Part 6. Go Mbal
Dinginnya udara dini hari tak membuat pemuda bersarung hitam polos yang tengah terduduk di dekat gerbang pesantren itu membatalkan niatnya. Suara alarm terdengar, pertanda waktunya para santri untuk siap-siap jamaah Subuh. Dari kejauhan sosok berjilbab putih terlihat berjalan dengan gerobak di belakangnya. Pemuda itu berdiri dan berjalan keluar gerbang, menghampiri sosok mungil itu.
“Assalamu alaikum, Say.”
Si pemilik nama mendongak dan mengulas senyum. “Wa alaikum salam, Mas Yusuf.”
“Sini biar aku aja.”
“Mm, bener nggak apa-apa Mas?” Suara gadis itu parau.
“Eh, kamu sakit?”
Ayun menggeleng. “Nggak,” jawab Ayun lirih.
“Bener? Coba liat sini, matamu bengkak? Suaramu kayak gitu, kenapa?”
Iyus mengamati wajah gadis itu di bawah sorot lampu penerangan jalan. Mata Ayun yang semalaman tak berhenti menangis, memang kini bengkak dan memerah. Namun, merahnya tak semerah pipinya sekarang. Untuk pertama kalinya, ada laki-laki yang menatap wajahnya sedekat dan selekat itu.
“Dek, kamu kenapa?” Kalimat itu terlontar dengan nada lembut berbalut cemas.
Suara murotal Qur’an, menandakan sepuluh menit lagi azan subuh berkumandang. Ayun menundukkan pandang.
“Udah mau subuh Mas,” ucapnya.
Pemuda itu masih penasaran tetapi dia akhirnya mengikuti Ayun berjalan sembari menarik gerobak berisi bahan makanan yang akan dijuak Ayun di warung.
“Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku.”
Ayun yang ikut mendorong gerobak dari samping tersenyum tipis.
“Makasih Mas. Aku cuma mikir hal nggak penting.”
“Dek, kalau nggak penting mana mungkin, orang setegar dan sekuat kamu bisa sampai kayak gini? Ada apa sih? Cerita dong.”
Ayun menggeleng dan tersenyum.
“Mmm ... Mas, kalau ilmu agama itu boleh disebar luaskan nggak sih? Menurut Mas, gimana?”
Iyus menoleh menatap gadis itu sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan lengan di depannya.
“Ya boleh lah. Segala macam ilmu itu boleh disebar luaskan, tapi ilmu yang baik ya. Justru akan jadi ladang jariyah. Apalagi ilmu agama.”
“Misal, aku yang bukan santri, apa boleh ikut menyebarkan ilmu seperti itu? Misal aku ungkap dalam puisiku? Dalam coretanku?”
Iyus terkekeh. “Ya bolehlah, Dek. Kenapa enggak?”
“Bener?” tanya Ayun.
Iyus kembali menoleh, bibir Ayun terlihat mengerucut, manik kemerahan dalam mata yang bengkak bergerak-gerak. Hanya sekilas bisa Iyus tangkap gambaran ekspresinya karena remang cahaya jalanan tak mampu mencetak tangkapan matanya.
“Iya dong, bener. Kenapa sih? Mm ... nanti cerita ya, kamu hari ini ada waktu?”
“Hm?” Ayun seolah memastikan apa telinganya salah dengar atau tidak.
“Hari ini kamu ada waktu nggak?” Ulang Iyus.
“Oh, ya kalau buburnya udah habis, Mas. Hari ini Mbak Ren nganter terapi, jadi warung siang nggak buka.”
“Oke, nanti kita bicara.”
Iyus mempercepat langkahnya karena suara Ali sudah terdengar mengumandangkan azan di masjid pesantren.
“Aku tinggal ya, salat dulu, baru mulai kegiatannya.”
Ayun menatap pemuda itu dengan heran.
“I-iya, Mas.”
“Jangan sedih lagi. Kamu tahu nggak, pengaruh brightness ke VDT alias monitor, itu penting banget loh agar mata manusia yang menatapnya tidak terganggu atau sakit waktu terfokus pada layar. Sama halnya dengan kamu. Redupnya keceriaan yang tersaji di wajahmu, mengganggu pandangan mataku. Tapi bukan mataku yang sakit, hatiku yang sakit, Sakit karena melihatmu sedih kayak gitu.”
Seketika Ayun tertawa. “Mas, kalau bercanda jangan terlalu ilmiah. Aku masih belum terbiasa dengan bahasa ala anak IT seperti itu.”
Iyus ikut terkekeh. “Ya, kalau gitu aku bakal ngomong kayak gini tiap hari. Biar kamu kebiasa. Aku pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Wa alaikumussalam warahmatullah. Makasih ya, Mas.”
“Sama-sama.”
Pemuda itu segera berlari kembali ke arah pesantren, sementaar Ayun menurunkan barangnya dan segera mengambil wudu untuk kemudian menunaikan kewajiban subuhnya.
***
Mobil berwarna hitam yang terparkir di depan rumah sederhana milik mertua Renny, membuat si empunya rumah melongokkan kepala. Sosok berkemeja putih turun dari sana. Senyum ramah tersungging saat pria itu menyadari wanita paruh baya yang tengah duduk di teras menatap ke arahnya.
“Assalamu alaikum, Bu.”
“Wa alaikum salam. Mas dokter, ada apa ini kok pagi-pagi tindak sini.”
“Ibu hari ini jadwalnya terapi, ‘kan?”
“Nggih.”
Suara barang jatuh membuat percakapan itu terhenti.
“Mama pokoknya ndak mau tahu, Ren! Kamu harus pulang nanti malam. Kalau ndak, mama seret kamu pulang.”
“Ma, hari ini jadwalnya ibu terapi. Renny ndak tau sampai jam berapa nanti. Ndak janji bisa pulang risik.”
“Orang tuanya Rio itu mau datang. Ngelamar kamu,mosok kamu ndak ada di rumah. Bu Latmi kan bisa urus dirinya sendiri.”
Pria tadi tidak sengaja mendengar pertengkaran di dalam rumah itu. Sementara itu wanita yang tadi menyapanya kini terisak.
“Bu, ada yang sakit?” tanya Zulham cemas.
Latmi menggeleng, dia mengusap air matanya.
“Wis pokoke Mama ndak mau tau. Kamu harus pulang nanti sore!”
Zulham masih berjongkok di depan Latmi saat wanita yang ada di dalam rumah tadi keluar.
“Mas.” Renny terkejut mendapati Zulham berada di sana.
“Ibu biar sama aku aja ya, kalau kamu ada acara.”
Kalimat yang terlontar dari bibir Zulham membuat Renny tertegun.
“Ta-tapi ....”
“Dek, kamu nurut sama Mamamu. Ibu, biar aku yang jaga.”
Janda muda itu bukannya menjawab, dia justru menatap mata sang pria dengan pandangan tak terdefinisi.
“Ini siapa Ren?” tanya Sari, ibu Renny yang mengamati Zulham dari atas sampai bawah berulang-ulang.
“Saya Zulham, Bu. Saya tinggal di komplek sebelah. Saya bekerja di rumah sakit tempat Bu Latmi periksa.”
“Ren, kamu pulang saja. Ibu sama, Mas dokter saja. Kamu pulang, bawa semua barangmu. Ibu bukan tanggung jawabmu lagi. Pulang, terusno uripmu.”
Lutut Renny seketika melunglai.
“Bu, ibu nggak boleh gitu. Bu, Renny ndak mau ninggal Ibu.”
Sari menarik tangan anaknya secara paksa. “Kamu dengar kan? Kamu udah diusir. Ayo sekarang kita pulang.”
“Ma! Renny nggak mau pulang!”
“Mau jadi anak durhaka kamu?! Buat apa kamu ngurusin ibu orang lain sedang kamu sendiri tega sama orang tua kandungmu!” bentak Sari.
Reni kembali berdiri karena ditarik paksa sang Ibu.
“Ma, Renny ndak bisa ninggalke ibu.”
“Ren! Kamu itu masih muda! Mumpung ada yang mau sama kamu, mau nikahin kamu, harusnya kamu mikir! Kamu harusnya senang! Kamu mau jadi janda seumur hidup?”
“Mama, tolong ngertiin Renny,” pinta Renny mengiba.
Sari yang terlanjur gelap mata mengangkat satu tangan dan siap menampar putrinya. Namun, Zulham pasang badan. Tamparan Sari mengenai bahu Zulham. Satu tangan pria itu mencekal tangan Renny.
“Kamu ngapain ikut campur?” Sari yang terkejut mencari alasan agar tidak disalahkan karena salah sasaran.
“Maaf, Bu. Saya memang tidak berhak mencampuri urusan Ibu dan Dek Renny, tapi saya tidak bisa melihat Dek Renny seperti ini.”
“Apa hubungannya kamu sama anak saya?”
Zulham menghembus napas pelan sebelum menyunggingkan senyum.
“Kalau boleh, saya ingin menikahi Dek Renny. Dan kami akan merawat bu Latmi bersama. Jadi, Ibu tidak usah khawatir soal masa depan Dek Renny.”
Tangan Renny gemetar, setengah jam lalu, ibu kandungnya datang dan memaksanya pulang karena malam nanti akan ada orang yang berencana melamarnya. Dan sekarang iba-tiba saja, pria yang baru beberapa hari ini ia kenal, mengatakan ingin menikahinya.
“Kamu tidak sedang main-main kan?” tanya Sari.
Zulham tersenyum. “Apa saya terlihat main-main? Secepatnya saya akan menemui Ibu dan bapak untuk meminta ijin menikahi Dek Renny. Tentunya jika Dek Renny bersedia.”
Pria tadi melangkah mundur, menatap wanita berjilbab yang tengah kebingungan itu.
“Ren, kamu dekat sama dia?”
Tidak ada pilihan lain bagi Renny saat itu. Dia hanya bisa mengangguk.
“Nggih, Ma. Makanya Renny ndak mau balik. Renny hanya mau menikah lagi dengan orang yang bisa menerima Ibu. Bukan seperti Rio yang jelas-jelas ingin Renny ninggalin Ibu.”
Latmi hanya bisa menyaksikan kejadian itu dalam diam.
“Kamu ini Ren, bikin pusing saja. Kalau memang sudah punya calon, kenapa ndak ngomong dari kemarin. Kan Papa sama Mama udah terlanjur bikin acara.”
Renny hanya bisa menunduk.
“Yowis, Mama bilang ke papamu dulu. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikumusalaam,” jawab ketiga orang itu bersamaan sembari melihat ke arah Sari yang kini mengendarai motornya, meninggalkan rumah itu.
Renny terduduk lemah di depan kaki Latmi.
“Ibu ... maafin mama ya,” isak Renny pada sang mertua.
“Mamamu ndak salah. Nduk. Mamamu benar, harusnya kamu itu menikah lagi. Kamu masih muda. Jangan ngurusi aku yang udah bobrok ini.”
Ada rasa aneh di dalam hati Zulham melihat dua wanita dihadapannya.
“Dek, maaf aku ikut campur urusanmu.”
Renny menggeleng, “Saya yang berterima kasih, Mas. Tapi ... mama pasti menganggap perkataan Mas tadi serius. Sebaiknya, Mas ndak usah ke sini lagi. Nanti malah Mas yang dirugikan.”
“Dek ... aku ... aku serius soal tadi. Kalau kamu mau dan Bu Latmi merestui, kalau boleh, aku mau menikahimu.”
Renny menatap pria itu tajam, mencari jawaban atas rasa heran yang teramat akan tindakan dan ucapan sang pria padanya.
“Mas ... saya ini janda. Janda miskin.”
“Aku ingin menikahimu karena kemuliaanmu, kebaikan hatimu, dan kesalehanmu.”
“Kita bahkan tidak saling kenal secara pribadi,” sanggah Renny.
“Bukankah kita bisa lebih mengenal setelah halal?”
Latmi tersenyum. “Wis, wis, ibu merestui kalian. Sekarang tinggal kamunya gimana, Nduk?”
Renny tiba-tiba membuang muka saat matanya bertemu dengan sorot Zulham yang saat itu menggambar senyum padanya.
“Ndak bisa, saya bukan dagangan yang diminta langsung bisa dibungkus dibawa pulang,” ketus Renny.
Penolakan Renny tak serta merta membuat Zulham tersinggung. Sebaliknya dia malah tertawa dalam hati.
"Bisa galak juga ternyata kamu, Dek. Coba lihat nanti, apa kamu menerima penawaranku atau tidak."
"Bu, kita berangkat sekarang. Nanti telat," ajak Renny sembari mengunci pintu.
Zulham membantu bu Latmi untuk berjalan menuju ke mobilnya.
"Eh, Mas, kenapa ibu dibawa masuk?" tanya Renny sedikit ketus.
"Dek, ayo berangkat sama-sama."
"Nggak Mas, terima kasih. Aku sama ibu naik bis aja kayak biasanya."
Zulham menghembus napas.
"Ya sudah, silakan naik bis. Ibu biar sama aku."
Zulham menutup pintu mobilnya.
"Eh! Mas Zul! Mas mau nyulik ibu?"
"Nyulik? Kamu yang mau nyiksa ibu, nggak kasian sama ibu? Kalau naik bis nanti ibu nggak nyaman. Belum lagi kalau penuh dan harus berdiri sampai rumah sakit."
"Mas, kami udah biasa kayak gitu."
Pria yang sudah sepuluh tahun berprofesi sebagai dokter itu menyugar rambut.
"Mulai hari ini, semuanya akan jadi luar biasa. Tinggalkan yang biasa. Penawaran terakhir, mau ikut masuk atau kamu naik bis sendiri?"
Renny yang hampir mengeluarkan jurus berdebatnya seketika mengatupkan mulut.
"Ya udah, Mas menang. Keburu siang," lirih Renny pasrah.
Zulham membukakan pintu untuk wanita itu.
"Silakan masuk," ucapnya.
"Makasih," lirih Renny tanpa menatap lawan bicaranya.
Dia duduk di samping sang ibu.
"Kalah ngomong kamu? Kamu butuh laki-laki yang bisa menjinakkanmu," goda Bu Latmi.
Renny mendengus. "Ibu malah ngece," kesalnya.
Zulham berjalan memutar, kemudian masuk ke kursi depan.
"Bismillahirahmanirrahim," ucap pria itu sebelum menginjak pedal gas.
"Ya Allah, aku harus bagaimana? Harus beralasan apalagi aku ke papa dan mama."
Netra Renny menyapu pandang sepanjang jalan. Hingga tak sadar ada mata lain yang diam-diam mengarah tatap dari spion.
"Di balik kelemah lembutan dan kesabaranmu, ternyata kamu punya sisi keras kepala juga ya." Seulas senyum tersungging di bibir sang pria.
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ
Assalamualaikum
Kalam Maya kembali
Hai semuaaaaaa apakabaaaar....
Makasih udah mampir
😍😍😍
🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro