19. Kemal Is Back
Suasana ruangan itu tampak remang, pengap dan berdebu. Seperti jarang dibersihkan, bahkan berbagai sampah snack dan botol alkohol tergeletak di mana-mana. Gorden jendela pun jarang sekali dibuka. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat si penghuni merasa risi dengan keadaan ruangan yang tampak kotor. Ia terlihat tampak nyaman.
Suara derit kursi goyang menggema di penjuru ruangan, seakan-akan menambah kesan menyeramkan. Seorang laki-laki bersurai ikal, memejamkan mata seraya menikmati ayunan kursi goyangnya. Kedua tangannya dengan lihai bermain di setiap sisi pisau cutter besar. Pikirannya berkelana, menyiapkan strategi apa yang akan ia jalankan untuk mengalahkan sang musuh.
Mata itu terbuka tatkala cahaya terik matahari memasuki ruangan, menerpa kulit wajahnya. Kilat amarah tertahan dibalik netra kebiruan itu. Bibir tipis berwarna merah muda itu mengumpat kasar.
"Gue nggak suka kalo ada orang yang berani mengusik ketenangan gue!" bentak laki-laki bernetra kebiruan, dengan kilatan penuh amarah tertahan.
Senyum sinis terbingkai di bibir laki-laki lain, berdiri tak jauh dari gorden jendela itu. Ia sengaja membuka gorden jendela yang jarang sekali tersentuh itu, membuat kesal laki-laki bernetra kebiruan.
"Lo suka atau nggak itu bukan urusan gue," sentak laki-laki bernetra mata cokelat terang, bersurai pirang. Ia berjalan ke arah sisi lemari sudut, berbagai senjata api terpajang dalam lemari tersebut.
"Mau lo apa, Kevin? Jangan nyoba-nyoba sentuh senjata itu," ketus laki-laki bernetra kebiruan.
"Ayolah, Kemal. Kenapa lo sensitif kayak gini, huh? Kayak perempuan lagi menstruasi saja," ejek Kevin. Tangan Kevin terulur mengambil senjata Accuracy International Arctic Warfare, senjata yang mampu menarik perhatiannya.
"Jangan coba-coba gunakan senjata itu," ujar Kemal seraya menatap lurus ke depan. Ia tahu bahwa teman seperjuangannya--Kevin sedang mengagumi berbagai senjata hasil ia rancang sendiri, beli dari berbagai negara, dan hasil penjualan ilegal.
"Accuracy International Arctic Warfare, senapan sniper kebanggaan Inggris. Sistem operasi bolt action. Senjata yang mampu menembak dari jarak 800 meter, dengan menggunakan peluru 7,62mm, bukan begitu?" Kevin tersenyum sinis, ia berjalan menghampiri Kemal yang sedang menyesap vodka.
"Lo dapet senjata ini dari mana? Ilegal?" Kevin kembali bertanya seraya tersenyum meremehkan.
"Bukan urusan lo!"
Kevin terkekeh menyeringai, menatap nyalang ke arah Kemal. "Pembalasan dendam, gue mau dendam gue terbalaskan!"
Suara Kevin terdengar dingin penuh dengan penekanan. Ia tidak perlu bertele-tele akan maksud kedatangannya menemui Kemal--teman seperjuangan bisnis ilegal. Kemal mendongak menatap wajah sang sahabat, netra mata laki-laki itu tampak dipenuhi oleh kilatan amarah. Seulas senyum sinis terbingkai di bibir tipis milik Kemal.
"Kalandra," gumam Kemal.
"Nama yang udah menghancurkan adik gue. Gara-gara dia, Januar dipenjara." Kevin mengepal kuat senapan dalam genggamannya. Dalam netra itu menyiratkan amarah tertahan.
"Gara-gara dia juga, David mati!" Kali ini Kemal menyentak. Memori dua tahun silam berputar dalam pikiran. Ia mengeratkan genggaman gelas kecil berisi vodka, netra matanya memerah akibat terlalu banyak minum dan menahan emosi tertahan.
Gelas itu hancur berkeping-keping dalam genggaman tangan Kemal. Darah mengalir di telapak tangannya, rasa perih menjalar di tangan. Akan tetapi, tidak membuat Kemal tampak kesakitan sedikitpun.
"Gue mau pembalasan dendam segera dilaksanakan. Gue pengen dia mati tepat di depan gue sendiri," seru Kevin.
"Masalahnya dia susah dikalahkan. Bahkan lima anggota Pandoker bertampang preman dia kalahkan." Kemal memejamkan mata mengingat bagaimana Kalandra melumpuhkan anak buahnya sendiri.
"Lalu bagaimana dengan MMA yang lo tantang buat dia? Lo siap?" tanya Kevin.
"Kalo itu gue udah siap, tetapi si pengecut itu belum bilang setuju."
Kevin mengulas senyum licik, "Sebelum MMA ilegal itu dilangsungkan, gue mau bikin kejutan dulu buat dia. Anggap pemanasan."
"Kejutan?" Kemal mengkerutkan dahi menatap Kevin.
"Sedikit bermain-main sama mantan napi itu." Kevin berjalan ke arah Kemal, membelakangi laki-laki itu.
"Gue denger, adik tirinya udah pulang dari Inggris dan bakal menetap di Indonesia. Nggak cuma itu, si napi lagi deket sama cewek yang gue tau mantan dari Januar." Kevin menatap setiap inci senapan dalam gengaman tangannya.
"Woho ... mengejutkan." Kemal mengulas senyum licik, ia paham ke mana arah pembicaraan Kevin.
"O ya, satu lagi. Gue nggak mau ada kesalahan dalam MMA ilegal itu. Setelah lo memukuli si pengecut sampe babak belur, dan BOOM!" Kevin tertawa renyah membayangkan betapa hancurnya Kalandra nanti saat di MMA.
"Bersiaplah, Kalandra. Kematian lo nggak akan lama lagi," gumam Kemal dengan penuh penekanan.
***
Motor matic Kalandra berhenti di depan rumah Nayla. Segera gadis itu turun dari motor Kalandra, tak lupa juga senyum hangat terbingkai di bibirnya.
"Makasih ya udah nganterin pulang," ucap tulus Nayla.
Kalandra membalasnya dengan deheman kecil, tak peduli dengan ucapan itu.
"Kamu mah balesnya gitu mulu, nyebelin," keluh Nayla seraya mengerucutkan bibirnya.
Kalandra berdecak. Menatap malas ke arah Nayla. Niat ingin segera sampai di kosan, tertunda.
"Terus mesti gimana?" tanya Kalandra dengan nada sewot.
"Biasa dong, jangan sewot gitu!" tukas Nayla merasa tidak suka.
Kalandra mengembuskan napas kasar, menatap ke sekitar pekarangan rumah Nayla. Sementara Nayla, memasang wajah cemberut mendapat respon tak baik dari Kalandra.
"Orang lain bener ya, cowok mah selalu serba salah di mata cewek," ujar Kalandra.
"Kata siapa? Kalo cowoknya nggak buat salah mah, nggak bakal di cap seperti itu di mata cewek," balas Nayla.
"Kenapa jadi bahas kayak gini?" Kalandra berdecak tak suka.
"Lagian kamu duluan. Bukannya berubah bersikap lembut sama aku, masih aja ketus." Nayla merasa kesal sendiri dengan sikap Kalandra yang selalu berubah-ubah.
"Kenapa mesti lembut? Emang lo siapa gue?"
Kaki Nayla terasa lemas, hatinya terasa dihantam oleh benda tajam mendengar ucapan Kalandra. Ia berusaha mengerjapkan mata, menetralisir perasaannya.
Hatinya terasa sesak dan sakit rasanya cuma dianggap teman oleh Kalandra. Padahal Nayla sudah berharap lebih. "Ternyata bener ya kata orang. Jangan terlalu mengagumi berlebihan lawan jenis." Nayla membatin.
"Nay, Nay, Nayla!" sentak Kalandra menyadarkan Nayla.
Nayla tersentak, menatap penuh arti ke arah Kalandra. Buru-buru ia membuang pandangannya ke arah lain.
"Eh, kamu masih di sini? Nggak pulang?" Nayla mengalihkan pembicaraan. Berusaha menutupi rasa aneh di hati.
"Ini mau. Ngeliat lo yang ngelamun, gue khawatir lo bakal kerasukan," ucap Kalandra sembari meng-stater motornya.
"Gue balik ya, jangan kebanyakan melamun. Assalamu'alaikum." Kalandra melajukan motornya membelah jalanan kota.
"Wa'alaikumsalam," lirih Nayla menatap nanar motor Kalandra yang sudah menjauh.
"Gimana nggak melamun coba? Kamunya aja bilang yang bikin aku mikir dua kali," ucap pelan Nayla sembari berjalan gontai masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum ... Nay, pulang." Gara-gara ucapan Kalandra tadi, membuat Nayla tidak bergairah saja.
Regina menghampiri Nayla, mengusap lembut pipi anak gadisnya. "Kamu kenapa?"
Nayla menatap sang mama dengan sayang. "Ternyata kalo jatuh cinta sendirian tuh rasanya sakit ya, Mam?"
Regina mengulas senyum kecil, menangkup wajah Nayla dengan sayang. "Kalo kamu beneran jatuh cinta sama dia, minta sama Allah dekatkan dia di sisi kamu. Berdoalah di sepertiga malam, minta kepada Allah agar jadikan dia sebagai jodoh, Nayla."
"Kalo misalkan Allah nggak ngejodohin Nay sama dia, gimana?" Nayla kembali bertanya. Ia merasa tidak yakin jika Kalandra menyukainya.
"Ikhlaskan, berarti dia cuma singgahan di hati Nay." Regina mengulas senyum ke arah Nayla. Ternyata anak gadisnya sedang jatuh cinta, namun sendirian.
"Nayla cukup sadar diri kok, Mam."
Tbc:
Menerima kritik dan saran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro