Part 7 Terciduk
Azan ashar menggema sejam lalu. Semilir angin menggoyangkan padi-padi yang menguning, menandakan jika sudah siap panen.
"Sholallahu'ala Muhammad ... Sholallahu'alaihi wassalam ... Sholallahu'ala Muhammad ... Sholallahu'alaihi wassalam ... Yaa Habibi Yaa Muhammad ... Yaa 'arushal khofiqoini ... Yaa Habibi Yaa Muhammad ... Yaa arushal khofiqoini."
Langit yang tadinya biru bersiap menguning, menghadirkan senja di cakrawala. Kekuasaan Sang Raja Diraja terpampang nyata, bagi hamba yang beriman.
Aneh, sungguh. Kehidupan manusia zaman akhir. Sebagian dari mereka, memetakan hidup seolah semua akan terlaksana sesuai rencana mereka. Parahnya, mereka lupa, jika ada Dzat Maha Agung yang lebih berhak atas hidup mereka.
Jika sudah terjerumus dalam pikiran 'hidupku adalah hakku, hidupku bergantung pada diriku sendiri', siap-siap saja, depresi akan memeluk siapapun yang tergelincir di jurangnya.
Ekspektasi yang terlalu tinggi, jika realitanya tak sesuai, seketika kecewa meraja. Itulah ciri manusia di akhir zaman. Kekecewaan, depresi, iri, dengki, keluh, kesah, gelisah, gundah gulana, dan segala macam penyakit yang bersumber dari pikiran dan hati, meraja lela dalam jiwa mereka.
Tanpa sadar, perlahan kalbu mereka terkontaminasi. Kalau sudah begitu, mereka akan memeriksakan diri pada ahli-ahli, mengikuti serangkaian terapi. Padahal, nyatanya, mereka hanya perlu kembali pada Illahi Robbi.
"Assalamualaikum."
"Wa alaikumussalam."
Lewat begitu saja, pemuda bersarung yang mengucap salam pada dara yang tengah duduk di gubuk sembari menatap ke pematang sawah.
Mata gadis berjilbab itu mengikuti arah jalan penyapanya. Dahinya berkerut, mengamati tingkah sang pemuda yang memutar sepedanya kembali ke arah gubuk.
"Kenapa sedih?"
Lagi, pemuda itu melewatinya, kali ini ke arah kedatangannya. Ayun terkikik tanpa melihat sang pemuda. Betapa konyolnya Iyus yang bersepeda ke sana ke mari hanya untuk menjaga agar tak berkhalwat.
"Ke rumah Mbak Renny aja, Mas. Takut Masnya pingsan kalau harus bolak balik naik sepeda."
Iyus meringis. Ia kemudian berhenti di depan Ayun dan turun dari sepedanya.
"Kamu naik sepeda, aku jalan di belakang."
Ayun mengernyitkan dahi sebelum menggeleng.
"Waktuku nggak banyak, Dek. Silakan naiki, aku jalan duluan."
Iyus berjalan ke arah selatan.
"Mas, eh Mas tunggu!"
Mau tak mau, gadis bergamis hitam itu mengendarai sepeda milik Iyus, mengikuti sang pria yang berjalan di depannya.
"Sambil cerita," tukas Iyus setengah berteriak tanpa menoleh.
"Aku kena hate comment gara-gara tulisanku."
Iyus melambatkan langkahnya, keduanya seolah berkejaran. Satu kayuhan sepeda Ayun setara dengan satu langkah panjang Iyus.
"Kok bisa, Dek?"
Dara itu mengangguk. "Aku bawa-bawa kajian agama dan sepertinya banyak pihak nggak berkenan. Mereka tau mungkin aku bukan santri. Tapi, niatku pengen ngajak orang-orang buat menikmati karya yang nggak cuma berbau cinta-cinta."
Gadis berjilbab itu mengatur kecepatan kayuhannya.
"Emang hate comment-nya gimana? Kamu nulis dimana emangnya? Sosmed?"
"Aku nulis di Write Me. Mas tau nggak? Aplikasi nulis gitu."
Seketika Iyus menghentikan langkahnya, sejalan dengan degup jantungnya yang tiba-tiba berhenti. Ayun yang menyadari pemuda itu tak mengejarnya ikut berhenti.
"Mas, capek?"
Iyus segera tersenyum dan menggeleng.
"Eng- enggak. Anu ... Akunmu apa?"
"NQ_AyunMu. Mas baca WriteMe juga?"
Iyus seketika seperti tersambar petir. Ia ingat betul nama akun tersebut. Wajah pucat Iyus seketika membuat Ayun mengernyitkan dahi.
"Mas sakit? Capek ya? Ini Mas pakai lagi sepedanya aja."
"A-aku ... Aku ... Anu ... Kamu, kamu nggak boleh patah semangat. Aku ... Aku udah baca karyamu dan keren banget kok, aku suka. Albirru kan? Aku suka. Namanya kayak namaku. Yusuf Tabriz Albirru."
Binar di netra sang dara begitu cerah. Sorot itu saling tertaut.
"Ya Allah, tombol brightnessnya dimana? Mataku nggak kuat nahan kecerahannya," batin Iyus sembari mengalihkan pandangan.
"Mas namanya Albirru?"
Ayun menatap lekat pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu. Keduanya berhadapan, hanya jarak satu meter memberi jeda kaki. Anggukan menjadi jawaban dari sang pemuda.
"Yus, Gadhul Bashar! Iyus!" pekik hati Iyus, tetapi nafsunya terlampau kuat menguasai.
"Mas Yusuf, dulu apa Mas nunggu kedai kebab di situ?"
Ayun menunjuk ke arah seberang masjid. Tempat dimana dulunya ada gerobak kedai kebab di sana. Mata Iyus mengikuti arah pandang telunjuk Ayun.
"Kok kamu tau?"
Seketika wajah dara itu berlipat kali kecerahannya.
"Jadi Mas Yusuf itu Mas Birru? Mas ... Mas inget nggak anak kecil yang suka pakai bandana, rambutnya dikepang pakai sepeda, ngirim makanan ke sawah tadi."
Iyus mengernyitkan dahi. Memorinya beberapa tahun lalu ia obrak abrik, dicarinya remahan kenangan mengenai sosok dengan ciri-ciri tersebut.
"Kamu yang itu? Laa illa ha ilallah?"
Keraguan Iyus terjawab saat anggukan dan deretan gigi miji timun Ayun terlihat.
"Iya Mas, itu aku. Aku yang jalan imannya Mas perantarai. Itu aku ...."
Bibir Iyus yang sempat terbuka kini menutup lagi dan berulang beberapa kali. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dalam ingatannya, sosok Ayun yang dulu, yang tiba-tiba menangis karena merasakan getaran di hati pasca mendengar penuturan Iyus tentang kalimat tauhid, kembali.
"Mas ... Aku hutang budi sama Mas. Alhamdulillah, kita ketemu lagi."
Klakson terdengar nyaring.
"Iyus! Ayun! Ngapain berduaan?! Heh!"
Seorang wanita terlihat melongokkan kepala dari dalam mobil. Keduanya menoleh ke arah yang sama. Ummah Hana di sana.
"Khalwat terang-terangan, astagfirullah. Balik kamu Yus!" tegur Ustadz Kafaby yang duduk di kursi depan.
"Cie ... Udah baikan ya? Gitu dong, jangan marahan. Tabayun, kan enak. Dari pada nyerang virtual, mending tabayun tapi inget adab juga jangan berduaan, Iyus!" Kang Ubay tak mau kalah menyeramahi dari balik kemudi.
Iyus segera mengangguk di sela rasa panik yang mendera karena tertangkap basah oleh Kyainya tengah berduaan dengan wanita ajnabiyah.
"Tabayun apa?" tanya Ayun bingung.
"Sudah, buruan pulang, Iyus. Langsung ke rumah, kamu sudah melanggar adab," ancam Ustadz Kafaby.
Iyus pasrah.
"Dek Say, aku pulang dulu. Maaf ya."
"Iya Mas."
Gadis itu hanya bisa menjawab salam dari Ummah Hana dan membiarkan mobil SUV itu berjalan di depan sepeda yang kini dikayuh pemiliknya.
Sebelum menghilang di tikungan, mata Iyus dan Ayun bertemu. Ada tatap sayu penuh sesal di mata jernih sang pemuda.
Ayun tersenyum dan melambaikan tangan sebagai balasan.
"Hati-hati, Mas. Aku seneng ternyata aku bisa ketemu sama kamu lagi. Aku hutang budi sama kamu, Mas Yusuf. Ya Allah, ijinkan aku membalas kebaikan Mas Yusuf yang telah menjadi perantaraku kembali pada-Mu."
Monolog penuh harap Ayun teriring sapuan angin yang menerpa, seolah menjadi perantara doanya pada Sang Maha Pencipta.
Sementara itu, Iyus justru kalut. Ia sudah menghancurkan nama Ayun. Apa jadinya jika gadis itu tahu dirinyalah pelaku cyber bullying dan peretas akun penulisan online miliknya.
"Iyus! Kenapa bisa kalap gini sih?! Gimana kalau Dek Ayun tau, dia pasti marah. Aku harus beresin semuanya sebelum merembet kemana-mana."
*****
Suasana terasa mencekam, bagaimana tidak, bagi seorang santri biasa dipanggil oleh pimpinan pondok karena ketahuan berkhalwat dengan seorang akhwat tentu saja bukan hal yang baik.
Iyus duduk bersimpuh di lantai, sementara Ustadz Kafaby, Ustadz Hafidz, dan dua Gus lain duduk di kursi.
"Kamu kenapa bisa kebablasan, Yus? Kamu itu salah satu tangan kanan pondok ini. Kamu santri nomor satu di sini pasca Gus Elhaq boyong. Kamu itu panutan semua santri putra di sini."
Ada amarah dalam nada bicara Ustadz Kafaby. Deheman ustadz yang lebih muda menjadi tanda jika ia siap menyela sang kakak.
"Yus, apa bener kamu tabayun soal Kalam Maya dan tulisan dari akhwat itu seperti kata Ubay?"
Ustadz muda nan tampan bernama Hafidz Abidzar Ibrahim itu berbicara dengan nada lembut kebapakan khasnya, berbanding terbalik dengan nada berbalut amarah sang kakak, Ustadz Kafaby.
"Saya khilaf, Tadz. Saya salah. Niat saya tidak baik-baik. Saya akui itu. Saya salah."
Akhirnya si terdakwa membuka suara. Kang Ubay dan Gus Uka tak banyak berkomentar karena masalah ini langsung ditangani ayah dan paman mereka.
"Pulanglah, renungi kesalahanmu dulu. Kamu sudah lima tahun tidak pulang, kan?"
Iyus menelan ludah, tetapi tak berani menatap wajah Kyainya. Ia terus tertunduk menunjukkan ketakdimannya. Salahnya memang, salahnya, berani bermain api. Dan kini api itu meluluhlantahkan semuanya.
Ia sudah mengecewakan hati gurunya, orang yang selalu ia junjunh tinggi. Betapa menyesalnya Iyus, kesalahan kecil yang ia perbuat dengan nekat menemui seorang wanita, membuat nama baiknya hancur. Tak hanya itu, ia pun membuat malu orang-orang yang selama ini mendidiknya menjadi pribadi yang seharusnya berprinsip kuat memegang syariat.
"Uka, bantu Iyus beresin barangnya. Ubay, besok antar Iyus pulang."
Mata Iyus benar-benar berkaca-kaca. Tujuh belas tahun ia berada di tempat itu, lebih dari separuh hidupnya ia habiskan di tempat itu, dan kini ia dipulangkan entah sampai kapan.
Ingin sekali Iyus bertanya bolehkah ia kembali ke Nurul Ilmi, tetapi lidahnya terlanjur kelu. Pembicaraan itu dianggap selesai dan Gus Uka menepuk bahu Iyus.
Karib itu kemudian pergi dari tempat sidang.
"Sabar, Bro. Paling nanti bentar juga dipanggil sama Abah. Biasa kan, Abah tuh kayak gitu."
Iyus tak membalas apapun, ia hanya tersenyum sembari pasrah diantar sang Gus kembali ke asrama. Ali dan Khalid sudah menunggu di kamar khusus berisi empat orang itu.
"Gimana?" tanya Khalid.
Mata Iyus yang memerah cukup menjelaskan jika semua tak baik-baik saja. Ali, sahabat terdekat Iyus segera paham. Pemuda itu tak kuasa menahan tangis, ia segera memeluk seniornya.
"Bang, aku udah kehilangan Bro Elhaq. Mosok aku harus lepasin kamu juga," isaknya.
Melihat adik angkatnya menangis, Iyus seketika menguatkan diri. Ditepuknya punggung Ali.
"Al, kamu sekarang yang aku pasrahin pasukan. Kamu komandannya. Selama aku pulang."
Khalid mencoba meraba-raba situasi.
"Bang Iyus pulang?" tanyanya.
Anggukan Iyus membuat bocah itu kini paham kenapa Ali menangis.
"Jangan bilang sama siapa-siapa, nanti bisa geger semua. Bantu aku beres-beres ya."
"Bang, jangan pulang."
Iyus tersenyum bijak. "Ini dhawuh-nya Abah. Jadi harus dilaksanakan."
Keempat pemuda itu akhirnya melewatkan malam mereka dengan mengepak barang milik Iyus. Sendu masih menggelayut. Ali tak henti merengek meminta agar Iyus tak pulang, Khalid pun sama.
"Alek, boleh aku pesen satu hal sama kamu?"
"Apa? Nggak dicatet di sini?"
"Nggak perlu dicatet, ini bukan perkara Kalam Maya atau santri putra. Ini ... Soal Dek Say."
Ali seketika menatap seniornya dengan seksama, sementara Khalid sudah tertidur berdampingan dengan Gus Uka.
"Kamu harus larisin dia. Bantu dia kalau dia butuh bantuan. Dan ... Titip ini. Aku pengen ngasih langsung tapi ... Aku nggak mau ngulang kesalahanku lagi."
Secarik kertas yang ditulis Iyus bakda isya tadi dipindahtangankan pada Ali.
"Aku udah perbaiki semua yang di akun WriteMe punya Dek Say. Aku udah minta maaf di sana, dan semua hate comment-nya aku hapus semua."
Ali tak banyak bertanya, ia hanya mengangguk paham.
"Bang," panggil Ali ketika keduanya telah berbaring di kasur busa tipis tempat mereka melepas lelah tiap malam selama belasan tahun ini.
"Hm."
"Abang suka sama Ayun?"
Pertanyaan Ali membuat mata Iyus yang semula telah tertutup, kini membuka lagi. Pemuda itu membalik tubuhnya, tidur meyamping ke kanan dengan tangan sebagai bantal.
"Aku nggak tau suka itu apa," jawab Iyus.
Ali terkekeh pelan. "Abang nggak gaul. Abang kuper."
"Nggak gaul, kuper, nggak masalah, yang penting nggak kafir."
Keduanya tertawa geli sebelum sama-sama menutup mata pasca berdoa.
"Ya Allah, semua ini seperti mimpi. Semua tiba-tiba saja disibakkan. Amarahku tiba-tiba Engkau siram dengan air sejuk saat tahu kenyataan bahwa orang yang paling aku benci di dunia maya adalah Dek Say, orang yang aku kagumi di dunia nyata. Namun, Engkau mengingatkanku jika aku tak boleh bermain api lagi. Terima kasih atas jalan indah-Mu dalam menyadarkanku Yaa Rabb. Hanya Engkau yang berhak atas apa-apa yang ada dalam hiduo setiap hamba-Mu. Hanya Engkau Dzat Maha Pengampun, Penyayang, Pemberi Petunjuk, wahai Allah, Tuhan semesta alam."
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Hai semuaaaa
Aku kembali
❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro