Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Bertemu Kenzio

Tidak pernah terpikir oleh Kalandra bahwa ia akan bertemu dengan sosok pemuda yang sangat dibenci. Pemuda yang sudah mengambil sang Papa dan segala-galanya.

Cuaca sore hari mendadak mendung, hingga terdengar gemuruh petir. Seolah-olah semesta sedang mendukung suasana hati Kalandra.

Alih-alih ingin membeli kebutuhan pokok untuk di dapur sembari menikmati jogging sore. Justru malah mempertemukan dirinya dengan Kenzio--adik tiri yang sangat dibenci oleh Kalandra--tidak ada niat atau harapan bisa bertemu dengan pemuda itu.

Kalandra menghindar saat Kenzio berjalan mendekati. Entah kenapa suasana hatinya selalu naik darah apabila ia bersitatap dengan pemuda itu. Niat ingin memasuki minimarket, ia urungkan tatkala melihat Kenzio di depan sana.

"Kakak, Zio tahu. Kakak masih benci 'kan sama Zio?" Suara sang adik tiri menghentikan langkah kaki Kalandra yang ingin pergi menjauh.

Kenzio menghalangi jalannya, membuat ia mengepalkan tangan kuat-kuat agar amarah yang sedari tadi meluap bisa mereda. Kalandra menatap datar wajah sang adik tiri, wajah itu sangat sama seperti wajah sang papa. Ternyata dugaannya benar, menurut fakta yang didapat. Sang Papa berselingkuh sejak Kalandra dalam kandungan. 

"Kenapa Kakak membenci Zio?" tanya Kenzio menatap penuh arti sang kakak tiri. Walaupun mereka berbeda ibu, tetapi Kenzio menganggap Kalandra sebagai kakaknya.

"Lo tahu jawabannya," balas Kalandra dengan nada terdengar dingin.

"Zio enggak tahu jawabannya, maka dari itu Zio bertanya," ujar Kenzio mencoba melunakan hati Kalandra.

Kalandra berkacak pinggang, malas rasanya jika harus membahas soal kebencian. "Karena lo-nyokap lo, udah merusak huhungan keluarga gue."

Kenzio tersenyum tipis mendengar penuturan itu. Sang papa---Bayu benar, Kakaknya tidak ada perubahan semenjak mama Janvi pergi. Sebenarnya Kenzio juga tidak ingin hidup seperti ini, menjadi anak haram hasil hubungan terlarang kedua orang tuanya. Pertama kali sang papa mengajak ia pindah rumah, ia merasa bahagia bisa bertemu dengan Kalandra yang menganggap ia sebagai temannya bukan anak haram. Itu sebelum semua rahasia terbongkar. 

Kenzio tahu bahwa selama ini sang kakak hidup dibayangi oleh masa lalu. Kenzio merasa bersalah, karena sudah memasuki kehidupan Kalandra. Jika boleh memilih, ia tidak mau lahir dalam hubungan terlarang itu. Jujur saja, sejak awal pertemuan hanya Kalandra yang menganggapnya sebagai seorang teman, bukan musuh yang menghina ia sebagai anak haram.

"Zio sama mama minta maaf udah masuk ke dalam kehidupan Kakak."

Kalandra tak merespon. Ia kembali melanjutkan langkah kaki, tanpa memedulikan Kenzio di sana. Sementara Kenzio, menatap kepergian sang kakak dengan tatapan rasa bersalah.

"Asal Kak Kalan tau aja, Zio merasa kehilangan sejak rahasia itu terbongkar. Cuma Kak Kalan yang anggap Zio sebagai teman bukan musuh yang selalu menghina Zio sebagai anak haram  ...!" teriak Zio sembari menatap punggung tegap sang kakak, berharap sang kakak menoleh kepadanya.

Langkah kaki Kalandra kembali terhenti mendengar teriakan Kenzio. Senyum tipis terbingkai di bibir, jujur saja ia sudah menganggap Kenzio sebagai adiknya. Hanya saja gengsi dan kebencian untuk sang papa begitu besar sampai Kenzio terkena imbasnya. Kalandra buru-buru berlalu dari sana.

"Zio rindu Kak Kalan yang dulu," gumam Kenzio dengan parau.

"Gue kangen lo, Zio ...," lirih Kalandra.

***

Kalandra memelankan langkah kaki tatkala netra matanya menangkap sosok lima orang laki-laki berbadan kekar, bertampang sangar menghadang jalannya. Ia mengenal betul siapa kelima laki-laki itu, anak buah Kemal---Pandoker. Sudah tidak salah lagi, jika Kemal memiliki anggota seperti preman.

Tubuh Kalandra memasang alarm bahaya, ia yakin setelah ini akan ada pertarungan antara ia dan kelima laki-laki berbadan kekar itu. 

"Mau lo apa, sialan?" Suara Kalandra meninggi, menatap satu per satu kelima laki-laki itu.

Sorot mata Kalandra tertuju ke salah satu objek, seorang laki-laki bersurai ikal tengah menyeringai picik ke arah Kalandra---Kemal---musuh bebuyutannya. Kalandra membalas dengan senyuman sinis. Selain kelima laki-laki bertubuh kekar, berwajah sangar seperti preman, Kemal juga sedang berada di tempat yang sama. Namun, bukan sebagai pemimpin Pandoker, melainkan anak mama yang sedang dilindungi, pikir Kalandra.

"Pengecut!" bentak Kalandra menatap ke arah Kemal yang berada di dalam mobil, jarak mereka hanya beberapa saja.

"Lo yang lebih pengecut, enggak mau nerima tantangan dari Kemal," sahut laki-laki bersurai cepak tersenyum mengejek.

"Dia yang lebih pengecut cuma bisa duduk santai sembari menontoni anak buahnya buat menghabisi gue," balas Kalandra seraya menyeringai menatap penuh ancaman ke arah mereka.

"Halah, banyak bacot lo!" Laki-laki bersurai cepak diikuti dengan teman-temannya mulai memukuli Kalandra.

Bukan Kalandra namanya jika tidak bisa menghindar dari pukulan itu. Kalandra membalasnya, berbagai bogeman mentah Kalandra daratkan di wajah laki-laki lain. Tidak hanya bogeman, ia juga mematahkan kaki sang lawan yang ingin menendang dirinya. Perkelahian antara Kalandra dan kelima preman itu tidak bisa dielakkan.

Sampai, salah satu dari mereka sampai membuat sudut bibir Kalandra berdarah. Tidak hanya bibir, melainkan hidung juga. Kalandra menatap cairan kental di jarinya. Emosi berkobar dalam diri. Dengan sigap, ia kembali meninju, menangkis, dan memberi berbagai bogeman di wajah, perut, dan di area tubuh sang lawan demi bisa mengalahkannya.

Kalandra seperti orang kesetanan memukuli kelima laki-laki berwajah sangar itu. Merasa sudah tidak berdaya, kelima laki-laki itu berlari menjauh dari Kalandra. Sorot matanya kembali tertuju ke arah Kemal, tampak si pemimpin Pandoker itu sedang menahan emosi dan rasa kesal.

"Makanya, kalo mau ngelawan gue. Turun tangan sendiri," gumam Kalandra seraya menahan rasa sakit di perutnya, akibat tinjuan dari si preman begitu keras.

***

"Apa? Si Kemal nyerang lo?" pekik Kei heboh.

Kalandra meringis mendengar pekikan itu. Niat hati ingin tertidur lebih cepat, malah diganggu oleh kedua curut yang tidak pernah terpisahkan a.k.a Renal-Kei yang mampir ke kosannya.

"Serius? Lo enggak apa-apa?" tanya Kei sok khawatir layaknya perempuan.

Jitakan mendarat di kepala Kei, membuat yang dijitak meringis menatap si pelaku--Renal. "Lo nggak liat? Dia luka-luka, itu berarti dia kurang baik."

Kei mengangguk-angguk, berlalu menuju dapur mengambil kompresan air hangat dan juga obat merah. Setelah mengambil semuanya, Kei mulai mengompres luka di sudut bibur Kalandra. Selanjutnya, memberi obat merah.

"Lo perhatian banget, Kei. Kayak pasangan aja," cibir Renal melihat gelagat Kei yang memberi obat pada luka Kalandra.

Mendengar cibiran itu, membuat Kalandra langsung menepis tangan Kei. Sementara Renal, menahan tawanya. Kalandra selalu cepat tersinggung dengan cibirannya.

"Diobatin malah nolak. Maksud Renal tuh perhatian sebagai seorang sahabat. Masa perhatian kayak pasangan, jijik anjir. Gue masih demen cewek kali," celetuk Kei menatap Kalandra dan Renal dengan kesal.

"Off baperan lo," ujar Renal menepuk keras bahu Kei, membuat Kei menahan rasa sakit di bahunya.

"Sakit bego! Lo yang mulai," tukas Kei.

"Wih, santuy. Babang Kei ngambek," ledek Renal.

"Emang gue kayak cewek apa, hah?" Kei membentak. Menyebalkan berbicara dengan Renal, selain aura mengintimidasi yang terpatri dalam diri Renal. Dia juga begitu menyebalkan.

"Berisik!" Kalandra melerai, menatap tajam ke arah mereka secara bergantian.

"Gue mau tidur, lo ke sini mau nginap atau mau berantem?"

"Renal yang mulai," ujar Kei menyalahkan Renal.

"Lah, lo kali," elak Renal.

"Sialan! Pergi sana, pintu kosan enggak gue kunci," geram Kalandra seraya berlalu menuju kamarnya.

Sementara Renal dan Kei saling tatap dengan permusuhan. Mereka mengekori Kalandra ke dalam kamar, mengambil tempat untuk bisa tidur.

Niat Kei dan Renal mengunjungi kosan Kalandra guna mendiskusikan strategi untuk mengalahkan Kemal di MMA nanti. Namun, melihat Kalandra babak belur, mereka mengurungkan niatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro