Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Masa Lalu Kalandra

Bel tanda berakhirnya bimbel berbunyi, segera Nayla membereskan beberapa buku dan berlari menuju pakiran. Nayla tidak memedulikan Jihan dan Vidya yang memanggil namanya sedari tadi.

Sorot mata Nayla menyapu ke sekitar parkiran sekolah, hingga bola matanya terhenti menatap siapa yang sedang ia cari. Langkah kaki Nayla menghampiri Kalandra yang sedang duduk di motornya. Senyum manis terbingkai di bibir Nayla.

"Nunggu lama?" tanya Nayla.

"Nggak," balas singkat Kalandra seraya memberikan helm kepada Nayla.

Bibir Nayla mengerecut beberapa centi ke depan. Tidak bisakah pemuda itu sedikit melembut? Kenapa selalu ketus. Menyebalkan. Tidak ingin banyak bicara, Nayla menerima helm tersebut, lalu naik ke motor matic milik Kalandra.

Kalandra men-starter motornya, melaju membelah jalanan kota. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam membisu tanpa berniat membuka suara. Kalandra sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Nayla sibuk menebak ke mana Kalandra akan membawanya.

Lima puluh menit mereka menempuh perjalanan, motor milik Kalandra berhenti di toko bunga. Senyum Nayla tidak bisa lagi disembunyikan melihat Kalandra membeli bunga lily putih.

"Kamu kok tau kalo aku suka bunga lily putih," ucap Nayla tersenyum malu-malu saat Kalandra sudah kembali ke motornya.

"Siapa bilang ini buat lo," tutur Kalandra yang berhasil membuat Nayla malu sekaligus mendongakkan kepala menatap pemuda itu.

"M-maksud, Kalan ... apa ya?" Nayla tergagap, ia menatap wajah datar milik Kalandra.

"Ini bukan buat lo," ujar Kalandra acuh.

Nayla menahan rasa malu setengah mati, sungguh Kalandra sangat menyebalkan. Tidak ingin membalas lagi, Ia naik ke boncengan motor Kalandra. Menatap sekilas Kalandra dengan wajah ditekuk, sedangkan Kalandra tersenyum simpul tanpa diketahui oleh Nayla.

Motor matic Kalandra melaju kembali membelah jalanan kota. Tujuan Kalandra sekarang ini ke arah tempat pemakaman umum. Dua puluh menit, waktu tempuh Kalandra untuk sampai di TPU. Berbagai pertanyaan menyeruak dalam benak dan otak Nayla.

Nayla turun dari motor, menatap ke arah sekitarnya. Lalu tatapan itu kembali tertuju ke arah Kalandra. "Kita mau ngapain ke sini?"

Kalandra membalas tatapan Nayla, senyum tipis terbingkai di bibir pemuda itu. Membuat pipi Nayla memerah, pertama kali ia melihat Kalandra tersenyum walaupun senyuman itu tampak tipis.

"Ketemu calon mertua lo," ucap Kalandra dengan tenang tanpa adanya beban.

Nayla tersentak, kedua bola matanya membulat mendengar ucapan itu. Menatap Kalandra dengan tatapan seolah-olah mengatakan 'apa maksudnya?'. Sementara Kalandra semakin tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala melihat raut wajah penuh tanda tanya dari Nayla.

Kalandra berjalan terlebih dulu, meninggalkan Nayla yang sedang dilanda kebingungan. Dengan langkah cepat, Nayla mengekori Kalandra. Menyejajarkan langkahnya dengan pemuda itu.

"Maksud ucapan kamu tadi, apa ya?" tanya Nayla ingin memastikan.

Kalandra tetap Kalandra, ia mengacuhkan pertanyaan Nayla. Membuat Nayla menahan rasa kesal saja. Diam lebih baik, daripada bertanya tetapi tidak memiliki jawabannya, pikir Nayla.

Cukup lama mereka berjalan, kini sampai di salah satu gundukan tanah yang sudah berubah menjadi gundukan rumput. Kalandra berjongkok, mengelus pelan nisan mamer itu. Kerutan di dahi sekaligus pertanyaan penuh tanda tanya merasuk dalam benak Nayla.

Tatapan Nayla tertuju ke arah nisan mamer itu, tertulis nama 'Janvi Harunnisa Bin Harun Juliono'. Tak ingin banyak bicara, Nayla ikut berjongkok di samping Kalandra. Ia mengerti sekarang siapa yang sedang Kalandra kunjungi dan maksud dari ucapan Kalandra tadi.

Bunga lily yang Kalandra beli tadi, ia taruhkan di gundukan tanah. Tidak lupa juga ia merapalkan doa untuk sang Mama tercinta. Setelah selesai berdoa, Kalandra menoleh ke arah Nayla, ia sangat yakin sekarang ini, jika gadis itu sudah memiliki berbagai pertanyaan.

"Lo tau kenapa gue ngajak lo ke sini?" tanya Kalandra menatap lurus ke dalam netra mata milik Nayla.

Nayla menggeleng kecil, memang pada dasarnya ia tidak tahu maksud Kalandra mengajak dirinya ke sini. Nayla hanya tahu, bahwa sekarang ia sedang mengunjungi makam Mama Kalandra.

"Karena lo pengen tau masa lalu gue, maka dari itu dengan senang hati gue bakal ngasih tau lo. Ya ... walaupun rasanya sesak apabila menceritakan kembali." Kalandra kembali menatap batu nisan itu, tangannya masih terulur mengelus pelan nisan tersebut.

"Kalo misalkan kamu nggak kuat cerita, jangan dipaksa. Aku paham kok, maaf kalo aku terlalu lancang ingin tau lebih diri kamu." Sungguh Nayla merasa bersalah sekarang. Seharusnya, ia tidak melontarkan tantangan itu.

Kalandra menggeleng lemah, "Mungkin ini jawaban atas doa-doa gue, Nay. Seharusnya gue berbagi kesedihan gue sama orang lain. Bukan malah memendamnya sendiri."

Nayla tak menjawab, ia hanya diam. Mulutnya terkunci. Lidahnya kelu. Ia bingung harus menjawab apa.

Kerapuhan, Nayla bisa melihat betapa rapuhnya sosok si biang onar di sekolah. Satu hal yang belum pernah Nayla lihat dari seorang laki-laki yaitu air mata. Nayla tidak percaya jika Kalandra meneteskan air mata, walaupun hanya setetes.

Si biang onar sedang menangis. Jika di sini ada beberapa gadis alay, mungkin saja mereka akan mengambil potret Kalandra sedang menangis sekarang ini.

"Lo pasti pernah denger gosip, kalo gue mantan pembunuh atau mantan napi?" Kalandra tersenyum kecut mengucapkan kata 'pembunuh dan napi'.

Nayla tetap bergeming, ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Entah kenapa atmosfer di antara mereka berubah menjadi sedih. Entah Nayla yang sedang terbawa suasana atau cerita Kalandra memang terdengar begitu memilukan.

"Lo percaya kalo seorang anak yang sangat mencintai ibunya bisa setega itu?" Kalandra lagi-lagi bertanya. Tatapannya masih tertuju ke arah batu nisan milik sang Mama.

"Percaya nggak percaya sih. Seorang anak yang mencintai sang ibu, nggak mungkin menyakiti ibunya sendiri dan tidak akan pernah membiarkan sang ibu terluka."

Kalandra tersenyum getir. Miris rasanya memiliki kehidupan seperti ini. Ia bangun dari posisi jongkoknya, menatap sendu batu nisan mamer bertuliskan nama sang Mama.

"Boleh gue tanya sesuatu?" Kalandra kembali menatap netra mata milik Nayla.

Nayla mengangguk menanggapinya. Jujur saja Nayla juga merasakan kesedihan yang sedang diderita oleh Kalandra, netra hitam pekat itu mengungkapkan luka mendalam.

"Kenapa di saat semua orang menjauh dan menganggap gue sampah. Lo malah berusaha deketin gue demi bisa mendapatkan lentera teman?" Tatapan mereka saling bertemu. Ada sebuah luka di dalam netra hitam itu, sedangkan di netra cokelat terang milik Nayla ada sebongkah asa untuk bangkit dari masa lalu.

"Karena kamu manusia, sudah menjadi kewajiban manusia saling rangkul-merangkul. Mungkin aja yang mereka lihat belum tahu tentang kebenarannya, berbeda dengan aku yang melihat kamu seperti seorang yang sedang berusaha menutupi luka masa lalu. Kamu tau niat aku ingin mendapatkan lentera teman dari kamu?" Nayla membalas tatapan Kalandra.

Kalandra menggeleng lemah. Ia hanya berpikir jika Nayla berusaha mendapatkan lentera teman itu karena tantangan dari sahabat gadis itu sendiri.

"Aku ingin merangkul kamu kembali ke jalan yang benar, mungkin sulit melupakan masa lalu yang menyedihkan ataupun bahagia. Akan tetapi, kita mesti mencobanya. Jangan terlalu terpaku melihat ke belakang, cobalah untuk lihat ke depan dan sampingmu. Orang yang berada di sampingmu sekarang ialah orang yang menginginkan kamu sembuh dari luka masa lalu, contohnya Kak Renal dan Rio sepupumu." Nayla mengulas senyum hangat kepada Kalandra, memberi pengertian kepada pemuda itu.

"Kenapa dengan Renal?" Kalandra mengkerut dahi tidak mengerti maksud dari ucapan Nayla.

"Kak Renal menginginkan kamu sembuh dari luka masa lalu dan menjalani kehidupanmu demi bisa meraih masa depan, kenapa aku bicara seperti itu? Karena aku bisa melihat kepedulian yang terpatri dari mata Kak Renal saat melihat kamu. Dia benar-benar peduli."

"Lo seorang psikologi?" tanya Kalandra memicingkan matanya curiga.

Nayla menggeleng kecil seraya mengedikan bahunya. "Aku tidak tau, entah kenapa aku bisa melihat kerapuhan seseorang. Bisa menghibur dan membantu orang yang sedang terluka untuk bangkit. Sedangkan aku sendiri tidak bisa menghibur diriku sendiri. Hanya Mama yang selalu menguatkan dan menghibur diriku."

Kalandra tersenyum tipis menanggapinya. Begitu juga dengan Nayla. Tak terasa mereka sudah sampai di depan parkiran TPU. Kalandra bergeming sesaat, pikirannya berkelana. Memori masa lalu sedang menari dalam benak serta pikirannya, rasa sesak di ulu hati kian berkecamuk.

"Lo mau tau tentang masa lalu gue?" tanya Kalandra membuat Nayla mendongak menatapnya.

"Kamu siap menceritakannya? Kamu percayakan saja sama aku, aku akan menjadi pendengar yang baik." Ada rasa bahagia saat Kalandra mengatakan itu. Artinya Nayla sudah mendapatkan lentera teman dari Kalandra.

"Dua tahun lalu ... gue kehilangan semuanya. Mama gue meninggal karena asutan dari selingkuhan bokap gue, tepat saat mama gue lagi sakit-sakitan. Mama gue frustasi dan alhasil bunuh diri." Kalandra menatap kosong jalanan depan sana.

Selain memiliki aura kemisteriusan, netra hitam pekat milik Kalandra juga terlihat begitu rapuh.

***

Dua tahun yang lalu ....

Awal mula perubahan sikap Kalandra menjadi pembangkang dan berandalan, sejak ia menduduki bangku kelas 8 sekolah menengah pertama. Sampai memasuki masa sekolah menengah atas, Kalandra masih berulah. Membolos saat sedang melaksanakan masa orientasi, selalu terlambat, dan bertengkar dengan kakak pembimbing.

Kalandra tidak merasa takut dengan semua orang, ia akan merasa takut apabila sang Mama menangis. Selain membolos dan bertengkar, Kalandra juga selalu pulang malam. Hal itu sering ia lakukan semenjak kelas 8, sebelum semuanya terbongkar.

Tepat saat ia menduduki kelas 9, perselingkuhan sang Papa terbongkar, membuat Kalandra semakin menjadi anak berandalan. Bahkan, sang papa sempat memperkenalkan adik tiri Kalandra yang tak lain seorang anak berusia sembilan tahun pernah diselematkan olehnya dari pembullyan. Emosi dan amarah merasuk dalam benak mengetahui kebenaran itu, bahkan rasa tidak suka terpatri di dalam hati untuk sang papa.

Setelah membawa pulang selingkuhan serta anaknya, membuat hubungan kedua orang tua Kalandra semakin hari semakin panas. Sang Mama jatuh sakit. Sementara sang Papa tidak peduli sama sekali. Semakin membuat Kalandra menumbuhkan rasa tidak suka itu kian membesar dalam hati.

Memiliki papa tukang selingkuh dan mama yang sedang jatuh sakit, membuat Kalandra menjadi bahan olok-olokan oleh geng sebelah--Pandoker. Salah satu anggota Pandoker menghina sang Mama dengan sebutan wanita pembawa sial dan penyakitan.

Marah ia mendengar hinaan itu. Amarah penuh permusuhan membara dalam diri. Kalandra tidak menerima hinaan itu, sehingga membuat ia menerima tantangan melawan David--anggota Pandoker laki-laki yang sudah berani menghina sang mama. Kalandra ingin memberi pelajaran dan menuntaskan hasrat amarah kebencian kepada Davit lewat pertandingan Turnamen One Pride MMA, tidak peduli jika status ia yang belum sah menjadi anak SMA.

Pertandingan Turnamen dilaksanakan. Kalandra memukul habis-habisan David, tak memberi ruang untuk laki-laki itu sedikitpun. Sampai membuat David dilarikan ke rumah sakit karena kehilangan banyak darah dan sampai jatuh koma.

Sementara, Kalandra dinobatkan sebagai sang pemenang dalam turnamen One Pride MMA itu. Ia merasa puas melihat orang yang sudah menghina sang Mama sedang kesusahan dan tak berdaya di rumah sakit.

Sepulang dari pertandingan MMA, kebetulan saja sang papa sedang berada di rumah. Kalandra pikir pria paruh baya itu akan tetap tinggal bersama selingkuhannya setelah Kalandra mengusir mereka.

Kalandra menduga jika sang Papa akan memarahinya habis-habisan mengetahui ia bertanding di MMA. Akan tetapi, Kalandra tidak peduli akan hal itu.

"Habis dari mana kamu?" Suara bariton penuh ketegasaan menggema di ruang tamu.

Kalandra memejamkan mata sekilas, baru saja masuk ke dalam rumah, ia sudah disuguhi oleh kemarahan sang Papa. Dugaannya ternyata benar.

"Papa bertanya kepadamu, Kalan." Pria paruh baya dengan wajah tegas itu berdiri di hadapan Kalandra. Menatap tajam wajah sang anak, lalu meneliti setiap inci wajah itu.

Ada sedikit luka di sudut bibir Kalandra, Bayu--Papanya. Memegang kuat dagu Kalandra untuk melihat lukanya lebih jelas.

"Kamu bertengkar? Sudah Papa bilang Kalan, jangan bertengkar lagi, apa lagi di MMA. Kamu baru saja masuk kelas 10, bahkan belajar di kelas 10 pun kamu belum. Masa depanmu masih panjang." Bayu menasehati sang anak dengan penuh sabar.

Kalandra tak menyahut, ia merasa lelah sekarang ini. Butuh rehat sejenak demi menghilangkan rasa lelah di sekujur tubuh.

Tidak ada manfaat sama sekali jika mendmegar nasehat dan ceramah sang Papa. Toh, beliau tidak akan peduli lagi. Jikapun peduli, itu karena Kalandra harus berbuat masalah terlebih dulu. Apakah Kalandra harus membuat masalah agar sang Papa terus memberikannya perhatian lebih?

"Jangan membuat Papamu emosi, Kalan! Tidak kamu tidak Mama kamu, sama-sama pembawa sial!" teriak sang Papa naik pitam. Niat Kalandra ingin masuk ke dalam kamar, terhenti oleh teriakan itu.

Napas Kalandra memburu, dadanya naik turun. Mencoba menahan amarahnya yang siap lepas kendali kapan saja. Bisa-bisanya lelaki itu menghina istri sendiri, tepat saat sang istri sedang sakit-sakitan. Tatapan Kalandra beradu dengan sang Papa. Sama-sama menyiratkan amarah tertahan.

"Tidak ada yang namanya istri pembawa sial dan anak pembawa sial. Intropeksi diri saja siapa yang pembawa sial di sini. Anda tidak inget---"

"Aku ini Papamu, berani sekali kamu memanggil Papamu dengan sebutan 'Anda'. Dasar anak pembangkang!" Bayu--Papa Kalandra kembali berteriak memotong ucapan sang anak.

"Kalo nggak mau disebut dengan sebutan 'Anda', setidaknya hargai dulu Mama saya!"

Kalandra memasuki kamar sang mama, tak peduli dengan sang Papa yang sedang marah. Sorot mata Kalandra berubah menjadi sendu tatkala netranya melihat sang mama sedang menangis di atas ranjang sana. Ia yakin pasti sang mama mendengar pertengkaran dirinya dengan sang papa tadi.

"Kamu jangan melawan papa ya, Nak. Dia papamu," ucap lembut wanita paruh baya itu saat Kalandra mengambil posisi duduk di tepi ranjang.

Kalandra menggengam tangan sang mama yang terasa dingin. Mengecup tangan itu sekilas. "Kalandra nggak sudi memiliki papa tukang selingkuh dan main kasar kepada wanita seperti dia, Mam."

Janvi menangis mendengar ucapan sang anak kesayangannya. "Tetapi mau bagaimanapun dia tetap papamu. Hormati dia."

"Kalo dia ingin dihormati. Maka hormati dan hargai dulu kita, Mam. Apa mama lupa apa yang papa lakuin selama ini ke mama? Asalkan mama tau aja, Kalan merasa sesak dan sakit hati saat papa menampar mama. Bahkan, sampai membuat luka di sekujur tubuh mama." Kalandra menatap sendu sang mama. Wanita paruh baya itu begitu mencintai pria iblis seperti Bayu. Sudah berbagai bujukan yang Kalandra lontarkan kepada sang Mama agar mau berpisah.

Janvi tersenyum tipis, "Pergilah, obati lukamu nanti infeksi." Kalandra mengangguk mengiyakan ucapan sang mama.

***

Hari berganti, seminggu Kalandra tidak masuk sekolah demi bisa menjaga sang Mama yang sedang sakit. Janvi mengalami sakit leukemia, membuat tubuhnya terlihat kurus dan melemah. Tak ada keluhan dari mulut Kalandra, bahkan Kalandra begitu telaten merawat wanita yang sudah melahirkan dirinya.

"Sudah satu minggu kamu tidak masuk sekolah, pergilah sekolah. Masa depanmu masih panjang," ucap lemah Janvi sesudah Kalandra memberikannya makan siang.

Kalandra meraih jemari Janvi untuk digenggam, mengecup sekilas tangan kurus milik Janvi yang terasa dingin. "Kalan mau di sini, temani Mama. Lagi pula Kalandra sudah pintar."

Janvi berusaha memaksakan senyum tipis, "Pintar darimana? Nilai matematika saja selalu dapat di bawah KKM, apa lagi PPKN dan Bahasa Indonesia."

Kalandra terkekeh, ia sangat merindukan cerewetnya sang Mama. Rindu akan belajar bersama, mengobrol, dan bercanda bersama. 

"Mama sekarang tidur ya, Kalan pergi sebentar ya." Janvi mengangguk mengiyakan. Kalandra berlalu dari kamar Janvi.

Sepeninggalan Kalandra, seorang wanita bermake up tebal memasuki kamar Janvi. Tatapan Janvi berubah menjadi ketus saat wanita itu menghampiri ranjangnya. Senyum sinis terbingkai di bibir wanita yang sudah merebut suaminya.

"Aku kasihan padamu, Janvi. Lebih baik kamu mati saja, daripada menyusahkan anakmu dan suamimu itu. Tenang saja aku akan menjaga mereka berdua setelah kamu mati," ucapnya sinis tanpa merasa berdosa.

"Dasar wanita tidak tau diri!"

"Aku tidak peduli, yang terpenting suamimu sudah menjadi milikku dan harta warisannya akan jatuh ke tangan anakku, Kenzio. Sudah cukup kamu hidup enak dan mewah bersama dia dan anakmu. Sekarang giliran aku yang menggantikanmu. Sekali lagi aku sarankan, lebih baik mati saja jika tidak ingin menyusahkan anakmu. Anakmu hampir saja mendapatkan skorsing, karena sering membolos dan membuat onar. Mati lebih baik, daripada hidup tetapi penyakitan!" sentak Tara--istri kedua Bayu.

Sesak dan sakit hati dirasakan oleh Janvi mendengar ucapan itu. Setelah mengucapkan apa yang diinginkan, Tara berlalu sembari mengulas senyum meremehkan ke arah Janvi.

Pikiran dan batin Janvi berperang, ucapan wanita itu ada benarnya juga. Selama dirinya sakit, ia selalu merepotkan Kalandra. Bahkan, sampai anak itu tidak masuk sekolah. Janvi merasa frustrasi. Menyerah, adalah kata yang cocok untuk dirinya. Lagi pula ia merasa tidak memiliki waktu lama lagi di dunia.

Buliran bening jatuh membahasi pipi. Rasa sesak dan rasa sakit di sekujur tubuh kembali terasa. Dengan susah payah, ia bangun dari tidur. Menurunkan kaki ke lantai, rasa dingin merasuk memasuki relung tulang.

Walaupun terasa lemah tubuhnya, dengan langkah susah payah, ia berjalan ke arah meja yang tidak jauh dari ranjang. Tangannya terulur mengambil pisau dapur yang diletakan di antara buah-buahan. Tatapan Janvi terlihat kosong seraya menatap pisau dalam genggamannya.

"Allah sangat membenci hal ini, tetapi aku sudah tidak kuat lagi. Aku membantu Allah menuntaskan semuanya ...," lirih Janvi dengan parau.

Buliran bening terjatuh dari pelupuk mata tanpa diperintah. Keputusan Janvi sudah mantap, ia akan mengakhiri segalanya. Kakinya terasa lemas tidak kuat menopang beban rasa sakit di sekujur tubuh.

Dengan susah payah Janvi menahan rasa sakit itu dan berusaha tetap berdiri. Ia yakin penyakitnya sekarang kambuh kembali. Ia mengambil menjauhkan pisau itu, lalu sekali gerakan tapi pasti, pisau dalam genggaman tangan tertancap mengenai perut begitu dalam. Darah segar mengalir dari balik pakaian Janvi. Rasa sakit akibat tusukan mulai terasa.

Janvi merasa jika rasa sakit tusukan pisau itu tak seberapa dengan rasa sakit di ulu hati.

"Mama!" teriak Kalandra menatap sang mama jatuh ke lantai. Niat hati ingin mengingatkan sang Mama minum obat, malah disuguhi oleh pemandangan buruk.

Dengan cepat Kalandra berlari menghampiri sang Mama. Mata Kalandra membulat melihat darah di pakaian Janvi dan juga pisau tertancap di perut. Tubuh kalandra ambruk bersamaan dengan tubuh Janvi, ia menatap sang Mama sedang menahan rasa sakit.

Tangannya terulur memegang pisau tersebut, tangan Janvi pun ikut memegang tangan Kalandra digagang pisau itu. Darah segar melekat di tangan Kalandra.

Mulut Janvi tergagap seraya menggeleng lemah menatap sayu Kalandra. "J-ja ... ngan ...."

Kalandra tak mendengar, rasa takut kehilangan menyelimuti benaknya. Ia menarik pisau dari perut Janvi. Buliran bening sudah membahasi pipi Kalandra. Kepala sang Mama ia taruh dipangkuannya. Ia tidak percaya sang Mama akan melakukan hal sekeji ini.

Kalandra memegang tangan sang Mama dengan erat, ia belum siap kehilangan sang Mama. Janvi menatap sayu wajah sang anak, mulutnya tergagap ingin mengucapkan sesuatu. Rasa sakit di sekujur tubuhnya seperti sedang didera oleh benda tajam.

"Kalandra ... Ma-mama ... Pes ... Ja-jaga ... Papa ...." Mata sayu itu terpejam setelah sulit mengucapkan kalimat terakhir yang belum selesai itu.

Sang Mama mengembuskan napas terakhirnya, Sang Khalik telah mengambil sang Mama. Tangan Kalandra melemas, pandangannya kosong menatap tubuh Janvi yang tak bergerak sama sekali. Rasa sesak menyelimuti di ulu hati. Ia terpuruk kehilangan sang Mama tercinta.

"Mama ...!" teriak Kalandra dengan parau.

TBC:

Mau nanya, feelnya dapet nggak sih?

Menerima kritik dan saran.

Menerima vote dan komen. Nggak vote jomlo lo:v wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro