Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9

Bau rokok linting menyengat. Lalat yang awalnya berniat lewat untuk hinggap pun memutar arah, agar tak kena kepulan asap pekat. Pria dengan kulit yang sudah mulai mengerut duduk di teras belakang rumah. Sebuah kursi dari bilah-bilah bambu dengan panjang satu setengah meter menjadi alasnya.

Sayup-sayup tembang lir ilir mengalun. Tembang gubahan Sunan Kalijaga, yang masih lestari hingga kini. Menceritakan tentang petuah untuk terus berjuang dalam hidup, beribadah, selagi masih ada masa hidup yang Allah berikan untuk kita.

"Mbah."

Sapaan itu membuat pria tadi menoleh. Ayun membawa secangkir teh dengan sepiring pisang goreng di tangannya.

"Piye, kamu beneran nolak tawaran buat kerja di tempat Pakdemu?"

"Mbah, kalau Ayun pergi, Simbah gimana?"

"Simbah ya di sini. Dari lahir simbah kan ya di sini."

"Bukan itu maksudnya Ayun, Mbah. Siapa nanti yang bantuin Simbah ngurus sawah? Masakin simbah?"

Pria dengan gigi bawah tanggal dua itu terkekeh. "Jalan hidupmu itu masih panjang, Nduk. Panjaaaaang sekali. Kamu harus ambil langkah mantap buat menapaki medan perangmu. Jangan terus-terusan menoleh ke belakang. Nanti ketembak sama musuh."

Ayun mencoba memahami perkataan sang kakek. Berat baginya untuk pergi dari rumah. Bagaimana bisa ia membiarkan kakeknya hidup sendiri, padahal selama ini, kakeknya lah yang merawatnya.

"Mbah, Ayun nanti cari kerjaan di deket sini aja. Insyaallaah, kalau memang rejekinya, pasti ada jalan, kan?"

Tangan dengan kulit berkerut dari pria tersebut begitu cekatan menyebar menir, ayam-ayamnya menyambut dengan gembira. Beberapa burung dara milik tetangga pun ikut menikmati.

"Simbah bukannya maksa kamu. Simbah cuma pengen kamu bisa mandiri. Setidaknya kalau kamu kerja di kantor, gajimu pasti. Tapi, tujuan utama Simbah bukan itu. Simbah pengen kamu belajar tentang hidup di sana. Kantor, tempat kerja, itu seperti replika dunia, Nduk."

Satu sesap rokok linting kembali memuaskan hasrat sang kakek, dihembusnya kepulan putih berbau khas itu perlahan.

"Di sana, kamu bisa tahu karakter manusia. Manusia dengan keunikannya. Yang tampan dan mapan, belum tentu tahu aturan. Yang cantik dan menarik, belum tentu hatinya baik. Yang rendah jabatannya, belum tentu rendah kemampuannya. Yang tinggi jabatannya, belum tentu tinggi kecerdasaannya."

Ayun mendengarkan dengan seksama. Tangannya kini dengan cekatan mengupas singkong yang tadi dibawa sang kakek dari kebun.

"Dunia kerja, juga akan mengajarkanmu bagaimana caranya bertahan di lingkungan yang tak sepaham. Karena, aksi sikut, senggol, bahkan injak, akan ada di sana."

"Mbah, kok Simbah malah nakut-nakutin Ayun?"

Pria itu tertawa. "Simbah pengen kamu ngicipi itu bukan tanpa alasan. Simbah tahu kamu lebih seneng jadi wirausaha. Tapi kamu masih kurang krenteg ing ati, kurang dapat greget. Simbah mau kamu coba bekerja kantoran dulu. Misal kamu bisa melewati apa yang Sinbah ceritakan tadi, lanjutkan saja berarti itu jalanmu. Kalau tidak, kalau kamu ndak kuat, kamu bisa berhenti. Dan memulai usaha sendiri. Tapi setidaknya mentalmu sudah diuji."

Pria itu kembali menjeda kalimatnya. "Kalau kamu bangun usaha setelah keluar dari kantor karena tidak tahan dengan tekanan kerja di tempat orang. Kamu bisa jadikan itu pemicu semangat wirausahamu. Setiap kali usahamu gagal, ingat kalau lebih baik kerja sendiri daripada ikut orang lain. Jadi, kamu bisa bertahan debgan semangat itu. Paham?"

Ayun kembali mencerna ucapan kakeknya perlahan.

"Jadi, Simbah mau aku coba dulu kerja kantor? Kalau enak lanjut terus. Kalau nggak enak, nggak kuat, aku boleh keluar dari tempat kerja bangun usaha sendiri agar tidak mengalami hal buruk seperti yang aku alami di kantor, begitu?"

Pria tua itu mengangguk. "Ya. Intinya kamu itu kan butuh semangat untuk hidup. Butuh lecutan. Biar hidupmu maju. Harus digembleng dulu. Simbah dulu juga gitu. Kerja ikut orang, di kebun tembakau. Berat, disuruh ini itu. Tapi Simbah tahan dulu, sembari ngumpulin gaji, ngumpulin ilmu dari juragannya. Setelah dirasa cukup, Simbah berhenti. Terus beli tanah dan minjem tanah simbah buyutmu, tak tanami tembakau juga, dengan ilmu dan modal uang yang simbah dapat dari tempat ekrja simbah sebelumnya. Dan ya alhamdulillah berhasil. Ini yang mau simbah tularkan ke kamu."

Ayun mengangguk dan tersenyum. "Nggih, Mbah. Ayun paham."

Sejujurnya, Ayun juga masih gamang. Ia ingin memiliki penghasilan, meski dengan hasil membantu Renny di warung, sudah cukup baginya untuk hidup. Namun, ia tak mau mengecewakan sang kakek.

****


Semburat jingga telah beranjak pergi. Kini, maghrib pun berpamitan. Menunggu isya, begitulah niat dari pemuda yang kini terduduk di serambi masjid.

"Om Iyus," panggil bocah SD yang sedari tadi lengket dengannya.

"Dalem, Ning. Kenapa?" Iyus begitu sabar memperlakukan Alma, adik dari seniornya dulu, Elhaq, yang kini menjadi pengasuh di pesantren milik Kyai Sulaiman.

"Mas El nikah sama Mbak La, kalau Om Iyus besok nikah sama siapa?"

Pemuda dua puluh lima tahun itu terkekeh. Ia adalah seorang anak tunggal. Baginya sosok Alma, ia anggap serperti adik sendiri. Setiap celotehan sang gadis cilik selalu ditanggapi Iyus dengan baik.

"Om belum punya calon. Kenapa memang?"

"Sama Alma aja ya?" Nadanya seperti meminta. Pipi gembil berkulit putih itu terlihat kemerahan. Menandakan jika si empunya tengah malu.

Iyus tertawa. "Kamu masih kecil, Om udah tua. Nggak boleh dong gitu."

"Abah udah tua, Ummah masih muda boleh kok," ucapnya membandingkan sang ayah Kyai Sulaiman dengan ibunya Nyai Zahroh.

Sosok lain muncul. "Al, sana murojaah. Ngapain kamu ganggui Iyus terus. Sana, setor sama Ummah atau sama Mbak La." Sosok sang kakak, yang semakin hari semakin galak, membuat Alma mencebik.

Bungsu dari tiga belas bersaudara itu melenggang pergi.

"Bro, jangan galak-galak. Ning Al kan masih kecil."

"Dia itu kayak abah, genit. Suka serem kalau aku nggak tegas, nanti dia jadi nggak tau aturan. Dia bentar lagi baligh. Bahaya kalau nggak dididik."

Iyus hanya bisa diam, benar kata Elhaq, mendidik anak itu tak bisa dalam waktu singkat. Butuh proses panjang dan harus diantisipasi dari awal.

"Kamu kenapa bisa dipulangkan?"

Kini, Iyus yang disidang. Pemuda itu membenahi letak pecinya. "Abah Kafaby salah paham. Soal aku sama akhwat yang jual bubur di depan pesantren."

Wajah Elhaq yang tadinya serius dan membuat Iyus ketar ketir, kini berubah menjadi konyol. Pria beranak dua itu tertawa.

"Alhamdulillah, kancaku ora homo."

Kalimat itu membuat Iyus ikut tertawa. "Aku normal, Bro. Aku bukan kaum di jaman Nabi Luth. Naudzubillah."

"Kenapa nggak dihalalkan?"

"Halalkan piye, Bro. Aku loh nggak kenal dia. Aku malah ngerusuh kemarin. Aku mencak-mencak gara-gara berpikir dia nyuri ide Kalam Maya buat bahan novelnya. Tapi, ternyata, dia udah ijin Ummah Hana. Dia sumbangkan semua hasil dari uang aplikasi nulisnya ke Kalam Maya. Aku merasa bersalah. Makanya aku temui dia, eh kepergok sama Kang Ubay, Ummah Hana, sama Abah Kafaby."

Elhaq terbahak. "Mainmu ngawur. Terus sekarang gimana? Apa rencanamu?"

Pria itu menggeleng. "Aku belum berani pulang. Simbah pasti marah."

"Kamu mau di tempatku?"

Iyus mengangguk. "Kalau Mbak Khawla boleh, aku mau. Tapi semisal Mbak Khawla keberatan ya sudah aku numpang di sini dulu sampai dapat kerjaan."

"Kamu di galeriku aja, sekalian jagain. Buat sementara waktu kan bisa bantuin aku kerja di sana. Khawla nggak bakal protes. Toh, dia udah klop sama kamu."

"Makasih, Bro. Maaf ngerepotin. Besok, aku mau ke tempat ibu dulu."

Mendengar kalimat itu Elhaq serta merta menatap sendu pada sahabat yang sudah lima belas tahun hidup bersama dengannya di pondok Nurul Ilmi itu.

"Khawla sama Ummah sering ke sana juga. Nengokin ibumu. Pasti ibumu seneng kamu ke sana."

Iyus tersenyum. Ia mengangguk. Sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Dek Say

[Assalamualaikum, Mas
Maaf banget ya ganggu.
Mau tanya soal g-form
Aku upload foto kan
Buat isi data, tapi gagal terus
Gimana ya?]

Seulas senyun tergambar di bibir Iyus. Ia tak bernyali menghubungi Ayun sebenarnya, pasca pengakuan dosa kemarin. Namun, ternyata Ayun justru menghubunginya lebih dulu.

YusufTabrizAlbirru

[Siniin aja linknya
Aku isiin
Mungkin galat gara2 sinyal]

Dek Say

[Makasih, Mas.
Aku kirim ya.
Tapi ... Jangan ketawa
Kalau liat fotonya]

YusufTabrizAlbirru

[Aku santet boleh tak?]

Dek Say

[Astagfirullah
Jangan dong.
Nyantet kok anak yatim piatu
Dosanya dobel-dobel
Nyantet tuh anak orang kaya
Ambil hartanya]

YusufTabrizAlbirru

[Bercanda hey
Solo hujan?]

Dek Say

[Berbintang Mas,
Cerah banget.
Jogja gimana?]

YusufTabrizAlbirru

[Sama ... Cerah ...
Aku pikir kamu bakal lupa
Sama pelanggan buburmu ini]

Dek Say

[Hehe, enggak Mas
Kita masih bisa temenan kan?
Mas emang nggak balik lagi?]

YusufTabrizAlbirru

[Belum tau. Baru juga sehari
Misal aku nggak balikpun
aku harap kita bisa
selalu CONNECTED
tanpa ada
request time out
atau disconnected]

Iyus terkekeh sendiri melihat pesan yang ia ketik. Elhaq menatap pemuda di sampingnya aneh.

"Heh, edan kowe? Kesurupan? Sana adzan. Wis manjing isya' iki."

Titah Elhaq segera ditunaikan oleh Iyus. Pemuda itu bergegas mematikan ponsel dan beranjak dari tempat duduknya, mengumandangkan adzan isya'.

"Haq, itu Yusuf statusnya pindah ke sini sebagai santri, mau ngabdi kayak di Nurul Ilmi, atau cuma mau main terus pergi lagi?" Kyai Sulaiman yang baru datang ke masjid menyenggol putranya.

"Dia purna tugas di Nurul Ilmi, Bah. Biar dia ngabdi di sini, sambil bantu Elhaq di galeri. Kalau Abah butuh bantuan dia, biar dia ngabdi di tempat Abah."

"Yowis kalau mau kamu pekerjakan. Kalau nggak, suruh aja kerja di kantor, dia programer kan? Pasti Masmu butuh bantuan soal progam-program digitalisasi apa itu di pondok."

Elhaq mengangguk. Kedatangan Iyus yang tiba-tiba memang mengundang banyak tanya. Meski begitu, Elhaq tak membeberkan bab musabab kenapa Iyus dipulangkan dari Nurul Ilmi, oleh Ustadz Kafaby.

Bukankah menjaga aib orang lain adalah kewajiban kita sebagai muslim. Sayangnya, manusia jaman sekarang sering lupa. Mereka justru terbuai ide setan untuk menjadi pelaku penyebaran aib orang dan penikmat berita aib orang lain. Gibah adalah dosa terpopuler jaman sekarang. Bahkan, stasiun TV, media masa baik elektronik dan cetak, menyediakan acara atau laman khusus untuk menggibah orang lain dengan nama yang diperhalus yaitu, gosip.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaa

Yuuuk running up Kalam Maya
Mohon maaf yaa
Dari bulan Maret baru bisa publish lagi kisahnya
Karena beberapa part hilang dulu

😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro