Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 43. Cerita Kita


Kahfi, bocah gembul yang mulai mengeluarkan suara selain tangis itu asik menjejakkan kakinya ke udara. Ada Haikal di sampingnya menunggui. Di sisi lain, ada kedua orang tuanya yang sedang bekerja dari rumah.

"Kaf, Om lagi galau nih," curhat Haikal pada Kahfi.

"Om pengen ngelamar cewek, tapi belum boleh sama ayah sama bunda. Katanya, Om belum dewasa. Padahal Om udah dua tiga loh."

Suara si anak bayi terdengar, seolah menjawab curhatan si bayi tua.

"Padahal, Om pengen kayak Ummi sama Abimu. Bisa nikah muda. Pengen juga punya baby gemoy kayak kamu, Kaf."

Haikal menatap si gembul dan sesekali mencium kaki sang bayi. Iyus yang tengah mengamankan database milik Dewangga Kingdom, menyenggol sang istri yang sibuk merekap invoice purchasing dari perusahaan yang sama dengan suaminya.

Kedua orang itu bekerja di tempat yang sama.

"Emang Om Ikal mau ngelamar siapa sih?"

Haikal mendongakkan kepala, menatap ibu si bayi sekilas.

"Abinya Kahfi tau," jawab Haikal.

Ayun melempar tatap ke suaminya. "Mbak Eka?" tanya Ayun tanpa suara. Iyus hanya tersenyum.

Haikal kini memang menjadikan Iyus sebagai tempat berbagi ceritanya. Dulu Ayun yang menjadi tempatnya berkeluh kesah. Namun, ia sadar, sudah tak pantas ia merusuhi hidup Ayun, itulah kenapa ia menyasar suami Ayun. Beruntung, Iyus sudah biasa menghadapi para santriwan yang ia asuh selama ini.

"Mas, kalau aku nekat gimana ya? Tapi ... Nggak mau nekat, gimana bisa aku ngelawan bunda. Kakakku aja kemarin milih patah hati, daripada harus ngelawan bunda sama eyang."

"Jadi, kamu harus milih yang kedua. Tinggalkan dia." Iyus memberi solusi.

Haikal merebahkan dirinya di samping Kahfi dan bergulung-gulung.

"Heeh! Anakku awas ya kalau sampai ketimpa kamu!" teriak Ayun.

Haikal akhirnya menghentikan tingkahnya. Ia diam. Kelelahan pasca latihan fisik pagi tadi, kini, ia yang rencananya ikut WFH dengan Ayun dan Iyus perlahan tertidur di samping Kahfi.

"Dasar bayi gede, diem lima menit udah tidur," kekeh Iyus.

"Nggak kebayang kalau dia beneran nikah sama Mbak Eka."

"Tapi cocok, kan Mbak Eka ngayomi. Tapi ya, Haikal beneran brondong. Dia seumuran kamu, Mbak Eka seumuran aku."

Iyus dan Ayun terkekeh. Di saat itu yang dibicarakan datang. Eka, membawakan kue pukis untuk Ayun dan iyus.

"Istirahat dulu, makan siang. Nih, pukis."

"Alhamdulillah, rejekinya banyak banget hari ini. Haikal bawain pizza, kamu bawain pukis, Mbak."

Eka menoleh ke arah kasur dimana Kahfi dan Haikal tidur.

"Duh, gantengku bobok." Eka mendekati Kahfi dan mengecup pipinya.

"Hei, hati-hati, jangan salah cium," goda Iyus.

Eka mencebik. Ia membenahi selimut Kahfi. Di sampingnya, Haikal tertidur pulas. Ia melirik pemuda itu. Wajahnya sepolos Kahfi, seolah tanpa dosa. Eka meraih selimut perca yang terlipat di pojok kasur, menutupi tubuh pemuda yang tengah terlelap di sana.

"Enak banget Mbak, pukisnya. Emang mau ada acara?"

Eka mengangguk. "Orang tua Mas Burhan mau datang katanya nanti malem sama anak-anak Mas Burhan."

Ayun mendekati sang sahabat. "Mas Burhan? Pak Burhan yang katanya mau dijodohin sama Mbak? Mbak mau nikah sama dia? Mbak, itu ... Eh mbak nggak pikir-pikir dulu apa? Mbak jangan sembarangan loh."

Eka terkikik melihat ekspresi Ayun yang seperti orang panik.

"Kenapa emangnya? Ya, siapa tahu memang itu jodohku. Aku ... Aku udah pasrah, Yun. Aku udah dua enam. Kamu tahu sendiri kan, untuk ukuran orang sini aku udah jadi perawan tua. Dan ... Masa laluku... Ya, orang sini nggak akan ada yang mau. Jadi, aku pasrah. Ya doain ya semoga memang ini yang terbaik buat aku."

Ayun seolah tak ikhlas sahabatnya menikah dengan duda beranak lima yang track recordnya tak begitu baik itu.

"Mbak, coba dipikirin lagi. Istikharah dulu, Mbak. Jangan sampai salah langkah."

Eka tertawa. "Aku yang mau dijodohin kok malah kamu yang panik, Yun? Eh iya aku jadi pinjem jarikmu. Mau aku pasangin sama kebayaku ini, kira-kira cocok nggak ya?"

"Oh bentar-bentar, aku ambilin dulu." Ayun bergegas masuk ke kamarnya, mengambil jarik yang sudah dibuat menjadi model rok berwiru depan, yang dulu dikenakan Ayun ketika menikah.

"Cobanen dulu, Mbak. Sana, di kamar situ ada kacanya." Ayun menyerahkan jariknya. Si peminjam segera berdiri dan mengambil kebaya yang ia jahit sendiri. Kain broklat putih itu ia dapat dari Renny. Sisa dari baju yang Renny jahitkan untuk ia kenakan saat ijab, dulu.

Ayun membantu Eka memasang baju dan jilbabnya. Meski ia ragu dan kurang rela jika sang sahabat menikah dengan pilihan orang tuanya. Jilbab putih yang Eka kenakan ia bentuk sedemikian rupa, dan Ayun membantu memasangkan bagian selendang penghias jilbabnya.

Meski tanpa make up karena rencananya hanya mencoba baju dan jarit saja, Eka tetap terlihat menawan.

"Bagus banget! Pas Mbak bajunya."

"Aku nggak pede, Yun. Aku kan jarang bikin baju sendiri. Gimana? Udah pas belum? Ekornya enggak panjang tapi aku bikin sampai bawah gini. Wagu ora, Yun?"

"Cantik, Mbak. Cantik."

Eka masih tak percaya dengan Ayun. Ia pun keluar dan bertanya pada Haikal, si jujur yang akan senang hati mengomentari jika memang jelek.

"Kal, Ikal, bangun dulu. Ini aneh nggak?"

Haikal membuka matanya perlahan. Ia menatap ke arah wanita berbalut kebaya putih itu. Matanya mengerjap-ngerjap. Ia terdiam.

"Kal, komenin, please. Kurang gimana? Jangan protes soal jilbab karena ini emang belum pakai jilbab yang aslinya. Cuma mau coba baju sama jaritnya aja."

Haikal terdiam, tak berkomentar. Rambutnya yang mencuat ke sana ke mari. Wajah bantal yang baru mengumpulkan nyawa, terlihat aneh menatap Eka.

"Not good ya?" tanya Eka mencoba mengartikan tatapan Haikal.

"Ikal! Mas Haikaaal ih," rengek Eka kesal karena Haikal tak kunjung menjawabnya.

Iyus tak berani melirik sahabat istrinya. Bukan haknya. Bukan mahramnya. Ia hanya menatap Haikal dan terkekeh.

"Tinggalin atau Halalin." Iyus menulis satu kalimat itu dalam ruang percakapannya dengan Haikal dan sang istri.

Ayun yang mendapat notifikasi dari ponselnya menahan diri untuk tidak tersenyum. Eka kembali masuk ke dalam kamar, mematut diri di kaca karena Haikal tak membantunya mengomentari baju barunya.

"Dia mau dikenalin sama duda anak lima loh kalau kamu nggak cepet, fix, ketikung duda kamu," ucap Ayun setengah berbisik.

Haikal menelan ludah. "Au ah, pusing. Aku pulang dulu. Besok siang jangan lupa kalian harus dateng. Kahfi harus diajak. Oke? Kalian harus nonton aku berlaga."

"Kahfi belum sebulan, nggak boleh diajak dikeramaian."

"Bentaran doang lah. Ya yaaaaaa... Aku pamit dulu."

Eka melongokkan kepala. "Mau pulang, Kal?" tanyanya.

"Hmm... Kenapa? Mau ikut? Ayo." Haikal asal bicara.

Ia segera menyalami Iyus, mencium Kahfi, dan pergi keluar dari rumah pasangan muda itu. "Kal, tunggu!"

Haikal yang sudah siap naik di motor bingung. "Mau ikut beneran?" tanyanya.

Eka mengangguk. "Kal, es teller yuk?" ajak Eka.

"Aku mau tanding, nggak minum es," tolak Haikal.

"Bakso?"

"Aku udah kenyang."

"Mmm... nonton?"

"Nggak ada film bagus, udah kita tonton semua yang release bulan ini."

Eka terlihat berpikir. "Temenin aku ngobrol bentar," cicitnya kemudian.

Haikal mengamati wajah gadis itu. "Kenapa sih, tumben?"

Eka menggeleng. "I just wanna say thanks. Thank you for everything. Udah jadi temenku delapan bulan ini. Selalu ada buat aku dan sahabat-sahabatku. Mengajari aku arti penting kejujuran, ketulusan, dan gambaran indah tentang sebuah keluarga. Makasih udah mau share tentang keluargamu yang super hangat dan segala kisah kalian. Aku bisa ambil banyak ilmu dari sana. Dan, maaf kalau selama kita berteman, aku sering ngerepotin kamu. Aku sering ngajak kamu beli kain, beli benang, ke sana ke mari. Maaf ya, Kal."

"Ka, kamu kenapa?"

Eka menggeleng. Ia berusaha tersenyum tetapi air mata mengalir begitu saja.

"Kal ... mungkin ini hari terakhir kita bisa bebas kayak gini... Aku ... aku bakal nikah dan pasti ... Pasti kita nggak bisa kayak gini lagi. Aku ...." Eka tak bisa meneruskan kata-katanya.

Haikal mengembus napas. "Heh, jangan nangis. Buruan naik, kita jalan-jalan. Yuk? Mau cari vitamin."

Bak anak kecil, Eka mengusap air matanya dan kembali tersenyum. "Bener? Kamu ngajak aku jalan-jalan?"

Haikal mengangguk. Ia selalu membawa dua helm semenjak sering pergi dengan Eka.

"Hapus dulu ingusnya, malu. Cantik-cantik ingusan."

Eka bukannya marah, malah tertawa. "Biarin. Biar kamu malu jalan sama aku."

Haikal pun ikut tertawa. "Dasar bocah. Sini pake dulu helmnya."

Kedua muda mudi itu menyusuri jalanan Solo, mencari apotek untuk sekedar membeli vitamin dan suplemen yang biasa dikonsumsi Haikal.

Di sepanjang jalan, Eka bercerita panjang tentang banyak hal. Biasanya, Haikal yang seperti itu. Namun, kali ini tidak. Keduanya pun tak langsung pulang, Haikal malah membawa Eka ke daerah dekat bandara untuk membeli es kelapa muda yang banyak dijajakan di sana.

Sembari melihat beberapa pesawat terparkir, keduanya mengobrol, ditemani dua buah kelapa.

"Kal, ini kakimu udah nggak apa-apa?" tanya Eka sembari menunjuk kaki Haikal yang cedera.

Si pemuda menggeleng. "Ya kalau ngilu masih ngilu, sakit masih sakit, tapi tetep harus main. Atlet dimana-mana juga gitu. Karena nggak mungkin, cedera dikit langsung gantung sepatu."

Haikal yang baru saja mengamati tangki pengangkut avtur yang lewat tak mengira jika Eka tengah menatapnya.

"Keren banget sih, Kal. Hebat banget sih."

"Ha? Apanya?" Pemuda itu membalas tatap Eka.

"Ya kamu ... Meski masih sakit, tetep main bola. Nggak takut cedera lagi. Kamu keren," ucap Eka dengan mata bak anak anjing yang mengharap perhatian lebih dari sang majikan.

Haikal mengembus napas. 'Apa iya aku harus ngelepasin dia kayak yang dibilang Mas Yusuf? Kenapa dia semanis ini? Biasanya dia nggak gini. Eka ... Jangan bikin aku galau,' batinnya.

"Kal, kamu tau nggak, aku sempat mikir dulu, kalau Anton pergi ninggalin aku, duniaku bakal hampa dan sepi. Tapi, nyatanya aku salah. Allah ngirim kamu buat jadi temenku, ngelewatin semuanya. Keceriaanmu, kejujuranmu, apa adanya kamu, semuanya. Tanpa aku sadari, tanpa harus aku berusaha untuk ngelupain Anton dan kenangan kami, semua itu lebur sendiri karena aku terlalu sibuk dengan dunia baruku. Kamu."

Mendengar ucapan itu, Haikal semakin tak karuan.

"Kamu juga selalu ada di setiap kali aku butuh bantuan. Biasanya aku harus ngerengek ke Anton untuk melakukan ini itu. Buat bantuin aku. Tapi, kamu ... Tanpa aku minta, kamu dateng sendiri, kamㅡ"

Haikal tak sanggup mendengar kelanjutan dari ucapan Eka. Ia memotongnya cepat.

"Ka, balik yuk. Aku harus latihan nanti."

Eka mengulum senyum. Ia tak berani meneruskan omong kosongnya. Segera ia membayar minuman mereka, tetapi Haikal mencekal tangannya. "Biar aku. Aku harus kebiasa ngelakuin ini sendiri, lagi."

"Aku aja, buat yang terakhir." Eka lirih mengatakan.

Haikal menolak. "Nggak. Biar aku yang bayar. Aku yang ngajak kamu ke sini. Aku harus jadi laki-laki seperti yang dibilang ayah sama kakakku. Aku nggak boleh bebani kamu."

"Kal, cuma perkara es kelapa loh ini. Beban apanya? Aku justru seneng bisa bayarin. Karena itu salah satu bentuk pengakuan, menurutku. Pengakuan kalau kamu menghargai jerih payahku bekerja, menghasilkan uang sendiri. Karena, kadang banyak laki-laki yang meremehkan wanita yang bekerja, apalagi kerjaannya bukan yang bonafit macam aku gini. Jadi, aku seneng, bisa bayarin kamu."

"Ka, kamu aneh tau. Aneh banget," tukas Haikal.

Eka tersenyum. "Jadi ... Tolong, ijinkan aku buat bayar ya."

"Aku kayak brondong nggak punya harga diri tau kalau di depanmu. Serius deh."

Tawa Eka terdengar. "Emang kamu brondongku kan? Not bad juga ternyata kenal sama brondong. Dari pada sama yang seumuruan tapi nyakitin. Mending sama brondong, jadi awet muda. Ketawa mulu, seru hidupnya."

"Kalau gitu, terus kenapa kamu mau dijodohin sama duda tua anak lima? Ngadi-ngadi," ketus Haikal.

Eka mengembus napas, ia tak menjawab, segera ia membayar kelapa muda mereka. Keduanya pun kembali mengendarai motor dalam diam sampai ke rumah Eka.

"Aku langsung pulang ya, bapak sama ibu di toko kan?" tanya Haikal.

Eka mengangguk sembari menyerahkan helm. Haikal baru akan menyalakan motornya lagi sebelum Eka memanggil.

"Mas ...."

Mendengar panggilan itu, Haikal menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun selain dirinya. "Kamu manggil aku?" tanyanya bodoh.

Eka mengangguk.

"Hati-hati ... Mas. Semangat ya, buat besok."

"Oh, hm... Iya."

"Bye, Mas Haikal," ucap Eka lagi.

"Damn! Jangan panggil gue begitu, Eka! Ketar ketir gue!" geram Haikal.

"Buruan masuk sana."

Eka mengangguk dan melambaikan tangan. Haikal pun melajukan motornya pergi.

"Aku harus bilang ke ayah sama bunda. Nggak bisa nih kayak gini. Nggak bisa." monolog Haikal.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaaaa

Yuk tamaat

Semalem lupa Up ehehee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro