikan kepada sang Papa bahwa ia bukanlah anak pembawa sial, apa lagi tidak berguna. Sudah cukup sang Papa merendahkan kemampuan Kalandra.
Jika saja dulu, sang Papa tidak berselingkuh. Kalandra tidak akan berubah menjadi anak pembangkang. Sampai mempermalukan keluarga Regalion, entah malu di hadapan publik maupun kerabat sendiri. Sudah banyak pil pahit yang Kalandra dapatkan semasa beranjak remaja. Tak ada lagi perhatian dan kasih sayang yang ia dapat dari sang Papa.
Saat Kalandra menunjukan prestasinya dulu, Bayu--papa Kalandra malah tidak peduli. Akan tetapi, jika Kalandra berbuat onar di sekolah. Sang papa baru peduli dan memarahi sampai menghina dirinya.
Miris sekali menjalani hidup seperti itu. Setiap malam mendengar pertengkaran mereka, melihat sang Mama terluka, dan melihat betapa kejamnya sang Papa melampiaskan amarah kepada dirinya.
Kalandra memejamkan mata, merasakan angin malam menerpa wajahnya. Kenapa di saat ia ingin melupakan dan memaafkan sang Papa, justru masa lalu itu terus saja menghantui? Seakan-akan Tuhan tidak mengizinkan Kalandra hidup dengan tenang.
Rasa tidak suka untuk sang Papa masih membekas dalam hati. Bahkan, ingatan saat dirinya dijebloskan dalam penjara pun masih tercetak dalam ingatan. Betapa menyedihkannya Kalandra dulu.
"Kalan," panggilan Rio menyadarkan Kalandra kembali ke dunia nyata.
Kalandra menoleh ke arah Rio, menatap laki-laki itu dengan penuh tanda tanya. Kalandra sengaja mampir ke rumah Rio, memenuhi undangan makan malam Tante Risma--mama Rio.
Setelah makan malam berakhir, Kalandra mengiyakan permintaan Rio, menyuruhnya menginap semalaman. Alhasil mereka memilih mengobrol di balkon kamar sembari menyesap kopi.
"Lo nggak apa-apa?" Rio bertanya, ia merasa khawatir melihat raut wajah Kalandra yang begitu gelisah.
"Gue nggak tau, Ri. Gue masih kepikiran sama masa lalu," ucap Kalandra mengadah ke hamparan langit malam.
Rio menghentikan niatnya yang ingin menyesap kopi, menatap Kalandra dengan iba. Sejujurnya, Rio merasa kasihan kepada Kalandra. Semenjak insiden dua tahun silam, laki-laki itu banyak berubah.
"Lo harus ikhlas, Kal. Coba lo sekali aja maafkan mereka," papar Rio mencoba bijak.
"Gue udah ikhlas."
"Bohong. Kalo lo ikhlas, lo nggak mungkin nolak ketemu sama Kenzio." Rio tersenyum tipis melihat keterdiaman Kalandra.
"Jangan gedein gengsi, Kal. Gue tau lo sebenarnya sayang sama adek tiri lo. Buktinya waktu dia di bully, lo nyelamatin dia berkali-kali," sambung Rio.
Kalandra terdiam. Ingatan peristiwa Kalandra remaja dan Kenzio kecil terlintas. Rio benar, masih ada rasa sayang di hati Kalandra untuk Kenzio. Namun, rasa itu kalah oleh gengsi dan kebencian.
"Situasinya berbeda, Ri. Dulu gue anggap dia adik karena belum tau yang sebenarnya. Setelah gue tau, entah kenapa gue nggak suka sama dia." Kalandra berucap dengan dingin. Rasanya begitu sesak apabila mengingat masa lalu.
"Ck, jangan bohongin perasaan sendiri, Kal. Jangan lihat dari masa lalunya, masa lalu biarlah berlalu. Lo cuma iri waktu itu, Kal. Di saat lo butuh perhatian, bokap lo malah lebih perhatian sama Kenzio 'kan?"
"Gue nggak iri, emang udah hak dia dapatkan perhatian bokap gue. Gue cuma---"
"Cuma apa? Sebenarnya lo tuh bencinya sama bokap dan nyokap tiri lo, bukan Kenzio. Di sini yang jadi korban tuh lo sama dia. Jangan lampiaskan rasa benci lo ke Kenzio juga. Dia bener-bener berharap lo nyapa dia kemarin." Rio memotong cepat ucapan Kalandra. Ia merasa gemas sendiri menghadapi Kalandra yang keras kepala.
"Gue ngantuk." Kalandra beranjak dari duduknya, bersiap masuk ke dalam kamar tamu.
"Lo selalu menghindar dari obrolan soal Kenzio. Fix, lo beneran gengsi buat nyatain kalo sebenarnya lo tuh sayang dia sebagai adik. Asal lo tau aja, Kenzio merasa kehilangan saat dia diterbangkan ke Inggris. Dia curhat ke gue, kalo dia kehilangan sosok Kakak dan malaikatnya. Sampe dia nanyain terus soal kabar lo lewat gue." Rio menghentikan langkah kaki Kalandra.
Kalandra mendengarnya, ia menoleh sekilas. Lalu kembali melanjutkan langkah kakinya keluar dari kamar Rio.
Rio mengembuskan napas berat, percuma saja membujuk Kalandra yang keras kepala agar bisa berbaikan dengan Kenzio.
"Susah, luluhin si kepala batu mah," gerutu Rio merasa kesal sendiri.
***
Jam menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi Kalandra belum bisa memejamkan mata. Ucapan Rio tadi masih terngiang-ngiang, ia menimang dan mencerna dengan baik ucapan Rio.
Kalandra bangun dari tidurnya, berlalu menuju kamar mandi. Setelah selesai dari kamar mandi, Kalandra menyambar jaket kulit yang berwarna hitam. Tatapan Kalandra tertuju ke sekitar kamar tamu yang ia tempati. Terasa gelap dan sunyi.
Langkah lebar Kalandra membawanya keluar dari rumah Rio. Ia menduduki motornya, meng-starter, lalu melaju membelah jalanan kota.
Tidak ada kendaraan yang terlihat di jam dua dini hari. Jalan raya tampak sepi, udara dingin menyeruak ke dalam relung tulang. Kalandra menepi ke sisi jalan, mengusap wajah dengan kasar. Ia frustrasi, memikirkan ucapan Rio.
"Entahlah, gue nggak tau apa ini gengsi atau bukan?" Kalandra mengadah langit, mendesah pelan mengingat masa lalu menyakitkan selalu terlintas.
"Gue belum bisa berdamai dengan masa lalu sepenuhnya. Luka yang ditorehkan oleh papa masih membekas, apa lagi luka melihat mama mati di depan mata kepala gue sendiri. Jujur gue terpuruk," gumam Kalandra dengan parau.
Suara deru motor terdengar, membuat Kalandra dengan cepat melirik ke arah kaca spion. Senyum tipis terbingkai di bibirnya tatkala mengenali lima motor ninja yang kini berhenti di belakangnya.
"Jangan coba-coba kabur, pengecut!" teriak laki-laki yang Kalandra kenali. Laki-laki itu maju paling depan menatap Kalandra dengan penuh permusuhan.
Kalandra turun dari motor, berjalan menghampiri laki-laki itu. Kilatan amarah tertahan terpancar di balik netra laki-laki itu.
"Hai, Kevin?" sapa Kalandra berbasa-basi, ia tersenyum meremehkan. Sudah lama ia tidak bertemu laki-laki itu.
Kevin berdecak tak suka, menatap nyalang ke arah Kalandra. Ingin sekali ia meninju wajah sok tampan milik Kalandra. Atau bisa membuat Kalandra bertemu ajalnya.
"Akhirnya kita ketemu juga. Di jam seperti ini, ternyata si mantan napi sering keluyuran malam juga," sindir Kevin seraya terkekeh meremehkan.
"Gue juga nggak nyangka bisa ketemu sama si bonekanya Pandoker. Gimana kabar adik lo di penjara, sehat?" Kalandra meledek Kevin. Raut wajah kevin berubah menjadi merah menahan amarah.
Kalandra tahu jika Kevin merupakan kakak dari Januar. Boneka Pandoker menurut Kalandra.
"Lo nggak usah mikirin kabar adik gue, pikirin aja adik tiri lo. Lo mau gue bantu buat singkirkan dia? Siapa namanya? Ah ya, Kenzio ... si anak haram." Kevin mengulas senyum sinis. Ia merasa puas melihat raut wajah Kalandra sedang menahan emosi.
"Jangan macem-macem sama dia. Urusan lo cuma sama gue bukan dia!"
"Begitu juga lo."
"Januar salah, dia mesti dapet hukuman. Dia udah berani melecehkan seorang gadis, gue nggak ikut campur di sini."
"Ah, banyak bacot lo!"
Kevin meninju wajah Kalandra, tetapi Kalandra berasil menghindar. Pertarungan mereka pun terjadi, sedangkan keempat anggota Pandoker hanya diam menonton. Mereka tahu bahwa Kevin sangat berambisi ingin menghajar Kalandra.
Berbagai tangkisan dan tinjuan Kalandra terima, begitu juga sebaliknya. Sampai ditinjuan terakhir, Kevin memberi bogeman di wajah Kalandra dan juga perut begitu keras. Kalandra lengah, ia jatuh tersungkur. Pertama kali, ia dikalahkan.
Kalandra memegangi perut yang terasa nyeri, menahan rasa perih di sudut bibir dan wajahnya yang tampak bonyok. Kevin mengulas senyum penuh kemanangan, senyum seringai terbingkai di bibir Kevin.
"Gue bakal catet hari di mana seorang Kalandra kalah dari Pandoker. Gue tunggu lo di MMA lawan Kemal, hari ini gue lepasin lo. Sebenarnya gue masih pengen ngebuat luka di setiap wajah lo." Kevin menendang kaki Kalandra, berlalu menghampiri teman-temannya.
Kalandra menatap penuh amarah ke arah mereka. Motor mereka berlalu meninggalkan Kalandra sendiri. Kalandra mengusap darah di sudut bibirnya, jika saja ia tidak mendengar ucapan Kevin tadi. Mungkin ia sudah mengalahkan laki-laki itu.
"Asal lo tahu aja, setelah ini adik lo bakal terima akibatnya. Apa lagi Nayla," bisik Kevin di telinga kalandra. Ucapan itu terngiang-ngiang di kepala Kalandra.
Kevin bermain curang, ia membisikan kata-kata itu, sehingga membuat Kalandra tidak fokus. Ia tidak bisa membayangkan jika ucapan Kevin menjadi kenyataan.
Kalandra berusaha bangun dari duduknya, memegangi perut yang terasa nyeri. Berjalan perlahan ke arah motornya.
"Gue nggak bakal ngebiarin, Kevin ganggu Zio sama Nayla," lirih Kalandra menahan rasa perih di wajah dan sudut bibir.
Tbc:
Mohon maaf kalo masih ada typo, karena saya menulis langsung dipublish:)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro